Sumber : Buletin Ulul Albab No.02/Th.VI/Maret 1995, Iskandar Al-Warisy
Dalam kita melaksanakan semua perintah, termasuk perintah Allah, idealnya, memahami tujuan perintah tersebut, agar supaya dapat mencapai hasil yang maksimal dan mengetahui sejauh mana kualitas pekerjaan kita, tingkat keberhasilan dan kegagalannya. Seorang anak yang melaksanakan perintah orang tuanya agar bersekolah, bilamana ia tidak mengerti untuk apa bersekolah atau ia tidak mengerti tujuan orang tua, untuk apa ia menyuruh sekolah, akibatnya anak itu dalam menjalankan sekolah akan asal-asalan saja, prinsipnya telah menjalankan sekolah, berbeda dengan seorang anak yang pandai dan berakhlak mulia, sehingga dengan kepandaiannya itu akan dapat digunakan menghadapi permasalahan hidupnya, anak tersebut pasti akan rajin dalam belajar, mengurangi pergaulan yang tidak berkaitan dengan karir studinya, juga dalam memilih teman, dan keaktifan, kelak hasil yang didapatkan juga berbeda.
Demikian halnya, dalam kita melaksanakan perintah puasa, orang yang mengetahui dan tidak mengetahui tujuan puasa dalam menjalankan ibadah puasa juga akan berbeda baik dalam penerapannya maupun hasil yang diperolehnya berkaitan dengan pengetahuan atau kepribadian. Oleh karena itu perlu bagi orang-orang yang beriman untuk mengetahui tujuan puasa. Allah dalam memberikan perintah biasanya ditunjukkan juga tujuannya, tetapi sifatnya masih umum, mengenai detailnya diserahkan kepada manusianya sendiri untuk mencarinya, karena Al-Qur'an merupakan petunjuk yang sifatnya umum.
Spoiler for "Tujuan Puasa":
Tujuan Puasa
Tujuan puasa sebagaimana tertulis pada Al-Quran surat Al Baqarah ayat 183 ialah menjadi orang tattaqun/bertakwa artinya menurut tinjauan bahasa, menjadi orang yang mampu memelihara diri dari perbuatan-perbuatan dholim dan mampi melakukan perbuatan-perbuatan mulia. Kalau menurut tinjauan Syar'inya, seperti tertulis pada surat Al Baqarah ayat 177, artinya sebagai berikut :
Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa. (QS Al Baqarah 2:177)
Tujuan puasa tidak mengarah pada pembentukan kesehatan seperti olahraga melainkan pembentukan moral atau perilaku yang sesuai dengan nilai nilai Islam, meskipun dapat memberikan aspek kesehatan, tapi hal ini hanya merupakan akibat sampingan saja.
Sekarang yang perlu kita pahami mengenai hubungan apa, jalinan sistem yang bagaimana, antara puasa dengan pembentukan kepribadian takwa, bagaimana prosesnya puasa dapat membangun seseorang, menjadi pribadi takwa, pribadi yang dapat menghindari diri dari kedosaan dan berpacu dalam kebaikan. Dari landasan tujuan ini, akan dapat dijadikan standard untuk mengukur kualitas keberhasilan atau kegagalan seorang muslim dalam menjalankan puasa, kalau hanya sekedar perolehan status puasa, memang cukup tidak makan, minum, dan melakukan hubungan seksual disiang hari. Tapi permasalahan hidup beragama atau pengabdian diri kepada Allah tidak cukup dengan mendapatkan pengakuan saja melainkan yang lebih penting adalah kualitasnya, karena kualitas ini akan menjadi bekal menghadapi tantangan hidup dijalan Allah., tanpa kualitas, hampir dipastikan mereka akan gagal menghadapi tantangan hidup di jalan Allah.
Spoiler for "Proses Puasa Ke Takwa":
Proses Puasa Ke Takwa
Kata puasa atau kata ashiyam, menurut Al Maraghi ialah mengekang atau menahan diri dari sesuatu, makna khususnya ialah menahan diri, tidak makan, minum, dan bersetubuh sejak fajar hingga matahari terbenam, lawan kata menahan diri ialah menuruti atau mendorong kemauan diri. Pengertian puasa menurut pandangan kami, dengan bersandar pada realitas psikologis ialah orang yang menahan diri tidak makan ketika dalam diri ada dorongan makan (lapar) menahan minum ketika dalam diri ada dorongan minum (kehausan) menahan dorongan menyalurkan seks ketika ada rangsangan seks. Menahan diri dari mencela, menghibah, menghina, menyombongkan diri ketika ada dorongan emosi tersebut, untuk suatu tujuan membangun kepribadian Islam (takwa) kemampuan diri, menahan dorongan emosi, sangat dibutuhkan untuk membangun kepribadian tangguh, orang yang tidak memiliki kemampuan untuk mengendalikan emosinya, bangunan pribadinya akan labil dan ditentukan oleh keadaan perasaannya.
Allah menjadikan manusia sebagai makhluk yang berakal, juga berperasaan, dengan akalnya, manusia dapat mengenal berbagai realitas alam dan manusia, dengan perasaannya manusia dapat merasakan berbagai kenikmatan dan menghindari diri dari berbagai bentuk kesakitan, baik jasmaniah maupun rohaniah. Tapi disisi lain, manusia adalah makhluk sosial, ia terikat oleh hukum sosial, yaitu saling membutuhkan, saling menghargai hak dan kewajiban, saling memelihara lingkungan dari berbagai hal yang dapat merusaknya, baik dari sisi kesehatan, moral, dan teknologi. Sifat dari akal ialah melihat kenyataan di lapangan, sedangkan sifat dari perasaan ialah menuntut terpenuhi gejolak rasanya tanpa melihat hak dan kewajiban sosial, ketika manusia merasakan lapar, akalnya berjalan untuk memenuhi kebutuhan rasa laparnya, tetapi ia juga memperhatikan makanan yang boleh dimakan dan tidak boleh dimakan, sedangkan perasaan laparnya tidak memperdulikan itu semua, ia hanya ingin sesuatu yang memenuhi rasa laparnya, apakah makanan yang dimasukkan dari hasil mencuri atau bekerja. Ketika manusia dalam perasaan marah, secara perasaan ingin melampiaskan seluruh kemarahannya kepada orang yang membuat marah tanpa melihat akibat yang ditimbulkan, atau ketika seorang terlibat dalam perasaan cinta, ada dorongan kuat untuk menyalurkan seluruh cintanya kepada mereka yang dicintai, dalam bentuk apapun, tanpa melihat halal dan haramnya dsb. Manusia memiliki kecenderungan dalam melakukan tindakan berdasarkan pada dorongan emosi (perasaan yang berlebihan), ketika manusia merasakan takut, kasihan, sedih, kecewa, rindu, cenderung bersifat emosional, hanya kemampuan akalnya, yang bisa menjadi rem dari tindakan emosional, apabila penyaluran emosi sudah sedemikian parahnya atau sudah menjadi akhlak, maka kemampuan akalnya tidak mampu lagi menjadi rem yang baik, maka terapi yang baik adalah latihan membiasakan diri menahan tindakan emosional, lewat sistem puasa, dari sini akan lahir pengalaman baru, kepribadian baru.
Dalam Al Quran dan Sunnah Rasul, banyak memberikan pembinaan dan kewaspadaan agar tidak berjalan menghadapi hidup ini dengan emosi (An Nur : 2), melainkan hendaknya bertindak lewat akal yang profesional. Rasulullah SAW pernah ditegur Allah dengan wahyu ketika beliau sangat emosi melihat pamannya Hamzah terbunuh dimedan perang dengan keadaan menyedihkan, sampai beliau berkata:"Aku dapat lebih kejam, dari tindakan pembunuhan ini", Ali bin Abi Tholib pernah tidak jadi membunuh musuhnya, yang meludahi mukanya, karena takut dorongan membunuhnya bersifat emosional. Perang melawan emosi, memang tidak mudah. Rasul menggambarkan sebagai peperangan yang besar, karena umat islam berjumlah 500 orang sedangkan orang kafir berjumlah 1000 orang. Pada suatu riwayat beliau pernah menunjukkan pribadi orang kuat yaitu orang yang kuat menahan marah ketika marah.
Berjalan pada jalan Allah diperlukan kekuatan penalaran ilmiah dan kekuatan mengendalikan hawa nafsu (emosional) karena watak dari tujuan pembangunan masyarakat islam bersifat sosialis, pemerataan atau keadilan sosial, tujuan ini secara orientasi pribadi atau pertimbangan jangka pendek sangat bertentangan, belum lagi setan yang terdiri dari jin dan manusia sering menggoda manusia lewat sentuhan perasaan emosi, apabila umat Islam tidak memiliki pengendalian emosi akan mudah dikalahkan sebelum bertanding. Disini pentingnya puasa (latihan menahan diri dari dorongan emosi).
Spoiler for "Perilaku Puasa":
Perilaku Puasa
Dari pemikiran diatas, maka selayaknya orang berpuasa menyadari bahwa dirinya menghadapi latihan pengendalian berbagai emosi dan selalu melakukan evaluasi, khususnya pada akhir Ramadhon dengan I'tikab. Dengan kesadaran ini maka, perilaku orang berpuasa tidak hanya sekedar tidak makan-minum, akan tetapi hal yang lebih dominan menjaga dan mengukur tingkat emosi kita dalam menghadapi berbagai hal. tidak makan dan minum bukan tujuan, ia hanya merupakan sistem kerja untuk latihan pengendalian emosi.
Menjaga emosi disaat orang dalam keadaan lapar memang berat, karena pada kondisi ini justru seseorang mudah emosi, sehingga perlu bagi orang berpuasa membuat sistem pengendalian emosi, menurut pengalaman penulis ada 3 macam yaitu :
Spoiler for "1. Sistem Kesadaran":
1. Sistem Kesadaran
Kesadaran doktriner : a. Kesadaran tentang larangan menuruti emosi
b. Kesadaran bahwa kami sedang latihan dan diuji untuk mengendalikan emosi
c. Kesadaran bahwa perjuangan melawan emosi merupakan kebaikan dan kemenangan besar
d. Kesadaran berkaitan dengan orang lain, mudah memaafkan.
Kesadaran Pragmatis , membiasakan diri untuk melakukan tindakan atau perbuatan dengan mempertimbangkan fitrah manusia yaitu benar dan salah, untung dan rugi.
Spoiler for "2. Menutup Jalan Emosi":
2. Menutup Jalan Emosi
Orang yang emosi pasti ada sebabnya dan akibatnya dapat ke pikiran dan ke fisik, untuk menutup jalan yang membawa emosi yang berhubungan dengan sebab dapat dilakukan dengan mengoreksi budaya, tidak melakukan pembiasaan emosi atau tidak tergesa-gesa dalam merespon, sedangkan yang berkaitan dengan akibatnya pada aspek pikir, dapat dilakukan denganc cara mengabaikan atau berpikir positif modelnya bisa lewat dzikkir sirri, meningkatkan kesibukan dan silaturahmi. Bilamana sampai ke jantung dapat dilakukan lewat pelatihan pernapasan.
Spoiler for "3. Hijrah ":
3. Hijrah
Tidak memasuki pada jalan-jalan atau aktifitas yang dapat mengantarkan pada tindakan emosional, langkah ini saya pandang yang terakhir, karena sistem hijrah punya konsekuensi tinggi yaitu harus melepaskan hal-hal yang positif. Perlu saya tekankan, emosi bukan gambaran dari kekerasan, melainkan juga dapat berbentuk keharmonisan, cinta kasih, dan belas kasihan. Standardnya ialah tindakan yang tidak berdasarkan pengamatan empiris, benar-salah, pertimbangan untung rugi melainkan karena dorongan perasaan yang berkobar-kobar.
Spoiler for "Sistem perilaku praktis":
Sistem perilaku praktis adalah :
1. Melaksanakan puasa (latihan pengendalian emosi) dapat diterima dengan perasaan lapang, ringan, syukur bisa senang.
2. Dalam menghadapi dorongan emosi makan/minum, khususnya pada waktu berbuka, hendaklah dilakukan secara wajar
3. Bangun malam untuk melaksanakan sahur, hendaklah dilakukan secara rutin dan makanan yang bergizi
4. Melakukan control nilai dalam melakukan komunikasi
5. Jangan mengikuti tiap-tiap dorongan emosi, khususnya emosi seks
6. Sering melakukan evaluasi tentang realitas, kekuatan dunia emosi, sistem kerja, dan kemampuan diri menghadapinya.
Spoiler for "Puasa Yang Berhasil":
Puasa Yang Berhasil
Berdasarkan pemikiran yang diatas, untuk mengukur keberhasilan dan kegagalan orang berpuasa dapat dilihat kemampuannya mengendalikan emosinya dalam menjalankan perintah Allah dan menghadapi hambatannya, maka nilai keberhasilan puasanya sangat tinggi, sebaliknya seorang yang tidak ada perubahan mengendalikan emosinya, dalam melaksanakan perintah, maka dapat dipastikan kegagalannya atau rendahnya kualitas puasanya, orang seperti itu yang dikatakan, puasanya hanya memperoleh haus dan lapar saja. Orang yang berhasil puasanya akan mudah menjalankan semua yang diperintahkan Allah, meskipun harus mengorbankan segalanya, inilah yang dikatakan PRIBADI TAKWA.