- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Diserang Bertubi-tubi, KPK Jangan Pernah Menyerah Berantas Korupsi


TS
dadangharyadi
Diserang Bertubi-tubi, KPK Jangan Pernah Menyerah Berantas Korupsi

Quote:
Di usia 13 tahun merupakan masa remaja, masa-masa hiperaktif, agresif, atau secara sinikal disebut masa "nakal-nakalnya". Sebab, energi remaja sangat besar, mimpi-mimpinya sangat tinggi. Wataknya bertindak apa adanya, tidak neka-neka, dan tak pernah berpikir aneh-aneh. Benar, kita tengah membicarakan Komisi Pemberantasan Korupsi, institusi produk reformasi yang menjadi garda terdepan dalam pemberantasan korupsi. Namun, sejak kelahirannya pada 2002, KPK selalu berada di ujung tanduk. DPR termasuk institusi paling giat yang ingin melemahkan KPK, mulai dari pernyataan anggota dan pimpinannya sampai tindakan lebih substantif berupa rencana revisi Undang-Undang (UU) Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. DPR sejak periode 2009-2014 memang berulang kali menghajar KPK, baik dengan pemangkasan wewenang sampai paling ekstrem pembubaran KPK. Wacana pembubaran KPK bahkan sudah santer sejak KPK pada era Antasari Azhar dan Busyro Muqoddas. Kasus Antasari bahkan diduga juga tak lepas dari konspirasi pelemahan KPK. Dan, itulah yang ingin terus-menerus dibuktikan Antasari dengan segala tindakan perlawanan hukumnya. Tindakan paling riil pembunuhan KPK adalah kriminalisasi dua unsur pimpinan KPK, yaitu Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah, yang dituduh menerima suap dari Anggoro Widjojo, tersangka kasus korupsi proyek Sistem Komunikasi Radio Terpadu tahun 2009, melalui adiknya, Anggodo Widjojo. Bibit dan Chandra dijadikan tersangka dan sempat mendekam di penjara.
Serangan balik
Serangan balik terhadap KPK itu dilakukan setelah KPK menyadap Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Jenderal (Komjen) Susno Duadji yang diduga menerima gratifikasi terkait Bank Century. Peristiwa itu kemudian dikenal sebagai cicak versus buaya jilid 1. Publik marah membela KPK. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun turun tangan. Lalu, serangan balik terhadap KPK lagi-lagi muncul tahun 2015. Setelah Komjen Budi Gunawan yang dicalonkan sebagai Kapolri dijadikan tersangka penerimaan gratifikasi, Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto ditangkap dan ditersangkakan dalam kasus perbuatan menyuruh memberi keterangan palsu dalam sengketa Pilkada Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah. Lalu, Ketua KPK Abraham Samad dijadikan tersangka dalam kasus pemalsuan dokumen. Kedua unsur pimpinan KPK itu akhirnya dinonaktifkan. Serangan bertubi-tubi terhadap KPK justru terjadi ketika KPK gencar-gencarnya memberantas korupsi. Polri menjadi pihak pengancam yang nyata. Setiap KPK membongkar kasus korupsi di polisi, bisa dipastikan segera terjadi serangan balik. Maklumlah, hanya KPK yang menyeret jenderal-jenderal aktif di Polri. Upaya pengusutan di internal polisi sendiri justru diragukan. Contohnya, kasus rekening gendut para jenderal polisi yang mencuat beberapa tahun lalu tidak pernah jelas juntrungannya. Beranikah Polri mengungkap kasus itu secara transparan?
DPR juga menjadi "musuh" KPK. Sebab, banyak proyek dijadikan bancakan anggota DPR, antara lain dengan cara permainan anggaran atau fee. Berbagai kasus yang terbongkar, seperti wisma atlet Palembang, proyek Hambalang, dan impor sapi, menjadi bukti bahwa masih banyak politisi busuk. Fakta sama juga terjadi di pemerintahan. Jumlah birokrat yang dicokok KPK barangkali sudah sulit dihitung. Sampai 2014, menurut Bambang Widjojanto yang mengutip Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri Djohermansyah Djohan, kepala daerah yang terlibat korupsi saja sudah mencapai 290 orang. Sementara jumlah anggota DPRD yang terlibat korupsi sekitar 3.600 orang. Korupsi sudah benar-benar masif. Dalam istilah FC De Coste (Political Corruption, 2000), korupsi politik ini bersifat sistemik. Sampai-sampai benteng hukum pun tak bisa juga bertahan. Tidak sedikit hakim yang ditangkap karena korupsi, termasuk hakim di pengadilan tindak pidana korupsi. Peristiwa paling fenomenal adalah penangkapan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar yang menerima suap terkait pilkada. Apa mau dikata, semua dinding bangunan trias politika di negeri ini sudah jebol. Lalu, pihak mana lagi yang bisa dipercaya untuk menciptakan pemerintah bersih dan pemerintahan bersih di negeri ini?
Jangan menyerah
Meski demikian, jangan pernah menyerah. Sebab, memberantas korupsi merupakan amanat konstitusi dan reformasi. Dan, pada mulanya KPK dibentuk karena ketidakmampuan institusi penegak hukum, seperti Polri dan Kejaksaan Agung, menjalankan amanat konstitusi. Sewajibnya institusi itulah yang harus benar-benar diperbaiki. Tekad kita adalah bagaimana membersihkan negeri ini dari daki-daki dan kotoran yang sangat bau menyengat. Kata pepatah, pemimpin riil itu adalah orang biasa, tetapi bertindak luar biasa. Kita yang berstatus rakyat yang berjumlah lebih dari 230 juta orang ini bisa terus mendukung KPK dalam pemberantasan korupsi. Sekarang ini, UU No 30/2002 tentang KPK belum perlu direvisi, seperti juga sikap Presiden Jokowi yang menolak revisi. Buktinya, dengan kewenangan UU itu dan berada dalam situasi penuh tekanan, KPK membuktikan masih bisa menangkap tangan pejabat dan anggota DPRD yang korupsi di Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, pekan lalu. Tindakan yang nyaris tidak pernah dilakukan institusi penegak hukum lain. Jadi, jangan bunuh KPK! Biarkan ia tumbuh dewasa, jangan dipotong di usia remaja. Ibarat bunga, kita tidak ingin KPK layu sebelum benar-benar bermekaran. KPK harus selalu kita dukung penuh dan semoga saja KPK dapat terus memberantas korupsi meski menghadapi serangan hebat yang bertubi-tubi dari segala arah.

KPK adalah HARGA MATI dalam BERANTAS KORUPTOR di NEGERI ini!!!
Spoiler for :
0
986
Kutip
4
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan