- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Lima Pasal dalam RUU KPK yang disusun DPR bikin KPK yad jadi 'anak kucing' selamanya!


TS
ts4l4sa
Lima Pasal dalam RUU KPK yang disusun DPR bikin KPK yad jadi 'anak kucing' selamanya!
Jubir Istana, Johan Budi:
Istana Belum Tahu Draf Revisi UU KPK
SENIN, 08 FEBRUARI 2016 , 20:12:00 WIB

RMOL. Juru Bicara Kepresidenan Johan Budi SP memertanyakan kejelasan bentuk draf revisi Undang-Undang Nomor 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Menurutnya, sampai saat ini publik bahkan pihak Istana belum mengetahui naskah akademik dari draf revisi itu.
Hal itu dikemukakannya dalam konferensi pers hasil survei di kantor Indikator Politik Indonesia, Cikini, Jakarta (Senin, 8/2).
Menanggapi hal tersebut, mantan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto menyayangkan ketidaktahuan orang dalam Istana tentang draf revisi UU KPK. Diapun menyindir Johan yang merupakan koleganya di KPK Jilid III lalu.
"Bagaimana mungkin sebuah pernyataan bisa dikeluarkan sebelum adanya revisi itu, jadi ini naif dan ironi. Bagaimana rakyat bisa mengetahui kalau partner pembuatan draf itu saja belum mengetahui. Sehingga seharusnya saya setuju dengan Pak Johan Budi, mana bahan itu," sesalnya.
Bambang mengaku khawatir jika nanti draf RUU KPK sudah selesai sementara naskah akademiknya belum juga ada. Dia kemudian mendesak Johan untuk menanyakan langsung ke DPR soal kebenaran draf revisi UU KPK yang selama ini beredar di publik.
"Tanyakan saja kepada DPR," singkat Johan.
Mendengar jawaban itu, Bambang pun langsung menimpali.
"Pak Johan bilang tanya ke DPR. Kalau seorang juru bicara Presiden tidak bisa tanyakan ke DPR itu maka rakyat biasa saja pasti tidak bisa," jelasnya.
Johan kemudian berkilah jika dirinya tidak punya kewenangan untuk menanyakan ke DPR, sebab hanya sebagai penyampai pernyataan Presiden.
"Saya ini jubir tugasnya hanya menyampaikan, anda (Bambang) belum tahu tugas jubir," katanya.
Johan pun mengklarifikasi bahwa pihaknya akan segera menanyakan perihal draf revisi UU KPK kepada Kementerian Hukum dan HAM. [
http://www.rmol.co/read/2016/02/08/2...Revisi-UU-KPK-
Lima pasal dalam RUU KPK yang disusun DPR
7 Oktober 2015


source pic: http://www.merdeka.com/peristiwa/pem...-komentar.html
Fraksi PDI-P, Fraksi Partai Golkar, Fraksi Partai Nasdem, Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, dan Fraksi Partai Hanura mengusulkan sejumlah pasal dan ayat dalam UU KPK diubah.
Enam fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyerahkan draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kepada anggota Badan Legislasi DPR, pada Selasa (06/10).
Dalam draf revisi tersebut, Fraksi PDI-P, Fraksi Partai Golkar, Fraksi Partai Nasdem, Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, dan Fraksi Partai Hanura mengusulkan sejumlah pasal dan ayat diubah.
Dari rangkaian usulan revisi itu, berikut lima di antaranya:
1. Pembubaran KPK, 12 tahun setelah draf RUU resmi diundangkan
Pasal 5
Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuk untuk masa waktu 12 tahun sejak undang-undang ini diundangkan.
2. KPK tak berwenang melakukan penuntutan
Pasal 7 huruf d
"Melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap kasus tindak pidana korupsi yang diatur di dalam Undang-undang ini dan/atau penanganannya di kepolisian dan/atau kejaksaan mengalami hambatan karena campur tangan dari pemegang kekuasaan, baik eksekutif, yudikatif, atau legislatif.”
(Padahal, dalam Pasal 6 huruf c UU No. 30 tahun 2002, ”KPK mempunyai tugas melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi.”)
3. Pelimpahan kasus ke Kejaksaan dan Kepolisian
Pasal 13
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf d, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan tindak pidana korupsi yang:
a. melibatkan penyelenggara negara dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara;
b. menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp 50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah)
c. Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi telah melakukan penyidikan dimana ditemukan kerugian negara dengan nilai dibawah 50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah), maka wajib menyerahkan tersangka dan seluruh berkas perkara beserta alat bukti dan dokumen lain yang diperlukan kepada kepolisian dan kejaksaan dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja, terhitung sejak tanggal diterimanya permintaan Komisi Pemberantasan Korupsi
(Pada UU No.30 Tahun 2002 tentang KPK, jumlah nominal kerugian sebagai kriteria untuk melimpahkan kasus ke Kejaksaan dan Kepolisian tidak disebut. Bahkan, Pasal 8 (2) menyebut "Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang juga mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan.”)
4. Permintaan izin sebelum melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan.
Pasal 14 Ayat (1) huruf a
KPK berwenang melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan setelah ditemukan bukti permulaan yang cukup denga izin dari ketua pengadilan negeri.
(Dalam Pasal 12 (1) huruf a UU No.30 Tahun 2002 disebutkan, “Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan.”)
5. KPK tidak memiliki penuntut
Pasal 53 (1)
Penuntut adalah jaksa yang berada di bawah lembaga Kejaksaan Agung Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh KUHAP untuk melakukan penuntutan melaksanakan penetapan hakim
(Dalam pasal 51 (1) UU No.30 Tahun 2002 disebutkan, “Penuntut adalah Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang diangkat dan diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.”)
http://www.bbc.com/indonesia/berita_...uu_kpk_limahal
Ini Alasan DPR Belum Tunjukkan Draf Revisi UU KPK
Senin, 08 Februari 2016, 20:18 WIB
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Salah satu pengusul revisi Undang undang KPK, Ichsan Soelistyo mengatakan hingga kini pihak DPR masih mengharmonisasi draf revisi. Sehingga DPR belum bisa memberikan draf revisi baik kepada KPK maupun pemerintah.
Politisi PDIP ini mengatakan, revisi UU KPK ini merupakan usulan DPR. Dikatakannya, banyak pihak yang memberikan masukan kepada DPR terkait revisi ini. Namun ia juga tak menampik jika memang masih ada pro kontra terkait revisi ini.
"Ini sedang kami harmonisasi dulu. Jadi nanti setelah harmonis. Kita paripurna baru kita kasih ke KPK dan kita laporkan ke pemerintah," ujar Ichsan saat dihubungi wartawan, Senin (8/2).
Ichsan sendiri mengatakan ada empat poin yang menjadi revisi. Namun dari empat poin tersebut dijabarkan menjadi 13 komponen. Delapan komponen perubahan dan Lima komponen penambahan.
Ichsan mengatakan dari komponen tersebut nantinya akan dibahas di Badan Legislasi (Baleg) DPR, pada pekan ini. Setelahnya baru DPR akan mengadakan kembali audiensi terhadap KPK juga pemerintah terkait isi revisi.
"Yang penting kami mengakomodir semua usul kok. Jika memang ada hal yang dirasa melemahkan nanti kita diskusikan dimana titiknya," ujar Ichsan.
http://nasional.republika.co.id/beri...-revisi-uu-kpk
Bambang Widjojanto Anggap Pemerintah Naif bila Tak Tahu Poin Revisi UU KPK
Senin, 8 Februari 2016 | 21:20 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com - Mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, Bambang Widjojanto, menilai naif bila Presiden Joko Widodo belum tahu pasal-pasal yang direvisi dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.
Saat ini Badan Legislasi DPR tengah mengkaji draf revisi UU KPK yang masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas) tersebut. Informasi yang diperoleh wartawan, ada beberapa perubahan pada draf revisi UU tersebut.
Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi Johan Budi SP mengatakan, draf yang dibahas di DPR belum disampaikan ke Presiden Jokowi. Kebenaran poin-poin yang direvisi pun dianggap masih simpang siur.
(Baca Johan Budi: Belum Jelas Mana Revisi yang Melemahkan KPK dan Memperkuat)
"Kalau revisi sudah ada di prolegnas DPR, tapi seperti Johan belum mendapatkan draf revisi, ini naif dan ironi," ujar Bambang, Senin (8/2/2016) di Jakarta.
Menurut Bambang, belum ada naskah akademik yang mendasari munculnya poin-poin revisi tersebut.
"Kalau revisi tanpa naskah akademik itu cacat prosedural. Kalau buru-buru diajukan apa maksudnya, ingin melemahkan atau menguatkan?" kata Bambang.
Ia mengatakan, semestinya pembahasan revisi UU KPK di Badan Legislasi DPR dilakukan secara terbuka. Sebagai wakil rakyat, DPR semestinya terbuka kepada rakyat.
"Harus diberitahukan ke rakyat bahwa ini yang kami bahas di Baleg," kata Bambang.
Menurut Bambang, korupsi bukan isu sembarangan yang diabaikan. Kepercayaan pemerintah bisa hancur jika bersinggungan dengan pelemahan KPK.
Oleh karena itu, Bambang berharap Presiden Jokowi segera mengetahui isi draf revisi UU KPK sehingga dapat memutuskan apakah akan melanjutkan atau menarik diri dari pembahasan.
"Mana barang itu (draf revisi) kalau barangnya di Johan belum ada, apalagi kami sebagai rakyat. Kalau jubir tidak sanggup tanya ke DPR mana naskah (akademik), apalagi rakyat," kata dia.
http://nasional.kompas.com/read/2016....Revisi.UU.KPK
Jokowi atau komandan tertinggi PDIP dalang revisi UU KPK?
Jumat, 9 Oktober 2015 06:34

Merdeka.com - Polemik soal revisi UU KPK terus berlanjut. Bahkan di beberapa daerah terjadi demo yang menolak revisi terhadap UU Nomor 30 Tahun 2002 tersebut. Revisi tersebut dinilai bakal melemahkan bahkan membunuh KPK sebagai lembaga anti korupsi tersebut.
Mereka yang menolak beralasan bahwa revisi akan memperlemah KPK. Bahkan dalam draf revisi yang dibahas, umur KPK dibatasi hanya 12 tahun sejak UU itu disahkan. Selain itu, kewenangan seperti penyadapan dan penuntutan juga akan dipreteli dari KPK.
Yang jadi menarik siapa sebenarnya yang mengusulkan draf revisi UU KPK tersebut? Hingga kini siapa dalam revisi UU KPK masih belum jelas.
Dari pihak DPR menuding bahwa draf tersebut bersumber dari pemerintah. Hal ini bisa dibuktikan dalam draf revisi yang berlogo presiden. Hal ini menandakan bahwa pengusul draf tersebut adalah pemerintah atau presiden Jokowi.
Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR Muslim Ayub mengungkapkan Jokowi tidak berterus terang soal revisi undang-undang KPK. Dia mempertanyakan draf revisi yang beredar memakai logo presiden yang seakan membuktikan draf tersebut berasal dari pemerintah.
"Pemerintah enggak berterus terang, buktinya dalam logo drafnya ada lambang presidennya. Kita (DPR) hanya sebagai pengusul saja. Kalau soal dari mananya, ya dari pemerintah," kata Muslim di Komplek Senayan, Jakarta, Rabu (7/10) lalu.
Muslim menilai sikap pemerintah Jokowi seperti menutupi keberadaan revisi UU KPK dengan membalik badan. Menurutnya, Presiden Jokowi terkesan begitu takut apabila menerima protes dari masyarakat dan lembaga pemerintah lain mengenai revisi UU tersebut.
"Presiden sikapnya jadi balik badan begitu, presiden memang begitu, kalau ada protes dari empat sampai lima lembaga membuat takut presiden untuk bicara. Mengingat sebelumnya bahasan tentang RUU KPK mendapat protes dari masyarakat, maka DPR langsung berinisiatif saja untuk mengusulkan," katanya kepada awak media.
Politikus Partai Amanat Nasional ( PAN) mengaku mendapatkan draf tersebut pada Selasa (6/10) di ruang Baleg DPR. Sehingga, draf yang diterima anggota dewan kemarin adalah draf milik pemerintah.
"Belum, belum ada draf dari DPR, kita sebagai pengusul saja. Yang pasti semua fraksi mendapatkan draf pemerintah yang sempat gagal diajukan itu," pungkasnya.
http://www.merdeka.com/peristiwa/jok...si-uu-kpk.html
Adeknya Mega, Rachmawati, Tuding Megawati Inisiator Revisi UU KPK
Minggu, 11 Oktober 2015 − 07:59 WIB

Ketua Umum (Ketum) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri, (SINDOphoto).
JAKARTA - Salah satu anak Presiden RI pertama Soekarno, Rachmawati Soekarnoputri menuding kakak kandungnya, Megawati Soekarnoputri sebagai inisiator revisi Undang-undang (UU) Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPTPK) atau yang lebh dikenal dengan KPK.
Menurut Rachmawati, revisi UU KPK itu sebagai rangkaian dari upaya pelemahan terhadap lembaga antikorupsi tersebut.
"Yang men-trigger itu kan kasus Budi Gunawan hingga kemudian kriminalisasi pimpinan KPK," kata Rachmawati saat berbincang dengan Sindonews melalui sambungan telepon, Minggu (11/10/2015).
"kan awalnya dari situ, kemudian Polri dengan KPK seperti diadu domba, sekarang ini sebetulnya tidak lepas dari skenario pelemahan KPK," imbuhnya.
Lebih lanjut dia mengatakan, salah satu tujuan lainnya dari revisi UU KPK itu untuk Mempetieskan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Maka itu menurut Rachma, revisi itu untuk mengebiri KPK.
"Kalau boleh saya katakan, aktor intelektualnya (Revisi UU KPK) dari PDIP, dalam hal ini Ketua Umum (Megawati) ya," tuturnya.
Dia juga berpendapat, Revisi UU KPK itu menabrak Ketatapan MPR Nomor 8 Tahun 2002. "Ini bukan dugaan, yang jelas ke sana (Petieskan BLBI). Supaya PDIP, Megawati khususnya itu kasus megakorupsinya, BLBI agar tidak diteruskan," pungkasnya.
http://nasional.sindonews.com/read/1...kpk-1444505536
PDI-P Bisa Dianggap Melahirkan Sekaligus Mematikan KPK
Senin, 8 Februari 2016 | 17:20 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com — Presiden Joko Widodo dan PDI Perjuangan sebagai partai pengusungnya disarankan untuk berhati-hati terhadap rencana revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.
Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Ikrar Nusa Bakti, mengatakan, poin-poin dalam draf revisi UU KPK yang dinilai oleh publik dapat melemahkan KPK bisa saja semakin menurunkan kepercayaan publik terhadap Jokowi dan PDI-P.
Jika poin-poin revisi itu disetujui, citra PDI-P sebagai partai pemenang pemilu dapat tercoreng di mata publik.
"Kalau tekanan revisi UU KPK terus terjadi, bukan mustahil PDI-P akan dipersepsikan partai yang melahirkan dan mematikan KPK," ujar Ikrar dalam pemaparan hasil survei Indikator Politik Indonesia di Cikini, Jakarta Pusat, Senin (8/2/2016).
Menurut Ikrar, tidak ada satu pun dari poin-poin revisi UU KPK yang beredar di masyarakat, yang tidak melemahkan KPK. Revisi UU KPK justru menghilangkan independensi KPK sebagai lembaga khusus dalam bidang pemberantasan korupsi.
KPK didirikan pada 2002 oleh Presiden Megawati Soekarnoputri sekaligus Ketua Umum DPP PDI-P. Kini, PDI-P menjadi salah satu partai pendorong dilakukannya revisi UU KPK.
Berdasarkan hasil survei Indikator Politik Indonesia, tingkat kepercayaan publik terhadap partai politik menurun dalam setahun terakhir. Tingkat kepercayaan publik turun dari 50,1 persen pada Januari 2015 menjadi 39,2 persen pada Januari 2016.
Peneliti Indikator, Hendro Prasetyo, mengatakan, penurunan tersebut salah satunya dipengaruhi oleh wacana revisi UU KPK yang dianggap tidak sesuai dengan semangat pemberantasan korupsi.
http://nasional.kompas.com/read/2016....Mematikan.KPK
Revisi UU KPK, Gerakan Besar Pelumpuhan
Senin, 8 Februari 2016 | 12:32 WIB
Berkali-kali Gagal, Anggota DPR Tak Kapok Juga Revisi UU KPK Tanpa Naskah Akademik, Revisi UU KPK Cacat Hukum Gerindra: Siapa yang Jamin Revisi UU KPK Tidak Merambat ke Mana-mana? Abdullah Hehamahua: Presiden Jokowi Tidak Konsisten "Revisi UU KPK Tidak Ditarik, Saya Akan Kampanye Jangan Pilih Jokowi Lagi!"
JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti hukum dari Indonesian Legal Roundtable, Erwin Natosmal Oemar, merasa pesimis jika perubahan UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mampu mengatasi fenomena vonis koruptor yang semakin ringan.
Erwin mengatakan bahwa dirinya tidak melihat adanya upaya menyinkronkan antara alasan pemerintah terkait penguatan KPK dengan usulan perubahan UU yang muncul di DPR.
"Seperti kita tahu tiga tahun belakangan ini muncul fenomena vonis ringan terhadap koruptor. Saya tidak melihat adanya sinkronisasi dengan pemberian efek jera melalui perubahan itu. Saya malah meyakini, pasca revisi, akan lebih menurun vonisnya," ujar Erwin ketika dihubungi Kompas.com, Senin (8/2/2016).
Menurut Erwin, perubahan UU KPK menunjukkan adanya gerakan besar untuk melumpuhkan KPK. Eksistensi KPK sebagai lembaga pemberantasan korupsi ingin dihilangkan.
"Ada gerakan besar untuk melumpuhkan KPK, mereka paham kekuatan KPK ini dilindungi undang-undang, maka UU tersebut berusaha untuk direvisi. Saya tidak yakin dengan argumentasi penguatan KPK melalui revisi itu memiliki dasar dan landasan yang kuat. Kemarin baru ada 4 poin perubahan, sekarang berkembang menjadi 13 poin turunan," katanya.
Sebelumnya diberitakan, berdasarkan penelusuran Indonesia Corruption Watch, sejak tahun 2013 hingga 2015, terdakwa korupsi yang divonis ringan semakin banyak. "
Pada 2015, dominan hukuman untuk koruptor masuk kategori ringan, yaitu 1-4 tahun, sebanyak 401 terdakwa," ujar peneliti ICW Aradila Caesar di kantor ICW, Jakarta, Minggu (7/2/2016).
Arad mengatakan, rata-rata putusan pidana yang dijatuhkan terhadap terpidana korupsi sebesar 2 tahun 2 bulan untuk tahun 2015. Sementara untuk tahun 2014, rata-rata vonis hakim sebesar 2 tahun 8 bulan.
Pada tahun 2014, terdakwa yang divonis berat dengan hukuman di atas 10 tahun sebanyak 56 orang. Kemudian pada 2015 menurun drastis menjadi 3 orang.
http://nasional.kompas.com/read/2016...sar.Pelumpuhan
----------------------------

Logika politiknya sederhana sekali kok, kenapa KPK yad harus di-'anak-kucing'-kan dan harus di 'bonsai" ... agar dia tidak cukup kuat dan perkasa seperti zaman SBY dulu kelak di kemudian hari. Sebuah lembaga KPK yang terlalu kuat di masa depan, bisa menjadi ancaman bagi elit PDIP dan penguasa di rezim sekarang, bila mereka sudah lengser dari kekuasaan nanti ... kemungkinan mulai tahun 2019 yad, yang tertinggal 3 tahun lagi. Sekaranglah saat terbaik untuk memperlemah KPK itu, atau terlambat sama sekali. Jadi ini seperti sebuah pilihan strategis bagi rezim yang berkuasa saat ini.

Istana Belum Tahu Draf Revisi UU KPK
SENIN, 08 FEBRUARI 2016 , 20:12:00 WIB

RMOL. Juru Bicara Kepresidenan Johan Budi SP memertanyakan kejelasan bentuk draf revisi Undang-Undang Nomor 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Menurutnya, sampai saat ini publik bahkan pihak Istana belum mengetahui naskah akademik dari draf revisi itu.
Hal itu dikemukakannya dalam konferensi pers hasil survei di kantor Indikator Politik Indonesia, Cikini, Jakarta (Senin, 8/2).
Menanggapi hal tersebut, mantan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto menyayangkan ketidaktahuan orang dalam Istana tentang draf revisi UU KPK. Diapun menyindir Johan yang merupakan koleganya di KPK Jilid III lalu.
"Bagaimana mungkin sebuah pernyataan bisa dikeluarkan sebelum adanya revisi itu, jadi ini naif dan ironi. Bagaimana rakyat bisa mengetahui kalau partner pembuatan draf itu saja belum mengetahui. Sehingga seharusnya saya setuju dengan Pak Johan Budi, mana bahan itu," sesalnya.
Bambang mengaku khawatir jika nanti draf RUU KPK sudah selesai sementara naskah akademiknya belum juga ada. Dia kemudian mendesak Johan untuk menanyakan langsung ke DPR soal kebenaran draf revisi UU KPK yang selama ini beredar di publik.
"Tanyakan saja kepada DPR," singkat Johan.
Mendengar jawaban itu, Bambang pun langsung menimpali.
"Pak Johan bilang tanya ke DPR. Kalau seorang juru bicara Presiden tidak bisa tanyakan ke DPR itu maka rakyat biasa saja pasti tidak bisa," jelasnya.
Johan kemudian berkilah jika dirinya tidak punya kewenangan untuk menanyakan ke DPR, sebab hanya sebagai penyampai pernyataan Presiden.
"Saya ini jubir tugasnya hanya menyampaikan, anda (Bambang) belum tahu tugas jubir," katanya.
Johan pun mengklarifikasi bahwa pihaknya akan segera menanyakan perihal draf revisi UU KPK kepada Kementerian Hukum dan HAM. [
http://www.rmol.co/read/2016/02/08/2...Revisi-UU-KPK-
Lima pasal dalam RUU KPK yang disusun DPR
7 Oktober 2015


source pic: http://www.merdeka.com/peristiwa/pem...-komentar.html
Fraksi PDI-P, Fraksi Partai Golkar, Fraksi Partai Nasdem, Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, dan Fraksi Partai Hanura mengusulkan sejumlah pasal dan ayat dalam UU KPK diubah.
Enam fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyerahkan draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kepada anggota Badan Legislasi DPR, pada Selasa (06/10).
Dalam draf revisi tersebut, Fraksi PDI-P, Fraksi Partai Golkar, Fraksi Partai Nasdem, Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, dan Fraksi Partai Hanura mengusulkan sejumlah pasal dan ayat diubah.
Dari rangkaian usulan revisi itu, berikut lima di antaranya:
1. Pembubaran KPK, 12 tahun setelah draf RUU resmi diundangkan
Pasal 5
Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuk untuk masa waktu 12 tahun sejak undang-undang ini diundangkan.
2. KPK tak berwenang melakukan penuntutan
Pasal 7 huruf d
"Melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap kasus tindak pidana korupsi yang diatur di dalam Undang-undang ini dan/atau penanganannya di kepolisian dan/atau kejaksaan mengalami hambatan karena campur tangan dari pemegang kekuasaan, baik eksekutif, yudikatif, atau legislatif.”
(Padahal, dalam Pasal 6 huruf c UU No. 30 tahun 2002, ”KPK mempunyai tugas melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi.”)
3. Pelimpahan kasus ke Kejaksaan dan Kepolisian
Pasal 13
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf d, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan tindak pidana korupsi yang:
a. melibatkan penyelenggara negara dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara;
b. menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp 50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah)
c. Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi telah melakukan penyidikan dimana ditemukan kerugian negara dengan nilai dibawah 50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah), maka wajib menyerahkan tersangka dan seluruh berkas perkara beserta alat bukti dan dokumen lain yang diperlukan kepada kepolisian dan kejaksaan dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja, terhitung sejak tanggal diterimanya permintaan Komisi Pemberantasan Korupsi
(Pada UU No.30 Tahun 2002 tentang KPK, jumlah nominal kerugian sebagai kriteria untuk melimpahkan kasus ke Kejaksaan dan Kepolisian tidak disebut. Bahkan, Pasal 8 (2) menyebut "Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang juga mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan.”)
4. Permintaan izin sebelum melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan.
Pasal 14 Ayat (1) huruf a
KPK berwenang melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan setelah ditemukan bukti permulaan yang cukup denga izin dari ketua pengadilan negeri.
(Dalam Pasal 12 (1) huruf a UU No.30 Tahun 2002 disebutkan, “Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan.”)
5. KPK tidak memiliki penuntut
Pasal 53 (1)
Penuntut adalah jaksa yang berada di bawah lembaga Kejaksaan Agung Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh KUHAP untuk melakukan penuntutan melaksanakan penetapan hakim
(Dalam pasal 51 (1) UU No.30 Tahun 2002 disebutkan, “Penuntut adalah Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang diangkat dan diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.”)
http://www.bbc.com/indonesia/berita_...uu_kpk_limahal
Ini Alasan DPR Belum Tunjukkan Draf Revisi UU KPK
Senin, 08 Februari 2016, 20:18 WIB
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Salah satu pengusul revisi Undang undang KPK, Ichsan Soelistyo mengatakan hingga kini pihak DPR masih mengharmonisasi draf revisi. Sehingga DPR belum bisa memberikan draf revisi baik kepada KPK maupun pemerintah.
Politisi PDIP ini mengatakan, revisi UU KPK ini merupakan usulan DPR. Dikatakannya, banyak pihak yang memberikan masukan kepada DPR terkait revisi ini. Namun ia juga tak menampik jika memang masih ada pro kontra terkait revisi ini.
"Ini sedang kami harmonisasi dulu. Jadi nanti setelah harmonis. Kita paripurna baru kita kasih ke KPK dan kita laporkan ke pemerintah," ujar Ichsan saat dihubungi wartawan, Senin (8/2).
Ichsan sendiri mengatakan ada empat poin yang menjadi revisi. Namun dari empat poin tersebut dijabarkan menjadi 13 komponen. Delapan komponen perubahan dan Lima komponen penambahan.
Ichsan mengatakan dari komponen tersebut nantinya akan dibahas di Badan Legislasi (Baleg) DPR, pada pekan ini. Setelahnya baru DPR akan mengadakan kembali audiensi terhadap KPK juga pemerintah terkait isi revisi.
"Yang penting kami mengakomodir semua usul kok. Jika memang ada hal yang dirasa melemahkan nanti kita diskusikan dimana titiknya," ujar Ichsan.
http://nasional.republika.co.id/beri...-revisi-uu-kpk
Bambang Widjojanto Anggap Pemerintah Naif bila Tak Tahu Poin Revisi UU KPK
Senin, 8 Februari 2016 | 21:20 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com - Mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, Bambang Widjojanto, menilai naif bila Presiden Joko Widodo belum tahu pasal-pasal yang direvisi dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.
Saat ini Badan Legislasi DPR tengah mengkaji draf revisi UU KPK yang masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas) tersebut. Informasi yang diperoleh wartawan, ada beberapa perubahan pada draf revisi UU tersebut.
Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi Johan Budi SP mengatakan, draf yang dibahas di DPR belum disampaikan ke Presiden Jokowi. Kebenaran poin-poin yang direvisi pun dianggap masih simpang siur.
(Baca Johan Budi: Belum Jelas Mana Revisi yang Melemahkan KPK dan Memperkuat)
"Kalau revisi sudah ada di prolegnas DPR, tapi seperti Johan belum mendapatkan draf revisi, ini naif dan ironi," ujar Bambang, Senin (8/2/2016) di Jakarta.
Menurut Bambang, belum ada naskah akademik yang mendasari munculnya poin-poin revisi tersebut.
"Kalau revisi tanpa naskah akademik itu cacat prosedural. Kalau buru-buru diajukan apa maksudnya, ingin melemahkan atau menguatkan?" kata Bambang.
Ia mengatakan, semestinya pembahasan revisi UU KPK di Badan Legislasi DPR dilakukan secara terbuka. Sebagai wakil rakyat, DPR semestinya terbuka kepada rakyat.
"Harus diberitahukan ke rakyat bahwa ini yang kami bahas di Baleg," kata Bambang.
Menurut Bambang, korupsi bukan isu sembarangan yang diabaikan. Kepercayaan pemerintah bisa hancur jika bersinggungan dengan pelemahan KPK.
Oleh karena itu, Bambang berharap Presiden Jokowi segera mengetahui isi draf revisi UU KPK sehingga dapat memutuskan apakah akan melanjutkan atau menarik diri dari pembahasan.
"Mana barang itu (draf revisi) kalau barangnya di Johan belum ada, apalagi kami sebagai rakyat. Kalau jubir tidak sanggup tanya ke DPR mana naskah (akademik), apalagi rakyat," kata dia.
http://nasional.kompas.com/read/2016....Revisi.UU.KPK
Jokowi atau komandan tertinggi PDIP dalang revisi UU KPK?
Jumat, 9 Oktober 2015 06:34

Merdeka.com - Polemik soal revisi UU KPK terus berlanjut. Bahkan di beberapa daerah terjadi demo yang menolak revisi terhadap UU Nomor 30 Tahun 2002 tersebut. Revisi tersebut dinilai bakal melemahkan bahkan membunuh KPK sebagai lembaga anti korupsi tersebut.
Mereka yang menolak beralasan bahwa revisi akan memperlemah KPK. Bahkan dalam draf revisi yang dibahas, umur KPK dibatasi hanya 12 tahun sejak UU itu disahkan. Selain itu, kewenangan seperti penyadapan dan penuntutan juga akan dipreteli dari KPK.
Yang jadi menarik siapa sebenarnya yang mengusulkan draf revisi UU KPK tersebut? Hingga kini siapa dalam revisi UU KPK masih belum jelas.
Dari pihak DPR menuding bahwa draf tersebut bersumber dari pemerintah. Hal ini bisa dibuktikan dalam draf revisi yang berlogo presiden. Hal ini menandakan bahwa pengusul draf tersebut adalah pemerintah atau presiden Jokowi.
Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR Muslim Ayub mengungkapkan Jokowi tidak berterus terang soal revisi undang-undang KPK. Dia mempertanyakan draf revisi yang beredar memakai logo presiden yang seakan membuktikan draf tersebut berasal dari pemerintah.
"Pemerintah enggak berterus terang, buktinya dalam logo drafnya ada lambang presidennya. Kita (DPR) hanya sebagai pengusul saja. Kalau soal dari mananya, ya dari pemerintah," kata Muslim di Komplek Senayan, Jakarta, Rabu (7/10) lalu.
Muslim menilai sikap pemerintah Jokowi seperti menutupi keberadaan revisi UU KPK dengan membalik badan. Menurutnya, Presiden Jokowi terkesan begitu takut apabila menerima protes dari masyarakat dan lembaga pemerintah lain mengenai revisi UU tersebut.
"Presiden sikapnya jadi balik badan begitu, presiden memang begitu, kalau ada protes dari empat sampai lima lembaga membuat takut presiden untuk bicara. Mengingat sebelumnya bahasan tentang RUU KPK mendapat protes dari masyarakat, maka DPR langsung berinisiatif saja untuk mengusulkan," katanya kepada awak media.
Politikus Partai Amanat Nasional ( PAN) mengaku mendapatkan draf tersebut pada Selasa (6/10) di ruang Baleg DPR. Sehingga, draf yang diterima anggota dewan kemarin adalah draf milik pemerintah.
"Belum, belum ada draf dari DPR, kita sebagai pengusul saja. Yang pasti semua fraksi mendapatkan draf pemerintah yang sempat gagal diajukan itu," pungkasnya.
http://www.merdeka.com/peristiwa/jok...si-uu-kpk.html
Adeknya Mega, Rachmawati, Tuding Megawati Inisiator Revisi UU KPK
Minggu, 11 Oktober 2015 − 07:59 WIB

Ketua Umum (Ketum) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri, (SINDOphoto).
JAKARTA - Salah satu anak Presiden RI pertama Soekarno, Rachmawati Soekarnoputri menuding kakak kandungnya, Megawati Soekarnoputri sebagai inisiator revisi Undang-undang (UU) Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPTPK) atau yang lebh dikenal dengan KPK.
Menurut Rachmawati, revisi UU KPK itu sebagai rangkaian dari upaya pelemahan terhadap lembaga antikorupsi tersebut.
"Yang men-trigger itu kan kasus Budi Gunawan hingga kemudian kriminalisasi pimpinan KPK," kata Rachmawati saat berbincang dengan Sindonews melalui sambungan telepon, Minggu (11/10/2015).
"kan awalnya dari situ, kemudian Polri dengan KPK seperti diadu domba, sekarang ini sebetulnya tidak lepas dari skenario pelemahan KPK," imbuhnya.
Lebih lanjut dia mengatakan, salah satu tujuan lainnya dari revisi UU KPK itu untuk Mempetieskan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Maka itu menurut Rachma, revisi itu untuk mengebiri KPK.
"Kalau boleh saya katakan, aktor intelektualnya (Revisi UU KPK) dari PDIP, dalam hal ini Ketua Umum (Megawati) ya," tuturnya.
Dia juga berpendapat, Revisi UU KPK itu menabrak Ketatapan MPR Nomor 8 Tahun 2002. "Ini bukan dugaan, yang jelas ke sana (Petieskan BLBI). Supaya PDIP, Megawati khususnya itu kasus megakorupsinya, BLBI agar tidak diteruskan," pungkasnya.
http://nasional.sindonews.com/read/1...kpk-1444505536
PDI-P Bisa Dianggap Melahirkan Sekaligus Mematikan KPK
Senin, 8 Februari 2016 | 17:20 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com — Presiden Joko Widodo dan PDI Perjuangan sebagai partai pengusungnya disarankan untuk berhati-hati terhadap rencana revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.
Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Ikrar Nusa Bakti, mengatakan, poin-poin dalam draf revisi UU KPK yang dinilai oleh publik dapat melemahkan KPK bisa saja semakin menurunkan kepercayaan publik terhadap Jokowi dan PDI-P.
Jika poin-poin revisi itu disetujui, citra PDI-P sebagai partai pemenang pemilu dapat tercoreng di mata publik.
"Kalau tekanan revisi UU KPK terus terjadi, bukan mustahil PDI-P akan dipersepsikan partai yang melahirkan dan mematikan KPK," ujar Ikrar dalam pemaparan hasil survei Indikator Politik Indonesia di Cikini, Jakarta Pusat, Senin (8/2/2016).
Menurut Ikrar, tidak ada satu pun dari poin-poin revisi UU KPK yang beredar di masyarakat, yang tidak melemahkan KPK. Revisi UU KPK justru menghilangkan independensi KPK sebagai lembaga khusus dalam bidang pemberantasan korupsi.
KPK didirikan pada 2002 oleh Presiden Megawati Soekarnoputri sekaligus Ketua Umum DPP PDI-P. Kini, PDI-P menjadi salah satu partai pendorong dilakukannya revisi UU KPK.
Berdasarkan hasil survei Indikator Politik Indonesia, tingkat kepercayaan publik terhadap partai politik menurun dalam setahun terakhir. Tingkat kepercayaan publik turun dari 50,1 persen pada Januari 2015 menjadi 39,2 persen pada Januari 2016.
Peneliti Indikator, Hendro Prasetyo, mengatakan, penurunan tersebut salah satunya dipengaruhi oleh wacana revisi UU KPK yang dianggap tidak sesuai dengan semangat pemberantasan korupsi.
http://nasional.kompas.com/read/2016....Mematikan.KPK
Revisi UU KPK, Gerakan Besar Pelumpuhan
Senin, 8 Februari 2016 | 12:32 WIB
Berkali-kali Gagal, Anggota DPR Tak Kapok Juga Revisi UU KPK Tanpa Naskah Akademik, Revisi UU KPK Cacat Hukum Gerindra: Siapa yang Jamin Revisi UU KPK Tidak Merambat ke Mana-mana? Abdullah Hehamahua: Presiden Jokowi Tidak Konsisten "Revisi UU KPK Tidak Ditarik, Saya Akan Kampanye Jangan Pilih Jokowi Lagi!"
JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti hukum dari Indonesian Legal Roundtable, Erwin Natosmal Oemar, merasa pesimis jika perubahan UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mampu mengatasi fenomena vonis koruptor yang semakin ringan.
Erwin mengatakan bahwa dirinya tidak melihat adanya upaya menyinkronkan antara alasan pemerintah terkait penguatan KPK dengan usulan perubahan UU yang muncul di DPR.
"Seperti kita tahu tiga tahun belakangan ini muncul fenomena vonis ringan terhadap koruptor. Saya tidak melihat adanya sinkronisasi dengan pemberian efek jera melalui perubahan itu. Saya malah meyakini, pasca revisi, akan lebih menurun vonisnya," ujar Erwin ketika dihubungi Kompas.com, Senin (8/2/2016).
Menurut Erwin, perubahan UU KPK menunjukkan adanya gerakan besar untuk melumpuhkan KPK. Eksistensi KPK sebagai lembaga pemberantasan korupsi ingin dihilangkan.
"Ada gerakan besar untuk melumpuhkan KPK, mereka paham kekuatan KPK ini dilindungi undang-undang, maka UU tersebut berusaha untuk direvisi. Saya tidak yakin dengan argumentasi penguatan KPK melalui revisi itu memiliki dasar dan landasan yang kuat. Kemarin baru ada 4 poin perubahan, sekarang berkembang menjadi 13 poin turunan," katanya.
Sebelumnya diberitakan, berdasarkan penelusuran Indonesia Corruption Watch, sejak tahun 2013 hingga 2015, terdakwa korupsi yang divonis ringan semakin banyak. "
Pada 2015, dominan hukuman untuk koruptor masuk kategori ringan, yaitu 1-4 tahun, sebanyak 401 terdakwa," ujar peneliti ICW Aradila Caesar di kantor ICW, Jakarta, Minggu (7/2/2016).
Arad mengatakan, rata-rata putusan pidana yang dijatuhkan terhadap terpidana korupsi sebesar 2 tahun 2 bulan untuk tahun 2015. Sementara untuk tahun 2014, rata-rata vonis hakim sebesar 2 tahun 8 bulan.
Pada tahun 2014, terdakwa yang divonis berat dengan hukuman di atas 10 tahun sebanyak 56 orang. Kemudian pada 2015 menurun drastis menjadi 3 orang.
http://nasional.kompas.com/read/2016...sar.Pelumpuhan
----------------------------

Logika politiknya sederhana sekali kok, kenapa KPK yad harus di-'anak-kucing'-kan dan harus di 'bonsai" ... agar dia tidak cukup kuat dan perkasa seperti zaman SBY dulu kelak di kemudian hari. Sebuah lembaga KPK yang terlalu kuat di masa depan, bisa menjadi ancaman bagi elit PDIP dan penguasa di rezim sekarang, bila mereka sudah lengser dari kekuasaan nanti ... kemungkinan mulai tahun 2019 yad, yang tertinggal 3 tahun lagi. Sekaranglah saat terbaik untuk memperlemah KPK itu, atau terlambat sama sekali. Jadi ini seperti sebuah pilihan strategis bagi rezim yang berkuasa saat ini.

Diubah oleh ts4l4sa 09-02-2016 07:36
0
3.3K
26


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan