- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Arus LGBT Masuk Kampus


TS
namini
Arus LGBT Masuk Kampus
Quote:
Quote:
Arus LGBT Masuk Kampus

Jakarta, GATRAnews - Oriel Lesmana dan Stanley Osyaviva asyik menyeruput teh dingin di gerai minuman sebuah mal di Semarang, tengah hari, Selasa lalu. Di dada mereka tersemat bros Rumah Pelangi Indonesia (RPI) dengan logo warna pelangi. Oriel, 31 tahun, pendiri RPI, dan Stanley, 22 tahun, ketuanya kini.
Terbentuk pada 17 Mei 2009, RPI menjadi grup pendukung, pendampingan, penyedia informasi, dan shelter bagi komunitas Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT).
Pengurus RPI 11 orang. Jika "kopi darat", bisa sampai 50 orang. Oriel dan Stanley seorang gay. Di akun Facebook, pendukung komunitas ini 7.000-an orang. Beda dengan komunitas LGBT lain di Semarang, RPI khusus anak muda usia 15-25 tahun.
Mereka rutin ketemu tiap bulan. Februari ini, dalam momen Valentine, ada agenda charity. Minggu, 7 Februari ini, ada kampanye LGBT di car-free day Semarang. Akhir Februari ini, meski belum final, direncanakan diskusi LGBT di lembaga penerbitan mahasiswa hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang.
''Kami fokus ke yang muda. Konsepnya youth movement,'' ujar Stanley, mahasiswa angkatan 2015, jurusan komunikasi, Universitas Semarang (USM). Oriel menegaskan, lembaganya tidak mengajak jadi LGBT.
''Jika memaksa jadi LGBT, malah bisa depresi,'' Stanley menjelaskan. Peserta konseling diberi pandangan dua sisi. Masing-masing ada konsekuensinya.
Persentase peserta yang memilih jadi LGBT dan tidak, kata Oriel, fifty-fifty. Selama RPI menggelar konseling, kata Oriel, hanya satu orang yang mundur dari komunitas dan menjalani terapi secara agama. ''Tapi dia masih nyumbang acara kami,'' ujar dia.
Meski bukan komunitas kampus, mereka berjejaring dengan mahasiswa. RPI diundang mahasiswa untuk kegiatan akademik. Misal, untuk mata kuliah psikologi abnormal atau bahasan hukum dan HAM untuk kalangan LGBT. Hampir semua kampus di Semarang pernah menggelar diskusi atau kuliah yang melibatkan LGBT.
Nyaris tiap kampus ada semacam SGRC (support group & research center) untuk LGBT, namun tidak menggunakan nama perguruan tinggi. Istilahnya, peer education, pendidikan sebaya. Untuk Semarang, kata Oriel, ajang ini ada di Universitas Diponegoro (Undip), Universitas Negeri Semarang (Unnes), USM, Universitas Katolik Soegijapranata, bahkan UIN Walisongo menerbitkan jurnal tentang pernikahan sesama jenis.
Pada 2005 pernah terbit buku "Indahnya kimpoi Sesama Jenis: Demokratisasi dan Perlidungan Hak-Hak Kaum Homoseksual" oleh Lembaga Studi Sosial dan Agama, Semarang. Buku ini kumpulan artikel di jurnal Justisia Fakultas Syariah IAIN Semarang. Mahasiswa LGBT menggelar forum diskusi tanpa nama. Oriel mengakui, dibandingkan dengan 10 tahun silam, ajang diskusi LGBT saat ini cenderung meningkat.
Tolak Versus Dukung LGBT
Geliat gerakan LGBT di kampus belakangan tengah dalam sorotan. Menteri Riset dan Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristek Dikti) M. Nasir pada situs berita detik.com, 24 Januari, menyatakan, LGBT tidak sesuai tatanan nilai dan kesusilaan bangsa Indonesia. ''Saya melarang di semua perguruan tinggi di Indonesia yang di bawah Kemenristek Dikti,'' kata Nasir, yang juga Ketua Lembaga Pendidikan Tinggi Nahdlatul Ulama.
Larangan Nasir itu menyusul peredaran kabar aksi SGRC untuk konseling LGBT di Universitas Indonesia (UI) dan pembentukan SGRC di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam brosur yang beredar, termasuk lewat jaringan media sosial, SGRC UI memberikan layanan LGBT peer support network.
Bekerja sama dengan situs Melela.org, SGRC UI menyediakan konseling. Ditampilkan penggalan testimoni dan foto dua mahasiswa FISIP UI dan dua alumni (Jurusan Sastra Prancis dan Manajemen) yang berorientasi seksual LGBT.
''Saya selalu berdoa kepada Tuhan agar saya 'disembuhkan' dari ketertarikan yang sempat saya pahami sebagai dosa besar ini,'' tulis Tegar Ramadhan, lulusan Sastra Prancis UI 2016 pada brosur SGRC UI yang bisa diakses di situs Melela.org. Setelah menerima informasi seksualitas, ''Saya mulai bisa menerima fitrah diri saya yang tidak sama dengan orang lain,'' Tegar melanjutkan.
Beredar pula undangan lama, peluncuran SGRC UIN, pada Kamis, 22 Oktober 2015, di Aula Gedung FISIP UIN Jakarta. Acara itu diadakan serentak dalam rangkaian Liberty Movie Discussion Emak dari Jambi. Beredar sertifikat ucapan terima kasih dari Liberty Studies kepada SGRC UI atas kerja sama pembentukan dan peluncuran SGRC UIN Jakarta, yang diteken Ketua Liberty Studies, Fadly Noor M. Azizi, mahasiswa ilmu politik FISIP UIN Jakarta.
Humas UI merilis klarifikasi, 21 Januari lalu, bahwa SGRC UI tidak berhak menggunakan nama dan logo UI dalam aktivitasnya. UI tidak bertanggung jawab atas kegiatan SGRC. Dinyatakan, SGRC tak pernah mengajukan izin kegiatan. SGRC tidak memiliki izin resmi sebagai pusat studi atau unit kegiatan mahasiswa di UI.
Atas peluncuran SGRC UIN Jakarta, muncul salah satu komentar di media sosial, ''Sekalian pengumuman ya! SGRC hadir di UIN! SGRC UIN! Universitas Islam Negeri! How Cool is That!''
Wakil Dekan Bidang Akademik UIN Jakarta, Agus Nugraha, pada tanggal yang sama dengan rilis humas UI, 21 Januari lalu, mengeluarkan pemberitahuan. ''FISIP menolak dan melarang keras seluruh kegiatan SGRC dan jenisnya di kampus FISIP UIN Jakarta,'' tulis Agus.
Respons atas peredaran kabar itulah, Menristek Dikti menyampaikan larangan lisan. Esoknya, 25 Januari lalu, Nasir memberikan klarifikasi lewat akun Twitter-nya. Ia tidak melarang segala bentuk kegiatan terkait LGBT. ''Kampus terbuka lebar untuk segala kajian, edukasi yang bertujuan membangun kerangka keilmuan,'' kata Ketua Nasir.
''Larangan saya terhadap LGBT masuk kampus apabila mereka melakukan tindakan yang kurang terpuji seperti bercinta, atau pamer kemesraan di kampus.'' Nasir menambahkan, ''Mau menjadi lesbian atau gay itu hak masing-masing individu, asal tidak mengganggu kondusivitas akademik.''
Pernyataan Menristek Dikti didukung Ketua MPR Zulkifli Hasan dan Mendikbud Anies Baswedan serta sejumlah pejabat publik lain. Rekasi kontra bermunculan. Komunitas LGBT menggelar gugatan terbuka dalam konferensi pers di LBH Jakarta pada Rabu, 27 Januari lalu.
"Kami meminta Presiden RI Joko Widodo menindak tegas Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Menteri Pendidikan, Wali Kota Bandung, dan beberapa anggota DPR yang memuat rasa kebencian kepada LGBT," ujar Slamet Rahardjo, Koordinator Divisi Advokasi Gaya Warna Lentera Indonesia (GWL-INA), di Gedung LBH Jakarta, Rabu, 27 Januari lalu.
Petisi pro-kontra online juga muncul. Di situs change.org muncul petisi agar Menristek Dikti ''Cabut Pernyataan LGBT merusak moral bangsa & pelarangan Masuk Kampus'' sejak 25 Januari.
Sampai Rabu pekan ini didukung 1.900-an orang. Pada situs itu, 25 Januari juga muncul petisi pro Menteri Nasir, tapi hanya sehari, petisi itu dihilangkan. Yang tersisa petisi kontra Nasir.
Petisi tandingan muncul di situs petisionline.net, ''Tolak LGBT: Dukung dan Lindungi 7 Pejabat Negara'', sejak 30 Januari lalu. Sampai Rabu pagi pekan ini, dalam lima hari, petisi itu didukung 3.800-an.
Tujuh pejabat itu adalah Menristek Dikti, Ketua MPR, Mendikbud, Wali Kota Bandung Ridwan Kamil, anggota Fraksi PPP Reni Marlinawati, anggota Fraksi PKS Nasir Jamil dan komisionir KPAI, Erlinda.
Apa Kata Mahasiswa Aktivis LGBT
Fadly Noor M. Azizi, 23 tahun, salah satu founder SGRC UIN Jakarta, membenarkan kelompok diskusinya mendukung hak-hak sipil kaum LGBT. ''Mereka minoritas yang tertindas. Apalagi, di tengah masyarakat yang belum mengerti LGBT,'' tuturnya.
''Kita nggak akan memberikan stigma LGBT itu nggak dosa, itu di luar kita. Kita bukan MUI. Tapi kita peduli dan concern terhadap masalah kemanusiaannya,'' kata mahasiswa Jurusan Ilmu Politik UIN Jakarta ini.
Rekan Fadly dari UI, Nadya Karima Melati, 21 tahun, Co-Founder SGRC UI, menyebut organisasinya fokus pada seksualitas dan gender. Berdiri pada 2014, SGRC UI punya tiga program: edukasi internal, edukasi eksternal, dan advokasi. Kini anggotanya lebih 223 orang.
Bila ada orang yang butuh pendampingan mengenai orientasi seksual. ''Mereka datang, curhat, kita arahkan ke psikolog,'' kata Nadya kepada Andi Anggana dari GATRA.
''Sebagai mahasiswa yang katanya agent of change, kita harus memberikan suara kepada orang-orang yang tidak bersuara seperti mereka,'' kata Nadya. SGRC, menurutnya, fokus pada pengkajian. Bukan gerakan pembelaan. ''SGRC, mungkin kelompok mahasiswa yang berani menyuarakan, bagaimana sih kehidupan seksual atau minoritas gender di Indonesia,'' ujar mahasiswa sejarah UI ini.
Oriel, pendiri RPI Semarang, merasakan, pernyataan Menristek Dikti berdampak pada surutnya diskusi LGBT di kampus. Mereka belum mau diajak menggelar acara. Masalah utama LGBT dari kampus, termasuk untuk coming out (menyatakan diri) adalah takut pada akses pendidikan.
Sebelum pernyataan Menristek Dikti, yang mantan rektor Undip, Rektor Undip saat ini, Yos Johan Utama, berpesan pada mahasiswa yang hendak KKN agar tidak menyebarkan LGBT. ''LGBT kan kelompoke wong sing ora payu to kuwi (kelompoknya orang yang tak laku)?,'' katanya, Senin, 18 Januari lalu.
''Ini aneh, entah kebetulan atau tidak'' kata Oriel. November 2015 lalu, diskusi LGBT oleh Lembaga Pers Mahasiswa Gema Keadilan Fakultas Hukum Undip dilarang pimpinan universitas.
Oriel menyangkal asumsi kehidupan kampus memicu atau jadi sarana penyebaran LGBT. Umumnya LGBT merasa dirinya demikian sejak kecil. Stanley mengingat indikasi gay sejak usia 5 tahun. Anak tunggal ini tinggal bersama ibunya. Karena terbuka di akun medsos, ketika SMA, ia pernah di-bully guru dan kepala sekolah. ''Disebut, mau jadi banci kaleng ya?''
Oriel anak kedua dari empat bersaudara. Ia menyatakan diri gay tahun 2005 ketika kuliah Jurusan Komunikasi USM. Ayah Oriel PNS dan takmir masjid. Tidak ada penolakan dari keluarga. ''Keluarga kami terbiasa berdiskusi.'' Oriel telah tinggal satu rumah dengan pasangannya. Rumah itu dijadikan markas RPI....

Jakarta, GATRAnews - Oriel Lesmana dan Stanley Osyaviva asyik menyeruput teh dingin di gerai minuman sebuah mal di Semarang, tengah hari, Selasa lalu. Di dada mereka tersemat bros Rumah Pelangi Indonesia (RPI) dengan logo warna pelangi. Oriel, 31 tahun, pendiri RPI, dan Stanley, 22 tahun, ketuanya kini.
Terbentuk pada 17 Mei 2009, RPI menjadi grup pendukung, pendampingan, penyedia informasi, dan shelter bagi komunitas Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT).
Pengurus RPI 11 orang. Jika "kopi darat", bisa sampai 50 orang. Oriel dan Stanley seorang gay. Di akun Facebook, pendukung komunitas ini 7.000-an orang. Beda dengan komunitas LGBT lain di Semarang, RPI khusus anak muda usia 15-25 tahun.
Mereka rutin ketemu tiap bulan. Februari ini, dalam momen Valentine, ada agenda charity. Minggu, 7 Februari ini, ada kampanye LGBT di car-free day Semarang. Akhir Februari ini, meski belum final, direncanakan diskusi LGBT di lembaga penerbitan mahasiswa hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang.
''Kami fokus ke yang muda. Konsepnya youth movement,'' ujar Stanley, mahasiswa angkatan 2015, jurusan komunikasi, Universitas Semarang (USM). Oriel menegaskan, lembaganya tidak mengajak jadi LGBT.
''Jika memaksa jadi LGBT, malah bisa depresi,'' Stanley menjelaskan. Peserta konseling diberi pandangan dua sisi. Masing-masing ada konsekuensinya.
Persentase peserta yang memilih jadi LGBT dan tidak, kata Oriel, fifty-fifty. Selama RPI menggelar konseling, kata Oriel, hanya satu orang yang mundur dari komunitas dan menjalani terapi secara agama. ''Tapi dia masih nyumbang acara kami,'' ujar dia.
Meski bukan komunitas kampus, mereka berjejaring dengan mahasiswa. RPI diundang mahasiswa untuk kegiatan akademik. Misal, untuk mata kuliah psikologi abnormal atau bahasan hukum dan HAM untuk kalangan LGBT. Hampir semua kampus di Semarang pernah menggelar diskusi atau kuliah yang melibatkan LGBT.
Nyaris tiap kampus ada semacam SGRC (support group & research center) untuk LGBT, namun tidak menggunakan nama perguruan tinggi. Istilahnya, peer education, pendidikan sebaya. Untuk Semarang, kata Oriel, ajang ini ada di Universitas Diponegoro (Undip), Universitas Negeri Semarang (Unnes), USM, Universitas Katolik Soegijapranata, bahkan UIN Walisongo menerbitkan jurnal tentang pernikahan sesama jenis.
Pada 2005 pernah terbit buku "Indahnya kimpoi Sesama Jenis: Demokratisasi dan Perlidungan Hak-Hak Kaum Homoseksual" oleh Lembaga Studi Sosial dan Agama, Semarang. Buku ini kumpulan artikel di jurnal Justisia Fakultas Syariah IAIN Semarang. Mahasiswa LGBT menggelar forum diskusi tanpa nama. Oriel mengakui, dibandingkan dengan 10 tahun silam, ajang diskusi LGBT saat ini cenderung meningkat.
Tolak Versus Dukung LGBT
Geliat gerakan LGBT di kampus belakangan tengah dalam sorotan. Menteri Riset dan Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristek Dikti) M. Nasir pada situs berita detik.com, 24 Januari, menyatakan, LGBT tidak sesuai tatanan nilai dan kesusilaan bangsa Indonesia. ''Saya melarang di semua perguruan tinggi di Indonesia yang di bawah Kemenristek Dikti,'' kata Nasir, yang juga Ketua Lembaga Pendidikan Tinggi Nahdlatul Ulama.
Larangan Nasir itu menyusul peredaran kabar aksi SGRC untuk konseling LGBT di Universitas Indonesia (UI) dan pembentukan SGRC di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam brosur yang beredar, termasuk lewat jaringan media sosial, SGRC UI memberikan layanan LGBT peer support network.
Bekerja sama dengan situs Melela.org, SGRC UI menyediakan konseling. Ditampilkan penggalan testimoni dan foto dua mahasiswa FISIP UI dan dua alumni (Jurusan Sastra Prancis dan Manajemen) yang berorientasi seksual LGBT.
''Saya selalu berdoa kepada Tuhan agar saya 'disembuhkan' dari ketertarikan yang sempat saya pahami sebagai dosa besar ini,'' tulis Tegar Ramadhan, lulusan Sastra Prancis UI 2016 pada brosur SGRC UI yang bisa diakses di situs Melela.org. Setelah menerima informasi seksualitas, ''Saya mulai bisa menerima fitrah diri saya yang tidak sama dengan orang lain,'' Tegar melanjutkan.
Beredar pula undangan lama, peluncuran SGRC UIN, pada Kamis, 22 Oktober 2015, di Aula Gedung FISIP UIN Jakarta. Acara itu diadakan serentak dalam rangkaian Liberty Movie Discussion Emak dari Jambi. Beredar sertifikat ucapan terima kasih dari Liberty Studies kepada SGRC UI atas kerja sama pembentukan dan peluncuran SGRC UIN Jakarta, yang diteken Ketua Liberty Studies, Fadly Noor M. Azizi, mahasiswa ilmu politik FISIP UIN Jakarta.
Humas UI merilis klarifikasi, 21 Januari lalu, bahwa SGRC UI tidak berhak menggunakan nama dan logo UI dalam aktivitasnya. UI tidak bertanggung jawab atas kegiatan SGRC. Dinyatakan, SGRC tak pernah mengajukan izin kegiatan. SGRC tidak memiliki izin resmi sebagai pusat studi atau unit kegiatan mahasiswa di UI.
Atas peluncuran SGRC UIN Jakarta, muncul salah satu komentar di media sosial, ''Sekalian pengumuman ya! SGRC hadir di UIN! SGRC UIN! Universitas Islam Negeri! How Cool is That!''
Wakil Dekan Bidang Akademik UIN Jakarta, Agus Nugraha, pada tanggal yang sama dengan rilis humas UI, 21 Januari lalu, mengeluarkan pemberitahuan. ''FISIP menolak dan melarang keras seluruh kegiatan SGRC dan jenisnya di kampus FISIP UIN Jakarta,'' tulis Agus.
Respons atas peredaran kabar itulah, Menristek Dikti menyampaikan larangan lisan. Esoknya, 25 Januari lalu, Nasir memberikan klarifikasi lewat akun Twitter-nya. Ia tidak melarang segala bentuk kegiatan terkait LGBT. ''Kampus terbuka lebar untuk segala kajian, edukasi yang bertujuan membangun kerangka keilmuan,'' kata Ketua Nasir.
''Larangan saya terhadap LGBT masuk kampus apabila mereka melakukan tindakan yang kurang terpuji seperti bercinta, atau pamer kemesraan di kampus.'' Nasir menambahkan, ''Mau menjadi lesbian atau gay itu hak masing-masing individu, asal tidak mengganggu kondusivitas akademik.''
Pernyataan Menristek Dikti didukung Ketua MPR Zulkifli Hasan dan Mendikbud Anies Baswedan serta sejumlah pejabat publik lain. Rekasi kontra bermunculan. Komunitas LGBT menggelar gugatan terbuka dalam konferensi pers di LBH Jakarta pada Rabu, 27 Januari lalu.
"Kami meminta Presiden RI Joko Widodo menindak tegas Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Menteri Pendidikan, Wali Kota Bandung, dan beberapa anggota DPR yang memuat rasa kebencian kepada LGBT," ujar Slamet Rahardjo, Koordinator Divisi Advokasi Gaya Warna Lentera Indonesia (GWL-INA), di Gedung LBH Jakarta, Rabu, 27 Januari lalu.
Petisi pro-kontra online juga muncul. Di situs change.org muncul petisi agar Menristek Dikti ''Cabut Pernyataan LGBT merusak moral bangsa & pelarangan Masuk Kampus'' sejak 25 Januari.
Sampai Rabu pekan ini didukung 1.900-an orang. Pada situs itu, 25 Januari juga muncul petisi pro Menteri Nasir, tapi hanya sehari, petisi itu dihilangkan. Yang tersisa petisi kontra Nasir.
Petisi tandingan muncul di situs petisionline.net, ''Tolak LGBT: Dukung dan Lindungi 7 Pejabat Negara'', sejak 30 Januari lalu. Sampai Rabu pagi pekan ini, dalam lima hari, petisi itu didukung 3.800-an.
Tujuh pejabat itu adalah Menristek Dikti, Ketua MPR, Mendikbud, Wali Kota Bandung Ridwan Kamil, anggota Fraksi PPP Reni Marlinawati, anggota Fraksi PKS Nasir Jamil dan komisionir KPAI, Erlinda.
Apa Kata Mahasiswa Aktivis LGBT
Fadly Noor M. Azizi, 23 tahun, salah satu founder SGRC UIN Jakarta, membenarkan kelompok diskusinya mendukung hak-hak sipil kaum LGBT. ''Mereka minoritas yang tertindas. Apalagi, di tengah masyarakat yang belum mengerti LGBT,'' tuturnya.
''Kita nggak akan memberikan stigma LGBT itu nggak dosa, itu di luar kita. Kita bukan MUI. Tapi kita peduli dan concern terhadap masalah kemanusiaannya,'' kata mahasiswa Jurusan Ilmu Politik UIN Jakarta ini.
Rekan Fadly dari UI, Nadya Karima Melati, 21 tahun, Co-Founder SGRC UI, menyebut organisasinya fokus pada seksualitas dan gender. Berdiri pada 2014, SGRC UI punya tiga program: edukasi internal, edukasi eksternal, dan advokasi. Kini anggotanya lebih 223 orang.
Bila ada orang yang butuh pendampingan mengenai orientasi seksual. ''Mereka datang, curhat, kita arahkan ke psikolog,'' kata Nadya kepada Andi Anggana dari GATRA.
''Sebagai mahasiswa yang katanya agent of change, kita harus memberikan suara kepada orang-orang yang tidak bersuara seperti mereka,'' kata Nadya. SGRC, menurutnya, fokus pada pengkajian. Bukan gerakan pembelaan. ''SGRC, mungkin kelompok mahasiswa yang berani menyuarakan, bagaimana sih kehidupan seksual atau minoritas gender di Indonesia,'' ujar mahasiswa sejarah UI ini.
Oriel, pendiri RPI Semarang, merasakan, pernyataan Menristek Dikti berdampak pada surutnya diskusi LGBT di kampus. Mereka belum mau diajak menggelar acara. Masalah utama LGBT dari kampus, termasuk untuk coming out (menyatakan diri) adalah takut pada akses pendidikan.
Sebelum pernyataan Menristek Dikti, yang mantan rektor Undip, Rektor Undip saat ini, Yos Johan Utama, berpesan pada mahasiswa yang hendak KKN agar tidak menyebarkan LGBT. ''LGBT kan kelompoke wong sing ora payu to kuwi (kelompoknya orang yang tak laku)?,'' katanya, Senin, 18 Januari lalu.
''Ini aneh, entah kebetulan atau tidak'' kata Oriel. November 2015 lalu, diskusi LGBT oleh Lembaga Pers Mahasiswa Gema Keadilan Fakultas Hukum Undip dilarang pimpinan universitas.
Oriel menyangkal asumsi kehidupan kampus memicu atau jadi sarana penyebaran LGBT. Umumnya LGBT merasa dirinya demikian sejak kecil. Stanley mengingat indikasi gay sejak usia 5 tahun. Anak tunggal ini tinggal bersama ibunya. Karena terbuka di akun medsos, ketika SMA, ia pernah di-bully guru dan kepala sekolah. ''Disebut, mau jadi banci kaleng ya?''
Oriel anak kedua dari empat bersaudara. Ia menyatakan diri gay tahun 2005 ketika kuliah Jurusan Komunikasi USM. Ayah Oriel PNS dan takmir masjid. Tidak ada penolakan dari keluarga. ''Keluarga kami terbiasa berdiskusi.'' Oriel telah tinggal satu rumah dengan pasangannya. Rumah itu dijadikan markas RPI....
Quote:
Adriano Rusfi: Gerakan LGBT Jadi Sekte Seksual
Jakarta, GATRAnews - Adriano Rusfi, psikolog yang menempuh pendidikan di UI, menulis dalam akun Facebook-nya, ''LGBT: Sebuah Gerakan Penularan''. Tulisan itu dibagi ulang 594 kali, mendapat like 626 dan mendapat komentar kurang-lebih 162. Ia mengaku memiliki 49 saksi dari empat perguruan tinggi dan tiga saksi mantan gay dari satu perguruan tinggi.
Ia mengumpulkan banyak kesaksian di kampus-kampus tentang mahasiswa-mahasiswa normal yang dipenetrasi secara massif agar terlibat dalam LGBT dan tak bisa keluar lagi. Perilaku mereka seperti sekte, kultus atau gerakan eksklusif lainnya: fanatik, eksklusif, penetratif, dan indoktrinatif. ''Ya, ini berkembang menjadi sebuah sekte seksual,'' tulis Adriano.
Target mereka mendorong pranata hukum agar eksistensi mereka sah secara legal. Untuk itu, kata Adriano, mereka membutuhkan beberapa prasyarat.
Pertama, jumlah mereka harus signifikan secara statistik.
Kedua, keberadaan mereka memenuhi persyaratan populatif, sehingga layak disebut sebagai sebuah komunitas.
Ketiga, perilaku mereka telah diterima secara normatif menurut persyaratan kesehatan mental dari WHO.
Untuk memenuhi tiga hal ini, organisasi ini harus menularkan kepada lingkungan. ''Mereka sadar, pertumbuhan jumlah mereka hanya bisa dilakukan lewat penularan, mengingat mereka tak mungkin tumbuh lewat keturunan. Mereka sadar, tanpa penularan mereka akan punah!'' tulis Adriano.
Di kampus, kata Adriano, mereka menyasar dua: mahasiswa dan institusi akademik. Mahasiswa adalah generasi galau identitas dengan kebebasan tinggi dan tinggal di banyak tempat indekos. Sedangkan institusi akademik mereka butuhkan untuk menguatkan legitimasi ilmiah atas ''kenormalan'' mereka. ''Mereka bergerilya secara efektif, dengan dukungan payung HAM dan institusi internasional,'' Adriano menambahkan.
Dosen psikologi UIN Jakarta, Ilmi Amalia mencermati, gerakan pro-LGBT kini cukup kuat terstrukur dan terorganisasi. Komunitas LGBT saat ini lebih mudah ditemukan. Ia kaget menemukan gerakan ini masuk ke kampus-kampus.
''Saya kira saya berhadapan dengan orang per orang, ternyata ini gerakan yang rapi, sistematis sangat terstrukur. Mereka masuk kampus dengan cara luar biasa,'' katanya.
Seorang dosen sebuah perguruan tinggi negeri di Surabaya, aktivis pembela hak-hak komunitas LGBT, yang menolak disebut namanya menyangkal ada gerakan LGBT di kampus. ''Yang ada itu gay atau lesbi yang berada di dalam kampus, baik menjadi dosen atau mahasiswa,'' katanya. Sebagian besar gay dan lesbian tidak diketahui, kecuali mereka menyatakan. Seperti Dede Oetomo, dosen Universitas Airlangga, Surabaya.
Bahwa gay itu melembek atau orang lesbi maco, kata dia, belum pasti. Berbeda dengan transgender atau waria. Semua orang pasti tahu siapa mereka. ''Khusus yang transgender, sejak awal mereka sudah termarginalkan,'' tuturnya. ''Baik di wilayah pendidikan, pekerjaan, dan sebagainya.''
Dalam pengamatannya, terutama gay dan lesbi, mereka membangun gerakan tidak di dalam kampus, meskipun mereka berasal dari kampus. Di Surabaya setidaknya ada dua lembaga resmi: Gaya Nusantara dan Perwakos. Gaya Nusantara lebih banyak gay. Perwakos lebih pada kelompok Waria.
Komunitas yang didirikan LGBT selama ini sebagai komunitas pertemanan karena ruang publik selama ini tidak menerima keberadaan mereka. Tujuannya jadi ruang pertemanan yang nyaman. Kondisi ini tidak boleh dipandang ekslusif. ''Karena mereka selama ini tersingkir dari ruang-ruang publik, mereka membuat komunitas tersendiri yang nyaman,'' katanya.
Forum itu juga sebagai ruang pendidikan sebaya. Saling memberi informasi tentang kesehatan seksual. Karena hubungan seks sesama jenis untuk gay berisiko tinggi. ''Kalau ada yang terinfeksi HIV, mereka saling memberikan dukungan dan ke mana harus berobat,'' tuturnya.
LGBT di kampus sebagai wacana sudah sangat biasa diperbincangkan. Bahkan beberapa kampus menjadikannya bahan kajian akademik. ''Baik oleh mahasiswa atau lembaga penelitian seperti pusat studi gender dan sebagainya,'' ia menegaskan.
Diskusi LGBT sama halnya dengan diskusi aliran kiri yang secara politis dilarang pemerintah, tapi hidup sebagai kajian akademik. ''Perbincangan LGBT biasanya lewat isu gender dan seksualitas,'' katanya. Mereka yang memperbincangkan ini bukan berarti mereka gay atau lesbi atau waria.
Di Jawa Timur, ia paham persis, jumlah LGBT banyak sekali. Gay dan lesbian ada di semua lapisan masyarakat, mulai kalangan terdidik, terkenal, hingga tukang sayur. Ia pernah menemukan pria dari Madura, hidup di lingkunganya santri, memiliki orientasi seksual suka sesama jenis. ''Padahal dia punya istri dan anak,'' tuturnya.
Pro Kontra Penyembuhan LGBT
Psikolog klinis UI, Bona Sardo, menjelaskan tak sedikit kliennya bertanya, apakah kecenderungan orientasi jenis ini bisa disembuhkan. "Dari berbagai riset yang saya baca dan penelitian soal ini, belum pernah ada teknik terapi yang berhasil seratus persen mengubah orientasi seksual," katanya.
Bona mengaku, selama menjadi psikolog, tak pernah sukses menangani klien yang ingin berubah orientasi seksual dari LGBT menjadi heteroseksual seratus persen. Bagi Bona, LGBT tidak menular.
LGBT mengalami fase psikologis cukup sulit hingga dapat menerima dirinya secara utuh. Awalnya mereka menyangkal (denial), kemudian marah (anger), lalu mulai tawar-menawar (bargaining) kepada Tuhan hingga lingkungan, setelahnya mungkin mengalami fase depresi (depression), dan terakhir jika bisa melewati fase ini, ia belajar menerima (acceptance) kondisi.
"Biasanya fase ini diiringi dengan coming out (pengakuan)," katanya kepada Putri Kartika Utami dari GATRA.
Bagi Bona, universitas bisa dijadikan sebagai wadah berkembangnya berbagai kajian soal LGBT, tapi universitas tidak memberikan legalitas. Komunitas seperti SGRC, kata Bona, butuh psikolog klinis yang mendampingi jika ingin memberikan konseling. UI tidak ingin memberikan edukasi yang keliru. Ia kurang cocok dengan model isi brosur SGRC UI. "Kok testimoninya gitu, sih? Kesannya mengajak. Jangan sampai itu disalahartikan," kata Bona.
Brosur SGRC menampilkan testimoni plus foto, identitas nama dan fakultas, serta kata-kata persuasif. Pencantuman konseling dinilai kurang pas. Sebab, kata Bona, menjadi konselor, seorang psikolog butuh sertifikasi.
''Jangan membuat gerakan yang gegabah dan tidak matang sehingga menimbulkan keresahan di masyarakat,'' katanya.
Lebih optimistis dibandingkan dengan Bona, Ilmi Ilmiati mengatakan LGBT bisa "disembuhkan". Robert L. Spitzer pada 2003 memublikasikan hasil penelitiannya yang menunjukkan keberhasilan perubahan orientasi seksual yang sukses dilakukan terhadap 200 orang. Namun, ia menarik hasil kerjanya karena mendapat tekanan.
Agar berhasil menjadi heteroseksual, kata Ilmi, orang harus punya motivasi kuat. Tidak cukup itu, ia harus mencari lingkungan baru serta disiplin dalam mengendalikan dorongan orientasi seksualnya. Ilmi menjelaskan, jenis terapinya hanya pendampingan ke arah konseling.
Tidak perlu obat. Untuk konteks Indonesia, nilai agama punya peran penting, pendekatan terapi umumnya menggunakan dalil agama. Itu pula temuan GATRA pada bebersapa mantan LGBT yang diulas dalam bagian ketiga laporan edisi ini.
Penulis buku, LGBT di Indonesia: Perkembangan dan Solusinya, Adian Husaini, merekomendasikan berbagai perguruan tinggi mendirikan bukan hanya pusat kajian, melainkan juga untuk penanggulangan LGBT. Orientasinya pada pemulihan.
Dari berbagai kajiannya di buku itu, ia berkeyakinan, LGBT karena pengaruh lingkungan, bukan kondisi bawaan, bisa menular, dan karena itu, bisa disembuhkan. Ia mendorong masjid-masjid membuka klinik LGBT untuk konseling pemulihan.
Jakarta, GATRAnews - Adriano Rusfi, psikolog yang menempuh pendidikan di UI, menulis dalam akun Facebook-nya, ''LGBT: Sebuah Gerakan Penularan''. Tulisan itu dibagi ulang 594 kali, mendapat like 626 dan mendapat komentar kurang-lebih 162. Ia mengaku memiliki 49 saksi dari empat perguruan tinggi dan tiga saksi mantan gay dari satu perguruan tinggi.
Ia mengumpulkan banyak kesaksian di kampus-kampus tentang mahasiswa-mahasiswa normal yang dipenetrasi secara massif agar terlibat dalam LGBT dan tak bisa keluar lagi. Perilaku mereka seperti sekte, kultus atau gerakan eksklusif lainnya: fanatik, eksklusif, penetratif, dan indoktrinatif. ''Ya, ini berkembang menjadi sebuah sekte seksual,'' tulis Adriano.
Target mereka mendorong pranata hukum agar eksistensi mereka sah secara legal. Untuk itu, kata Adriano, mereka membutuhkan beberapa prasyarat.
Pertama, jumlah mereka harus signifikan secara statistik.
Kedua, keberadaan mereka memenuhi persyaratan populatif, sehingga layak disebut sebagai sebuah komunitas.
Ketiga, perilaku mereka telah diterima secara normatif menurut persyaratan kesehatan mental dari WHO.
Untuk memenuhi tiga hal ini, organisasi ini harus menularkan kepada lingkungan. ''Mereka sadar, pertumbuhan jumlah mereka hanya bisa dilakukan lewat penularan, mengingat mereka tak mungkin tumbuh lewat keturunan. Mereka sadar, tanpa penularan mereka akan punah!'' tulis Adriano.
Di kampus, kata Adriano, mereka menyasar dua: mahasiswa dan institusi akademik. Mahasiswa adalah generasi galau identitas dengan kebebasan tinggi dan tinggal di banyak tempat indekos. Sedangkan institusi akademik mereka butuhkan untuk menguatkan legitimasi ilmiah atas ''kenormalan'' mereka. ''Mereka bergerilya secara efektif, dengan dukungan payung HAM dan institusi internasional,'' Adriano menambahkan.
Dosen psikologi UIN Jakarta, Ilmi Amalia mencermati, gerakan pro-LGBT kini cukup kuat terstrukur dan terorganisasi. Komunitas LGBT saat ini lebih mudah ditemukan. Ia kaget menemukan gerakan ini masuk ke kampus-kampus.
''Saya kira saya berhadapan dengan orang per orang, ternyata ini gerakan yang rapi, sistematis sangat terstrukur. Mereka masuk kampus dengan cara luar biasa,'' katanya.
Seorang dosen sebuah perguruan tinggi negeri di Surabaya, aktivis pembela hak-hak komunitas LGBT, yang menolak disebut namanya menyangkal ada gerakan LGBT di kampus. ''Yang ada itu gay atau lesbi yang berada di dalam kampus, baik menjadi dosen atau mahasiswa,'' katanya. Sebagian besar gay dan lesbian tidak diketahui, kecuali mereka menyatakan. Seperti Dede Oetomo, dosen Universitas Airlangga, Surabaya.
Bahwa gay itu melembek atau orang lesbi maco, kata dia, belum pasti. Berbeda dengan transgender atau waria. Semua orang pasti tahu siapa mereka. ''Khusus yang transgender, sejak awal mereka sudah termarginalkan,'' tuturnya. ''Baik di wilayah pendidikan, pekerjaan, dan sebagainya.''
Dalam pengamatannya, terutama gay dan lesbi, mereka membangun gerakan tidak di dalam kampus, meskipun mereka berasal dari kampus. Di Surabaya setidaknya ada dua lembaga resmi: Gaya Nusantara dan Perwakos. Gaya Nusantara lebih banyak gay. Perwakos lebih pada kelompok Waria.
Komunitas yang didirikan LGBT selama ini sebagai komunitas pertemanan karena ruang publik selama ini tidak menerima keberadaan mereka. Tujuannya jadi ruang pertemanan yang nyaman. Kondisi ini tidak boleh dipandang ekslusif. ''Karena mereka selama ini tersingkir dari ruang-ruang publik, mereka membuat komunitas tersendiri yang nyaman,'' katanya.
Forum itu juga sebagai ruang pendidikan sebaya. Saling memberi informasi tentang kesehatan seksual. Karena hubungan seks sesama jenis untuk gay berisiko tinggi. ''Kalau ada yang terinfeksi HIV, mereka saling memberikan dukungan dan ke mana harus berobat,'' tuturnya.
LGBT di kampus sebagai wacana sudah sangat biasa diperbincangkan. Bahkan beberapa kampus menjadikannya bahan kajian akademik. ''Baik oleh mahasiswa atau lembaga penelitian seperti pusat studi gender dan sebagainya,'' ia menegaskan.
Diskusi LGBT sama halnya dengan diskusi aliran kiri yang secara politis dilarang pemerintah, tapi hidup sebagai kajian akademik. ''Perbincangan LGBT biasanya lewat isu gender dan seksualitas,'' katanya. Mereka yang memperbincangkan ini bukan berarti mereka gay atau lesbi atau waria.
Di Jawa Timur, ia paham persis, jumlah LGBT banyak sekali. Gay dan lesbian ada di semua lapisan masyarakat, mulai kalangan terdidik, terkenal, hingga tukang sayur. Ia pernah menemukan pria dari Madura, hidup di lingkunganya santri, memiliki orientasi seksual suka sesama jenis. ''Padahal dia punya istri dan anak,'' tuturnya.
Pro Kontra Penyembuhan LGBT
Psikolog klinis UI, Bona Sardo, menjelaskan tak sedikit kliennya bertanya, apakah kecenderungan orientasi jenis ini bisa disembuhkan. "Dari berbagai riset yang saya baca dan penelitian soal ini, belum pernah ada teknik terapi yang berhasil seratus persen mengubah orientasi seksual," katanya.
Bona mengaku, selama menjadi psikolog, tak pernah sukses menangani klien yang ingin berubah orientasi seksual dari LGBT menjadi heteroseksual seratus persen. Bagi Bona, LGBT tidak menular.
LGBT mengalami fase psikologis cukup sulit hingga dapat menerima dirinya secara utuh. Awalnya mereka menyangkal (denial), kemudian marah (anger), lalu mulai tawar-menawar (bargaining) kepada Tuhan hingga lingkungan, setelahnya mungkin mengalami fase depresi (depression), dan terakhir jika bisa melewati fase ini, ia belajar menerima (acceptance) kondisi.
"Biasanya fase ini diiringi dengan coming out (pengakuan)," katanya kepada Putri Kartika Utami dari GATRA.
Bagi Bona, universitas bisa dijadikan sebagai wadah berkembangnya berbagai kajian soal LGBT, tapi universitas tidak memberikan legalitas. Komunitas seperti SGRC, kata Bona, butuh psikolog klinis yang mendampingi jika ingin memberikan konseling. UI tidak ingin memberikan edukasi yang keliru. Ia kurang cocok dengan model isi brosur SGRC UI. "Kok testimoninya gitu, sih? Kesannya mengajak. Jangan sampai itu disalahartikan," kata Bona.
Brosur SGRC menampilkan testimoni plus foto, identitas nama dan fakultas, serta kata-kata persuasif. Pencantuman konseling dinilai kurang pas. Sebab, kata Bona, menjadi konselor, seorang psikolog butuh sertifikasi.
''Jangan membuat gerakan yang gegabah dan tidak matang sehingga menimbulkan keresahan di masyarakat,'' katanya.
Lebih optimistis dibandingkan dengan Bona, Ilmi Ilmiati mengatakan LGBT bisa "disembuhkan". Robert L. Spitzer pada 2003 memublikasikan hasil penelitiannya yang menunjukkan keberhasilan perubahan orientasi seksual yang sukses dilakukan terhadap 200 orang. Namun, ia menarik hasil kerjanya karena mendapat tekanan.
Agar berhasil menjadi heteroseksual, kata Ilmi, orang harus punya motivasi kuat. Tidak cukup itu, ia harus mencari lingkungan baru serta disiplin dalam mengendalikan dorongan orientasi seksualnya. Ilmi menjelaskan, jenis terapinya hanya pendampingan ke arah konseling.
Tidak perlu obat. Untuk konteks Indonesia, nilai agama punya peran penting, pendekatan terapi umumnya menggunakan dalil agama. Itu pula temuan GATRA pada bebersapa mantan LGBT yang diulas dalam bagian ketiga laporan edisi ini.
Penulis buku, LGBT di Indonesia: Perkembangan dan Solusinya, Adian Husaini, merekomendasikan berbagai perguruan tinggi mendirikan bukan hanya pusat kajian, melainkan juga untuk penanggulangan LGBT. Orientasinya pada pemulihan.
Dari berbagai kajiannya di buku itu, ia berkeyakinan, LGBT karena pengaruh lingkungan, bukan kondisi bawaan, bisa menular, dan karena itu, bisa disembuhkan. Ia mendorong masjid-masjid membuka klinik LGBT untuk konseling pemulihan.
daftar pustaka :
http://www.gatra.com/fokus-berita-1/...t-masuk-kampus
http://www.gatra.com/fokus-berita-1/...-sekte-seksual
hmmm LGBT..

0
5.1K
Kutip
32
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan