Kita tentu tak sedang membicarakan kedahsyatan Barcelona yang superior di dalam satu dekade terakhir. Kita juga tak sedang membicarakan kucuran uang dari pengusaha minyak Timur Tengah ke klub-klub Eropa yang mendadak berubah status menjadi klub bintang lima. Sepakbola memang telah mengalami banyak pergeseran.

Bursa transfer musim dingin yang sudah ditutup beberapa hari lalu menghadirkan banyak hal mengejutkan. Entah karena sudah terlalu bosan dengan dominasi Barcelona, La Liga nyaris tak melakukan aktivitas perpindahan pemain yang signifikan. Justru keluarnya penyerang Atletico Madrid, Jackson Martinez ke Guangzhou Evergrande menjadi catatan penting dari Spanyol. Didatangkan dari Porto musim panas lalu dengan harga 35 juta Euro, Atletico meraup untung 7 juta Euro dengan melepasnya ke China

Martinez yang hanya membuat dua gol dari 15 kesempatan bermain musim ini akan bergabung dengan Luiz Felipe Scolari. Kepindahan Martinez membuat Chinese Super League (CSL) tahun ini makin meriah. Alex Teixeira (50 juta Euro ke Jiangsu Suning), Ramires (28 juta Euro ke Jiangsu Suning), Gervinho (18 juta Euro ke Hebei China Fortune), Fredy Guarin (13 juta Euro ke Shanghai Shenhua) melengkapi Tim Cahill (Shanghai Shenhua), Demba Ba (Shanghai Shenhua), Asamoah Gyan (Shanghai SIPG) hingga Paulinho (Guangzhou Evergrande) yang sudah datang sebelumnya. Termasuk Ricardo Goulart (Guangzhou Evergrande), eks pemain Cruzeiro yang menjadi top skor di Liga Champions Asia tahun lalu. Nama terakhir kurang familiar?

Mungkin tawaran gaji besar menjadi daya tarik utama kepindahan pemain di atas. Bisa jadi dan tentu saja. Tapi klub-klub kaya tersebut juga mengombinasikannya dengan peracik terbaik. Scolari (Guangzhou Evergrande), Sven-Goran Eriksson (Shanghai SIPG), Dan Petrescu (Jiangsu Guoxin Sainty), Mano Menezes (Shandong Luneng Taishan), Alberto Zaccheroni (Beijing Guoan), Gregorio Manzano (Shanghai Greenland Shenhua) hingga Dragan Stojkovic (Guangzhou R&F) membuat Chinese Super League menjadi Liga paling menjanjikan setelah liga-liga top Eropa.

Presiden Xi Jinping dikenal sangat gandrung dengan sepakbola. Melihat prestasi timnas China yang makin merosot, posisi 93 dalam ranking FIFA (2016) turun dratis dari era emas tahun 2002 yang sanggup menembus 37 besar, gebrakan nyata dilakukan. Reformasi sepakbola menjadi misi utama. Tahun depan, program 20 ribu anak-anak ditargetkan bermain sepakbola di sekolah setiap pekan. Hal itu berlanjut hingga target 50 ribu anak.

Simon Chadwick, seorang profesor bidang Sports Enterprise, dari Salford University (Inggris) memberikan analisa. "Ini adalah sebuah pernyataan brand positioning. Menunjukkan kepada dunia "Kami di sini dan ini yang kami lakukan," jelasnya kepada CNN. Chadwick juga melihat posisi China sebagai negara yang penting secara global, mereka pun mengambil bagian di sepakbola dunia.

"China ingin membangun industri olahraga terbesar di dunia yang bernilai 850 milyar dolar di tahun 2015 dan menjadi bagian strategi untuk memenangkan tuan rumah Piala Dunia," lanjutnya.

Dua tahun lalu perusahaan raksasa China yang bergerak di bidang internet, Alibaba, membeli 50% saham Guangzhou Evergrande senilai 1,2 milyar yuan (192 juta dolar). Padahal empat tahun sebelumnya, Evergrande hanya dibeli seharga 16 juta dolar. Jelas, pemilik klub China bisa membuat uang. Jor-joran di bursa transfer sejauh ini, tercatat sekitar 150 juta dolar dikeluarkan Evergrande sejak tahun 2010 untuk membeli pemain dan pelatih tak menjadi masalah. Lima musim terakhir, memonopoli trofi CSL, dua kali mereka menjadi raja Asia.

Deal senilai 8 milyar yuan (sekitar 1,25 milyar dolar) untuk menyiarkan CSL selama lima musim (2016-2020). Tahun lalu, hak siar CSL hanya senilai 60 juta yuan.

Hingga saat ini tercatat lebih 150 pemain asal Brasil pernah mengecap CSL, 22 di antaranya bermain di musim lalu. Aturan transfer 4+1 (4 pemain internasional + 1 pemain asia) dibuat memang untuk menambah daya tarik penonton.

"Beberapa tahun lalu tak seperti ini. Tak mungkin bagi klub China bisa mendatangkan pemain besar seperti yang mereka lakukan saat ini," sebut Darko Matic, gelandang Beijing Guoan asal Kroasia yang akan merasakan musim kesepuluhnya di China kepada CNN.

"Mungkin 10 atau 15 tahun lalu tim-tim China akan mengontrak pemain yang sudah di penghujung karir, 35 atau 36 tahun. Tapi sekarang mereka benar-benar mendatangkan pemain di usia sepakbola yang ideal, lanjutnya.

Daya tarik ini terbukti mampu menghadirkan rata-rata 22 ribu penonton di stadion. Diperkirakan jumlah tersebut akan meningkat sebanyak tiga ribu di musim ini. Bahkan di tahun 2018 CSL diprediksi akan menjadi Liga paling banyak penontonnya setelah Bundesliga dan Premier League. Rata-rata 45 ribu penonton menyaksikan timnas China bertandingan, jumlah terbesar kelima di Asia.

Terdengar ambisius, menjanjikan dan sangat potensial memang. Tapi nada miring tetap muncul. Banyak pihak yang meragukan ambisi besar China ini. Sebagai negara komunis yang berbasis pada kekuasaan politik, mengancam segala aspek saat keputusan politik masuk ke ranah bisnis termasuk olah raga.

Suning, konglomerat ritel lebih dari 1600 toko membeli Jiangsu dan menempatkan namanya di belakang nama klub di bulan Desember. Pendiri perusahaan milyaran dolar Zhang Jindong ini adalah anggota Komite Konsultasi Politik Rakyat China, ruang debat yang dikendalikan komunis. Hebei China Fortune dimiliki milyarder Wang Wenxue, pengusaha real estate. Sementara Shenhua milik Greenland Holding Group, perusahaan investasi real estate.

"Ketika pemerintah China mengatakan mereka sedang mengatur sesuatu, itu berarti 'Ini adalah bagaimana Anda akan mendapatkan di sisi baik kami'," kata David Hornby, direktur bisnis olahraga dari Mailman brand management group di Shanghai. Mark Dreyer, seorang blogger olahraga di Beijing menulis "ketika mereka mengumumkan reformasi sepakbola, keesokan harinya ada puluhan orang mendaftar klub sepak bola". Sementara Gao Zhaoyu, seorang ahli olahraga Cina di Universitas Lausanne, Swiss, mengatakan, "Beberapa klub Eropa telah menderita ketidakstabilan keuangan. Mereka ingin mentransfer pemain ke klub-klub besar, termasuk klub-klub Cina.

Mengomentari kepindahan Martinez dari Atletico, Diego Forlan menyebut di kolom The National," China bukanlah sebuah negara yang Anda kaitkan dengan sepakbola. Meski memiliki populasi yang paling banyak. Mereka tak selalu tampil di Piala Dunia, meski sepakbola menjadi prioritas,"

Yang menjadi pertanyaan, apakah investasi besar China di sepakbola ini akan terus berlanjut di musim-musim selanjutnya?