Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

kurniadihusengoAvatar border
TS
kurniadihusengo
KARENA SAYA MEROKOK
Ya ampun, hari ini panasnya luar biasa!, kata Pak Kojar sambil mengelap keringat yang menetes di kepalanya dengan handuk kecil

Iya, mana sepi penumpang lagi, Bang Said menanggapi.

Kami bertiga, aku, Pak Kojar, dan Bang Said sedang duduk-duduk di warung kopi dekat pangkalan. Kami memang biasa bersantai disini sambil menunggu penumpang.

Benar kata Bang Said, hari ini sepi sekali. Aku bahkan belum sama sekali mendapat penumpang hari ini. Padahal matahari sudah sangat tinggi di atas kepala kami, menandakan hari sudah begitu siang.

Lho, itu Bang Lodi, kan? Oiii, Bang Lodi!.

Aku menoleh ke arah lambaian tangan Bang Said. Benar, itu Pak Lodi. Dulu ia juga tukang ojek seperti kami. Tapi sekarang sudah tidak lagi karena usaha jual sembakonya maju dan ia sudah lebih mapan sekarang.

Wah, lagi pada ngumpul-ngumpul, nih, kata Pak Lodi sambil menghampiri kami. Ia lantas berseru pada ibu penjaga warung: Mbak, kopinya satu, ya!

Eh, ada Soni, Pak Lodi menyapaku. Kamu kok anak muda sukanya ngumpul-ngumpul sama bapak-bapak, sih? Lontaran pertanyaan Pak Lodi sontak membuat kami semua tertawa.

Biar saja, Bang. Biar banyak pengalaman dia, sahut Pak Kojar sambil menepuk bahuku.

Waduh, Bang, kamu kuat sekali merokoknya. Hari ini sudah yang ke berapa?

Bang Said menatap takjub pada Pak Kojar. Pak Kojar hanya senyum-senyum menanggapi.

Omong-omong soal merokok, kata Pak Lodi sejenak kemudian, seusai menyeruput kopinya, saya jadi ingat anak saya.

Anak Abang yang mana, Bang?

Yang sulung. Yang perempuan.

Memangnya kenapa anak Bapak?, tanyaku. Apa dia merokok juga?

Pak Lodi menggeleng. Anak itu, nggak ada sopan santunnya sama saya. Sejak masuk SMA, dia hampir nggak pernah ngomong sama saya. Kalau saya ajak bicara, tanggapannya hanya mengangguk, menggeleng, atau paling bagus menggumam. Ada masalah apa pun, nggak pernah dia cerita sama saya, tutur Pak Lodi.

Saya kadang suka iri dengan Pak Ujang. Kalau bapaknya pulang habis kerja, anaknya sudah nyiapin kopi buat bapaknya. Anak saya ini boro-boro, Mas. Kalau saya pulang habis jaga warung, nggak pernah saya lihat batang hidungnya. Dia pasti sudah masuk kamar, lanjut Pak Lodi.

Saya tahu dia itu menghindari saya. Saya lihat dia malah dekat dengan bapaknya orang lain. Bapak teman-temannya. Dia bahkan sudah bisa mengendarai motor, diajari bapak temannya. Saya sakit hati, Mas. Mosok dia tidak minta diajarkan bapaknya sendiri. Padahal saya juga ingin merasakan gimana ngajarin anak sendiri naik motor, cerita Pak Lodi dengan nada kesal.

Apa Bapak sudah tanya sama dia, kenapa dia begitu?, celetuk Pak Kojar.

Pak Lodi mengangguk. Dia bilang, dia malu punya bapak yang suka merokok seperti saya. Dia malu mulut bapaknya hitam kusam seperti saya.

Oalah, Bang Said menepuk pahanya.

Saya kaget juga dengarnya, kata Pak Lodi sambil geleng-geleng kepala. Mosok karena begitu saja dia malu sama bapaknya? Yang lebih parah, tahun lalu dia ngasih kado ulang tahun buat saya.

Lho, bukannya itu bagus, Bang?

Bagus apanya! Dia kasih saya sebungkus rokok. Awalnya saya pikir dia sudah nerima hobi merokok saya. Tahunya, ada tulisan di bungkus rokok itu: Jangan berani pulang kalau masih merokok! Dan ternyata, batang-batang rokok di dalamnya itu sudah patah semua.

Kami kompak melotot. Wah, kurang ajar banget itu, Bang!

Iya, itu sih sudah sangat keterlaluan. Masa ngomong begitu ke bapaknya, timpal Pak Kojar.

Lalu, Bapak gimana? Aku yang lebih penasaran dengan rekasi Pak Lodi bertanya.

Tentu saya marah besar sama dia. Berani amat larang-larang saya merokok. Tapi bukannya takut, dia malah memandang tajam ke saya. Dia diam saja saya marahi, tapi dia juga kelihatan tidak mendengar saya. Tahunya pas saya marahi itu, dia sedang mendengarkan musik di telinganya, pake headset!

Waduh, bener-bener dah, Bang Said geleng-geleng.

Dia pernah bilang sama ibunya, nggak mau nanti punya suami seperti saya. Dia nggak mau anak-anaknya menderita kalau punya bapak suka merokok dan bibirnya hitam seperti saya, ujar Pak Lodi.

Kami yang mendengarkan ikut menggelengkan kepala.

Itu penghinaan, Mas. Habis kesabaran saya. Berani amat dia bersikap kurang ajar sama bapaknya. Wong istri saya saja nggak pernah ngelarang. Ibunya diam saja kalau saya sedang merokok, lanjut Pak Lodi.

Memang sudah keterlaluan anak Abang itu. Terus sekarang gimana, Bang? Abang apain dia? Jangan dibiarin anaknya bersikap kaya gitu, Bang! seru Pak Kojar.

Saya kesal setengah mati, Mas, sama anak itu. Saya sampe sempat mikir, nggak mau ngurusin dia lagi. Terserah dia mau ngapain kek, jadi apa kek, saya sudah nggak mau peduli, sampai suatu hari istri saya jatuh sakit.

Tatapan mata Pak Lodi yang tadinya berapi-api karena kesal tiba-tiba berubah.

Istri saya kena penyakit parah. Mas-mas tahu dia sakit apa? Dia kena kanker paru-paru.

Kami semua terkejut. Bahkan ibu penjaga warung yang ikutan mendengar cerita Pak Lodi sedari tadi, menutup mulutnya karena kaget.

Pak Lodi menggeleng. Saya tak habis pikir. Ya Tuhan, kan saya yang merokok selama ini, kok bisa istri saya yang kena kanker paru-paru? Waktu dokter tahu saya ini perokok berat, dia langsung nyaranin supaya anak saya juga segera diperiksa, siapa tahu ada penyakit juga. Untungnya ternyata nggak apa-apa.

Setelah saya pikir-pikir, mungkin karena saya jarang merokok di deket dia. Wong saya ketemu dia saja jarang. Tapi kalau sama istri saya sering. Mungkin karena saya merasa nyaman. Istri saya kan nggak pernah protes kalau saya merokok di dekat dia.

Saya sering merokok sambil ngobrol sama dia. Dokter bilang, mungkin saat itulah asap rokoknya banyak masuk ke dalam paru-paru istri saya. Sekarang nyesal saya. Bener-bener menyesal! Pak Lodi menepuk dadanya.

Sabar, Bang. Udah terjadi mau gimana lagi, kata Pak Kojar berusaha menghibur.

Kalau saja saya dengar kata-kata anak saya itu, istri saya pasti nggak bakal begini jadinya. Sekarang istri saya yang harus menanggung penderitaan, ujar Pak Lodi, matanya sedikit basah.

Saya jadi ingat sama perkataan anak saya, kalau dia nggak mau anaknya nanti menderita karena bapaknya merokok. Sekarang saya baru paham. Ah, nyesal saya, Pak Lodi berungkap pilu.

Kami semua diam, tak ada lagi yang berani menanggapi. Mungkin kami tidak tahu harus bicara apa.

Ya sudah, saya pamit dulu ya, Mas-mas, Soni, Mbak. Pak Lodi meninggalkan selembar uang di atas meja warung, di dekat gelas kopinya yang sudah habis, lalu dia berjalan pulang, memunggungi kami.

Kami masih terdiam, memikirkan cerita yang baru kami dengarkan. Mungkin, dalam hati kami, terutama Pak Kojar, saat ini sedang sama-sama berikrar untuk berhenti merokok, supaya anak istrinya tidak mengalami musibah yang sama dengan keluarga Pak Lodi.
0
2.1K
50
Thread Digembok
Urutan
Terbaru
Terlama
Thread Digembok
Komunitas Pilihan