- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Jilbab Bersertifikasi Halal MUI?


TS
prof.nazroel
Jilbab Bersertifikasi Halal MUI?
Ga tau deh nih harus masuk kategori forum yang mana, tapi ane masukin di The Lounge aja deh

Baru-baru ini baru aja ada berita bahwa salah satu brand jilbab di Indonesia melakukan sertifikasi halal atas jilbab produksi mereka. Mungkin ada yang bertanya, Lha, kalo ada jilbab yang halal, berarti ada jilbab yang haram dong??
Cekidot aja deh nih..
Ehh ane bahas jilbab tapi ane bukan cewe lho ya, ini mah karna ane suka sama cewe berhijab aja..


Kalo begonoh, gimana dong dengan merek sebelah??
Ini nih ada jawabannya dari ustadz, cekibrot..




Baru-baru ini baru aja ada berita bahwa salah satu brand jilbab di Indonesia melakukan sertifikasi halal atas jilbab produksi mereka. Mungkin ada yang bertanya, Lha, kalo ada jilbab yang halal, berarti ada jilbab yang haram dong??

Cekidot aja deh nih..
Ehh ane bahas jilbab tapi ane bukan cewe lho ya, ini mah karna ane suka sama cewe berhijab aja..



Quote:
Berasa adem kan gan liat cewe2 yang pake hijab kek gitu.. Lope lope dah ane mah. 

Zaman sekarang liat orang berhijab udah ga aneh lha ya, ga cewe ga cowo *ehh, yang tua yang muda pada pake hijab. Alasan mereka bermacem-macem, ada yang emang niat mau menutup aurat, tapi ada juga yang emang cuma biar kekinian aja *ko jadi suudzan sih, bukan gitu, tapi emang berdasar atas pengalaman ane di kampus keliatan kalo cewe2 yang emang pake jilbab cuma buat fesyen doang mah biasanya dia kadang pake hijab kadang juga engga, entahlah mungkin tergantung mood mereka.
Karna jilbab sekarang udah ngetren banget nih, bermunculan deh berbagai macem merek jilbab dengan berbagai model khasnya masing2, dari harga yang pasaran sampe harga yang butikan *apalagi dah ni butikan haha, begitulah pokonya.
Nahh, baru-baru ini ada satu brand jilbab ngajuin sertifikasi halal ke MUI nih, dan akhirnya dinobatkan deh jadi Kerudung Bersertifikat Halal Pertama di Indonesia.
Jadi, menurut keterangan yang tertera bahwa halal-haramnya tersebut diliat dari penggunaan emulsifier pada proses pencucian kainnya tersebut, kalo produk halal bahan emulsifiernya tuh terbuat dari tumbuhan, tapi yang haram terbuatnya dari gelatin babi.


Zaman sekarang liat orang berhijab udah ga aneh lha ya, ga cewe ga cowo *ehh, yang tua yang muda pada pake hijab. Alasan mereka bermacem-macem, ada yang emang niat mau menutup aurat, tapi ada juga yang emang cuma biar kekinian aja *ko jadi suudzan sih, bukan gitu, tapi emang berdasar atas pengalaman ane di kampus keliatan kalo cewe2 yang emang pake jilbab cuma buat fesyen doang mah biasanya dia kadang pake hijab kadang juga engga, entahlah mungkin tergantung mood mereka.
Karna jilbab sekarang udah ngetren banget nih, bermunculan deh berbagai macem merek jilbab dengan berbagai model khasnya masing2, dari harga yang pasaran sampe harga yang butikan *apalagi dah ni butikan haha, begitulah pokonya.
Nahh, baru-baru ini ada satu brand jilbab ngajuin sertifikasi halal ke MUI nih, dan akhirnya dinobatkan deh jadi Kerudung Bersertifikat Halal Pertama di Indonesia.
Jadi, menurut keterangan yang tertera bahwa halal-haramnya tersebut diliat dari penggunaan emulsifier pada proses pencucian kainnya tersebut, kalo produk halal bahan emulsifiernya tuh terbuat dari tumbuhan, tapi yang haram terbuatnya dari gelatin babi.
Quote:
Emulsifier atau zat pengemulsi adalah zat untuk membantu menjaga kestabilan emulsi minyak dan air.[Wikipedia]
Spoiler for inpoh:

Quote:
Jakarta - Brand busana muslim Zoya mengumumkan bahwa koleksi kerudungnya telah mendapatkan sertifikasi halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). Lewat Instagram, brand di bawah naungan PT Shafco tersebut mengunggah foto yang menampilkan tulisan dengan judul 'Kerudung Bersertifikat Halal Pertama di Indonesia' dan Laudya Chynthia Bella sebagai brand ambassador-nya.
Dalam captionnya, akun resmi Zoya bernama @zoyalovers itu menulis, "Alhamdulillah Zoya mendapatkan sertifikat dari MUI sebagai kerudung halal pertama di Indonesia."
Saat dihubungi Wolipop pada Selasa (2/2/2016), Creative Director Shafco Sigit Endroyono menjelaskan bahwa proses untuk mendapatkan sertifikat halal dari MUI sudah dilakukan tahun lalu. Prosesnya dimulai dengan mengajukan pendaftaran terlebih dahulu lalu dilakukan pemeriksaan terhadap bahan tekstil yang dipakai Zoya.
Setelah pemeriksaan selesai, komite fatwa MUI melakukan rapat untuk menentukan apakah materialnya tidak mengandung hal-hal yang diharamkan dalam Islam. Baru kemudian sertifikat tersebut diterbitkan.
"Kerudung halal mulai dirilis pertamakali sejak Zoya berdiri namun baru tersertifikasi sekarang melalui MUI Jabar (Jawa Barat) dengan nomor sertifikat 01171156041015. Zoya hanya fokus pada kehalalan dari produk untuk memastikan customer menggunakan produk yang sudah tersertifikasi kehalalannya," ujar Sigit.
Sigit menambahkan, kerudung yang halal ditentukan dari jenis kainnya, apakah mengandung gelatin babi atau tidak. Gelatin babi umumnya terdapat pada pengemulsi saat proses pencucian bahan tekstil. Rangkaian kerudung Zoya diklaim telah diuji coba dan hasilnya tidak mengandung babi sehingga ditetapkan halal menurut MUI.
"Kerudung halal adalah kerudung yang menggunakan fabric/kain halal dalam arti kain tersebut pada saat proses pencucian menggunakan bahan textile (emulsifier) dari bahan alami/ tumbuhan sedangkan untuk kain non halal menggunakan bahan textile (emulsifier) dari bahan non halal (gelatin babi)," jelas Sigit.
Persoalan 'hijab halal' ini menimbulkan cukup banyak reaksi di media sosial. Lewat Twitter, tidak sedikit yang mempertanyakan apakah memakai jilbab yang mengantongi sertifikasi halal menjadi sebuah keharusan bagi muslimah yang berhijab.
"Kalau ada dikotomi hijab tidak halal maka akan merembet ke semua yang nempel di badan. Baju ampe bra. Islam ga serumit itu deh," komentar salah satu pengguna Twitter @falla_adinda.
Akun Twitter lainnya, @pemudamerah juga menulis, "Hijab pertama yang mendapat sertifikasi Halal dari MUI. Baru tau, ternyata ada hijab HARAM."
Sementara di akun Instagram @zoyalovers, beberapa followers juga menuliskan pendapatnya di kolom komentar. "Emang ada yang nggak halal," tulis pemilik akun @budiruswanti.
Ada pula yang menyambut positif sertifikasi jilbab halal yang diumumkan Zoya dengan mengucap hamdalah. "Alhamdulillah," ujar pengguna akun @vivi_mah.
[sumur: wolipop.detik.com]
Dalam captionnya, akun resmi Zoya bernama @zoyalovers itu menulis, "Alhamdulillah Zoya mendapatkan sertifikat dari MUI sebagai kerudung halal pertama di Indonesia."
Saat dihubungi Wolipop pada Selasa (2/2/2016), Creative Director Shafco Sigit Endroyono menjelaskan bahwa proses untuk mendapatkan sertifikat halal dari MUI sudah dilakukan tahun lalu. Prosesnya dimulai dengan mengajukan pendaftaran terlebih dahulu lalu dilakukan pemeriksaan terhadap bahan tekstil yang dipakai Zoya.
Setelah pemeriksaan selesai, komite fatwa MUI melakukan rapat untuk menentukan apakah materialnya tidak mengandung hal-hal yang diharamkan dalam Islam. Baru kemudian sertifikat tersebut diterbitkan.
"Kerudung halal mulai dirilis pertamakali sejak Zoya berdiri namun baru tersertifikasi sekarang melalui MUI Jabar (Jawa Barat) dengan nomor sertifikat 01171156041015. Zoya hanya fokus pada kehalalan dari produk untuk memastikan customer menggunakan produk yang sudah tersertifikasi kehalalannya," ujar Sigit.
Sigit menambahkan, kerudung yang halal ditentukan dari jenis kainnya, apakah mengandung gelatin babi atau tidak. Gelatin babi umumnya terdapat pada pengemulsi saat proses pencucian bahan tekstil. Rangkaian kerudung Zoya diklaim telah diuji coba dan hasilnya tidak mengandung babi sehingga ditetapkan halal menurut MUI.
"Kerudung halal adalah kerudung yang menggunakan fabric/kain halal dalam arti kain tersebut pada saat proses pencucian menggunakan bahan textile (emulsifier) dari bahan alami/ tumbuhan sedangkan untuk kain non halal menggunakan bahan textile (emulsifier) dari bahan non halal (gelatin babi)," jelas Sigit.
Persoalan 'hijab halal' ini menimbulkan cukup banyak reaksi di media sosial. Lewat Twitter, tidak sedikit yang mempertanyakan apakah memakai jilbab yang mengantongi sertifikasi halal menjadi sebuah keharusan bagi muslimah yang berhijab.
"Kalau ada dikotomi hijab tidak halal maka akan merembet ke semua yang nempel di badan. Baju ampe bra. Islam ga serumit itu deh," komentar salah satu pengguna Twitter @falla_adinda.
Akun Twitter lainnya, @pemudamerah juga menulis, "Hijab pertama yang mendapat sertifikasi Halal dari MUI. Baru tau, ternyata ada hijab HARAM."
Sementara di akun Instagram @zoyalovers, beberapa followers juga menuliskan pendapatnya di kolom komentar. "Emang ada yang nggak halal," tulis pemilik akun @budiruswanti.
Ada pula yang menyambut positif sertifikasi jilbab halal yang diumumkan Zoya dengan mengucap hamdalah. "Alhamdulillah," ujar pengguna akun @vivi_mah.
[sumur: wolipop.detik.com]
Kalo begonoh, gimana dong dengan merek sebelah??
Ini nih ada jawabannya dari ustadz, cekibrot..
Quote:
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,
Allah memberikan kemudahan kepada umat manusia, dengan Allah jadikan semua yang ada di alam ini sebagai sesuatu yang mubah dan halal untuk mereka manfaatkan. Adanya barang yang haram dan benda yang najis, sifatnya pengecualian.
Allah Ta’ala berfirman,
هُوَ الذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا
“Dia-lah Dzat yang menciptakan segala sesuatu yang ada di bumi untuk kalian.” (QS. al-Baqarah: 29)
Syaikh Abdurrahman as-Sa’di ketika menafsirkan ayat ini, beliau menuliskan,
“Dia menciptakan untuk kalian segala sesuatu yang ada di bumi, sebagai karena berbuat baik dan memberi rahmat, untuk dimanfaatkan, dinikmati, dan diambil pelajaran. Pada kandungan ayat yang mulia ini terdapat dalil bahwa hukum asal segala sesuatu adalah suci. Karena ayat ini disampaikan dalam konteks memaparkan kenikmatan… (Tafsir as-Sa’di, Taisir al-Karim ar-Rahman, hlm. 48).
Untuk itulah, para ulama menetapkan kaidah dalam ilmu fiqh,
الأَصْلُ فِي الأَشْيَاءِ الطهَارَةُ
“Hukum asal segala sesuatu adalah suci.”
Ada 2 cara penerapan kaidah ini terkait barang gunaan,
[1] Semua benda yang dihukumi najis harus berdasarkan dalil. Menyatakan satu benda tertentu statusnya najis, harus didasari dalil. Tanpa dalil, pernyataannya tidak diterima, karena bertolak belakang dengan hukum asal.
[2] Jika ada benda yang suci, misalnya kain, tidak boleh kita hukumi terkena najis, sampai ada bukti najisnya. Jika tidak ada bukti, kembali kepada hukum asal, bahwa itu suci.
Dengan memperhatikan prinsip di atas, barang gunaan, yang tidak dikonsumsi, seperti jilbab, baju atau yang lainnya, pada dasarnya tidak perlu ada sertifikat halal. Karena untuk membuktikan bahwa itu halal dan suci sangat mudah. Dan jika diklaim mengandung najis, harus ada bukti.
Bagaimana jika menggunakan gelatin dari babi?
Pertanyaan ini berawal dari syak (keraguan). Karena kita tidak pernah mendapatkan bukti terkait proses produksinya.
Ada beberapa barang najis yang ada di sekitar kita. Tapi bukan berarti ini menjadi sebab orang harus bersikap was-was. Ketika di jalan yang berair, bisa saja terpikir, “Jangan-jangan ada najis yang nyiprat ke celana.” Tapi keraguan ini tidak bisa dijadikan acuan. Selama tidak ada bukti bahwa ada najis yang nempel di celana kita.
Jika keraguan ini diikuti, justru akan menjadi sumber was-was bagi manusia. Sampai ada orang yang hanya mencuci secuil najis, dia bisa menghabiskan air ber-ember-ember.
Keterangan selengkapnya bisa anda pelajari di:Mengobati Was-was
Jika semacam ini harus melalui sertifikat halal, masyarakat akan selalu dihantui ketakutan dengan semua properti yang ada di sekitarnya. Sikap ini jutru mengajarkan sikap was-was di tengah masyarakat. Tidak salah jika disebut, ini mencemaskan masyarakat.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Memakai Kain dari Syam dan Yaman
Anda yang membaca sejarah, tentu pernah membaca, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat, mereka menggunakan kain impor dari Syam, Yaman, atau Mesir. Karena Madinah bukan produsen kapas.
Ketika itu, Yaman, Syam dan Mesir adalah negeri nasrani. Yang mereka menghalalkan babi dan khamr. Meskipun demikian, tidak dijumpai riwayat, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat memeriksa kesucian pakaian impor itu. Bahkan mereka memakainya.
Perhatikan Mode
Untuk masalah pakaian, seharusnya yang lebih diperhatikan adalah modelnya. Apakah sudah syar’i ataukah belum. Karena ini yang erat kaitannya dengan hukum halal haram. Bahan kain, milik muslim dan non muslim bisa jadi sama persis. Yang membedakan adalah cara mereka berpakaian.
Untuk menyemarakkan penyebaran jilbab syar’i, bila perlu, MUI menerbitkan sertifikat halal untuk hijab yang memenuhi standar syariat secara gratis, sekalipun tidak pernah diajukan. Sayangnya belum pernah kita jumpai ada sertifikat MUI untuk cadar, padahal itu wajib dalam madzhab syafi’iyah.
Tidak ada artinya sertifikat halal untuk kainnya, sementara modelnya masih mengundang syahwat. Masyarakat awam bisa saja meyakini jilbab yang dia kenakan telah syar’i, karena ada logo MUI, padahal sejatinya itu jilbab modis.
Allahu a’lam.
Oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)
Allah memberikan kemudahan kepada umat manusia, dengan Allah jadikan semua yang ada di alam ini sebagai sesuatu yang mubah dan halal untuk mereka manfaatkan. Adanya barang yang haram dan benda yang najis, sifatnya pengecualian.
Allah Ta’ala berfirman,
هُوَ الذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا
“Dia-lah Dzat yang menciptakan segala sesuatu yang ada di bumi untuk kalian.” (QS. al-Baqarah: 29)
Syaikh Abdurrahman as-Sa’di ketika menafsirkan ayat ini, beliau menuliskan,
“Dia menciptakan untuk kalian segala sesuatu yang ada di bumi, sebagai karena berbuat baik dan memberi rahmat, untuk dimanfaatkan, dinikmati, dan diambil pelajaran. Pada kandungan ayat yang mulia ini terdapat dalil bahwa hukum asal segala sesuatu adalah suci. Karena ayat ini disampaikan dalam konteks memaparkan kenikmatan… (Tafsir as-Sa’di, Taisir al-Karim ar-Rahman, hlm. 48).
Untuk itulah, para ulama menetapkan kaidah dalam ilmu fiqh,
الأَصْلُ فِي الأَشْيَاءِ الطهَارَةُ
“Hukum asal segala sesuatu adalah suci.”
Ada 2 cara penerapan kaidah ini terkait barang gunaan,
[1] Semua benda yang dihukumi najis harus berdasarkan dalil. Menyatakan satu benda tertentu statusnya najis, harus didasari dalil. Tanpa dalil, pernyataannya tidak diterima, karena bertolak belakang dengan hukum asal.
[2] Jika ada benda yang suci, misalnya kain, tidak boleh kita hukumi terkena najis, sampai ada bukti najisnya. Jika tidak ada bukti, kembali kepada hukum asal, bahwa itu suci.
Dengan memperhatikan prinsip di atas, barang gunaan, yang tidak dikonsumsi, seperti jilbab, baju atau yang lainnya, pada dasarnya tidak perlu ada sertifikat halal. Karena untuk membuktikan bahwa itu halal dan suci sangat mudah. Dan jika diklaim mengandung najis, harus ada bukti.
Bagaimana jika menggunakan gelatin dari babi?
Pertanyaan ini berawal dari syak (keraguan). Karena kita tidak pernah mendapatkan bukti terkait proses produksinya.
Ada beberapa barang najis yang ada di sekitar kita. Tapi bukan berarti ini menjadi sebab orang harus bersikap was-was. Ketika di jalan yang berair, bisa saja terpikir, “Jangan-jangan ada najis yang nyiprat ke celana.” Tapi keraguan ini tidak bisa dijadikan acuan. Selama tidak ada bukti bahwa ada najis yang nempel di celana kita.
Jika keraguan ini diikuti, justru akan menjadi sumber was-was bagi manusia. Sampai ada orang yang hanya mencuci secuil najis, dia bisa menghabiskan air ber-ember-ember.
Keterangan selengkapnya bisa anda pelajari di:Mengobati Was-was
Jika semacam ini harus melalui sertifikat halal, masyarakat akan selalu dihantui ketakutan dengan semua properti yang ada di sekitarnya. Sikap ini jutru mengajarkan sikap was-was di tengah masyarakat. Tidak salah jika disebut, ini mencemaskan masyarakat.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Memakai Kain dari Syam dan Yaman
Anda yang membaca sejarah, tentu pernah membaca, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat, mereka menggunakan kain impor dari Syam, Yaman, atau Mesir. Karena Madinah bukan produsen kapas.
Ketika itu, Yaman, Syam dan Mesir adalah negeri nasrani. Yang mereka menghalalkan babi dan khamr. Meskipun demikian, tidak dijumpai riwayat, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat memeriksa kesucian pakaian impor itu. Bahkan mereka memakainya.
Perhatikan Mode
Untuk masalah pakaian, seharusnya yang lebih diperhatikan adalah modelnya. Apakah sudah syar’i ataukah belum. Karena ini yang erat kaitannya dengan hukum halal haram. Bahan kain, milik muslim dan non muslim bisa jadi sama persis. Yang membedakan adalah cara mereka berpakaian.
Untuk menyemarakkan penyebaran jilbab syar’i, bila perlu, MUI menerbitkan sertifikat halal untuk hijab yang memenuhi standar syariat secara gratis, sekalipun tidak pernah diajukan. Sayangnya belum pernah kita jumpai ada sertifikat MUI untuk cadar, padahal itu wajib dalam madzhab syafi’iyah.
Tidak ada artinya sertifikat halal untuk kainnya, sementara modelnya masih mengundang syahwat. Masyarakat awam bisa saja meyakini jilbab yang dia kenakan telah syar’i, karena ada logo MUI, padahal sejatinya itu jilbab modis.
Allahu a’lam.
Oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)
Quote:
Nahh jadi gitu sist, jadi ga usah khawatir meskipun hijab yang ente pake ga ada sertifikat halalnya yakin aja itu halal, jangan malah jadi ga pake hijab 



Diubah oleh prof.nazroel 05-02-2016 06:12
0
3.1K
Kutip
24
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan