- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Kamu harus tahu sejarah-sejarah kabupaten dan kota di DIY, Jogja Istimewa!!!


TS
isharyadi23
Kamu harus tahu sejarah-sejarah kabupaten dan kota di DIY, Jogja Istimewa!!!
Hai-Hai saya kembali gan, tentunya dengan thread baru dan menarik, hehehe

nah itu logo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, keren kan, hehehe. kalau teman2 tahu Provinsi DIY itu terdiri dari 1 kota dan 4 kabupaten, tahu tahu tahu kan??? yaitu :
1. Kota Yogyakarta
2. Kabupaten Sleman
3. Kabupaten Bantul
4. Kabupaten Kulonprogo
5, kabupaten Gunungkidul
nah di thread kali ini saya akan membahas sejarah kota dan tersebut gan, hehehehe,

Quote:
1. Kota Yogyakarta

Keberadaan Kota Yogyakarta tidak bisa lepas dari keberadaan Kasultanan Yogyakarta. Pangeran Mangkubumi yang memperjuangkan kedaulatan Kerajaan Mataram dari pengaruh Belanda, merupakan adik dari Sunan Paku Buwana II. Setelah melalui perjuangan yang panjang, pada hari Kamis Kliwon tanggal 29 Rabiulakhir 1680 atau bertepatan dengan 13 Februari 1755, Pangeran Mangkubumi yang telah bergelar Susuhunan Kabanaran menandatangani Perjanjian Giyanti atau sering disebut dengan Palihan Nagari . Palihan Nagari inilah yang menjadi titik awal keberadaan Kasultanan Yogyakarta. Pada saat itulah Susuhunan Kabanaran kemudian bergelar Sri Sultan Hamengku Buwana Senopati Ing Ngalaga Abdurrahman Sayidin Panatagama Kalifatullah Ingkang Jumeneng Kaping I. Setelah Perjanjian Giyanti ini, Sri Sultan Hamengku Buwana mesanggrah di Ambarketawang sambil menunggui pembangunan fisik kraton. Sebulan setelah ditandatanganinya Perjanjian Giyanti tepatnya hari Kamis Pon tanggal 29 Jumadilawal 1680 atau 13 Maret 1755, Sultan Hamengku Buwana I memproklamirkan berdirinya Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dengan ibukota Ngayogyakarta dan memiliki separuh dari wilayah Kerajaan Mataram. Proklamasi ini terjadi di Pesanggrahan Ambarketawang dan dikenal dengan peristiwa Hadeging Nagari Dalem Kasultanan Mataram – Ngayogyakarta. Pada hari Kamis Pon tanggal 3 sura 1681 atau bertepatan dengan tanggal 9 Oktober 1755, Sri Sultan Hamengku Buwana I memerintahkan untuk membangun Kraton Ngayogyakarta di Desa Pacethokan dalam Hutan Beringan yang pada awalnya bernama Garjitawati. Pembangunan ibu kota Kasultanan Yogyakarta ini membutuhkan waktu satu tahun. Pada hari Kamis pahing tanggal 13 Sura 1682 bertepatan dengan 7 Oktober 1756, Sri Sultan Hamengku Buwana I beserta keluarganya pindah atau boyongan dari Pesanggrahan Ambarketawan masuk ke dalam Kraton Ngayogyakarta. Peristiwa perpindahan ini ditandai dengan candra sengkala memet Dwi Naga Rasa Tunggal berupa dua ekor naga yang kedua ekornya saling melilit dan diukirkan di atas banon/renteng kelir baturana Kagungan Dalem Regol Kemagangan dan Regol Gadhung Mlathi. Momentum kepindahan inilah yang dipakai sebagai dasar penentuan Hari Jadi Kota Yogyakarta karena mulai saat itu berbagai macam sarana dan bangunan pendukung untuk mewadahi aktivitas pemerintahan baik kegiatan sosial, politik, ekonomi, budaya maupun tempat tinggal mulai dibangun secara bertahap. Berdasarkan itu semua maka Hari Jadi Kota Yogyakarta ditentukan pada tanggal 7 Oktober 2009 dan dikuatkan dengan Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 6 Tahun 2004

Keberadaan Kota Yogyakarta tidak bisa lepas dari keberadaan Kasultanan Yogyakarta. Pangeran Mangkubumi yang memperjuangkan kedaulatan Kerajaan Mataram dari pengaruh Belanda, merupakan adik dari Sunan Paku Buwana II. Setelah melalui perjuangan yang panjang, pada hari Kamis Kliwon tanggal 29 Rabiulakhir 1680 atau bertepatan dengan 13 Februari 1755, Pangeran Mangkubumi yang telah bergelar Susuhunan Kabanaran menandatangani Perjanjian Giyanti atau sering disebut dengan Palihan Nagari . Palihan Nagari inilah yang menjadi titik awal keberadaan Kasultanan Yogyakarta. Pada saat itulah Susuhunan Kabanaran kemudian bergelar Sri Sultan Hamengku Buwana Senopati Ing Ngalaga Abdurrahman Sayidin Panatagama Kalifatullah Ingkang Jumeneng Kaping I. Setelah Perjanjian Giyanti ini, Sri Sultan Hamengku Buwana mesanggrah di Ambarketawang sambil menunggui pembangunan fisik kraton. Sebulan setelah ditandatanganinya Perjanjian Giyanti tepatnya hari Kamis Pon tanggal 29 Jumadilawal 1680 atau 13 Maret 1755, Sultan Hamengku Buwana I memproklamirkan berdirinya Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dengan ibukota Ngayogyakarta dan memiliki separuh dari wilayah Kerajaan Mataram. Proklamasi ini terjadi di Pesanggrahan Ambarketawang dan dikenal dengan peristiwa Hadeging Nagari Dalem Kasultanan Mataram – Ngayogyakarta. Pada hari Kamis Pon tanggal 3 sura 1681 atau bertepatan dengan tanggal 9 Oktober 1755, Sri Sultan Hamengku Buwana I memerintahkan untuk membangun Kraton Ngayogyakarta di Desa Pacethokan dalam Hutan Beringan yang pada awalnya bernama Garjitawati. Pembangunan ibu kota Kasultanan Yogyakarta ini membutuhkan waktu satu tahun. Pada hari Kamis pahing tanggal 13 Sura 1682 bertepatan dengan 7 Oktober 1756, Sri Sultan Hamengku Buwana I beserta keluarganya pindah atau boyongan dari Pesanggrahan Ambarketawan masuk ke dalam Kraton Ngayogyakarta. Peristiwa perpindahan ini ditandai dengan candra sengkala memet Dwi Naga Rasa Tunggal berupa dua ekor naga yang kedua ekornya saling melilit dan diukirkan di atas banon/renteng kelir baturana Kagungan Dalem Regol Kemagangan dan Regol Gadhung Mlathi. Momentum kepindahan inilah yang dipakai sebagai dasar penentuan Hari Jadi Kota Yogyakarta karena mulai saat itu berbagai macam sarana dan bangunan pendukung untuk mewadahi aktivitas pemerintahan baik kegiatan sosial, politik, ekonomi, budaya maupun tempat tinggal mulai dibangun secara bertahap. Berdasarkan itu semua maka Hari Jadi Kota Yogyakarta ditentukan pada tanggal 7 Oktober 2009 dan dikuatkan dengan Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 6 Tahun 2004
Quote:
2. Kabupaten Sleman

Mengungkap sejarah merupakan perjalanan yang rumit dan melelahkan. Setidaknya pengalaman tersebut dapat dipetik dari upaya Dati II Sleman untuk menentukan hari jadinya. Setelah melalui penelitian, pembahasan, dan perdebatan bertahun-tahun, akhirnya hari jadi Kabupaten Dati II Sleman disepakati. Perda no.12 tahun 1998 tertanggal 9 Oktober 1998, metetapkan tanggal 15 (lima belas) Mei tahun 1916 merupakan hari jadi Sleman. Di sini perlu ditegaskan bahwa hari jadi Sleman adalah hari jadi Kabupaten Sleman, bukan hari jadi Pemerintah Kabupaten Dati II Sleman. Penegasan ini diperlukan mengingat keberadaan Kabupaten Sleman jauh sebelum Proklamasi 17 Agustus 1945 sebagai wujud lahirnya negara Indonesia modern, yang memunculkan Pemerintah Kabupaten Dati II Sleman.
Keberadaan hari jadi Kabupaten Sleman memiliki arti penting bagi masyarakat dan pemerintah daerah untuk memantapkan jati diri, sebagai landasan yang menjiwai gerak langkah ke masa depan. Penetapan hari jadi ini akan melengkapi identitas yang saat ini dimiliki Kabupaten Sleman.
Dalam perhitungan Almanak, hari jadi Kabupaten Sleman jatuh pada hari Senin Kliwon, tanggal 12 (dua belas) Rejeb tahun Je 1846 Wuku Wayang. Atas dasar perhitungan tesebut ditentukan surya sengkala (perhitungan tahun Masehi) Rasa Manunggal Hanggatra Negara yang memiliki arti Rasa = 6, manunggal = 1, Hanggatra = 9, Negara = 1, sehingga terbaca tahun 1916. Sementara menurut perhitungan Jawa (Candra Sengkala) hari jadi Kabupaten Sleman adalah Anggana Catur Salira Tunggal yang berarti Anggana = 6, Catur = 4, Salira = 8, Tunggal = 1, sehingga terbaca tahun 1846. Kepastian keberadaan hari jadi Kabupaten Sleman didasarkan pada Rijksblad no. 11 tertanggal 15 Mei 1916. Penentuan hari jadi Kabupaten Sleman dilakukan melalui penelaahan berbagai materi dari berbagai sumber informasi dan fakta sejarah.
Adapun dasar-dasar pertimbangan yang digunakan adalah:
1. Usia penamaan yang paling tua Mampu menumbuhkan perasaan bangga dan mempunyai keterkaitan batin yang kuat terhadap masyarakat.
2. Memiliki ciri khas yang mampu membawa pengaruh nilai budaya .
3. Bersifat Indonesia sentris, yang dapat semakin menjelaskan peranan ciri keindonesiaan tanpa menyalahgunakan obyektivitas sejarah.
4. Mempunyai nilai historis yang tinggi, mengandung nilai dan bukti sejarah yang dapat membangun semangat dan rasa kagum atas jasa dan pengorbanan nenek moyang kita.
5. Merupakan peninggalan budaya Jawa yang murni, tidak terpengaruh oleh budaya kolonial.

Mengungkap sejarah merupakan perjalanan yang rumit dan melelahkan. Setidaknya pengalaman tersebut dapat dipetik dari upaya Dati II Sleman untuk menentukan hari jadinya. Setelah melalui penelitian, pembahasan, dan perdebatan bertahun-tahun, akhirnya hari jadi Kabupaten Dati II Sleman disepakati. Perda no.12 tahun 1998 tertanggal 9 Oktober 1998, metetapkan tanggal 15 (lima belas) Mei tahun 1916 merupakan hari jadi Sleman. Di sini perlu ditegaskan bahwa hari jadi Sleman adalah hari jadi Kabupaten Sleman, bukan hari jadi Pemerintah Kabupaten Dati II Sleman. Penegasan ini diperlukan mengingat keberadaan Kabupaten Sleman jauh sebelum Proklamasi 17 Agustus 1945 sebagai wujud lahirnya negara Indonesia modern, yang memunculkan Pemerintah Kabupaten Dati II Sleman.
Keberadaan hari jadi Kabupaten Sleman memiliki arti penting bagi masyarakat dan pemerintah daerah untuk memantapkan jati diri, sebagai landasan yang menjiwai gerak langkah ke masa depan. Penetapan hari jadi ini akan melengkapi identitas yang saat ini dimiliki Kabupaten Sleman.
Dalam perhitungan Almanak, hari jadi Kabupaten Sleman jatuh pada hari Senin Kliwon, tanggal 12 (dua belas) Rejeb tahun Je 1846 Wuku Wayang. Atas dasar perhitungan tesebut ditentukan surya sengkala (perhitungan tahun Masehi) Rasa Manunggal Hanggatra Negara yang memiliki arti Rasa = 6, manunggal = 1, Hanggatra = 9, Negara = 1, sehingga terbaca tahun 1916. Sementara menurut perhitungan Jawa (Candra Sengkala) hari jadi Kabupaten Sleman adalah Anggana Catur Salira Tunggal yang berarti Anggana = 6, Catur = 4, Salira = 8, Tunggal = 1, sehingga terbaca tahun 1846. Kepastian keberadaan hari jadi Kabupaten Sleman didasarkan pada Rijksblad no. 11 tertanggal 15 Mei 1916. Penentuan hari jadi Kabupaten Sleman dilakukan melalui penelaahan berbagai materi dari berbagai sumber informasi dan fakta sejarah.
Adapun dasar-dasar pertimbangan yang digunakan adalah:
1. Usia penamaan yang paling tua Mampu menumbuhkan perasaan bangga dan mempunyai keterkaitan batin yang kuat terhadap masyarakat.
2. Memiliki ciri khas yang mampu membawa pengaruh nilai budaya .
3. Bersifat Indonesia sentris, yang dapat semakin menjelaskan peranan ciri keindonesiaan tanpa menyalahgunakan obyektivitas sejarah.
4. Mempunyai nilai historis yang tinggi, mengandung nilai dan bukti sejarah yang dapat membangun semangat dan rasa kagum atas jasa dan pengorbanan nenek moyang kita.
5. Merupakan peninggalan budaya Jawa yang murni, tidak terpengaruh oleh budaya kolonial.
Quote:
3. Kabupaten Bantul

Bantul memang tak bisa dilepaskan dari sejarah Yogyakarta sebagai kota perjuangan dan sejarah perjuangan Indonesia pada umumnya. Bantul menyimpan banyak kisah kepahlawanan. Antara lain, perlawanan Pangeran Mangkubumi di Ambar Ketawang dan upaya pertahanan Sultan Agung di Pleret. Perjuangan Pangeran Diponegoro di Selarong. Kisah perjuangan pioner penerbangan Indonesia yaitu Adisucipto, pesawat yang ditumpanginya jatuh ditembak Belanda di Desa Ngoto. Sebuah peristiwa yang penting dicatat adalah Perang Gerilya melawan pasukan Belanda yang dipimpin oleh Jenderal Sudirman (1948) yang banyak bergerak di sekitar wilayah Bantul. Wilayah ini pula yang menjadi basis, "Serangan Oemoem 1 Maret" (1949) yang dicetuskan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX.
Tolok awal pembentukan wilayah Kabupaten Bantul adalah perjuangan gigih Pangeran Diponegoro melawan penjajah bermarkas di Selarong sejak tahun 1825 hingga 1830. Seusai meredam perjuangan Diponegoro, Pemeritah Hindia Belanda kemudian membentuk komisi khusus untuk menangani daerah Vortenlanden yang antara lain bertugas menangani pemerintahan daerah Mataram, Pajang, Sokawati, dan Gunung Kidul. Kontrak kasunanan Surakarta dengan Yogyakarta dilakukan baik hal pembagian wilayah maupun pembayaran ongkos perang, penyerahan pemimpin pemberontak, dan pembentukan wilayah administratif.
Tanggal 26 dan 31 Maret 1831 Pemerintah Hindia Belanda dan Sultan Yogyakarta mengadakan kontrak kerja sama tentang pembagian wilayah administratif baru dalam Kasultanan disertai penetapan jabatan kepala wilayahnya. Saat itu Kasultanan Yogyakarta dibagi menjadi tiga kabupaten yaitu Bantulkarang untuk kawasan selatan, Denggung untuk kawasan utara, dan Kalasan untuk kawasan timur. Menindaklanjuti pembagian wilayah baru Kasultanan Yogyakarta, tanggal 20 Juli 1831 atau Rabu Kliwon 10 sapar tahun Dal 1759 (Jawa) secara resmi ditetapkan pembentukan Kabupaten Bantul yang sebelumnya di kenal bernama Bantulkarang. Seorang Nayaka Kasultanan Yogyakarata bernama Raden Tumenggung Mangun Negoro kemudian dipercaya Sri Sultan Hamengkubuwono V untuk memangku jabatan sebagai Bupati Bantul.
Tanggal 20 Juli ini lah yang setiap tahunnya diperingati sebagai Hari Jadi Kabupaten Bantul. Selain itu tanggal 20 Juli tersebut juga memiliki nilai simbol kepahlawanan dan kekeramatan bagi masyarakat Bantul mengingat Perang Diponegoro dikobarkan tanggal 20 Juli 1825.Pada masa pendudukan Jepang, pemerintahan berdasarkan pada Usamu Seirei nomor 13 sedangakan stadsgemente ordonantie dihapus. Kabupaten Memiliki hak mengelola rumah tangga sendiri (otonom).
Kemudian setelah kemerdekaan, pemerintahan ditangani oleh Komite Nasional Daerah untuk melaksanakan UU No 1 tahun 1945. Tetapi di Yogyakarta dan Surakarta undang-undang tersebut tidak diberlakukan hingga dikeluarkannya UU Pokok Pemerintah Daerah No 22 tahun 1948. dan selanjutnya mengacu UU Nomor 15 tahun 1950 yang isinya pembentukan Pemerintahan Daerah Otonom di seluruh Indonesia.
Seiring dengan perjalanan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan silih bergantinya kepemimpinan nasional, kini ini Kabupaten Bantul telah mengalami kemajuan pesat diberbagai bidang dibawah kepemimpinan Drs. HM. Idham Samawi yang menjabat sejak akhir tahun 1999.

Bantul memang tak bisa dilepaskan dari sejarah Yogyakarta sebagai kota perjuangan dan sejarah perjuangan Indonesia pada umumnya. Bantul menyimpan banyak kisah kepahlawanan. Antara lain, perlawanan Pangeran Mangkubumi di Ambar Ketawang dan upaya pertahanan Sultan Agung di Pleret. Perjuangan Pangeran Diponegoro di Selarong. Kisah perjuangan pioner penerbangan Indonesia yaitu Adisucipto, pesawat yang ditumpanginya jatuh ditembak Belanda di Desa Ngoto. Sebuah peristiwa yang penting dicatat adalah Perang Gerilya melawan pasukan Belanda yang dipimpin oleh Jenderal Sudirman (1948) yang banyak bergerak di sekitar wilayah Bantul. Wilayah ini pula yang menjadi basis, "Serangan Oemoem 1 Maret" (1949) yang dicetuskan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX.
Tolok awal pembentukan wilayah Kabupaten Bantul adalah perjuangan gigih Pangeran Diponegoro melawan penjajah bermarkas di Selarong sejak tahun 1825 hingga 1830. Seusai meredam perjuangan Diponegoro, Pemeritah Hindia Belanda kemudian membentuk komisi khusus untuk menangani daerah Vortenlanden yang antara lain bertugas menangani pemerintahan daerah Mataram, Pajang, Sokawati, dan Gunung Kidul. Kontrak kasunanan Surakarta dengan Yogyakarta dilakukan baik hal pembagian wilayah maupun pembayaran ongkos perang, penyerahan pemimpin pemberontak, dan pembentukan wilayah administratif.
Tanggal 26 dan 31 Maret 1831 Pemerintah Hindia Belanda dan Sultan Yogyakarta mengadakan kontrak kerja sama tentang pembagian wilayah administratif baru dalam Kasultanan disertai penetapan jabatan kepala wilayahnya. Saat itu Kasultanan Yogyakarta dibagi menjadi tiga kabupaten yaitu Bantulkarang untuk kawasan selatan, Denggung untuk kawasan utara, dan Kalasan untuk kawasan timur. Menindaklanjuti pembagian wilayah baru Kasultanan Yogyakarta, tanggal 20 Juli 1831 atau Rabu Kliwon 10 sapar tahun Dal 1759 (Jawa) secara resmi ditetapkan pembentukan Kabupaten Bantul yang sebelumnya di kenal bernama Bantulkarang. Seorang Nayaka Kasultanan Yogyakarata bernama Raden Tumenggung Mangun Negoro kemudian dipercaya Sri Sultan Hamengkubuwono V untuk memangku jabatan sebagai Bupati Bantul.
Tanggal 20 Juli ini lah yang setiap tahunnya diperingati sebagai Hari Jadi Kabupaten Bantul. Selain itu tanggal 20 Juli tersebut juga memiliki nilai simbol kepahlawanan dan kekeramatan bagi masyarakat Bantul mengingat Perang Diponegoro dikobarkan tanggal 20 Juli 1825.Pada masa pendudukan Jepang, pemerintahan berdasarkan pada Usamu Seirei nomor 13 sedangakan stadsgemente ordonantie dihapus. Kabupaten Memiliki hak mengelola rumah tangga sendiri (otonom).
Kemudian setelah kemerdekaan, pemerintahan ditangani oleh Komite Nasional Daerah untuk melaksanakan UU No 1 tahun 1945. Tetapi di Yogyakarta dan Surakarta undang-undang tersebut tidak diberlakukan hingga dikeluarkannya UU Pokok Pemerintah Daerah No 22 tahun 1948. dan selanjutnya mengacu UU Nomor 15 tahun 1950 yang isinya pembentukan Pemerintahan Daerah Otonom di seluruh Indonesia.
Seiring dengan perjalanan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan silih bergantinya kepemimpinan nasional, kini ini Kabupaten Bantul telah mengalami kemajuan pesat diberbagai bidang dibawah kepemimpinan Drs. HM. Idham Samawi yang menjabat sejak akhir tahun 1999.
Quote:
4. Kabupaten Kulonprogo

Sebelum terbentuknya Kabupaten Kulon Progo pada yanggal 15 Oktober 1951, wilayah Kulon Progo terbagi atas dua kabupaten yaitu Kabupaten Kulon Progo yang merupakan wilayah Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kabupaten Adikarta yang merupakan wilayah Kadipaten Pakualaman.
WILAYAH KASULTANAN NGAYOGYAKARTA HADININGRAT (KABUPATEN KULON PROGO)
Sebelum Perang Diponegoro di daerah Negaragung, termasuk di dalamnya wilayah Kulon Progo, belum ada pejabat pemerintahan yang menjabat di daerah sebagai penguasa. Pada waktu itu roda pemerintahan dijalankan oleh pepatih dalem yang berkedudukan di Ngayogyakarta Hadiningrat. Setelah Perang Diponegoro 1825-1830 di wilayah Kulon Progo sekarang yang masuk wilayah Kasultanan terbentuk empat kabupaten yaitu:
Kabupaten Pengasih, tahun 1831
Kabupaten Sentolo, tahun 1831
Kabupaten Nanggulan, tahun 1851
Kabupaten Kalibawang, tahun 1855
Masing-masing kabupaten tersebut dipimpin oleh para Tumenggung. Menurut buku 'Prodjo Kejawen' pada tahun 1912 Kabupaten Pengasih, Sentolo, Nanggulan dan Kalibawang digabung menjadi satu dan diberi nama Kabupaten Kulon Progo, dengan ibukota di Pengasih. Bupati pertama dijabat oleh Raden Tumenggung Poerbowinoto. Dalam perjalanannya, sejak 16 Februari 1927 Kabupaten Kulon Progo dibagi atas dua Kawedanan dengan delapan Kapanewon, sedangkan ibukotanya dipindahkan ke Sentolo. Dua Kawedanan tersebut adalah Kawedanan Pengasih yang meliputi kepanewon Lendah, Sentolo, Pengasih dan Kokap/sermo. Kawedanan Nanggulan meliputi kapanewon Watumurah/Girimulyo, Kalibawang dan Samigaluh.
Yang menjabat bupati di Kabupaten Kulon Progo sampai dengan tahun 1951 adalah sebagai berikut:
RT. Poerbowinoto
KRT. Notoprajarto
KRT. Harjodiningrat
KRT. Djojodiningrat
KRT. Pringgodiningrat
KRT. Setjodiningrat
KRT. Poerwoningrat
WILAYAH KADIPATEN PAKUALAMAN ( KABUPATEN ADIKARTA)
Di daerah selatan Kulon Progo ada suatu wilayah yang masuk Keprajan Kejawen yang bernama Karang Kemuning yang selanjutnya dikenal dengan nama Kabupaten Adikarta. Menurut buku 'Vorstenlanden' disebutkan bahwa pada tahun 1813 Pangeran Notokusumo diangkat menjadi KGPA Ario Paku Alam I dan mendapat palungguh di sebelah barat Sungai Progo sepanjang pantai selatan yang dikenal dengan nama Pasir Urut Sewu. Oleh karena tanah pelungguh itu letaknya berpencaran, maka sentono ndalem Paku Alam yang bernama Kyai Kawirejo I menasehatkan agar tanah pelungguh tersebut disatukan letaknya. Dengan satukannya pelungguh tersebut, maka menjadi satu daerah kesatuan yang setingkat kabupaten. Daerah ini kemudian diberi nama Kabupaten Karang Kemuning dengan ibukota Brosot.
Sebagai Bupati yang pertama adalah Tumenggung Sosrodigdoyo. Bupati kedua, R. Rio Wasadirdjo, mendapat perintah dari KGPAA Paku Alam V agar mengusahakan pengeringan Rawa di Karang Kemuning. Rawa-rawa yang dikeringkan itu kemudian dijadikan tanah persawahan yang Adi (Linuwih) dan Karta (Subur) atau daerah yang sangat subur. Oleh karena itu, maka Sri Paduka Paku Alam V lalu berkenan menggantikan nama Karang Kemuning menjadi Adikarta pada tahun 1877 yang beribukota di Bendungan. Kemudian pada tahun 1903 bukotanya dipindahkan ke Wates. Kabupaten Adikarta terdiri dua kawedanan (distrik) yaitu kawedanan Sogan dan kawedanan Galur. Kawedanan Sogan meliputi kapanewon (onder distrik) Wates dan Temon, sedangkan Kawedanan Galur meliputi kapanewon Brosot dan Panjatan.
Bupati di Kabupaten Adikarta sampai dengan tahun 1951 berturut-turut sebagai berikut:
Tumenggung Sosrodigdoyo
R. Rio Wasadirdjo
RT. Surotani
RMT. Djayengirawan
RMT. Notosubroto
KRMT. Suryaningrat
Mr. KRT. Brotodiningrat
KRT. Suryaningrat (Sungkono)
PENGGABUNGAN KABUPATEN KULON PROGO DENGAN KABUPATEN ADIKARTA
Pada 5 September 1945 Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Pakualam VIII mengeluarkan amanat yang menyatakan bahwa daerah beliau yaitu Kasultanan dan Pakualaman adalah daerah yang bersifat kerajaan dan daerah istimewa dari Negara Republik Indonesia. Pada tahun 1951, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Pakualam VIII memikirkan perlunya penggabungan antara wilayah Kasultanan yaitu Kabupaten Kulon Progo dengan wilayah Pakualaman yaitu Kabupaten Adikarto. Atas dasar kesepakatan dari Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Pakualam VIII, maka oleh pemerintah pusat dikeluarkan UU No. 18 tahun 1951 yang ditetapkan tanggal 12 Oktober 1951 dan diundangkan tanggal 15 Oktober 1951. Undang-undang ini mengatur tentang perubahan UU No. 15 tahun 1950 untuk penggabungan Daerah Kabupaten Kulon Progo dan Kabupaten Adikarto dalam lingkungan DIY menjadi satu kabupaten dengan nama Kulon Progo yang selanjutnya berhak mengatur dan mengurus rumah-tanganya sendiri. Undang-undang tersebut mulai berlaku mulai tanggal 15 Oktober 1951. Secara yuridis formal Hari Jadi Kabupaten Kulon Progo adalah 15 Oktober 1951, yaitu saat diundangkannya UU No. 18 tahun 1951 oleh Menteri Kehakiman Republik Indonesia.
Selanjutnya pada tanggal 29 Desember 1951 proses administrasi penggabungan telah selesai dan pada tanggal 1 Januari 1952, administrasi pemerintahan baru, mulai dilaksanakan dengan pusat pemerintahan di Wates.

Sebelum terbentuknya Kabupaten Kulon Progo pada yanggal 15 Oktober 1951, wilayah Kulon Progo terbagi atas dua kabupaten yaitu Kabupaten Kulon Progo yang merupakan wilayah Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kabupaten Adikarta yang merupakan wilayah Kadipaten Pakualaman.
WILAYAH KASULTANAN NGAYOGYAKARTA HADININGRAT (KABUPATEN KULON PROGO)
Sebelum Perang Diponegoro di daerah Negaragung, termasuk di dalamnya wilayah Kulon Progo, belum ada pejabat pemerintahan yang menjabat di daerah sebagai penguasa. Pada waktu itu roda pemerintahan dijalankan oleh pepatih dalem yang berkedudukan di Ngayogyakarta Hadiningrat. Setelah Perang Diponegoro 1825-1830 di wilayah Kulon Progo sekarang yang masuk wilayah Kasultanan terbentuk empat kabupaten yaitu:
Kabupaten Pengasih, tahun 1831
Kabupaten Sentolo, tahun 1831
Kabupaten Nanggulan, tahun 1851
Kabupaten Kalibawang, tahun 1855
Masing-masing kabupaten tersebut dipimpin oleh para Tumenggung. Menurut buku 'Prodjo Kejawen' pada tahun 1912 Kabupaten Pengasih, Sentolo, Nanggulan dan Kalibawang digabung menjadi satu dan diberi nama Kabupaten Kulon Progo, dengan ibukota di Pengasih. Bupati pertama dijabat oleh Raden Tumenggung Poerbowinoto. Dalam perjalanannya, sejak 16 Februari 1927 Kabupaten Kulon Progo dibagi atas dua Kawedanan dengan delapan Kapanewon, sedangkan ibukotanya dipindahkan ke Sentolo. Dua Kawedanan tersebut adalah Kawedanan Pengasih yang meliputi kepanewon Lendah, Sentolo, Pengasih dan Kokap/sermo. Kawedanan Nanggulan meliputi kapanewon Watumurah/Girimulyo, Kalibawang dan Samigaluh.
Yang menjabat bupati di Kabupaten Kulon Progo sampai dengan tahun 1951 adalah sebagai berikut:
RT. Poerbowinoto
KRT. Notoprajarto
KRT. Harjodiningrat
KRT. Djojodiningrat
KRT. Pringgodiningrat
KRT. Setjodiningrat
KRT. Poerwoningrat
WILAYAH KADIPATEN PAKUALAMAN ( KABUPATEN ADIKARTA)
Di daerah selatan Kulon Progo ada suatu wilayah yang masuk Keprajan Kejawen yang bernama Karang Kemuning yang selanjutnya dikenal dengan nama Kabupaten Adikarta. Menurut buku 'Vorstenlanden' disebutkan bahwa pada tahun 1813 Pangeran Notokusumo diangkat menjadi KGPA Ario Paku Alam I dan mendapat palungguh di sebelah barat Sungai Progo sepanjang pantai selatan yang dikenal dengan nama Pasir Urut Sewu. Oleh karena tanah pelungguh itu letaknya berpencaran, maka sentono ndalem Paku Alam yang bernama Kyai Kawirejo I menasehatkan agar tanah pelungguh tersebut disatukan letaknya. Dengan satukannya pelungguh tersebut, maka menjadi satu daerah kesatuan yang setingkat kabupaten. Daerah ini kemudian diberi nama Kabupaten Karang Kemuning dengan ibukota Brosot.
Sebagai Bupati yang pertama adalah Tumenggung Sosrodigdoyo. Bupati kedua, R. Rio Wasadirdjo, mendapat perintah dari KGPAA Paku Alam V agar mengusahakan pengeringan Rawa di Karang Kemuning. Rawa-rawa yang dikeringkan itu kemudian dijadikan tanah persawahan yang Adi (Linuwih) dan Karta (Subur) atau daerah yang sangat subur. Oleh karena itu, maka Sri Paduka Paku Alam V lalu berkenan menggantikan nama Karang Kemuning menjadi Adikarta pada tahun 1877 yang beribukota di Bendungan. Kemudian pada tahun 1903 bukotanya dipindahkan ke Wates. Kabupaten Adikarta terdiri dua kawedanan (distrik) yaitu kawedanan Sogan dan kawedanan Galur. Kawedanan Sogan meliputi kapanewon (onder distrik) Wates dan Temon, sedangkan Kawedanan Galur meliputi kapanewon Brosot dan Panjatan.
Bupati di Kabupaten Adikarta sampai dengan tahun 1951 berturut-turut sebagai berikut:
Tumenggung Sosrodigdoyo
R. Rio Wasadirdjo
RT. Surotani
RMT. Djayengirawan
RMT. Notosubroto
KRMT. Suryaningrat
Mr. KRT. Brotodiningrat
KRT. Suryaningrat (Sungkono)
PENGGABUNGAN KABUPATEN KULON PROGO DENGAN KABUPATEN ADIKARTA
Pada 5 September 1945 Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Pakualam VIII mengeluarkan amanat yang menyatakan bahwa daerah beliau yaitu Kasultanan dan Pakualaman adalah daerah yang bersifat kerajaan dan daerah istimewa dari Negara Republik Indonesia. Pada tahun 1951, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Pakualam VIII memikirkan perlunya penggabungan antara wilayah Kasultanan yaitu Kabupaten Kulon Progo dengan wilayah Pakualaman yaitu Kabupaten Adikarto. Atas dasar kesepakatan dari Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Pakualam VIII, maka oleh pemerintah pusat dikeluarkan UU No. 18 tahun 1951 yang ditetapkan tanggal 12 Oktober 1951 dan diundangkan tanggal 15 Oktober 1951. Undang-undang ini mengatur tentang perubahan UU No. 15 tahun 1950 untuk penggabungan Daerah Kabupaten Kulon Progo dan Kabupaten Adikarto dalam lingkungan DIY menjadi satu kabupaten dengan nama Kulon Progo yang selanjutnya berhak mengatur dan mengurus rumah-tanganya sendiri. Undang-undang tersebut mulai berlaku mulai tanggal 15 Oktober 1951. Secara yuridis formal Hari Jadi Kabupaten Kulon Progo adalah 15 Oktober 1951, yaitu saat diundangkannya UU No. 18 tahun 1951 oleh Menteri Kehakiman Republik Indonesia.
Selanjutnya pada tanggal 29 Desember 1951 proses administrasi penggabungan telah selesai dan pada tanggal 1 Januari 1952, administrasi pemerintahan baru, mulai dilaksanakan dengan pusat pemerintahan di Wates.
Quote:
5. Kabupaten GunungKidul

Pada waktu Gunungkidul masih merupakan hutan belantara, terdapat suatu desa yang dihuni beberapa orang pelarian dari Majapahit. Desa tersebut adalah Pongangan, yang dipimpin oleh R. Dewa Katong saudara raja Brawijaya. Setelah R Dewa Katong pindah ke desa Katongan 10 km utara Pongangan, puteranya yang bernama R. Suromejo membangun desa Pongangan, sehingga semakin lama semakin rama. Beberapa waktu kemudian, R. Suromejo pindah ke Karangmojo.
Perkembangan penduduk di daerah Gunungkidul itu didengar oleh raja Mataram Sunan Amangkurat Amral yang berkedudukan di Kartosuro. Kemudian ia mengutus Senopati Ki Tumenggung Prawiropekso agar membuktikan kebenaran berita tersebut. Setelah dinyatakan kebenarannya, Tumenggung Prawiropekso menasehati R. Suromejo agar meminta ijin pada raja Mataram, karena daerah tersebut masuk dalam wilayah kekuasaannya.
R. Suromejo tidak mau, dan akhirnya terjadilah peperangan yang mengakibatkan dia tewas. Begitu juga 2 anak dan menantunya. Ki Pontjodirjo yang merupakan anak R Suromejo akhirnya menyerahkan diri, oleh Pangeran Sambernyowo diangkat menjadi Bupati Gunungkidul I. Namun Bupati Mas Tumenggung Pontjodirjo tidak lama menjabat karena adanya penentuan batas-batas daerah Gunungkidul antara Sultan dan Mangkunegaran II pada tanggal 13 Mei 1831. Gunungkidul (selain Ngawen sebagai daerah enclave Mangkunegaran) menjadi kabupaten di bawah kekuasaan Kasultanan Yogyakarta.
Mas Tumenggung Pontjodirjo diganti Mas Tumenggung Prawirosetiko, yang mengalihkan kedudukan kota kabupaten dari Ponjong ke Wonosari. Menurut Mr R.M Suryodiningrat dalam bukunya ”Peprentahan Praja Kejawen” yang dikuatkan buku de Vorstenlanden terbitan 1931 tulisan G.P Rouffaer, dan pendapat B.M.Mr.A.K Pringgodigdo dalam bukunya Onstaan En Groei van het Mangkoenegorosche Rijk, berdirinya Gunungkidul (daerah administrasi) tahun 1831 setahun seusai Perang Diponegoro, bersamaan dengan terbentuknya kabupaten lain di Yogyakarta. Disebutkan bahwa ”Goenoengkidoel, wewengkon pareden wetan lepen opak. Poeniko siti maosan dalem sami kaliyan Montjanagari ing jaman kino, dados bawah ipun Pepatih Dalem. Ing tahoen 1831 Nagoragung sarta Mantjanagari-nipoen Ngajogjakarta sampoen dipoen perang-perang, Mataram dados 3 wewengkon, dene Pangagengipoen wewengkon satoenggal-satoenggalipoen dipoen wastani Boepati Wadono Distrik kaparingan sesebatan Toemenggoeng, inggih poeniko Sleman (Roemijin Denggong), Kalasan serta Bantoel. Siti maosan dalem ing Pengasih dipoen koewaosi dening Boepati Wedono Distrik Pamadjegan Dalem. Makanten oegi ing Sentolo wonten pengageng distrik ingkang kaparingan sesebatan Riya. Goenoengkidoel ingkang nyepeng siti maosan dalem sesebatan nipoen Riya.”
Dan oleh upaya yang dilakukan panitia untuk melacak Hari Jadi Kabupaten Gunungkidul tahun 1984 baik yang terungkap melalui fakta sejarah, penelitian, pengumpulan data dari tokoh masyarakat, pakar serta daftar kepustakaan yang ada, akhirnya ditetapkan bahwa Kabupaten Gunungkidul dengan Wonosari sebagai pusat pemerintahan lahir pada hari Jumat Legi tanggal 27 Mei 1831 atau 15 Besar Je 1758 dan dikuatkan dengan Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Gunungkidul No : 70/188.45/6/1985 tentang Penetapan hari, tanggal bulan dan tahun Hari Jadi Kabupaten Gunungkidul yang ditandatangani oleh bupati saat itu Drs KRT Sosro Hadiningrat tanggal 14 Juni 1985.
Sedangkan secara yuridis, status Kabupaten Gunungkidul sebagai salah satu daerah kabupaten kabupaten yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dalam lingkungan Daerah Istimewa Yogyakarta dan berkedudukan di Wonosari sebagai ibukota kabupaten, ditetapkan pada tanggal 15 Agustus 1950 dengan UU no 15 Tahun 1950 jo Peraturan Pemerintah No 32 tahun 1950 pada saat Gunungkidul dipimpin oleh KRT Labaningrat.
Guna mengabadikan Hari Jadi Kabupaten Gunungkidul dibangun prasasti berupa tugu di makam bupati pertama Mas Tumenggung Pontjodirjo dengan bertuliskan Suryo sangkala dan Condro sangkala berbunyi : NYATA WIGNYA MANGGALANING NATA ” HANYIPTA TUMATANING SWAPROJO” Menuruut Suryo sangkala tahun 1831 dibalik 1381, sedang Condro sangkala 1758 dibalik 8571.

Pada waktu Gunungkidul masih merupakan hutan belantara, terdapat suatu desa yang dihuni beberapa orang pelarian dari Majapahit. Desa tersebut adalah Pongangan, yang dipimpin oleh R. Dewa Katong saudara raja Brawijaya. Setelah R Dewa Katong pindah ke desa Katongan 10 km utara Pongangan, puteranya yang bernama R. Suromejo membangun desa Pongangan, sehingga semakin lama semakin rama. Beberapa waktu kemudian, R. Suromejo pindah ke Karangmojo.
Perkembangan penduduk di daerah Gunungkidul itu didengar oleh raja Mataram Sunan Amangkurat Amral yang berkedudukan di Kartosuro. Kemudian ia mengutus Senopati Ki Tumenggung Prawiropekso agar membuktikan kebenaran berita tersebut. Setelah dinyatakan kebenarannya, Tumenggung Prawiropekso menasehati R. Suromejo agar meminta ijin pada raja Mataram, karena daerah tersebut masuk dalam wilayah kekuasaannya.
R. Suromejo tidak mau, dan akhirnya terjadilah peperangan yang mengakibatkan dia tewas. Begitu juga 2 anak dan menantunya. Ki Pontjodirjo yang merupakan anak R Suromejo akhirnya menyerahkan diri, oleh Pangeran Sambernyowo diangkat menjadi Bupati Gunungkidul I. Namun Bupati Mas Tumenggung Pontjodirjo tidak lama menjabat karena adanya penentuan batas-batas daerah Gunungkidul antara Sultan dan Mangkunegaran II pada tanggal 13 Mei 1831. Gunungkidul (selain Ngawen sebagai daerah enclave Mangkunegaran) menjadi kabupaten di bawah kekuasaan Kasultanan Yogyakarta.
Mas Tumenggung Pontjodirjo diganti Mas Tumenggung Prawirosetiko, yang mengalihkan kedudukan kota kabupaten dari Ponjong ke Wonosari. Menurut Mr R.M Suryodiningrat dalam bukunya ”Peprentahan Praja Kejawen” yang dikuatkan buku de Vorstenlanden terbitan 1931 tulisan G.P Rouffaer, dan pendapat B.M.Mr.A.K Pringgodigdo dalam bukunya Onstaan En Groei van het Mangkoenegorosche Rijk, berdirinya Gunungkidul (daerah administrasi) tahun 1831 setahun seusai Perang Diponegoro, bersamaan dengan terbentuknya kabupaten lain di Yogyakarta. Disebutkan bahwa ”Goenoengkidoel, wewengkon pareden wetan lepen opak. Poeniko siti maosan dalem sami kaliyan Montjanagari ing jaman kino, dados bawah ipun Pepatih Dalem. Ing tahoen 1831 Nagoragung sarta Mantjanagari-nipoen Ngajogjakarta sampoen dipoen perang-perang, Mataram dados 3 wewengkon, dene Pangagengipoen wewengkon satoenggal-satoenggalipoen dipoen wastani Boepati Wadono Distrik kaparingan sesebatan Toemenggoeng, inggih poeniko Sleman (Roemijin Denggong), Kalasan serta Bantoel. Siti maosan dalem ing Pengasih dipoen koewaosi dening Boepati Wedono Distrik Pamadjegan Dalem. Makanten oegi ing Sentolo wonten pengageng distrik ingkang kaparingan sesebatan Riya. Goenoengkidoel ingkang nyepeng siti maosan dalem sesebatan nipoen Riya.”
Dan oleh upaya yang dilakukan panitia untuk melacak Hari Jadi Kabupaten Gunungkidul tahun 1984 baik yang terungkap melalui fakta sejarah, penelitian, pengumpulan data dari tokoh masyarakat, pakar serta daftar kepustakaan yang ada, akhirnya ditetapkan bahwa Kabupaten Gunungkidul dengan Wonosari sebagai pusat pemerintahan lahir pada hari Jumat Legi tanggal 27 Mei 1831 atau 15 Besar Je 1758 dan dikuatkan dengan Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Gunungkidul No : 70/188.45/6/1985 tentang Penetapan hari, tanggal bulan dan tahun Hari Jadi Kabupaten Gunungkidul yang ditandatangani oleh bupati saat itu Drs KRT Sosro Hadiningrat tanggal 14 Juni 1985.
Sedangkan secara yuridis, status Kabupaten Gunungkidul sebagai salah satu daerah kabupaten kabupaten yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dalam lingkungan Daerah Istimewa Yogyakarta dan berkedudukan di Wonosari sebagai ibukota kabupaten, ditetapkan pada tanggal 15 Agustus 1950 dengan UU no 15 Tahun 1950 jo Peraturan Pemerintah No 32 tahun 1950 pada saat Gunungkidul dipimpin oleh KRT Labaningrat.
Guna mengabadikan Hari Jadi Kabupaten Gunungkidul dibangun prasasti berupa tugu di makam bupati pertama Mas Tumenggung Pontjodirjo dengan bertuliskan Suryo sangkala dan Condro sangkala berbunyi : NYATA WIGNYA MANGGALANING NATA ” HANYIPTA TUMATANING SWAPROJO” Menuruut Suryo sangkala tahun 1831 dibalik 1381, sedang Condro sangkala 1758 dibalik 8571.





0
4.2K
Kutip
21
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan