Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

telorissAvatar border
TS
teloriss
KASUS PENGGEBUKAN WANITA, PDIP HADAPI KRISIS 3 K




MASINTON Pasaribu, politisi PDIP, kalau tidak keliru merupakan salah seorang aktivis binaan Taufiq Kiemas. Latar belakang binaan inilah yang membawanya menjadi seorang wakil rakyat di Parlemen Senayan. Begitu berkiprah di Parlemen, Masinton langsung memperlihatkan karakternya sebagai politisi pemberani.

Masinton termasuk anggota DPR-RI yang menjadi inisiator bagi penyelidikan kasus korupsi yang ada Pelindo II dengan Dirutnya RJ Lino. Inisiatifnya berujung dengan dibentuknya Pansus Pelindo II. Masinton pun tercatat sebagai politisi junior yang vokal.

Sementara Taufiq Kiemas tergolong politisi senior PDIP yang boleh dibilang disegani oleh para politisi nasional lintas partai.

Taufiq Kiemas disegani antara lain karena sifatnya yang selalu mendahulukan dialog dan mengedepankan persaudaraan. Politisi yang anti-kekerasan.

Bagi Taufiq, yang meninggal lebih dari dua tahun lalu, orang boleh saja tidak suka terhadap PDIP dan ideologinya Soekarnois, Nasionalis, Pluralis.

Tetapi Taufiq punya prinsip, sebagai politisi dia harus mampu meyakinkan lawan politiknya. Bahwa persaudaraan sesama bangsa Indonesia jauh lebih penting dari pada perbedaan.

Dengan latar belakang binaan itu, seharusnya Masinton sudah menjadi politisi nasional berkarakter seperti almarhum TK. Senang berdialog, murah senyum dan anti-kekerasan.

Tetapi mengikuti pemberitaan tentang penggebukan wanita - dengan berbagai versi - dimana Masinton disebut-sebut sebagai pengebuk staf ahlinya Dita Aditia, saya termasuk yang sangat terkejut. Tidak percaya bahwa Masinton mengalami proses pengkaderan oleh almarhum TK.

Namun bukan di situ soalnya.

Dari kasus Masinton versus Dita, sebetulnya terrefleksi secara terang benderang, apa dan bagaimana situasi keseluruhan PDIP saat ini.

Partai yang baru memperingati hari jadinya ke-43 ini sedang berpacu melawan kelemahan. Partai ini sedang mengalami krisis di tiga wilayah yaitu karakter, kualitas dan kapabilitas. Atau krisis 3K.

Secara resmi, PDIP merupakan peraih suara terbanyak dalam Pemilu Legislatif 2014. Tetapi kenyataannya, kemenangan itu tak bisa dimaksimalkannya. PDIP tidak bisa menjadi Partai Penguasa. Bahkan untuk menjadi pimpinan di lembaga legislatif DPR dan MPR-RI saja, tak kuat alias gagal total.

Joko Widodo bisa terpilih menjadi Presiden dalam Pilpres 2014 kemarin, karena melalui kereta politik PDIP. Dengan keterpilihannya itu, secara logika Joko Widodo adalah Presiden bagi seluruh rakyat Indonesia yang berasal dari PDIP.

Tapi yang terjadi, setelah terpilih sebagai Presiden, hubungan Joko Widodo dengan partai induk, justru merenggang.

Joko Widodo yang kadar kekaderannya sebagai politisi PDIP mungkin memang sedang-sedang saja, tiba-tiba merasa malu mengaku sebagai Presiden RI yang berasal dari PDIP.

Sementara lawan politik PDIP melakukan provokasi, agar Joko Widodo tidak boleh menjadi Presiden bagi satu partai saja. Berhasil!

Di tengah tarik menarik dan situasi yang penuh intrik itu, PDIP memaksa agar sebagai Presiden, Joko Widodo harus mengaku sebagai petugas partai. Tagihan pengakuan yang tidak perlu.

Cara penagihan yang kurang elegan, akhirnya membuat Joko Widodo seperti dipermalukan oleh partainya sendiri. Dampaknya hubungan Presiden Joko Widodo dengan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mengesankan kurang harmonis. Di bawah Megawati, sudah menunggu sejumlah kader yang selalu siap mencerca Joko Widodo.

Situasi lainnya, PDIP pasca Pemilu 2014, tidak berbanding lurus dengan hasil Pemilu Legislatif 2009. PDIP lebih berhasil atau berwibawa di era 2009.

Sebab walaupun bukan sebagai partai pemenang, tetapi politisi PDIP Taufiq Kiemas justru bisa menjadi Ketua MPR.

Politisi Demokrat justru hanya menjadi wakilnya Taufiq. Dan keberhasilan itu tidak melalui pemungutan suara, melainkan langsung aklamasi melalui musyawarah mufakat.

Selain itu hasil Pemilu 2009, PDIP menjadi Partai Oposisi yang disegani. Sementara Pemilu 2014, PDIP menjadi Partai Pemerintah yang tak bisa memerintah.

Di sini terlihat bahwa penyebabnya antara lain karena karakter para kader PDIP, kalah militan. Dari elit hingga akar rumputnya, tidak mampu bemanuver seperti yang dilakukan TK.

Kader PDIP kalah jauh militansinya dibandingkan dengan kader PKS. Sebagaimana yang dicerminkan oleh politisi Fahri Hamzah, Wakil Ketua DPR, bagi dia tidak ada ruang yang boleh diambil atau diduduki oleh partai lain.

Walaupun PKS hanya menduduki urutan kesekian dalam perolehan suara di Pemilu Legsilatif 2014, bila perlu PKS tidak hanya duduk sebagai Wakil Ketua DPR. Soal berhasil atau tidak, perkara belakangan.


Sudah kalah atau gagal dalam pelbagai pertarungan, PDIP juga tidak mampu memberikan menteri di kabinet Presiden Joko Widodo yang berani menangkis pelecehan politik oleh partai lan. Terkesan terlalu pasif.

Mendagri Tjahjo Kumolo maupun Sekretaris Kabinet Pramono Anung bisa diledek oleh Nurdin Khalid dari Partai Golkar sebagai politisi yang masih berwarna kuning.

Bahkan konflik internal di PDIP bisa terbaca dari kegagalan Maruarar Sirait menjadi salah seorang Menteri.

Ara, demikian panggilan akrabnya, yang pada 26 Oktober 2014 sudah hadir di Istana Merdeka untuk diumumkan sebagai salah seorang Menteri, tiba-tiba menghilang. Hilangnya Ara, menjadi sebuah pemandangan politik yang buram.

Pemerintahan Jokowi sudah berjalan lebih dari satu tahun. Kalau direkam semua kritikan dan cercaan terhadap pemerintahan ini, akan terlihat sebuah data yang mungkin bisa membelalakan mata. Bagaimana tidak, yang paling keras mengeritik Presiden Joko Widodo, justru kader PDIP.

Politisi PDIP seperti Efendi Simbolon atau Riekie Diah Pitaloka, tercatat sebagai pihak yang paling kuat mencerca, manakala sudah mengkritisi pemerintahan Joko Widodo. Aneh saja walaupun hak politik mereka itu merupakan bagian dari hak demokrasi.

Yang cukup memalukan, ketika belakangan dua anggota DPR dari PDIP kembali membuat masalah. Yaitu Damayanti Wisnu yang tertangkap tangan oleh KPK dan Herman Hary yang disebut-sebut mengancam melalui telepon, untuk membunuh seorang petugas polri.

Memalukan sebab sejauh ini PDIP berusaha membantah sebagai pihak yang sedang melemehkan KPK, melalui revisi UU tentang KPK. Bantahan belum bisa meyakinkan, kader wanitanya sudah tertangkap tangan KPK.

Soal Herman Hary yang jadi masalah besar bukan perdagangan mirasnya, tetapi ancaman pembunuhan.

Catatan penutup, sekalipun persoalan di atas sudah terang benderang sebagai fakta yang dapat menyebabkan PDIP kehilangan pengaruh dan respektasi masyarakat, tetapi keinginan merubah ke hal yang lebih elegan, tidak juga dilakukan.

Ini terlihat dari sikap Puan Maharani. Puan sudah menjadi anggota kabinet dengan posisi sebagai Menko. Tetapi santer disebutkan dia belum mau melepas statusnya sebagai anggota DPR. Padahal perangkapan jabatan di eksekutif dan legislatif seperti ini, tidak dikenal dalam sistem pemerintahan presidentiel.

Itu hanya ada dalam sistem parlementer, seperti Austraia, Singapura atau Inggeris.

Akhirnya kesan PDIP sebagai partai yang ganas dan punya integritas, tergerus.

PDIP masih seperti banteng. Yang bisa ganas dan mengamuk. Tapi yang disayangkan, banteng PDIP, sudah tak bertanduk.

Kader PDIP yang membuat masalah relatif sedikit. Tapi masalah yang mereka buat bisa merusak semua. Kerusakan yang mereka timbulkan pun, bagaikan "aftermath" yang dihasilkan oleh banteng yang sedang mengamuk.

Entah benar atau salah sinyalimen sementara. Bahwa salah satu penyebabnya adalah karena PDIP sudah kehilangan sosok katalisator, dinamisator serta motivator. Politisi sekaliber Taufiq Kiemas. [***]


http://www.rmol.co/read/2016/02/02/2...pi-Krisis-3-K-
Diubah oleh teloriss 02-02-2016 03:09
0
2.5K
27
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan