- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Bersatu Melawan Terorisme dan Imperialisme


TS
siraitparadoks
Bersatu Melawan Terorisme dan Imperialisme
Quote:
Serangan teror meledak tepat di jantung Ibukota Jakarta, tepatnya di jalan Thamrin, yang letaknya hanya beberapa ratus meter dari Istana Negara. Seantero Nusantara menjadi gempar: terorisme bukan lagi bahaya laten, tetapi sudah ancaman nyata. Lantas, perbincangan ramai bergulir di tengah-tengah khalayak. Dan, seperti biasa, dalam sekelebatan mata muncul kesimpulan. Termasuk kesimpulan Goenawan Mohamad. Menurut budayawan kondang ini, terorisme berpangkal dari kebencian. “Jangan diabaikan kekerasan dimulai dari kebencian kecil,” kata Goenawan seperti dikutip portal KBR, Jumat (15/1/2016). Di akun twitternya, Goenawan menghubungkan terorisme/radikalisme dengan paranoia ideologi. Dia bilang, “Ideologi dibangun dari penolakan dan paranoia: serba curiga, berprasangka, dengki kepada orang-orang di luar kelompok mereka.” Dia melanjutkan, “penderita paranoia, juga paranoia ideologi, selalu melihat ada musuh di sekitar mereka. Mereka lihat hidup sebagai perang untuk menghancurkan.” Dari sinilah, dalam anggapan Goenawan, pangkal lahirnya terorisme dan radikalisme adalah “kebencian kepada yang berbeda dan hasrat menghabisi yang bukan kami.” Kesimpulan Goenawan itu segaris dengan kesimpulan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) beberapa tahun lalu. Saat itu, Ketua BNPT Ansyaad Mbai mengatakan, terorisme tidak akan habis selama faham penyebaran kebencian atas nama agama masih ada (liputan6.com, 24/10/2012). Kesimpulan di atas tidaklah baru. Kita sering mendengar kesimpulan bahwa terorisme dibakar oleh ideologi, dogmatisme agama, dan benturan kebudayaan.
Terorisme tidak bisa dipisahkan dari kondisi ekonomi, politik, dan sosial-budaya. Banyak orang terdorong menjadi teroris karena kondisi sosial, seperti kemiskinan, ketimpangan ekonomi, politik yang korup, dan lain-lain. Kata Goenawan, radikalisme muncul karena kebencian terhadap yang berbeda. Tidak ada kebencian yang fitrawi. Tidak ada orang yang lahir dengan kebencian. Kebencian adalah reaksi seseorang terhadap keadaan sekitarnya. Begitu juga dengan radikalisme. Radikalisme adalah reaksi terhadap keadaan sosial: melebarnya ketimpangan sosial, menjamurnya ketidakadilan, korupsi yang merajalela, dan campur tangan asing (korporasi/negara asing) yang begitu kuat. Begitu juga dengan para pelaku teror Sarinah. Beberapa pelaku adalah orang-orang kelas bawah yang bergelut dengan kemiskinan. Ada bekas Satpam yang kemudian jadi sopir angkot, tukang pijat, dan anak buruh tani miskin. Lantas, di mana peran ideologi? Ideologi tidaklah independen. Sebaliknya, dia adalah hasil konstruksi sosial. Ideologi adalah gambaran yang disadari atau tidak disadari tentang kenyataan sosial. Bisa benar, bisa tidak. Bisa saja, misalnya, seseorang melihat persoalan kemiskinan, ketimpangan sosial, korupsi yang merajalela, dan ketidakadilan sebagai ekspresi dari pengabaian terhadap perintah Tuhan. Nah, kalau sudah begitu, ideologi yang bernuansa konservatif dan reaksioner akan mudah merasuki pikiran orang tersebut. Jadi, bisa saja ideologi itu adalah kesadaran palsu atau keliru tentang kenyataan sosial.
Ideologi tidak berdiri di ruang yang netral. Dia mencerminkan pergulatan sosial atau pertarungan kelas dalam masyarakat. Mereka yang berusaha mempertahankan status-quo cenderung konservatif. Sebaliknya, mereka yang menginginkan emansipasi ke yang lebih baik pasti progressif. Dalam masyarakat berkelas, kelas berkuasa akan selalu berusaha memanipulasi kesadaran kelas tertindas. Dia selalu berusaha mencegah kelas tertindas untuk menemukan penjelasan yang ilmiah dan rasional mengapa mereka tertindas. Dan sebagai obat mujarabnya, ideologi-ideologi reaksioner (fasisme, chauvinisme, dll) dan dogmatisme agama sering dipakai untuk memanipulasi kesadaran kelas tertindas itu. Tidak heran, di banyak tempat, tidak terkecuali di negara-negara maju, ketidakpuasan terhadap keadaan dialihkan menjadi kebencian terhadap bangsa asing, kaum imigran, bangsa kafir, dan musuh-musuh hasil rekayasa lainnya. Ideologi yang meracuni otak para pelaku teror itu termasuk dalam golongan dari ideologi manipulatif itu.
Dalam menghadapi ancaman teror dari ISIS dan sejenisnya, posisi kita sama: Lawan! Tetapi, melawan ISIS dan sejenisnya tidak sekedar dengan menentang faham yang mengatasnamakan agama untuk menebar teror, melainkan juga memerangi kondisi ekonomi, sosial, dan politik yang memungkinkan orang menjadi teroris. Karena itu, mari memerangi sistim ekonomi-politik yang melanggengkan ketidaksetaraan, ketimpangan, ketidakadilan, korupsi, dan kemiskinan. Selanjutnya, melawan terorisme bukan dengan menutup ruang demokrasi, tetapi justru memperlebarnya agar setiap orang bisa berbicara dan menyuarakan keinginannya. Radikalisme justru akan menemukan tempatnya di tengah masyarakat yang disumbat mulutnya ketika hendak berpendapat atau melalukan protes. Kemudian, mari memperbaiki kembali tata-pergaulan bangsa kita yang mulai pudar, yaitu Bhineka Tunggal Ika. Tentu saja, ini harus disertai dengan jaminan kemerdekaan beragama dan menjalankan ibadah sesuai agama/keyakinan masing-masing, penghormatan terhadap adat-tradisi yang beragam sebagai kekayaan nasional, perlakuan dan kedudukan yang sama di depan hukum, dan pembangunan ekonomi yang merata dan berkeadilan sosial. Kita juga perlu mereoritasi pendidikan nasional dari berorientasi pasar menjadi berorientasi pada pembangunan manusia Indonesia yang cinta tanah-air, demokratis, dan berperikemanusiaan. Pendidikan bisa menjadi senjata melawan terorisme. Terakhir, dan yang paling pokok, perjuangan melawan terorisme harus juga perjuangan melawan imperialisme. Karena terbukti terorisme bergandengan tangan dengan imperialisme
Terorisme tidak bisa dipisahkan dari kondisi ekonomi, politik, dan sosial-budaya. Banyak orang terdorong menjadi teroris karena kondisi sosial, seperti kemiskinan, ketimpangan ekonomi, politik yang korup, dan lain-lain. Kata Goenawan, radikalisme muncul karena kebencian terhadap yang berbeda. Tidak ada kebencian yang fitrawi. Tidak ada orang yang lahir dengan kebencian. Kebencian adalah reaksi seseorang terhadap keadaan sekitarnya. Begitu juga dengan radikalisme. Radikalisme adalah reaksi terhadap keadaan sosial: melebarnya ketimpangan sosial, menjamurnya ketidakadilan, korupsi yang merajalela, dan campur tangan asing (korporasi/negara asing) yang begitu kuat. Begitu juga dengan para pelaku teror Sarinah. Beberapa pelaku adalah orang-orang kelas bawah yang bergelut dengan kemiskinan. Ada bekas Satpam yang kemudian jadi sopir angkot, tukang pijat, dan anak buruh tani miskin. Lantas, di mana peran ideologi? Ideologi tidaklah independen. Sebaliknya, dia adalah hasil konstruksi sosial. Ideologi adalah gambaran yang disadari atau tidak disadari tentang kenyataan sosial. Bisa benar, bisa tidak. Bisa saja, misalnya, seseorang melihat persoalan kemiskinan, ketimpangan sosial, korupsi yang merajalela, dan ketidakadilan sebagai ekspresi dari pengabaian terhadap perintah Tuhan. Nah, kalau sudah begitu, ideologi yang bernuansa konservatif dan reaksioner akan mudah merasuki pikiran orang tersebut. Jadi, bisa saja ideologi itu adalah kesadaran palsu atau keliru tentang kenyataan sosial.
Ideologi tidak berdiri di ruang yang netral. Dia mencerminkan pergulatan sosial atau pertarungan kelas dalam masyarakat. Mereka yang berusaha mempertahankan status-quo cenderung konservatif. Sebaliknya, mereka yang menginginkan emansipasi ke yang lebih baik pasti progressif. Dalam masyarakat berkelas, kelas berkuasa akan selalu berusaha memanipulasi kesadaran kelas tertindas. Dia selalu berusaha mencegah kelas tertindas untuk menemukan penjelasan yang ilmiah dan rasional mengapa mereka tertindas. Dan sebagai obat mujarabnya, ideologi-ideologi reaksioner (fasisme, chauvinisme, dll) dan dogmatisme agama sering dipakai untuk memanipulasi kesadaran kelas tertindas itu. Tidak heran, di banyak tempat, tidak terkecuali di negara-negara maju, ketidakpuasan terhadap keadaan dialihkan menjadi kebencian terhadap bangsa asing, kaum imigran, bangsa kafir, dan musuh-musuh hasil rekayasa lainnya. Ideologi yang meracuni otak para pelaku teror itu termasuk dalam golongan dari ideologi manipulatif itu.
Dalam menghadapi ancaman teror dari ISIS dan sejenisnya, posisi kita sama: Lawan! Tetapi, melawan ISIS dan sejenisnya tidak sekedar dengan menentang faham yang mengatasnamakan agama untuk menebar teror, melainkan juga memerangi kondisi ekonomi, sosial, dan politik yang memungkinkan orang menjadi teroris. Karena itu, mari memerangi sistim ekonomi-politik yang melanggengkan ketidaksetaraan, ketimpangan, ketidakadilan, korupsi, dan kemiskinan. Selanjutnya, melawan terorisme bukan dengan menutup ruang demokrasi, tetapi justru memperlebarnya agar setiap orang bisa berbicara dan menyuarakan keinginannya. Radikalisme justru akan menemukan tempatnya di tengah masyarakat yang disumbat mulutnya ketika hendak berpendapat atau melalukan protes. Kemudian, mari memperbaiki kembali tata-pergaulan bangsa kita yang mulai pudar, yaitu Bhineka Tunggal Ika. Tentu saja, ini harus disertai dengan jaminan kemerdekaan beragama dan menjalankan ibadah sesuai agama/keyakinan masing-masing, penghormatan terhadap adat-tradisi yang beragam sebagai kekayaan nasional, perlakuan dan kedudukan yang sama di depan hukum, dan pembangunan ekonomi yang merata dan berkeadilan sosial. Kita juga perlu mereoritasi pendidikan nasional dari berorientasi pasar menjadi berorientasi pada pembangunan manusia Indonesia yang cinta tanah-air, demokratis, dan berperikemanusiaan. Pendidikan bisa menjadi senjata melawan terorisme. Terakhir, dan yang paling pokok, perjuangan melawan terorisme harus juga perjuangan melawan imperialisme. Karena terbukti terorisme bergandengan tangan dengan imperialisme
Terorisme Harus Dibasmi biar punah 

Spoiler for :
[URL="http://www.berdikarionline.com/terorisme-dan-imperialisme/#ixzz3yWSUGI00 "]SUMUR[/URL]
0
2.4K
Kutip
39
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan