Macho kini telah mengalami pergeseran makna (terutama) di media sosial. Alih-alih menunjukkan otot lengan atau pria berbusana trendi, kini banyak laki-laki yang lebih suka mem-posting cincin batu akik terbaru di akun pribadi media sosialnya.

Kini, para lelaki yang keranjingan batu akik telah mengubah versi maskulinitas menjadi kurang opresif. Citra maskulin yang digambarkan oleh postingan laki-laki penggila batu akik di akun pribadi media sosial menunjukkan sebuah cara yang feminin.

Selama ini perempuan lah yang memiliki ketertarikan besar terhadap bentuk-bentuk perhiasan yang digunakan untuk memperindah bagian tubuhnya. Seperti tak mau kalah, laki-laki pun turut menghias jarinya dengan cincin-cincin batu akik aneka warna. Apakah fenomena batu akik ini merupakan bentuk penghargaan sistem patriarki terhadap emansipasi perempuan?

Dulu, phallus (simbol kejantanan pria) digambarkan dengan alat kelamin maupun tubuh yang kekar. Kini phallus dicitrakan (secara lebih lembut) dengan batu akik. Dalam teori psikoanalisis, phallus menandakan kuasa untuk mengatur pemuasan hasrat. Karena itu, phallus sekaligus juga legitimasi kekuasaan pria.

Kepemilikan batu akik bisa menjadi ajang untuk menunjukkan dominasinya, tak hanya pada perempuan, tapi juga pada pria lain. Pertama, dominasi secara finansial. Sebuah batu akik yang besar dan langka akan semakin mahal harganya hingga mencapai ratusan juta rupiah. Memiliki batu yang mahal tentu akan menjadi sebuah prestise tersendiri.

Kedua, dominasi akses. Jika secara finansial seorang lelaki mampu membeli batu akik yang mahal, maka dia pun mampu memiliki akses ke sumber batu akik agar bisa mendapatkan batu paling berkualitas.

Ketiga, dengan menguasai akses dan finansial, pria bisa menjadi merasa bisa memiliki segalanya. Dengan demikian, ego lelaki telah terpenuhi karena hasratnya terhadap suatu hal telah terpuaskan.

SUMBER: https://www.selasar.com/gaya-hidup/c...-dan-batu-akik