Kaskus

Entertainment

voxeuAvatar border
TS
voxeu
Hamil di Luar Nikah, Salah Siapa?!
Berawal dari berita ini di subforum sebelah..

Hamil di Luar Nikah, Salah Siapa?!

Dalam Setahun 976 pelajar Yogyakarta hamil di luar nikah

Merdeka.com - Sepanjang 2015, Dinas Kesehatan DIY mencatat ada 1.078 remaja usia sekolah di Yogyakarta yang melakukan persalinan. Dari jumlah itu, 976 diantaranya hamil di luar pernikahan.

Angka kehamilan di luar nikah merata di lima kabupaten/kota di Yogya. Di Bantul ada 276 kasus, Kota Yogyakarta ada 228 kasus, Sleman ada 219 kasus, Gunungkidul ada 148 kasus, dan Kulon Progo ada 105 kasus.

Koordinator Penelitian dan Diseminasi Data Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) DIY, Aprilia Ike Nurwijayanti prihatin dengan tingginya angka kehamilan di luar nikah. Angka ini berbanding lurus dengan data dispensasi nikah usia 16-18 tahun di Pengadilan Agama yang cukup tinggi mencapai 37 selama 2015.

"Kalau data PKBI DIY, kehamilan di luar nikah usia pelajar yang melakukan konseling sebanyak 331 kasus sampai November. Itu belum termasuk yang tidak terdata," kata Aprilia saat dihubungi merdeka.com, Kamis (27/1).

Dalam pandangannya, tingginya tingkat kehamilan pelajar di Yogya dipengaruhi kurangnya informasi reproduksi bagi remaja. "Seharusnya mereka sudah dibekali pada usia seperti itu. Tapi faktanya mereka belum semua paham kesehatan reproduksi seperti apa," terangnya.

Faktor lain, kurangnya insiatif orang tua mengedukasi anak-anak tentang kesehatan reproduksi. Alasannya, masih dianggap tabu.

"Kami sendiri sudah buat materi untuk mengedukasi anak usia pelajar. Materi ini kami susun dengan guru-guru dan juga siswa-siswi. Kamis sudah bagikan itu untuk jadi semacam pengetahuan awal untuk mereka," ucapnya.



Tergelitik rasanya untuk membedah fenomena ini. Mengapa fokus solusinya pendidikan kesehatan reproduksi?

Oke, tidak bisa dipungkiri, Pendidikan kesehatan reproduksi memang penting. Agar remaja menjadi tahu tentang bagaimana cara untuk menghindari atau meminimalisir resiko penyakit menular seksual, bahaya dari kehamilan dini dan atau ancaman psikis apabila seseorang mengalami masalah biologis akibat sex yang tidak aman. Tapi sebenarnya yang harus digarisbawahi, kapan pengetahuan pendidikan reproduksi ini menjadi berguna untuk mereka?

Jawabannya adalah pada saat mereka berkeluarga nanti.

Lalu saat mereka belum menikah? bagaimana?

Fokusnya bukan lagi pendidikan tentang seks atau kesehatan dalam bereproduksi. Bukankah seharusnya justru ke pendidikan mental dan moral? Mengapa kita harus menjadi begitu permissiv? Bukankah justru berbahaya apabila pola pikir ini dibiarkan. Yaitu pola pikir untuk mengatasi gejala tetapi tidak menyelesaikan penyebab utamanya?

Satu hal yang menjadi fokus perhatian ane adalah pendidikan di keluarga batih/inti.

Orangtua dewasa ini, banyak yang mulai menyerahkan secara penuh pendidikan putra-putrinyanya ke institusi resmi. Sebenarnya tidak sepenuhnya salah, hanya saja, bukankah Orangtua harus menyadari bahwa pendidikan yang utama, diantaranya pendidikan mental, moral dan budi pekerti itu ada di keluarga batih. Siapa itu keluarga batih: Ayah, Ibu dan anak-anaknya. Bukan Kakek, Nenek, Mertua, Om, Tante apalagi guru di sekolah atau tempat les putra-putrinya.

Mengapa demikian?

Pertama, karena pengawasan institusi resmi itu terbatas. Terbatas paling tidak dari segi waktu dan kekuasaannya. Berbeda dengan pendidikan keluarga batih. Relatif tak terbatas, yang membatasi mungkin hanya Undang-Undang Pidana dan Undang-Undang Tentang Perlindungan Anak.

Kedua, institusi resmi memiliki dewasa ini memiliki fokus yang spesifik. Inilah ciri dari sebuah kota metropolitan. Semakin maju, maka semakin spesifik profesinya. Sekolah relatif hanya mengajarkan ilmu pengetahuan saja. Begitu pula dengan kursus, bimbel, les dsb. Mengajarkan materi yang sangat spesifik. Kecuali, mungkin bila ada sekolah yang khusus mengajarkan pendidikan moral atau manner.

Sepengamatan ane, Guru pun sudah mulai bergeser perannya. Dewasa ini, Berapa banyak Guru yang benar-benar menjadi seorang pendidik? Rata-rata mungkin hanyalah sebatas menjadi pengajar yang baik tapi tidak menjadi pendidik yang baik. Integritas guru dewasa ini dalam berpikir, berperasaan dan berbuat rasanya tidak sekuat dulu. Saat ini, Guru rasanya hanya sebatas profesi dalam mencari nafkah bukan lagi panggilan jiwa. Kalaupun ada mungkin hanya segelintir. Padahal di pundak merekalah terletak tanggungjawab dalam mendidik sebaik-baiknya, sebenar-benarnya dan seutuh-utuhnya manusia Indonesia selama mereka berada di lingkungan sekolah, syukur-syukur pengaruhnya terasa sampai di luar lingkungan sekolah dan di masa depannya.

Ketiga, terkait dengan pergeseran peran Guru yang sebatas profesi tadi. Dewasa ini, rasanya tidak banyak guru yang lahir dari kalangan putra-putri terbaik bangsa. Jikalaupun ada mungkin tidak banyak. Mohon maaf sebelumnya, koreksi jika ane salah, rasanya relatif tidak banyak siswa-siswa terbaik yang setelah lulus memilih menjadi seorang Guru dan Pendidik untuk memenuhi panggilan jiwanya. Realita memang keras, perut istri dan anak harus diisi. Jikalau kesejahteraan Guru tidak memberikan daya tarik maka sudah menjadi hukum alam kalau putra-putri terbaik akan mencari nafkah di profesi lainnya.

Kembali ke topik utama. Dengan pendidikan mental dan moral yang timpang ini, dimana pendidikan di keluarga batih tidak diutamakan, maka dampaknya sampailah ke generasi muda kita.

Dan apa yang dilakukan Orangtua yang anaknya bermasalah? Yup... hanya mengeluh dan menyalahkan pihak ketiga. Menyalahkan institusi pendidikan resmi dan atau pemerintah dengan alasan tidak mampu mengelola tayangan tidak bermutu yang lalu lalang di TV atau dunia maya. Di beberapa media, bahkan beredar berita ada Orangtua justru malah menyerang Guru yang menjalankan tugasnya untuk mendisiplinkan putra-putrinya. Putra-putrinya yang salah dan sedang dididik tapi justru Orangtua membela anaknya dan menyerang Gurunya. Kontras sekali dengan kondisi saat ane bersekolah dulu, kalau ada masalah di sekolah rasanya takut sekali menyampaikan ke Orangtua karena Orangtua justru mendukung apa yang diputuskan oleh Guru di sekolah.

Yup, banyak Orantua yang lupa bahwa merekalah pihak utama yang harus disalahkan dan sudah sepantasnya berbenah diri. Mengapa mereka bisa sampai lalai dalam mendidik, menjaga dan mengayomi putra-putri mereka? Bukankah seharusnya para Orangtua juga mengupgrade pengetahuan dan mengikuti perkembangan zaman agar mereka mampu mendidik putra-putri mereka dengan baik?

Sampai akhirnya nanti ketika mereka sadar bahwa putrinya telah dihamili atau putranya OD akibat narkoba atau terkapar di jalanan akibat tawuran? Histerislah mereka..

Kenapa anak saya bisa begini??!

Ask yourself...
0
7.2K
102
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan