- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Analisis Pakar Hypnoterapi, Ahli Forensik dan Mantan Hakim Soal Jessica


TS
kampretosz83
Analisis Pakar Hypnoterapi, Ahli Forensik dan Mantan Hakim Soal Jessica
Quote:
Jakarta - Kasus pembunuhan Wayan Mirna (27) menjadi ramai diperbincangkan. Berbagai analisis ahli pun terlontar di ruang publik.
Hampir selama 3 minggu lamanya, publik diperlihatkan dengan drama pengungkapan kasus pembunuhan dengan metode racun sianida di dalam kopi. Selama diperiksa sebagai saksi, Jessica, yang baru saja ditetapkan jadi tersangka, menunjukkan sikap yang tenang dan bahkan banyak tampil di televisi.
"Jika seseorang tidak bersalah, tidak perlu menjustifikasi harus mengiklankan dirinya. Kalau dia tidak bersalah harusnya dia akan diam seperti saksi-saksi lainnya, kan tidak melakukan justifikasi di media-media. Tidak perlu ada defense mekanisme," ungkap pakar Hypnoterapi Dewi P Faeni soal sikap Jessica.
Hal tersebut disampaikannya dalam diskusi Polemik bertajuk 'Mencari Sang Pembunuh' di Waroeng Daun, Jl Cikini Raya, Jakpus, Sabtu (30/1/2016). Selama tampil di media elektronik, Jessica menurut Dewi menunjukkan tanda-tanda orang yang tidak mengatakan hal sesungguhnya.
"Eye movementnya sangat cepat, ini suatu refleksi dari nervous. Terus sering melihat ke atas, itu berarti orang sedang berusaha membangun fakta, bisa jadi dia tidak mengatakan sesungguhnya. Saya hanya lihat dia dari facial ekspresi. Walau di akhir-akhir sudah mulai tenang, sudah seperti dilatih," jelasnya.
Namun dikatakan Dewi, ada dua kemungkinan mengapa Jessica menunjukkan ekspresi seperti itu. Pertama adalah karena memang belum terbiasa sehingga itu perilaku bawah sadarnya.
"Orang kalau dituduh suatu penjahat nggak ada yang mau siapapun, ini perilaku di bawah sadar. Atau memang ada perilaku sadar yang memang muncul, Sigmund Freud mengatakan tidak ada orang yang benar-benar bisa berbohong. Ada tandanya, apakah tangannya bergoyang," ujar Dewi.
Tak hanya itu, Dewi juga melihat adanya inkonsistensi yang dilakukan oleh Jessica. Pertama adalah saat dia yang memesankan minuman untuk Mirna dan temannya, Hani, kemudian langsung membayarnya.
"Lalu jam 4 sore kenapa harus minum cocktail? jam segitu biasanya minum kopi. Menurut saya ada sesuatu yang membuatnya deg-degan sehingga harus meminum sesuatu untuk sedatifnya. Dilihat cocktail, ada faktor alkoholnya. Itu suatu kecurigaan. Menurut saya cocktail di sore hari itu ganjil. Ada inkonsistensi-inkonsistensi," terang dia.
Kecurigaan lain dilihatnya saat Jessica seolah-olah tidak terdampak dengan pemeriksaan yang dilakukan polisi. "Ada saksi lain saat ditanya ketakutan menutupi rambut. Tersangka yang sekarang ditangkap malah seperti menikmati. jadi ini patut dicurigai. Kalau mau lihat seseorang mengatakan sebenarnya, cukup dilihat dari ekspresi muka. Mata adalah jendela," tuturnya.
Cara-cara yang dilakukan Jessica melalui media dinilai sedang beradu argumen dengan pihak kepolisian. Tak ada tanda-tanda kesedihan setelah kematian sahabatnya juga disebut Dewi patut dipertanyakan.
"Saat ada seseorang yang kita kenal meninggal, yang tak ada kedekatan pun itu akan menimbulkan dampak. Apalagi itu orang yang punya kedekatan emosional. Harusnya ada perasaan sedih, empati. Sepert yang terlihat di beberapa saksi, sangat-sangat tegang. Itu yang tidak saya lihat di person itu (Jessica)," tukasnya
Analisis Dewi berbeda dengan mantan hakim Asep Iwan Iriawan. Dari kaca mata hukum, menurut Iwan orang tidak bisa dikatakan begitu saja bersalah hanya dengan 5 menit berbicara (gestures). Perlu ada pembuktian yang meyakinkan di pengadilan.
"Saya lihat jawaban Jessica runtut, tenang, dan spontan. Ada kejujuran dari dia. Menurut saya kalau dengan dia berkeliling ke TV, kalau dia pembunuhnya itu terlalu nekat. Jadi ini ini butuh pembuktian. Bukan alat bukti imijinatif atau kira-kira. Harus bukti yang sah dan meyakinkan," kontra Asep dalam kesempatan yang sama.
Asep juga meminta pihak kepolisian untuk hati-hati dalam menangani kasus yang dinilainya cukup sulit ini. Sebab dari pengalamannya selama ini, tak sedikit tersangka atau bahkan terdakwa yang dibebaskan karena pembuktian yang kurang.
"Kita harus mengedepankan asas praduga tak bersalah, jangan sedang-sedang. kalau tidak cukup bukti tidak perlu naik ke penuntutan. Pertanggungjawaban dunia akhirat. Perlu diiingat, teman-teman hakim punya prinsip: persetan dengan opini publik, yang kita lihat pembuktian di persidangan," ucap Asep.
Dia lantas memberi satu contoh, pada suatu kasus pembunuhan, kesaksian sangat kuat terhadap seseorang. Bahkan terdakwa sendiri mengakui telah melakukan perbuatannya. Namun hakim membebaskannya dari segala tuduhan karena tidak ada alat bukti yang kuat.
"Metodenya pistol, terdakwa bahkan tidak bisa menarik pelatuk pistol. Sehingga akhirnya kami bebaskan. Ternyata dia disuruh mengakui agar kakak korban dapat asuransi. Jadi yang diadili itu perbuatannya, bukan pemikiran," bebernya.
Hal yang sama juga disampaikan oleh Psikolog Forensik Reza Indragiri Amriel. Dalam diskusi memang terdapat perdebatan yang cukup ramai. Bagi Reza, untuk mencari pelaku pembunuhan diperlukan logika yang ilmiah dan bukan mereka-reka.
"Kalau hanya dengan 5 menit melihat bisa mengatakan orang bersalah, berarti peradilan dihilangkan saja. Yang dibilang Bu Dewi kan seperti lie detector. Di luar negeri, lie detector dianggap sampah. Karena ketika saya di jalan dan tertib berlalu lintas, lalu kendaraan diberhentiin polisi pasti saya deg-degan juga. Denyut saya pasti meningkat," kata Reza.
Untuk itu Reza meminta kepada semua pihak agar membiarkan proses hukum berjalan sesuai semestinya. Dengan begitu, tidak muncul lagi spekulasi-spekulasi yang bisa berdampak terhadap seseorang.
"Biarkan proses hukum itu berjalan sesuai koridor hukum dan bisa dipertanggungjawabkan. Logika ilmiah yang ada di kepala saya, nalar keilmuan yang ada di kepala saya membuat tidak yakin kalau pelaku berada satu di meja korban karena instrumen digunakan adalah racun," tutup Reza.
sumur
Hampir selama 3 minggu lamanya, publik diperlihatkan dengan drama pengungkapan kasus pembunuhan dengan metode racun sianida di dalam kopi. Selama diperiksa sebagai saksi, Jessica, yang baru saja ditetapkan jadi tersangka, menunjukkan sikap yang tenang dan bahkan banyak tampil di televisi.
"Jika seseorang tidak bersalah, tidak perlu menjustifikasi harus mengiklankan dirinya. Kalau dia tidak bersalah harusnya dia akan diam seperti saksi-saksi lainnya, kan tidak melakukan justifikasi di media-media. Tidak perlu ada defense mekanisme," ungkap pakar Hypnoterapi Dewi P Faeni soal sikap Jessica.
Hal tersebut disampaikannya dalam diskusi Polemik bertajuk 'Mencari Sang Pembunuh' di Waroeng Daun, Jl Cikini Raya, Jakpus, Sabtu (30/1/2016). Selama tampil di media elektronik, Jessica menurut Dewi menunjukkan tanda-tanda orang yang tidak mengatakan hal sesungguhnya.
"Eye movementnya sangat cepat, ini suatu refleksi dari nervous. Terus sering melihat ke atas, itu berarti orang sedang berusaha membangun fakta, bisa jadi dia tidak mengatakan sesungguhnya. Saya hanya lihat dia dari facial ekspresi. Walau di akhir-akhir sudah mulai tenang, sudah seperti dilatih," jelasnya.
Namun dikatakan Dewi, ada dua kemungkinan mengapa Jessica menunjukkan ekspresi seperti itu. Pertama adalah karena memang belum terbiasa sehingga itu perilaku bawah sadarnya.
"Orang kalau dituduh suatu penjahat nggak ada yang mau siapapun, ini perilaku di bawah sadar. Atau memang ada perilaku sadar yang memang muncul, Sigmund Freud mengatakan tidak ada orang yang benar-benar bisa berbohong. Ada tandanya, apakah tangannya bergoyang," ujar Dewi.
Tak hanya itu, Dewi juga melihat adanya inkonsistensi yang dilakukan oleh Jessica. Pertama adalah saat dia yang memesankan minuman untuk Mirna dan temannya, Hani, kemudian langsung membayarnya.
"Lalu jam 4 sore kenapa harus minum cocktail? jam segitu biasanya minum kopi. Menurut saya ada sesuatu yang membuatnya deg-degan sehingga harus meminum sesuatu untuk sedatifnya. Dilihat cocktail, ada faktor alkoholnya. Itu suatu kecurigaan. Menurut saya cocktail di sore hari itu ganjil. Ada inkonsistensi-inkonsistensi," terang dia.
Kecurigaan lain dilihatnya saat Jessica seolah-olah tidak terdampak dengan pemeriksaan yang dilakukan polisi. "Ada saksi lain saat ditanya ketakutan menutupi rambut. Tersangka yang sekarang ditangkap malah seperti menikmati. jadi ini patut dicurigai. Kalau mau lihat seseorang mengatakan sebenarnya, cukup dilihat dari ekspresi muka. Mata adalah jendela," tuturnya.
Cara-cara yang dilakukan Jessica melalui media dinilai sedang beradu argumen dengan pihak kepolisian. Tak ada tanda-tanda kesedihan setelah kematian sahabatnya juga disebut Dewi patut dipertanyakan.
"Saat ada seseorang yang kita kenal meninggal, yang tak ada kedekatan pun itu akan menimbulkan dampak. Apalagi itu orang yang punya kedekatan emosional. Harusnya ada perasaan sedih, empati. Sepert yang terlihat di beberapa saksi, sangat-sangat tegang. Itu yang tidak saya lihat di person itu (Jessica)," tukasnya
Analisis Dewi berbeda dengan mantan hakim Asep Iwan Iriawan. Dari kaca mata hukum, menurut Iwan orang tidak bisa dikatakan begitu saja bersalah hanya dengan 5 menit berbicara (gestures). Perlu ada pembuktian yang meyakinkan di pengadilan.
"Saya lihat jawaban Jessica runtut, tenang, dan spontan. Ada kejujuran dari dia. Menurut saya kalau dengan dia berkeliling ke TV, kalau dia pembunuhnya itu terlalu nekat. Jadi ini ini butuh pembuktian. Bukan alat bukti imijinatif atau kira-kira. Harus bukti yang sah dan meyakinkan," kontra Asep dalam kesempatan yang sama.
Asep juga meminta pihak kepolisian untuk hati-hati dalam menangani kasus yang dinilainya cukup sulit ini. Sebab dari pengalamannya selama ini, tak sedikit tersangka atau bahkan terdakwa yang dibebaskan karena pembuktian yang kurang.
"Kita harus mengedepankan asas praduga tak bersalah, jangan sedang-sedang. kalau tidak cukup bukti tidak perlu naik ke penuntutan. Pertanggungjawaban dunia akhirat. Perlu diiingat, teman-teman hakim punya prinsip: persetan dengan opini publik, yang kita lihat pembuktian di persidangan," ucap Asep.
Dia lantas memberi satu contoh, pada suatu kasus pembunuhan, kesaksian sangat kuat terhadap seseorang. Bahkan terdakwa sendiri mengakui telah melakukan perbuatannya. Namun hakim membebaskannya dari segala tuduhan karena tidak ada alat bukti yang kuat.
"Metodenya pistol, terdakwa bahkan tidak bisa menarik pelatuk pistol. Sehingga akhirnya kami bebaskan. Ternyata dia disuruh mengakui agar kakak korban dapat asuransi. Jadi yang diadili itu perbuatannya, bukan pemikiran," bebernya.
Hal yang sama juga disampaikan oleh Psikolog Forensik Reza Indragiri Amriel. Dalam diskusi memang terdapat perdebatan yang cukup ramai. Bagi Reza, untuk mencari pelaku pembunuhan diperlukan logika yang ilmiah dan bukan mereka-reka.
"Kalau hanya dengan 5 menit melihat bisa mengatakan orang bersalah, berarti peradilan dihilangkan saja. Yang dibilang Bu Dewi kan seperti lie detector. Di luar negeri, lie detector dianggap sampah. Karena ketika saya di jalan dan tertib berlalu lintas, lalu kendaraan diberhentiin polisi pasti saya deg-degan juga. Denyut saya pasti meningkat," kata Reza.
Untuk itu Reza meminta kepada semua pihak agar membiarkan proses hukum berjalan sesuai semestinya. Dengan begitu, tidak muncul lagi spekulasi-spekulasi yang bisa berdampak terhadap seseorang.
"Biarkan proses hukum itu berjalan sesuai koridor hukum dan bisa dipertanggungjawabkan. Logika ilmiah yang ada di kepala saya, nalar keilmuan yang ada di kepala saya membuat tidak yakin kalau pelaku berada satu di meja korban karena instrumen digunakan adalah racun," tutup Reza.
sumur
0
5.1K
Kutip
40
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan