Seminggu setelah peresmian pembangunan kereta cepat yang dilakukan oleh Presiden Joko Widodo, proyek tersebut belum bisa dimulai karena mendapat berbagai hambatan, terutama soal izin.
Belum keluarnya izin dari kementerian terkait memicu spekulasi tentang masa depan proyek yang menggandeng Cina tersebut.
Kehadiran Presiden Joko Widodo dalam peresmian atau groundbreaking pembangunan proyek kereta cepat Jakarta-Bandung, di Jawa Barat, pekan lalu sepertinya menyiratkan proyek yang sejak awal marak pro dan kontra ini akan mulus berjalan. Peresmian itu menandai awal dari salah satu proyek besar infrastruktur yang menjadi prioritas pemerintah.
Direktur Utama PT Kereta Cepat Indonesia China (PT KCIC), Hanggoro Budi, saat itu menyatakan rasa optimisnya bahwa proyek akan tetap berjalan di tengah pro-kontra yang terjadi.
"Secara prosedural, kami sudah memenuhi ketentuan, sesuai surat Pak Menteri (Perhubungan), Pak Dirjen (Perkeretaapian Kementerian Perhubungan), semua dokumen sudah kami sampaikan, sudah dibahas, tapi ada beberapa tambahan permintaan di luar itu (dokumen yang sudah diserahkan)," kata Hanggoro pada wartawan, saat groundbreaking pekan lalu.
Namun kini, sepekan kemudian, menurut Dirjen Perkeretaapian Kementerian Perhubungan Hermanto Dwiatmoko, pemerintah sebenarnya sudah mengeluarkan izin trase dan penetapan badan usaha, tapi belum sepakat soal konsesi atau perjanjian penyelenggaraan, izin usaha, dan izin pembangunan.
Salah satu yang menonjol adalah permintaan dari PT KCIK untuk hak monopoli, agar mereka menjadi hanya satu-satunya kereta yang melayani jalur Jakarta-Bandung.
"Mereka minta supaya Jakarta-Bandung nggak ada operator lain yang berjalan di sebelahnya, padahal ini kan nggak mungkin gitu. (Seharusnya) Kalau orang mau mbangun di sebelahnya boleh saja, yang penting nanti mereka menghitung laku atau tidak,"kata Hermanto.
Permintaan ini juga, katanya, tak sesuai dengan UU Perkeretaapian yang mengatur soal non-monopoli, sehingga pemberian hak seperti ini dinilai melanggar undang-undang.
Poin 'mendasar' kedua adalah permintaan PT KCIK yang menginginkan jaminan dari pemerintah jika proyek kereta cepat gagal atau merugi.
"Kalau fail, ada kegagalan, (kita minta) tidak jadi tanggung jawab pemerintah, nah mereka masih minta supaya ada peran pemerintah. Padahal dari awal kan sudah saya sampaikan bahwa APBN tidak akan masuk (pembangunan proyek)," kata Hermanto. "Pokoknya gini aja, asal persyaratan izinnya dipenuhi, akan kami keluarkan (izin). Prinsipnya gitu," ujarnya.
Tetapi, pengamat transportasi, Ellen Tangkudung, mengatakan bahwa terlepas dari dua poin mendasar yang belum dicapai kesepakatan, memulai pembangunan kereta cepat bukan hanya soal izin.
Ada rangkaian panjang langkah yang harus dipenuhi sebelum izin keluar, mulai dari soal rancangan, titik pemberhentian, pembebasan lahan, sampai AMDAL yang harusnya tuntas sebelum peresmian.
Dan pemenuhan semua syarat itu pun, kata Ellen, tak menjamin bahwa pembangunan proyek bisa berjalan.
"Tinggal mulai konstruksi itu artinya semua izin engineering design sudah selesai, izin trase sudah selesai, kemudian ada AMDAL. Syarat bisa membuat AMDAL itu sebenarnya ada studi kelayakan. Tata ruang itu kan tidak dibuat dalam sekejap, apalagi DKI. DKI banyak moda transportasi yang sedang direncanakan, seperti LRT (light rail train) yang katanya akan terkait (dengan kereta cepat). Itu juga belum ada penyesuaian tata ruang. Semuanya itu selesai dulu, baru mulai konstruksi. Tapi kalau seperti ini kan, memang artinya tidak akan segera dimulai," ujar Ellen.
Proyek kereta cepat Jakarta-Bandung ini rencananya menelan biaya Rp75 triliun dan diwarnai kontroversi dan perdebatan keras sejak awal.
Sempat diputuskan untuk dibatalkan, hingga kemudian muncul keputusan membuat proyek sebagai murni inisiatif bisnis tanpa melibatkan APBN.
Mereka yang tidak setuju antara lain mengatakan jalur ini tidak perlu dan lebih baik mengalihkan proyek ke luar Jawa yang lebih membutuhkan.