- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Dibalik Puja-puji buat Jokowi, Keuangan Rezimnya Ternyata Berdarah2.


TS
zitizen4r
Dibalik Puja-puji buat Jokowi, Keuangan Rezimnya Ternyata Berdarah2.
Penerimaan Negara dari Migas jeblog bikin Kas Negara bisa Defisit Berat ...
"Pemborosan di "Cost Recovery" dan "In-Effisiensi" di Pertamina perberat APBN ...
Penerimaan Pajak rendah akibat masalah Struktural yang tak mudah memperbaikinya ...
Beban Utang Luar Negeri yang semakin berat, RI bisa terancam default seperti Yunani?
--------------------------------------------
Sampai dia lengser tahun 2019 nanti pun, kondisi peekonomian Global dan Nasional, sepertinya sulit pulih seperti zaman SBY dulu. Harga minyak Dunia yang di zaman SBY mencapai $ 140, kini dibawah $ 30, bahkan bisa mencapai $ 20 bila Arab (Saudi) pecah perang dengan Iran. Penerimaan migas yang jeblog, pemasukan pajak yang seret, dan utang luar negeri yang se gunung, bisa saja membawa negeri ini kembali terpuruk seperti 1998 dulu, bahkan bisa lebih buruk lagi. Yang mengerikan, kita bisa bernasib seperti Yunani bila utangnya tak terkendali lagi di zaman Jokowi berkuasa ini. Bayangin, setahun berkuasa aja, utang ang dicetak rezim ini bisa sampai 3 kali lipat rezim Orde Baru yang korup itu. Nah lhoooo ...
Quote:
2021, Harga Minyak Diperkirakan Baru Naik ke US$80 per Barel
Rabu, 27/01/2016 07:09 WIB
Jakarta, CNN Indonesia -- International Energy Agency (IEA) memperkirakan harga minyak baru akan menanjak naik ke level US$80 per barel paling cepat empat atau lima tahun ke depan. Sementara sepanjang tahun ini, IEA memprediksi harga minyak akan tetap landai akibat pasokan yang melimpah dan permintaan yang lemah.
Harga minyak West Texas Intermediate (WTI) kontrak pengiriman Maret 2016 tercatat turun 3,15 persen ke level US$30,46 dibandingkan pengiriman Februari 2016.
“Kami akan terus melihat tekanan turun pada harga minyak di 2016 karena ada banyak minyak di pasar dan tidak begitu banyak permintaan," kata Direktur Eksekutif IEA Fatih Birol di Davos, seperti dikutip dari kantor berita Antara, Rabu (27/1).
Berkurangnya permintaan minyak menurut Fatih akibat ekonomi negara-negara besar yang diperkirakan bakal melanjutkan pelemahan.
"Kami melihat ada tekanan turun pada harga minyak sepanjang 2016, namun kami dapat melihat harga akan mulai meningkat pada akhir 2017. Harga minyak bisa meningkat sampai US$80 per barel dalam empat atau lima tahun ke depan,” kata Fatih.
Sementara, data minyak impor yang dikonsumsi China sepanjang 2015 lalu tercatat lebih dari 60 persen, dan diperkirakan meningkat lebih besar tahun ini.
China National Petroleum Corporation (CNPC) Economics & Technology Research Institute melaporkan konsumsi minyak aktual negeri tirai bambu naik 4,4 persen tahun lalu, meningkat 0,7 persen dari tahun sebelumnya.
Pada 2016, CNPC meyakini impor minyak yang akan dilakukan China akan naik menjadi 62 persen yang membuat permintaan minyak dunia akan tumbuh 4,3 persen.
“Seiring dengan meningkatnya kepemilikan mobil, kemajuan urbanisasi dan meningkatnya cadangan minyak negara. China adalah salah satu pembeli minyak terbesar di dunia. Tapi karena ekonominya melambat, permintaannya belakangan juga menyusut,” kata Qian Xingcun, Wakil Kepala Lembaga Riset CNPC.
http://www.cnnindonesia.com/ekonomi/...-80-per-barel/
Harga Minyak Menjauhi Asumsi, Target Lifting Dihitung Ulang
Selasa, 12/01/2016 11:39 WIB
Jakarta, CNN Indonesia -- Kementerian Keuangan (Kemenkeu) meminta Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) menghitung ulang target lifting minyak dan gas bumi (migas). Pasalnya saat ini harga minyak dunia terus menjauh dari asumsi harga minyak Indonesia (ICP) yang tercantum dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2016 sebesar US$50 per barel.
Seperti diberitakan sebelumnya, harga acuan minyak West Texas Intermediate (WTI) pada Selasa (12/1) dini hari merosot ke level US$31,34 per barel. Angka itu turun US$7 sen dari posisi harga terakhir WTI dan hampir 19 persen lebih rendah dibandingkan posisi awal tahun.
Bahkan analis dari Standard Chartered Bank menyebut harga minyak dunia bisa tergelincir sampai US$10 per barel, yang jelas akan mengganggu penerimaan negara penjual minyak mentah termasuk Indonesia.
Menyikapi hal tersebut, Menteri Keuangan Bambang P.S. Brodjonegoro mengatakan pemerintah akan segera mengajukan asumsi makro terbaru ketika mulai membahas APBN Perubahan (APBNP) 2016 bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), termasuk asumsi ICP. Penurunan asumsi ICP tersebut diyakini akan berdampak pada merosotnya nafsu kontraktor kontrak kerjasama (KKKS) dalam memproduksi minyak dari bumi Indonesia. Dalam APBN 2016, target lifting minyak mencapai 830 ribu barel per hari.
"Iya kita akan pangkas harga minyak, untuk lifting minyak nanti itu tergantung perhitungan ulang tim SKK Migas," ujar Bambang di kantornya, Jakarta, Selasa (12/1).
http://www.cnnindonesia.com/ekonomi/...ihitung-ulang/
Tak Diantisipasi, Penurunan Harga Minyak Ancam Ketahanan Energi
Rabu, 13 Januari 2016 | 12:24
Jakarta - Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia (IATMI) mengingatkan pemerintah untuk berhati-hati dalam menyikapi pelemahan harga minyak. Pasalnya, jika terlena, kondisi ini bisa mengancam ketahanan energi nasional.
Dewan Pakar IATMI Benny Lubiantara mengatakan, harga minyak yang rendah memang menjadi musibah bagi negara eksportir minyak. Namun, kondisi ini justru berkah bagi negara importir minyak karena dapat mendorong pertumbuhan ekonomi. Namun, tanpa antisipasi, pelemahan harga ini justru dapat berdampak negatif bagi negara importir minyak.
"Kalau harga minyak turun yang terjadi adalah konsumsi meningkat. Tidak apa-apa kalau konsumsinya efisiensi, tetapi kalau boros itu bahaya," ujar dia dalam Luncheon Talk Indonesian Oil and Gas Industri The Challange Ahead di Jakarta, Rabu (13/1).
Pasalnya, penurunan harga ini juga berdampak pada pengetatan anggaran perusahaan minyak. Walau biaya servis migas bakal mengikuti harga minyak, tetapi penurunannya tidak segera. Kondisi ini tentu tidak bagus bagi Indonesia. Perusahaan migas mau tidak mau akan melakukan efisiensi.
Artinya, investasi migas bakal turun sehingga kegiatan pemboran pengembangan dan eksplorasi bakal berkurang. Dampaknya, produksi minyak nasional juga akan ikut turun.
"Konsumsi naik, produksi turun, maka ketahanan energi turun. Jadi harus dilihat jangka panjang. Kalau penurunan harga tidak diantisipasi maka akan jadi masalah," tegas Benny.
Apalagi, cadangan migas nasional termasuk cukup kecil. Besaran Indonesia hanya masuk peringkat 29 dari daftar 30 besar negara pemilik cadangan migas. Bahkan, besaran cadangan Indonesia masih lebih kecil dari Vietnam dan Malaysia.
"Kalau do nothing maka gap konsumsi dan produksi terlalu besar. Yang diperlukan itu harusnya seperti Amerika Serikat di mana produksi naik dan konsumsi turun," ujar Benny.
http://www.beritasatu.com/ekonomi/34...an-energi.html
Rabu, 27/01/2016 07:09 WIB
Jakarta, CNN Indonesia -- International Energy Agency (IEA) memperkirakan harga minyak baru akan menanjak naik ke level US$80 per barel paling cepat empat atau lima tahun ke depan. Sementara sepanjang tahun ini, IEA memprediksi harga minyak akan tetap landai akibat pasokan yang melimpah dan permintaan yang lemah.
Harga minyak West Texas Intermediate (WTI) kontrak pengiriman Maret 2016 tercatat turun 3,15 persen ke level US$30,46 dibandingkan pengiriman Februari 2016.
“Kami akan terus melihat tekanan turun pada harga minyak di 2016 karena ada banyak minyak di pasar dan tidak begitu banyak permintaan," kata Direktur Eksekutif IEA Fatih Birol di Davos, seperti dikutip dari kantor berita Antara, Rabu (27/1).
Berkurangnya permintaan minyak menurut Fatih akibat ekonomi negara-negara besar yang diperkirakan bakal melanjutkan pelemahan.
"Kami melihat ada tekanan turun pada harga minyak sepanjang 2016, namun kami dapat melihat harga akan mulai meningkat pada akhir 2017. Harga minyak bisa meningkat sampai US$80 per barel dalam empat atau lima tahun ke depan,” kata Fatih.
Sementara, data minyak impor yang dikonsumsi China sepanjang 2015 lalu tercatat lebih dari 60 persen, dan diperkirakan meningkat lebih besar tahun ini.
China National Petroleum Corporation (CNPC) Economics & Technology Research Institute melaporkan konsumsi minyak aktual negeri tirai bambu naik 4,4 persen tahun lalu, meningkat 0,7 persen dari tahun sebelumnya.
Pada 2016, CNPC meyakini impor minyak yang akan dilakukan China akan naik menjadi 62 persen yang membuat permintaan minyak dunia akan tumbuh 4,3 persen.
“Seiring dengan meningkatnya kepemilikan mobil, kemajuan urbanisasi dan meningkatnya cadangan minyak negara. China adalah salah satu pembeli minyak terbesar di dunia. Tapi karena ekonominya melambat, permintaannya belakangan juga menyusut,” kata Qian Xingcun, Wakil Kepala Lembaga Riset CNPC.
http://www.cnnindonesia.com/ekonomi/...-80-per-barel/
Harga Minyak Menjauhi Asumsi, Target Lifting Dihitung Ulang
Selasa, 12/01/2016 11:39 WIB
Jakarta, CNN Indonesia -- Kementerian Keuangan (Kemenkeu) meminta Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) menghitung ulang target lifting minyak dan gas bumi (migas). Pasalnya saat ini harga minyak dunia terus menjauh dari asumsi harga minyak Indonesia (ICP) yang tercantum dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2016 sebesar US$50 per barel.
Seperti diberitakan sebelumnya, harga acuan minyak West Texas Intermediate (WTI) pada Selasa (12/1) dini hari merosot ke level US$31,34 per barel. Angka itu turun US$7 sen dari posisi harga terakhir WTI dan hampir 19 persen lebih rendah dibandingkan posisi awal tahun.
Bahkan analis dari Standard Chartered Bank menyebut harga minyak dunia bisa tergelincir sampai US$10 per barel, yang jelas akan mengganggu penerimaan negara penjual minyak mentah termasuk Indonesia.
Menyikapi hal tersebut, Menteri Keuangan Bambang P.S. Brodjonegoro mengatakan pemerintah akan segera mengajukan asumsi makro terbaru ketika mulai membahas APBN Perubahan (APBNP) 2016 bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), termasuk asumsi ICP. Penurunan asumsi ICP tersebut diyakini akan berdampak pada merosotnya nafsu kontraktor kontrak kerjasama (KKKS) dalam memproduksi minyak dari bumi Indonesia. Dalam APBN 2016, target lifting minyak mencapai 830 ribu barel per hari.
"Iya kita akan pangkas harga minyak, untuk lifting minyak nanti itu tergantung perhitungan ulang tim SKK Migas," ujar Bambang di kantornya, Jakarta, Selasa (12/1).
http://www.cnnindonesia.com/ekonomi/...ihitung-ulang/
Tak Diantisipasi, Penurunan Harga Minyak Ancam Ketahanan Energi
Rabu, 13 Januari 2016 | 12:24
Jakarta - Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia (IATMI) mengingatkan pemerintah untuk berhati-hati dalam menyikapi pelemahan harga minyak. Pasalnya, jika terlena, kondisi ini bisa mengancam ketahanan energi nasional.
Dewan Pakar IATMI Benny Lubiantara mengatakan, harga minyak yang rendah memang menjadi musibah bagi negara eksportir minyak. Namun, kondisi ini justru berkah bagi negara importir minyak karena dapat mendorong pertumbuhan ekonomi. Namun, tanpa antisipasi, pelemahan harga ini justru dapat berdampak negatif bagi negara importir minyak.
"Kalau harga minyak turun yang terjadi adalah konsumsi meningkat. Tidak apa-apa kalau konsumsinya efisiensi, tetapi kalau boros itu bahaya," ujar dia dalam Luncheon Talk Indonesian Oil and Gas Industri The Challange Ahead di Jakarta, Rabu (13/1).
Pasalnya, penurunan harga ini juga berdampak pada pengetatan anggaran perusahaan minyak. Walau biaya servis migas bakal mengikuti harga minyak, tetapi penurunannya tidak segera. Kondisi ini tentu tidak bagus bagi Indonesia. Perusahaan migas mau tidak mau akan melakukan efisiensi.
Artinya, investasi migas bakal turun sehingga kegiatan pemboran pengembangan dan eksplorasi bakal berkurang. Dampaknya, produksi minyak nasional juga akan ikut turun.
"Konsumsi naik, produksi turun, maka ketahanan energi turun. Jadi harus dilihat jangka panjang. Kalau penurunan harga tidak diantisipasi maka akan jadi masalah," tegas Benny.
Apalagi, cadangan migas nasional termasuk cukup kecil. Besaran Indonesia hanya masuk peringkat 29 dari daftar 30 besar negara pemilik cadangan migas. Bahkan, besaran cadangan Indonesia masih lebih kecil dari Vietnam dan Malaysia.
"Kalau do nothing maka gap konsumsi dan produksi terlalu besar. Yang diperlukan itu harusnya seperti Amerika Serikat di mana produksi naik dan konsumsi turun," ujar Benny.
http://www.beritasatu.com/ekonomi/34...an-energi.html
"Pemborosan di "Cost Recovery" dan "In-Effisiensi" di Pertamina perberat APBN ...
Quote:
Negara Bayar Cost Recovery Lebih Besar dari Penerimaan Migas
Rabu, 06/01/2016 09:42 WIB
Jakarta, CNN Indonesia -- Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) mencatat rerata produksi minyak mentah siap jual (lifting) sepanjang tahun lalu hanya mencapai 777.560 barel per hari (bph). Atau hanya memenuhi 94,24 persen dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara perubahan (APBNP) 2015 di angka 825 ribu bph.
Sementara untuk rerata lifting gas bumi 2015, tercatat berada di angka 6.933 juta kaki kubik per hari (MMSCFD) atau 97,9 persen dari yang ditargetkan di kisaran 7.079 MMSCFD.
Kepala SKK Migas Amien Sunaryadi mengungkapkan tak tercapainya target lifting tahun lalu disebabkan oleh mundurnya rencana optimasi beberapa proyek strategis seperti Lapangan Banyu Urip yang dioperatori ExxonMobil Cepu Limited. Hingga pada unplanned shutdown yang terjadi akibat permasalahan pengoperasian fasilitas produksi di beberapa lapangan, hingga gangguan sosial dan alam.
"Jadi kalau digabung, sepanjang 2015 total lifting migas hanya mencapai 2.045 ribu barel setara minyak per hari, atau 96,5 persen dari target APBNP," tutur Amien di kantornya, kemarin.
Mengutip data resmi SKK Migas yang dirilis awal Januari 2016, rerata harga minyak mentah Indonesia atau Indonesia Crude Price (ICP) sepanjang 2015 tercatat berada di angka US$51,21 per barel atau 85,4 persen dari asumsi APBNP yang dipatok di kisaran US$60 per barel.
Sedangkan untuk harga gas, Amien bilang posisinya sedikit lebih baik lantaran bertengger di angka US$7,24 per juta british thermal unit (MMBTU) atau 15,4 persen di atas target APBNP 22015 sebesar US$6,27 per MMBTU.
Dengan realisasi tersebut, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari sektor migas 2015 hanya menyentuh angka US$12,86 miliar atau 85,8 persen dibandingkan target PNBP migas tahun lalu yang ditargetkan mencapai US$14,99 miliar.
Sayangnya di saat penerimaan negara dari migas anjlok, biaya yang harus diganti pemerintah untuk eksplorasi dan produksi kontraktor kontrak kerjasama (KKKS) justru mencapai US$13,9 miliar, atau lebih besar US$1,04 miliar dari PNBP migas di tahun yang sama.
"Ini fakta yang harus dihadapi SKK Migas dan perusahaan migas yang ada di Indonesia seiring dengan melemahnya harga minyak mentah," imbuh Amien.
Seiring dengan rontoknya harga minyak mentah dunia, Amien bilang saat ini SKK Migas telah mengantongi sejumlah rencana strategis yang akan dilaksanakan dalam jangka pendek, menengah dan panjang.
Untuk jangka pendek, mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ini mengungkapkan pihaknya akan mendorong para KKKS untuk menggeber upaya pengembangan sumur lanjutan atau work over berikut usaha pemeliharan sumur yang sudah disahkan dalam Work Program and Budgeting KKKS 2016.
Sedangkan untuk jangka menengah, regulator hulu migas tersebut akan mendorong sejumlah KKKS seperti Chevron Pacific Indonesia (CPI), Medco Internasional dan Pertamina melanjutkan upaya pengurasan sumur minyak tahap lanjut atau yang dikenal dengan enhanced oil recovery (EOR), berikut meningkatkan koordinasi dengan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) untuk menyederhanakan perizinan khususnya demi menggenjot kegiatan eksplorasi.
"Kalau strategi jangka panjang diantaranya dengan meningkatkan resource dan reserve migas hingga meningkatkan governance atau tata kelola kegiatan hulu migas," cetusnya.
Pada kesempatan yang sama, Deputi Pengendalian Perencanaan SKK Migas Gunawan mengakui bahwa saat ini proyek EOR yang telah meununjukkan hasil yang signifikan baru sebatas pengembangan Lapangan Minas yang dilakukan Chevron.
"Kalau Medco dan proyek Pertamina yang bekerjasama dengan Daqing belum signifikan hasilnya. Tapi akan dilanjutkan karena pilot project sudah dimulai sejak tahun lalu dan menunjukkan hasil," tambah Gunawan
http://www.cnnindonesia.com/ekonomi/...erimaan-migas/
Harga Minyak Dunia Terus Terjun Bebas, Ancam Keruntuhan BUMN Migas seperti Pertamina?
Aug 26, 2015 472 0
Jakarta, GEO ENERGI, Terus terjun bebasnya harga minyak dunia sampai hari ini terindikasi telah menyentuh level terendah untuk kisaran 6 tahun terakhir pada harga USD 38/ barel adalah ancaman serius bagi BUMN Migas kita, begitu dinyatakan Direktur Eksekutif Energy Watch Indonesia (EWI) Ferdinand Hutahaean kepada GEO ENERGI melalui pesan singkat (25/8) semalam.
Menurutnya, harus disadari bahwa penurunan harga minyak ini bukan berkah yang menguntungkan bagi negara. Melainkan justru merupakan bencana yang harus segera diantisipasi.
“Artinya bahwa penerimaan negara dari sektor migas tentu akan menurun dan semakin tidak bisa mencapai target. Ini tentu berdampak serius bagi APBN yang memang juga sedang kritis,” jelas Ferdinand.
Karenanya, Ferdinand menyarankan agar Pemerintah dan BUMN Migas khususnya Pertamina dan PGN harus segera melakukan langkah serius guna mengantisipasi kemungkinan terburuk dari terus menurunnya harga komoditi ini.
Berdasarkan prediksi banyak ahli, harga minyak ini masih akan terus turun, sementara harga produksi kita masih sangat mahal bahkan berada di atas harga jual minyak dunia sekarang.
“ Artinya biaya produksi lebih mahal dari harga pasar. Ini bahaya bagi stabilitas negara. Pertamina bisa makin merugi, ke depan dengan penurunan harga ini dan bisa berdampak serius pada keruntuhan BUMN Migas kita jika tidak disiapkan langkah serius mengantisipasi ini,” ujarnya mengingatkan. Menurutnya, bila BUMN Migas kita terguncang tentu akan mengganggu kinerja dan distribusi BBM ke seluruh nusantara. Bisa terjadi gangguan distribusi yang akibatnya akan memunculkan kekacauan nasional. “Jangan sampai hal ini terjadi!” tegasnya menambahkan.
“Melihat situasi sekarang kondisi negara kita, sepertinya memang sangat mendesak untuk pengaktifan Dewan Ketahanan Nasional (WANTANNAS) seperti yang pernah disampaikan mantan Ka BIN AM Hendro Priyono sebelum lebaran bulan lalu. Sepertinya sangat masuk akal bahwa WANTANNAS harus segera diaktifkan untuk bisa melakukan perkiraan cepat terhadap situasi yang berfluktuasi sangat cepat. Jangan sampai terlambat mengambil keputusan. Nasib bangsa sedang dipertaruhkan dengan terus meroketnya nilai tukar Dolar terhadap Rupiah, sementara kegiatan ekonomi kita masih stagnan dan jalan ditempat,” pungkasnya kembali mengingatkan pemerintah
http://geoenergi.co.id/2015/08/harga...an-bumn-migas/
Rabu, 06/01/2016 09:42 WIB
Jakarta, CNN Indonesia -- Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) mencatat rerata produksi minyak mentah siap jual (lifting) sepanjang tahun lalu hanya mencapai 777.560 barel per hari (bph). Atau hanya memenuhi 94,24 persen dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara perubahan (APBNP) 2015 di angka 825 ribu bph.
Sementara untuk rerata lifting gas bumi 2015, tercatat berada di angka 6.933 juta kaki kubik per hari (MMSCFD) atau 97,9 persen dari yang ditargetkan di kisaran 7.079 MMSCFD.
Kepala SKK Migas Amien Sunaryadi mengungkapkan tak tercapainya target lifting tahun lalu disebabkan oleh mundurnya rencana optimasi beberapa proyek strategis seperti Lapangan Banyu Urip yang dioperatori ExxonMobil Cepu Limited. Hingga pada unplanned shutdown yang terjadi akibat permasalahan pengoperasian fasilitas produksi di beberapa lapangan, hingga gangguan sosial dan alam.
"Jadi kalau digabung, sepanjang 2015 total lifting migas hanya mencapai 2.045 ribu barel setara minyak per hari, atau 96,5 persen dari target APBNP," tutur Amien di kantornya, kemarin.
Mengutip data resmi SKK Migas yang dirilis awal Januari 2016, rerata harga minyak mentah Indonesia atau Indonesia Crude Price (ICP) sepanjang 2015 tercatat berada di angka US$51,21 per barel atau 85,4 persen dari asumsi APBNP yang dipatok di kisaran US$60 per barel.
Sedangkan untuk harga gas, Amien bilang posisinya sedikit lebih baik lantaran bertengger di angka US$7,24 per juta british thermal unit (MMBTU) atau 15,4 persen di atas target APBNP 22015 sebesar US$6,27 per MMBTU.
Dengan realisasi tersebut, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari sektor migas 2015 hanya menyentuh angka US$12,86 miliar atau 85,8 persen dibandingkan target PNBP migas tahun lalu yang ditargetkan mencapai US$14,99 miliar.
Sayangnya di saat penerimaan negara dari migas anjlok, biaya yang harus diganti pemerintah untuk eksplorasi dan produksi kontraktor kontrak kerjasama (KKKS) justru mencapai US$13,9 miliar, atau lebih besar US$1,04 miliar dari PNBP migas di tahun yang sama.
"Ini fakta yang harus dihadapi SKK Migas dan perusahaan migas yang ada di Indonesia seiring dengan melemahnya harga minyak mentah," imbuh Amien.
Seiring dengan rontoknya harga minyak mentah dunia, Amien bilang saat ini SKK Migas telah mengantongi sejumlah rencana strategis yang akan dilaksanakan dalam jangka pendek, menengah dan panjang.
Untuk jangka pendek, mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ini mengungkapkan pihaknya akan mendorong para KKKS untuk menggeber upaya pengembangan sumur lanjutan atau work over berikut usaha pemeliharan sumur yang sudah disahkan dalam Work Program and Budgeting KKKS 2016.
Sedangkan untuk jangka menengah, regulator hulu migas tersebut akan mendorong sejumlah KKKS seperti Chevron Pacific Indonesia (CPI), Medco Internasional dan Pertamina melanjutkan upaya pengurasan sumur minyak tahap lanjut atau yang dikenal dengan enhanced oil recovery (EOR), berikut meningkatkan koordinasi dengan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) untuk menyederhanakan perizinan khususnya demi menggenjot kegiatan eksplorasi.
"Kalau strategi jangka panjang diantaranya dengan meningkatkan resource dan reserve migas hingga meningkatkan governance atau tata kelola kegiatan hulu migas," cetusnya.
Pada kesempatan yang sama, Deputi Pengendalian Perencanaan SKK Migas Gunawan mengakui bahwa saat ini proyek EOR yang telah meununjukkan hasil yang signifikan baru sebatas pengembangan Lapangan Minas yang dilakukan Chevron.
"Kalau Medco dan proyek Pertamina yang bekerjasama dengan Daqing belum signifikan hasilnya. Tapi akan dilanjutkan karena pilot project sudah dimulai sejak tahun lalu dan menunjukkan hasil," tambah Gunawan
http://www.cnnindonesia.com/ekonomi/...erimaan-migas/
Harga Minyak Dunia Terus Terjun Bebas, Ancam Keruntuhan BUMN Migas seperti Pertamina?
Aug 26, 2015 472 0
Jakarta, GEO ENERGI, Terus terjun bebasnya harga minyak dunia sampai hari ini terindikasi telah menyentuh level terendah untuk kisaran 6 tahun terakhir pada harga USD 38/ barel adalah ancaman serius bagi BUMN Migas kita, begitu dinyatakan Direktur Eksekutif Energy Watch Indonesia (EWI) Ferdinand Hutahaean kepada GEO ENERGI melalui pesan singkat (25/8) semalam.
Menurutnya, harus disadari bahwa penurunan harga minyak ini bukan berkah yang menguntungkan bagi negara. Melainkan justru merupakan bencana yang harus segera diantisipasi.
“Artinya bahwa penerimaan negara dari sektor migas tentu akan menurun dan semakin tidak bisa mencapai target. Ini tentu berdampak serius bagi APBN yang memang juga sedang kritis,” jelas Ferdinand.
Karenanya, Ferdinand menyarankan agar Pemerintah dan BUMN Migas khususnya Pertamina dan PGN harus segera melakukan langkah serius guna mengantisipasi kemungkinan terburuk dari terus menurunnya harga komoditi ini.
Berdasarkan prediksi banyak ahli, harga minyak ini masih akan terus turun, sementara harga produksi kita masih sangat mahal bahkan berada di atas harga jual minyak dunia sekarang.
“ Artinya biaya produksi lebih mahal dari harga pasar. Ini bahaya bagi stabilitas negara. Pertamina bisa makin merugi, ke depan dengan penurunan harga ini dan bisa berdampak serius pada keruntuhan BUMN Migas kita jika tidak disiapkan langkah serius mengantisipasi ini,” ujarnya mengingatkan. Menurutnya, bila BUMN Migas kita terguncang tentu akan mengganggu kinerja dan distribusi BBM ke seluruh nusantara. Bisa terjadi gangguan distribusi yang akibatnya akan memunculkan kekacauan nasional. “Jangan sampai hal ini terjadi!” tegasnya menambahkan.
“Melihat situasi sekarang kondisi negara kita, sepertinya memang sangat mendesak untuk pengaktifan Dewan Ketahanan Nasional (WANTANNAS) seperti yang pernah disampaikan mantan Ka BIN AM Hendro Priyono sebelum lebaran bulan lalu. Sepertinya sangat masuk akal bahwa WANTANNAS harus segera diaktifkan untuk bisa melakukan perkiraan cepat terhadap situasi yang berfluktuasi sangat cepat. Jangan sampai terlambat mengambil keputusan. Nasib bangsa sedang dipertaruhkan dengan terus meroketnya nilai tukar Dolar terhadap Rupiah, sementara kegiatan ekonomi kita masih stagnan dan jalan ditempat,” pungkasnya kembali mengingatkan pemerintah
http://geoenergi.co.id/2015/08/harga...an-bumn-migas/
Penerimaan Pajak rendah akibat masalah Struktural yang tak mudah memperbaikinya ...
Quote:
Ini Dia Penyebab Target Penerimaan Pajak Begitu Rendah
Kamis, 09 Oktober 2014, 19:30 WIB
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tenaga Pengkaji Ekstensifikasi dan Intensifikasi Pajak, Kementerian Keuangan Indonesia, Dasto Ledyanto mengakui penerimaan pajak dalam negeri tidak memenuhi target. Ia mengatakan ada dua alasannya, yaitu karena kurangnya jumlah sumber daya manusia (SDM) dan minimnya setoran pajak penghasilan (PPh) dari wajib pajak (WP) orang pribadi (OP).
Ia mengakui, cukup berat untuk meningkatkan penerimaan pajak. Ini karena jumlah setoran PPh yang dibayar WP OP masih lebih sedikit dibandingkan WP badan usaha. Dia menyebutkan, PPh OP pada tahun 2012 hanya sebesar 3,763 triliun dan tahun 2013 4,384 triliun.
“Sementara PPh Badan usaha dapat terkumpul Rp 152,624 triliun tahun 2012 dan meningkat Rp 155,066 triliun di tahun 2013,” katanya saat menjadi pembicara di acara diskusi panel yang diselenggarakan Forpesi dengan tema 'Pajak untuk Kesejahteraan Masyarakat', di Jakarta, Kamis (9/10).
Selain itu, kendala penerimaan pajak tidak mampu memenuhi target diakuinya karena kurangnya jumlah sumber daya manusia (SDM) di bidang perpajakan. Dia menyontohkan, SDM bidang perpajakan di Jerman yang penduduknya lebih sedikit daripada Indonesia hanya 110 ribu orang.
Jepang memiliki 60 ribu SDM perpajakan yang melayani penduduknya yang berjumlah hanya 120 juta jiwa. “Sedangkan SDM perpajakan di Indonesia hanya 32 ribu,” ujarnya.
Praktis, hanya ada 31 kantor wilayah untuk 34 provinsi dan 331 kantor pembantu pajak (KPP) untuk 506 kabupaten atau kota. Pihaknya berharap jika SDM perpajakan dan infrastruktur ditambah dapat meningkatkan penerimaan pajak.
http://www.republika.co.id/berita/ek...-begitu-rendah
Penerimaan Pajak Rendah, Menkeu: Administrasi Bermasalah
Dari 280 juta penduduk, hanya 27 juta yang punya NPWP.
Senin, 5 Oktober 2015 | 19:45 WIB
VIVA.co.id - Menteri Keuangan, Bambang Brodjonegoro, mengatakan bahwa pemerintah perlu berfokus kepada masalah administrasi dalam penanganan pajak.
Menurut Bambang, hingga saat ini masih banyak permasalahan yang terjadi dalam administrasi perpajakan, sehingga turut memengaruhi penerimaan pajak yang masih jauh di bawah target.
"Pasti ada problem besar di administrasi pajak, dari 280 juta penduduk, hanya 10 persen yang punya NPWP, yaitu 27 juta saja yang punya NPWP. Nah, dari 27 juta itu yang lapor SPT itu hanya 10 juta," ujar Bambang di Jakarta, Senin 5 Oktober 2015.
Bambang juga menyebut jika di sektor Pajak Penghasilan (Pph) pribadi pun tak memuaskan. Dari target Rp900 triliun baru Rp5 triliun yang terealisasi. "Jadi masih sangat jauh," katanya.
Kemenkeu akan terus mengevaluasi demi meningkatkan target penerimaan pajak pada 2015 yang ditetapkan sebesar Rp1.295 triliun dalam APBNP 2015. Lemahnya administrasi perpajakan dinilainya merupakan penyebab utama lambatnya realisasi dari target penerimaan pajak.
"Jadi, nggak heran penerimaan pajak kita kecil, intinya kita tidak pernah menutup diri. Kita akan selalu terbuka dengan pihak mana pun, kita akan evaluasi dari administrasinya," katanya.
http://bisnis.news.viva.co.id/news/r...asi-bermasalah
Kamis, 09 Oktober 2014, 19:30 WIB
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tenaga Pengkaji Ekstensifikasi dan Intensifikasi Pajak, Kementerian Keuangan Indonesia, Dasto Ledyanto mengakui penerimaan pajak dalam negeri tidak memenuhi target. Ia mengatakan ada dua alasannya, yaitu karena kurangnya jumlah sumber daya manusia (SDM) dan minimnya setoran pajak penghasilan (PPh) dari wajib pajak (WP) orang pribadi (OP).
Ia mengakui, cukup berat untuk meningkatkan penerimaan pajak. Ini karena jumlah setoran PPh yang dibayar WP OP masih lebih sedikit dibandingkan WP badan usaha. Dia menyebutkan, PPh OP pada tahun 2012 hanya sebesar 3,763 triliun dan tahun 2013 4,384 triliun.
“Sementara PPh Badan usaha dapat terkumpul Rp 152,624 triliun tahun 2012 dan meningkat Rp 155,066 triliun di tahun 2013,” katanya saat menjadi pembicara di acara diskusi panel yang diselenggarakan Forpesi dengan tema 'Pajak untuk Kesejahteraan Masyarakat', di Jakarta, Kamis (9/10).
Selain itu, kendala penerimaan pajak tidak mampu memenuhi target diakuinya karena kurangnya jumlah sumber daya manusia (SDM) di bidang perpajakan. Dia menyontohkan, SDM bidang perpajakan di Jerman yang penduduknya lebih sedikit daripada Indonesia hanya 110 ribu orang.
Jepang memiliki 60 ribu SDM perpajakan yang melayani penduduknya yang berjumlah hanya 120 juta jiwa. “Sedangkan SDM perpajakan di Indonesia hanya 32 ribu,” ujarnya.
Praktis, hanya ada 31 kantor wilayah untuk 34 provinsi dan 331 kantor pembantu pajak (KPP) untuk 506 kabupaten atau kota. Pihaknya berharap jika SDM perpajakan dan infrastruktur ditambah dapat meningkatkan penerimaan pajak.
http://www.republika.co.id/berita/ek...-begitu-rendah
Penerimaan Pajak Rendah, Menkeu: Administrasi Bermasalah
Dari 280 juta penduduk, hanya 27 juta yang punya NPWP.
Senin, 5 Oktober 2015 | 19:45 WIB
VIVA.co.id - Menteri Keuangan, Bambang Brodjonegoro, mengatakan bahwa pemerintah perlu berfokus kepada masalah administrasi dalam penanganan pajak.
Menurut Bambang, hingga saat ini masih banyak permasalahan yang terjadi dalam administrasi perpajakan, sehingga turut memengaruhi penerimaan pajak yang masih jauh di bawah target.
"Pasti ada problem besar di administrasi pajak, dari 280 juta penduduk, hanya 10 persen yang punya NPWP, yaitu 27 juta saja yang punya NPWP. Nah, dari 27 juta itu yang lapor SPT itu hanya 10 juta," ujar Bambang di Jakarta, Senin 5 Oktober 2015.
Bambang juga menyebut jika di sektor Pajak Penghasilan (Pph) pribadi pun tak memuaskan. Dari target Rp900 triliun baru Rp5 triliun yang terealisasi. "Jadi masih sangat jauh," katanya.
Kemenkeu akan terus mengevaluasi demi meningkatkan target penerimaan pajak pada 2015 yang ditetapkan sebesar Rp1.295 triliun dalam APBNP 2015. Lemahnya administrasi perpajakan dinilainya merupakan penyebab utama lambatnya realisasi dari target penerimaan pajak.
"Jadi, nggak heran penerimaan pajak kita kecil, intinya kita tidak pernah menutup diri. Kita akan selalu terbuka dengan pihak mana pun, kita akan evaluasi dari administrasinya," katanya.
http://bisnis.news.viva.co.id/news/r...asi-bermasalah
Beban Utang Luar Negeri yang semakin berat, RI bisa terancam default seperti Yunani?
Quote:
Utang Luar Negeri Indonesia Tembus Rp4.234 Triliun
Selasa, 19/01/2016 10:21 WIB
Jakarta, CNN Indonesia -- Bank Indonesia (BI) mencatat Utang Luar Negeri Indonesia sampai dengan November 2015 menembus angka US$304,6 miliar atau berkisar Rp4.234 triliun.
Jika dibandingkan secara tahunan atau year on year (YoY), posisi Utang Luar Neger Indonesia per November 2015 tumbuh 3,2 persen atau lebih tinggi dibandingkan pertumbuhannya di Oktober 2015 yang hanya mencapai 2,5 persen.
"Utang luar negeri terutama didorong oleh peningkatan pertumbuhan ULN berjangka panjang," ujar Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Tirta Segara seperti dikutip dari kantor berita Antara, Selasa (19/1).
Mengacu data Bank Indonesia, Utang Luar Negeri (ULN) jangka panjang Indonesia tercatat tumbuh 6,1 persen (yoy), atau lebih tinggi dari pertumbuhan bulan Oktober 2015 yang sebesar 5,5 persen (yoy).
Sedangkan untuk ULN jangka pendek, besarannya tercatat mengalami penyusutan sebanyak 12,5 secara tahunan.
Sementara jika didasarkan pada jangka waktu asal, posisi ULN Indonesia masih didominasi ULN jangka panjang sebesar 86,6 persen, atau berkisar US$263,0 miliar yang terdiri dari ULN sektor publik sebanyak US$134,8 miliar dan ULN sektor swasta mencapai US$129,1 miliar.
Ada pun ULN jangka pendek Indonesia pada periode yang sama tercatat berada di posisi US$40,7 miliar yang terdiri dari ULN sektor swasta sebesar US$37,7 miliar dan ULN sektor publik sebesar US$3 miliar.
Mengacu pada kelompok ekonomi, ULN swasta sampai dengan akhir November 2015 masih terkonsentrasi pada sektor keuangan, industri pengolahan, pertambangan, serta listrik, gas dan air bersih.
Meski perkembangan ULN November 2015 masih dinilai cukup sehat, tutur Tirta jajaran BI akan tetap mewaspadai adanya risiko dan dampak negatifnya terhadap perekonomian domestik.
Di mana kedepannya regulator moneter tersebut berkomitmen akan terus memantau perkembangan ULN, khususnya ULN sektor swasta.
"Hal ini dimaksudkan untuk memberikan keyakinan bahwa ULN dapat berperan secara optimal dalam mendukung pembiayaan pembangunan tanpa menimbulkan risiko yang dapat memengaruhi stabilitas makroekonomi," pungkas Tirta.
http://www.cnnindonesia.com/ekonomi/...p4234-triliun/
Selasa, 19/01/2016 10:21 WIB
Jakarta, CNN Indonesia -- Bank Indonesia (BI) mencatat Utang Luar Negeri Indonesia sampai dengan November 2015 menembus angka US$304,6 miliar atau berkisar Rp4.234 triliun.
Jika dibandingkan secara tahunan atau year on year (YoY), posisi Utang Luar Neger Indonesia per November 2015 tumbuh 3,2 persen atau lebih tinggi dibandingkan pertumbuhannya di Oktober 2015 yang hanya mencapai 2,5 persen.
"Utang luar negeri terutama didorong oleh peningkatan pertumbuhan ULN berjangka panjang," ujar Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Tirta Segara seperti dikutip dari kantor berita Antara, Selasa (19/1).
Mengacu data Bank Indonesia, Utang Luar Negeri (ULN) jangka panjang Indonesia tercatat tumbuh 6,1 persen (yoy), atau lebih tinggi dari pertumbuhan bulan Oktober 2015 yang sebesar 5,5 persen (yoy).
Sedangkan untuk ULN jangka pendek, besarannya tercatat mengalami penyusutan sebanyak 12,5 secara tahunan.
Sementara jika didasarkan pada jangka waktu asal, posisi ULN Indonesia masih didominasi ULN jangka panjang sebesar 86,6 persen, atau berkisar US$263,0 miliar yang terdiri dari ULN sektor publik sebanyak US$134,8 miliar dan ULN sektor swasta mencapai US$129,1 miliar.
Ada pun ULN jangka pendek Indonesia pada periode yang sama tercatat berada di posisi US$40,7 miliar yang terdiri dari ULN sektor swasta sebesar US$37,7 miliar dan ULN sektor publik sebesar US$3 miliar.
Mengacu pada kelompok ekonomi, ULN swasta sampai dengan akhir November 2015 masih terkonsentrasi pada sektor keuangan, industri pengolahan, pertambangan, serta listrik, gas dan air bersih.
Meski perkembangan ULN November 2015 masih dinilai cukup sehat, tutur Tirta jajaran BI akan tetap mewaspadai adanya risiko dan dampak negatifnya terhadap perekonomian domestik.
Di mana kedepannya regulator moneter tersebut berkomitmen akan terus memantau perkembangan ULN, khususnya ULN sektor swasta.
"Hal ini dimaksudkan untuk memberikan keyakinan bahwa ULN dapat berperan secara optimal dalam mendukung pembiayaan pembangunan tanpa menimbulkan risiko yang dapat memengaruhi stabilitas makroekonomi," pungkas Tirta.
http://www.cnnindonesia.com/ekonomi/...p4234-triliun/
--------------------------------------------
Sampai dia lengser tahun 2019 nanti pun, kondisi peekonomian Global dan Nasional, sepertinya sulit pulih seperti zaman SBY dulu. Harga minyak Dunia yang di zaman SBY mencapai $ 140, kini dibawah $ 30, bahkan bisa mencapai $ 20 bila Arab (Saudi) pecah perang dengan Iran. Penerimaan migas yang jeblog, pemasukan pajak yang seret, dan utang luar negeri yang se gunung, bisa saja membawa negeri ini kembali terpuruk seperti 1998 dulu, bahkan bisa lebih buruk lagi. Yang mengerikan, kita bisa bernasib seperti Yunani bila utangnya tak terkendali lagi di zaman Jokowi berkuasa ini. Bayangin, setahun berkuasa aja, utang ang dicetak rezim ini bisa sampai 3 kali lipat rezim Orde Baru yang korup itu. Nah lhoooo ...
0
2.8K
Kutip
33
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan