Berapa biaya balapan sebuah tim dalam even MotoGP? Mahal, pasti itu jawaban yang keluar. Tetapi berapa detail biaya yang dibutuhkan? Dan mengapa hingga kini belum ada, pengusaha Indonesia yang “nekat” membuat tim motogp?

Lalu apa sebabnya pabrikan yang sudah mendulang untung di sini (Indonesia) enggan membentuk tim khusus untuk pembalap Indonesia ke MotoGP? Itulah beberapa pertanyaan yang dihasilkan dari sebuah obrolan sederhana pekerja jakarta di sebuah warung roti bakar di bilangan Senayan, beberapa hari lalu.

MotoGP bisa dibilang adalah event balapan motor kelas premium. Berbeda dengan seri World Superbike yang menggunakan motor produksi massal, MotoGP justru sebaliknya. Semua mesin, suku cadang, perangkat elektronik, hingga mungkin baut dan murnya dipesan khusus.

Bukan semata ingin berbeda, tetapi karena MotoGP ajang unjuk gigi teknologi terkini sepeda motor di muka bumi. Mesinnya adalah level prototipe. Biasanya hanya dibuat dan digunakan di ajang MotoGP. Rem, Discbrake, ban hingga rangkanya, tak bisa didapatkan di dealer manapun. Konsekuensinya jelas, balapan ini biayanya mahal. Mungkin tak semahal Formula 1.

Sekedar ilustrasi, 2009, saat Kawasaki hengkang dari MotoGP, mereka merogoh kocek sekitar US$26 juta atau Rp247 milyar (kurs 9500). Itu sudah termasuk denda/penalti, gaji pembalap, biaya riset ZX-RR (pada 2009) US$5 juta, dan kompensasi seluruh kru. Mahal? Ini belum seberapa dibanding pengeluaran mereka musim 2008, sebesar US$46 juta atau Rp437 miliar.

Duit yang nyaris mencapai setengah trilyun itupun, tertnyata masih saja sulit menggoyang dominasi Yamaha dan Honda. Lantas, mesti seberapa banyak dana yang harus dikeluarkan untuk menjadi tim papan atas? Apakah harus Unlimited?

Harga motor di MotoGP saat ini memang tak semahal beberapa tahun lalu, karena adanya regulasi pembatasan pengeluaran bujet oleh Dorna. Namun, itu tetap tak membendung tim-tim papan atas untuk menggenjot performa tim mereka.

Honda dikabarkan pada 2013 menggelontorkan kocek hingga US$ 100 juta! Konon, riset jadi salah satu pengeluaran terbesar bagi tim pabrikan papan atas. Bila sekelas tim Kawasaki saja menyedot kantong dengan hebatnya, wajar bila ekspetasi pada seorang pembalap amat tinggi, meski kompensasinya pun cukup layak.

Marco Melandri pada 2009 dikabarkan menerima bayaran US$8 juta (Rp76 milyar). John Hopkins mengeruk US$4 juta (Rp.38 milyar). Khusus untuk Rossi, Lorenzo dan para “alien” lainnya. dikabarkan mencapai kisaran 3-5 kali lipat.

Jadi, bisa dibayangkan betapa kesalnya seorang Team Principal jika pembalapnya tak mendulang poin, atau jatuh. Sia-sia sudah biaya miliaran rupiah dikeluarkan tiap kali balapan. Ini belum dihitung ongkos kru dan mekanik tiap tim, yang besarannya amat bervariasi. Dari jumlah ataupun gajinya, serta fasilitasnya.

Tim pabrikan bisa mempunyai kru total di atas 40 orang. Sementara tim satelit kurang lebih 20an. Jika tim pabrikan memberikan 1 kamar hotel tiap orang, maka tim satelit lebih memilih bergerilya, dan memesan extra bed untuk setiap kamar, atau “membiarkan” beberapa kru untuk tidur di trailer.

Jelaslah, untuk menjadi pembalap di kelas moto3, moto2 hingga motogp, diperlukan sebuah tingkat kompetisi yang mumpuni. Bukan sekedar ungkapan, “udah finish dan gak jatuh, juga dah bagus bro.” Tentu saja anggapan ini sulit diterima, mengingat biaya yang dikeluarkan bukanlah nilai yang kecil.

Secara moral, Honda atau Yamaha jelas punya kewajiban membantu pembalap Indonesia naik kelas ke ajang Internasional. Toh pemasukan mereka sebagian besar, untuk roda dua tentunya, dihasilkan banyak dari penjualan motor matic, type bebek dan sport kelas menengah. Sayangnya, mereka lebih suka berinvestasi di kelas 'recehan' seperti balap motor bebek.

Kamus Sakti : http://m.monitorday.com/detail/18799/memangnya-berapa-sih-sebenarnya-biaya-balapan-di-motogp#sthash.EdHny4MG.dpuf