- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Sejarah Terorisme di Indonesia


TS
User telah dihapus
Sejarah Terorisme di Indonesia

Sejarah Terorisme di Indonesia

Quote:
Definisi Terorisme
Ini gan menurut Tore Bjorgø dalam bukunya, Root Causes of Terrorism: Myths, Reality, and Ways Forward, terorisme adalah permasalahan yang kompleks gan. Kompleksitas tersebut dapat dilihat dari upaya para ahli dalam menguraikan terorisme melalui berbagai macam definisi untuk mengidentifikasi tindakan, karakteristik, maupun akar permasalahannya. Dari beragam definisi tersebut, tidak ada satu definisi tunggal yang dapat mewakili fenomena terorisme di seluruh dunia. Kompleksitas juga muncul karena faktanya, label “terorisme” digunakan untuk mengidentifikasi berbagai macam fenomena dengan lingkup yang luas.
Pengertian terorisme hingga kini belum sampai pada kesepakatan definisi yang mutlak gan. Loebby Loqman, pakar hukum dan keamanan negara, mendefinisikannya sebagai: “Kegiatan yang mempunyai tujuan untuk membuat orang lain merasa ketakutan, sehingga dapat menarik perhatian orang, kelompok, atau suatu bangsa. Biasanya perbuatan teror digunakan bila tidak ada jalan lain yang dapat ditempuh untuk melaksanakan kehendaknya. Terorisme digunakan sebagai senjata psikologis untuk menciptakan suasana panik, tidak menentu, serta menciptakan ketidakpercayaan masyarakat terhadap kemampuan pemerintah dan memaksa masyarakat atau kelompok tertentu untuk menaati kehendak pelaku teror.”
Di beberapa negara juga ni gan, terorisme identik dengan aktivitas kelompok revolusioner ekstrim kiri seperti Brigadir Merah di Italia, ataupun kelompok ekstrim kanan seperti Neo-Nazi di Eropa. Terdapat pula kelompok terorisme yang berlatar belakang doktrin agama seperti Al-Qaeda, Laskar e-Toiba, Jamaah Al Islamiyah di Indonesia, atau Tanzil Alqaeda Asia Tenggara yang anggotanya berasal dari Indonesia dan Malaysia. Beberapa kelompok terorisme baru bahkan berlatar belakang isu lingkungan.
Di Indonesia ni gan, kelompok terorisme hampir selalu diidentikkan dengan kelompok radikal agama. Kelompok teroris berlatar belakang agama ini disebabkan oleh berbagai faktor yang saling berkaitan. Aksi terorisme tersebut ni gan, tidak hanya dipengaruhi oleh dampak internasional, seperti kedekatan dengan tokoh teroris internasional, doktrin jihad internasional dari Osama Bin Laden, atau dana internasional. Faktor domestik juga memengaruhi munculnya gerakan teroris di Indonesia. Adanya represi pada era Orde Baru, tingkat pendidikan dan kemiskinan, serta doktrin dari pemuka agama radikal juga memengaruhi terbentuknya kelompok-kelompok teroris gan.
Pembentukan Gerakan Teroris Berbasis Agama di Indonesia

Ni gan salah satu pergerakan politik Islam yang ditekan adalah pergerakan kelompok yang dianggap sebagai ancaman sejak sebelum masa Orde Baru, yaitu Darul Islam (DI). DI merupakan kelompok Islamis pada era tahun 1950-an yang memiliki sejarah pemberontakan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) karena memperjuangkan berdirinya Negara Islam Indonesia (NII).
DI menganggap pemerintah Indonesia patut diperangi sebagai jihad (perang) karena pemerintah Indonesia dipandang tidak menegakkan syari’at Islam dan melegalkan aksi kekerasan sebagai bagian dari jihad. Kelompok ini juga membenarkan aksi teror terhadap kaum sipil yang tidak mendukung mereka dan dianggap sebagai cikal bakal gerakan salafy jihadi di Indonesia.
Pada masa Orde Baru, pegerakan kelompok DI meredup, khususnya pasca kematian Kartosuwirjo, pemimpin kelompok tersebut. Usaha untuk menghidupkan kembali kelompok DI baru muncul pada tahun 1970-an. Terinspirasi oleh pesan terakhir Kartosuwirjo yang menyebutkan bahwa perjuangan DI pada waktu itu memasuki fase Hudaibiyah, periode perjanjian gencatan senjata sebelum pasukan Islam berhasil menaklukkan Kota Mekkah pada masa perjuangan Nabi Muhammad, orang DI percaya bahwa DI akan bangkit dan kemenangan sudah dekat.
Orang-orang DI ingin kembali mewujudkan keinginan Kartosuwirjo untuk membentuk negara Islam Indonesia dan menegakkan syariat Islam. Pengorganisasian diri orang-orang mantan DI dari Jawa, Sumatra, dan Sulawesi dilakukan dan pencarian bantuan senjata dari Libya juga dicoba, tetapi digagalkan oleh aparat keamanan ketika pada awal tahun 1977 dilakukan penangkapan besar-besaran terhadap orang DI.
Pasca penangkapan, beberapa petinggi DI berhasil lolos dan memulai pergerakan baru. Namun, lagi-lagi aparat keamanan berhasil mencium jejak pergerakan mereka. Pada tahun 1981 aparat keamanan kembali melakukan penangkapan sejumlah besar petinggi DI.
Setelah beberapa aksi penangkapan petinggi DI tersebut, gerakan politik Islam DI merekrut dua tokoh penting, yakni Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba’asyir. Kedua tokoh ini sebelumnya adalah bagian dari anggota Muhammadiyah dan simpatisan Partai Masyumi, dua saluran politik bagi kelompok Islam pada tahun 1950-an. Namun, rezim Orde Baru bertindak represif terhadap partai politik Islam dengan menyingkirkan Muhammadiyah serta Partai Masyumi dari arena politik, sehingga menyumbat aspirasi politik kelompok Islam tersebut. Karena itulah kemudian sebagian dari anggota dan simpatisan mereka bergabung bersama DI untuk mewujudkan tujuan mereka membangun negara Islam.
Pada tahun 1985, rezim Orde Baru menetapkan undang-undang yang memaksakan Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi partai politik dan organisasi masyarakat. Melalui undang-undang ini, pemerintah Orde Baru beranggapan penerapan Pancasila sebagai asas tunggal bagi organisasi kemasyarakatan di Indonesia dapat mengurangi potensi perpecahan akibat perbedaan ideologi dan dapat menciptakan stabilitas negara untuk mengamankan proses pembangunan nasional.
Tapi gan, persetujuan terhadap undang-undang asas tunggal Pancasila ini tidak terjadi pada kelompok yang lebih ekstrim seperti DI (yang pada waktu itu disebut Komando Jihad). DI menjadi kelompok yang menolak undang-undang yang menetapkan Pancasila sebagai satu-satunya asas organisasi karena orang-orang DI kukuh dengan tujuan membentuk negara Islam dan menganggap bahwa pengakuan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai dasar negara adalah sebuah kemusyrikan.
Penolakan terhadap undang-undang asas tunggal Pancasila ini kemudian berlanjut dengan perlawanan terhadap pemerintah oleh kelompok Islam yang terjadi di daerah Tanjung Priok. Perlawanan tersebut dihadapi aparat keamanan dengan kekerasan yang pada akhirnya memakan korban ratusan jiwa. Beberapa kelompok Islam melakukan balas dendam terhadap aksi ini dengan berbagai aksi teror yang kemudian dibalas lagi oleh aparat keamanan dengan aksi represif menangkap para tokoh oposisi Islam dari berbagai kelompok, termasuk DI. Situasi represif ini membuat Abdullah Sungkar dan anggota DI lainnya memutuskan untuk hijrah ke Malaysia pada tahun 1985.Ketika Sungkar dan anggota-anggota DI lainnya berada di Malaysia, mereka membangun kerja sama dengan tokoh jihad dari Afganistan untuk melakukan pengiriman para kader DI ke Afganistan. Mereka dikirim dengan tujuan untuk belajar ilmu kemiliteran dari akademi militer di sana yang kemudian akan digunakan sebagai bekal melakukan jihad di Indonesia.
Jamaah Islamiyah

Pada periode tahun 1985-1991 gan, mulailah ratusan kader DI terlibat dalam pelatihan di beberapa akademi militer yang ada di Afganistan. Para kader DI ini bukanlah satu-satunya yang berangkat ke Afganistan sebagai mujahidin. Abdullahh Azzam, dengan dibantu oleh seorang pemuda Arab Saudi bernama Usamah bin Laden sebelumnya memang telah mendirikan Maktab Al Khidmat, sebuah lembaga yang dibentuk untuk memfasilitasi para mujahidin asing dari berbagai negara untuk datang ke Afganistan dan mengikuti program pelatihan militer serta program jihad bersama mujahidin Afganistan.
Dengan perkembangan salafi jihadisme di Afganistan ni gan, para kader DI yang menjadi mujahidin ini tidak hanya mempelajari ilmu militer, tetapi juga ilmu agama dengan doktrin-doktrin salafi jihadisme tersebut. Kamp pelatihan militer seperti Muaskar Saada pimpinan Abdullah Azzam dan Harby Pohantum Al Ittihad Al Islamy pimpinan Syaikh Abdur Rasul Sayyaf dibangun bukan hanya sebagai tempat menimba ilmu kemiliteran, tetapi juga untuk menjadi tempat para mujahidin asing diajarkan doktrin-doktrin salafi jihadisme. Pengenalan dan penanaman doktrin salafi jihadisme ini menjadi faktor motivasional bagi para kader DI yang belajar di Afganistan. Salafi jihadisme memberikan pemahaman keagamaan baru yang mengoreksi pemahaman lama mereka yang diperoleh dari DI, seperti misalnya tauhid RMU (Rububiyah, Mulkiyah, dan Uluhiyah).
Para kader DI tersebut gan kemudian meninggalkan tauhid RMU dan mengadopsi doktrin tauhid versi salafi jihadisme. Dalam perkembangannya, salafi jihadisme ini nantinya juga akan menjadi ideologi utama bagi para kader DI alumni Afganistan ketika mereka membentuk kelompok baru Jamaah Islamiyah (JI).
Kelompok Tanzil Al Qaeda Asia Tenggara

Dalam perkembangannya ni gan, Jamaah Islamiyah juga terpecah dan membentuk kelompok kecil Tanzil Al Qaeda Asia Tenggara yang dikenal dengan aksi teror di gereja dan Bom Bali. Pihak petinggi Jamaah Islamiyah sendiri mengklaim tidak bertanggung jawab dengan aksi teror gereja dan bom Bali, meski tidak memungkiri bahwa pelaku aksi tersebut adalah anggota kelompok Jamaah Islamiyah.
Nama Imam Samudera muncul pertama kali dari beberapa tersangka yang berhasil diciduk sejak peledakan bom di malam Natal tahun 2000 serta peledakan Plaza Atrium Senen Jakarta tahun 2001. Kelak setelah berhasil ditangkap, dia juga mengaku bertanggung jawab atas pengeboman gereja Santa Anna dan HKBP di Jakarta. Imam Samudera tidak mengakui pengeboman selain yang sudah disebutkan, tetapi dia menyebutkan mungkin kelompok lainnya.
Setelah melakukan pengeboman tersebut, Samudera alias Abdul Aziz pergi ke Malaysia. Pada 2002 ia kembali lagi ke Indonesia, kemudian terlibat dalam pengeboman Bali. Dalam kasus peledakan bom Bali, Amrozi sang tersangka peledakan dan juga rekan satu tim Imam Samudera juga menyebut namanya sebagai aktor intelektual.
Penangkapan tersangka pemboman dari Tanzil Al Qaeda dan Jamaah Islamiyah cukup mematikan jaringan Jamaah Islamiyah. Kurang lebih 170 orang menjadi tahanan kasus tindak pidana terorisme, beberapa mendapatkan hukuman mati.
Penangkapan besar-besaran tersangka teroris tidak mematikan gerakan radikal yang kemudian menjadi cikal bakal terorisme. Mantan anggota atau kelompok pecahan Jamaah Islamiyah masih melakukan teror di berbagai wilayah. Kelompok teroris di Aceh Tanzim of Qhoidatul Jihad, Kelompok teroris Poso, dan Jaringan Abu Tolud masih aktif setelah Jamaah Islamiyah “dibekukan”. Walaupun begitu, kelompok tersebut banyak yang tidak diakui oleh Jamaah Islamiyah karena sempat terjadi perpecahan internal.
Quote:

0
7.4K
29


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan