Kenalin, ane salah satu dokter gigi yang praktek di daerah Jawa Timur. Tenaga medis seperti kami memang selalu disarankan untuk mempromosikan BPJS terutama bagi pasien yang tidak mampu. Tapi tenang aja, kali ini ane cuma mau share pengalaman memakai jasa BPJS, bukan promosi BPJS. Jadi tolong disimak baik-baik.
Sebagai program dengan usia yang terbilang baru, ane cukup menyadari bahwa BPJS ini masih banyak kekurangan di sana-sini. Kekurangan ini seringkali mempersulit banyak pihak, baik pasien, keluarga pasien, maupun kami sendiri sebagai tenaga medis. Banyak masyarakat yang masih meragukan sistem JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) ini. Bahkan sempat tersiar kabar yang menyatakan bahwa BPJS diberi label haram. Ditambah lagi dengan kultur masyarakat Indonesia yang lebih demen sama hal-hal yang berbau ‘katanya anu katanya itu’. bilangnya, pasien BPJS disuruh antre lama lah, obatnya jelek lah.
Ane sendiri selama menjadi dokter, memang nggak terlibat langsung sama program BPJS ini. Ane praktek pribadi di rumah, dan praktekan ane bukan faskes tingkat I BPJS. Meski begitu, ane dan keluarga ane terdaftar dalam program BPJS mandiri dengan beberapa pertimbangan. Jadi sejak terdaftar sebagai member BPJS, ane belum pernah punya pengalaman menggunakan jasa BPJS. Kalau ane atau keluarga ane sakit, ane lebih prefer kasih obat sendiri. Atau kalau butuh tindakan atau perawatan yang di luar kompetensi ane, ane biasa langsung menghubungi sejawat atau menghubungi RS terdekat.
Hingga suatu hari, ane ‘terpaksa’ harus merasakan bagaimana warna-warninya menggunakan jasa BPJS…
Spoiler for Mukadimah:
Mukadimah
Sekitar setahun yang lalu (April 2014), nenek ane yang usianya 70 tahun jatuh dari kamar mandi dan seketika tidak bisa bergerak dari tempat beliau jatuh. Saat ane tanya, nenek ane bilang seperti kehilangan kesadaran sesaat sebelum jatuh. Ketika ane periksa, tekanan darah beliau memang cukup tinggi, yaitu 170/100 mmHg. Ane telepon sejawat ane, dan oleh beliau diberi resep analgesik (obat penghilang nyeri) dan antihipertensi. Sehari setelah insiden jatuh di kamar mandi, ane bawa nenek ke P*rahita untuk rontgen daerah pelvis (panggul dan paha) karena daerah situ yang dikeluhkan sakit. Kenapa ane rontgen? Karena Ane khawatir ada fraktur. Kenapa gak ane bawa ke RS? Itu karena nenek ane gabisa bangun ataupun gerak (jadi waktu itu ke lab, digendong rame-rame).
Setelah hasil rontgen keluar, dan dinyatakan taa (tak ada abnormalitas), ane konsul sama sejawat, dan kami sepakat untuk memberikan terapi medikamentosa (obat-obatan) di rumah dan terapi fisiologi yang dilakukan secara mandiri di rumah.
Skip skip…. Next…
Selama setahun terakhir sejak nenek ane jatuh pertama kali di bulan April 2014, nenek ane beberapa kali jatuh. Entah jatuh dari kasur, terpeleset plastik bungkus makanan, terpeleset di kamar mandi, dan lainnya. kebetulan nenek ane ini super akktif dan selalu nggak mau diam. Jadi kalau dilarang ngapa-ngapain selalu marah. Kami sebagai anak dan cucu, terpaksa membiarkan nenek ane beraktivitas seperti biasa meski kami harus lebih ekstra mengawasi. Tapi toh nyatanya tetap saja kami kecolongan.
Spoiler for Klinik, first visit:
Juni 2015, Pengalaman pertama pakai BPJS
First visit di klinik X, faskes I BPJS
Nenek ane jatuh lagi saat mau ambil wudhu. Posisi jatuhnya kali ini nggak beda sama posisi jatuh ketika pertama kali. Waktu itu nenek ane bilang sakit luar biasa di daerah pinggang. Tapi sakitnya hanya dirasakan ketika nenek ane jalan atau berubah posisi duduk/tidur. Ane mau bawa nenek ke dokter terdekat, tapi kebetulan dokter terdekat lagi nggak praktek. Mau ane bawa ke RS, nenek ane nggak mau. Entah kenapa nenek ane phobia banget sama RS. Ane telp sejawat, tapi ane nggak menemukan jawaban yang memuaskan. Sampai akhirnya kepikiran, kenapa nggak ane gunakan jasa BPJS. Sekalian mau coba, gimana sih rasanya pakai fasilitas BPJS. Oh ya, waktu itu nenek ane sudah setahun terdaftar sebagai pengguna BPJS mandiri kelas III.
Nggak pakai lama, ane bawa nenek ane ke klinik X yang merupakan Faskes tingkat I yang ditunjuk di kartu keanggotaan. Klinik X itu jaraknya cuma 5 menit jalan kaki kalau dari rumah ane. Ane bawa nenek ke sana, ketemu dokter A, dilakukan anamnesa, dan dilihat foto rontgen setahun lalu. Ane disarankan untuk melakukan rontgen ulang untuk menegakkan diagnosa yang lebih akurat. Ane juga diminta kontrol setelah hasil rontgen keluar. Nah ini bagian yang mencengangkan. Waktu di bagian farmasi, ane cuma diberi analgesik (asam mefenamat), antihipertensi (captopril), dan beberapa tablet vitamin B complex. Ane sempet mikir, kok sakit kayak gini cuma dikasih asam mefenamat. Tapi ane diemin aja.
Esoknya ane bawa nenek ke lab untuk dirontgen ulang di daerah yang sama yaitu pelvis. Biaya lab ini tidak tercover BPJS, artinya ane harus bayar sendiri. Waktu hasilnya keluar, ternyata hasilnya sama seperti rontgen pertama. Tidak ada abnormalitas. Hasil rontgen itu ane bawa lagi ke klinik BPJS keesokan harinya
.
Spoiler for Klinik, second visit:
Second visit, masih Juni 2015
Di kunjungan II ini ane dapet pengalaman nggak enak banget. Sebelum nenek ane masuk ruang dokter untuk diperiksa, nenek ane sempet dibentak sama karyawan BPJSnya hanya gara-gara nomor rekam medis di kartu keanggotaan BPJS milik nenek ane hilang. Dia ngebentak nenek ane sambil bilang, “Ibu ini gimana sih? Nomor yang saya tulis di sini jangan diilangin! Gini ini saya jadi nyari satu-satu rekam medisnya!”
Ane naik darah ngelihat nenek ane dibentak.
Apalagi lihat nenek ane sampe pucet gemeter gitu. Masa begitu cara memperlakukan pasien lansia, yang lagi sakit pula. Mungkin karena lihat di kartu keanggotaan yang tertera nenek ane ‘cuma’ pasien kelas III, dan nganggep semua pasien BPJS itu miskin dan gak mampu bayar.
Ane gebrak meja dan ane bentak balik itu karyawannya. “Mbak, biasa aja ngomongnya! Gak usah nyolot! Lagian saya juga liat kemarin mbak ngasih nomor rekam medisnya pakai spidol yang nggak permanen. Jelas kehapus lah! Kalau mau awet, pakai marker yang permanen atau ditandain pake kertas yang diselotip. Lagian nyari rekam medis kan dibantu komputer juga bisa. Tinggal CTRL+F doang!”
Si mbaknya minta-minta maaf sama ane sama nenek ane. Ane sudah mulai geregetan sama klinik BPJS ini. Seumur-umur ane gak pernah memperlakukan pasien kayak gitu. Dan seumur-umur jadi pasien di klinik atau RS, ane juga gak pernah diperlakukan kayak gitu.
Skip skip
Akhirnya ane ketemu dokter A. Dokternya cuma bilang, “Oh ini nggak apa-apa kok, Bu. Faktor usia aja,”
Ane bilang ke dokternya, “Tolong nenek saya diberi antinyeri yang lain, dok. Soalnya kalau minum asam mefenamat enggak reda sakitnya,”. Tapi dokternya bilang nggak ada antinyeri yang lain di situ. Adanya asam mefenamat doang. Dokter itu juga bilang, “Kalau bisa di bagian yang sakit diberi antinyeri yang salep ya, Bu.” Ane paham, maksudnya tuh kayak semacem Counterp*in. tapi dokternya bilang lagi, “Tapi di sini nggak disediakan, jadi ibu beli sendiri,”
Nah ane mulai mikir, BPJS gini amat yak. Iya kalau pasien yang diberi advice kayak gitu bisa beli sendiri. Untuk ukuran orang nggak mampu, beli Counterp*in itu sudah mahal lho. Ane juga nanya, “Dok, bisa nggak saya minta rujukan untuk nenek ke RS. Maksud saya, biar bisa dapat terapi fisiologis,”
Jawaban dokter itu adalah, “Ah, nggak perlu……”
Akhirnya ane pindah ke lain hati.Ane nggak pengen lagi datang ke klinik BPJS karena dua kali datang, ane nggak sreg sama pelayanannya. Ya pelayanan dokternya, apalagi pelayanan karyawannya.
Spoiler for Third visit:
Pertengahan Juli 2015
Nenek ane jatuh untuk entah keberapa kalinya. Kali ini yang terparah karena nenek ane bener-bener gak bisa bangun dari tempat tidur selama 5 hari. Ane sendiri kecolongan dan nggak tau kalau nenek ane sakit karena lagi seminar di luar kota dan nenek ane ngelarang keluarga lain untuk ngabarin ane. Mungkin beliau khawatir ane nggak konsen di luar kota. nenek ane juga nggak mau dibawa ke dokter atau RS. Jadi selama 5 hari itu nenek ane cuma bisa diem di tempat tidur.
Ketika ane pulang dan tau kondisi nenek, ane mulai konsul sama beberapa sejawat. 90% dari mereka menyarankan nenek ane untuk diperiksa di RS agar lebih terintegrasi. Dan hampir seluruh sejawat menyarankan ane untuk menggunakan jasa BPJS. Ane sendiri juga diberi gambaran kira-kira kalau pakai BPJS kayak gimana, kalau jadi pasien mandiri kayak gimana.
Setelah rembug keluarga, dan merayu nenek supaya mau dibawa ke RS, ane jadi makin yakin untuk bawa nenek ane ke RS menggunakan jasa BPJS. Yang perlu ane lakukan pertama kali adalah rujukan untuk ke RS. Yang mana rujukan ini hanya bisa diberikan oleh dokter dari klinik X sebagai Faskes Tingkat I. Ah elaaah, ketemu dokter nyebelin itu lagi deh
Keesokan harinya ane membulatkan tekad untuk dateng ke klinik X dan ketemu sama dokter A untuk minta dibuatkan surat rujukan ke RS. Kira-kira begini obrolan ane sama dokter A.
Quote:
“Dok, saya mau minta rujukan untuk nenek saya,”
“Lho, tunggu dulu. Nanti dulu. Ada apa ini kok tiba-tiba minta rujukan?”
“Nenek saya sakit bla bla bla (ane ceritain semua riwayat pengobatannya, dan ane bilang nenek ane gak akan bisa sembuh cuma dengan asam mefenamat dan vit B complex saja. Ane desak dokter A karena ane yakin nenek ane gak sekedar demam batuk pilek. Nenek ane butuh penanganan serius)”
“Oh iya bisa bisa. Neneknya mana sekarang?”
“Nenek saya di rumah, nggak bisa bangun udah 5 hari,”
“Oooh, ya nggak bisa gitu. Saya cuma bisa kasih rujukan kalau ada pasiennya,”
“Dokter udah gila kali ya? mikir dong! Nenek saya ini nggak bisa bangun, dok. Buat geser aja sakit. gimana bisa kesini?” ane mulai emosi.
“Ya kan bisa pakai mobil. Nanti neneknya gak usah turun mobil, saya periksa di luar, saya kasih rujukan, terus mbak bisa pakai rujukannya langsung ke RS yang dituju. Sekali jalan, kan?”
Ane emosi bener. Dikiranya ane nggak tau administrasi RS kayak apa.
“Dok, saya paham kok gimana administrasi di RS. Kalau saya bawa nenek saya kesini sekarang, dan saya bawa langsung ke RS, mau ditanganin di Poli jam berapa? Ini sudah jam 10 siang, dok. Orang lain kalau mau ke RS bahkan ada yang antre dari subuh. Itu pun masih entah jam berapa diperiksanya,”
“Memangnya kalau saya kasih rujukan sekarang, Ibu mau bawa neneknya kapan?”
“Besok pagi dok. Saya mau berangkat pagi-pagi banget,” ane udah emosi maksimal tapi tetep ditahan-tahan.
“Yaudah, besok aja minta rujukannya, mbak”
“Dokter ini gimana sih? Dokter aja dateng ke klinik jam 10 kan? Nah saya bilang apa, saya mau ke RS pagi-pagi banget biar dapet antrian awal. Memangnya dokter mau dateng pagi buta ke klinik?”
Skak mat. Dia diem.
“Gini aja deh, dokter ikut saya ke rumah nenek saya, dokter periksa di sana. Biar dokter percaya kalau nenek saya sakitnya emang parah!”
Finally, setelah perdebatan panjang, dokter A mau dateng ke rumah nenek. Setelah diperiksa, mangut2 bentar, dokternya mau juga ngasih surat rujukan ke salah satu RS swasta di dekat tempat tinggal ane. oh ya, biaya buat manggil dokternya ke rumah ini GRATIS. ane nggak tau ya gratis beneran apa gimana, pokoknya waktu ane kasih salam tempel, dokternya nolak.
Segitu dulu deh gan, nanti ane update lagi mau praktek dulu Kesian pasien kalo nunggu kelamaan
Tenang, juragan, jangan pada emosi dulu yee masih ada lanjutannya kok
Emang sih, yang ngegantung itu suka bikin emosi
Sabar, tunggu cerita lengkap dari ane