Kaskus

Story

zainul.mahendraAvatar border
TS
zainul.mahendra
demi sebuah tanggung jawab besar aku melakukan semua ini
Mungkin ini sudah menjadi takdirku, aku diberikan kepercayaan oleh Allah SWT untuk merawat 12 anak anak ku. Sebagai seorang istri dan seorang hamba, aku harus melaksanakan kewajibanku. Aku harus melahirkan, merawat, membesarkan, menjaga dan mendidik anak anakku sampai aku kembali kepadaNya. Aku tak pernah putus asa menjalani hidupku, aku berusaha sekuat tenagaku, aku harus menjadi contoh bagi anak anak ku, bahwa ibu mereka bukan sosok perempuan yang lemah.


Jauh sebelum aku diterima menjadi PNS, aku hanya bekerja menjadi guru honorer saat itu. Aku harus rela melepas kepergian salah satu anakku. Anakku masih duduk dikelas 1 SD, ia anak yang lincah, cerdas, lagi taat kepada kedua orang tuanya. Pagi itu, ia terbaring lemah di pangkuanku, badannya demam tinggi, wajahnya pucat pasi, tapi ia masih bisa berbicara kepadaku. “Ibu, kapan aku punya seragam baru? Aku malu memakai seragam jelek itu, aku ingin punya seragam baru”, aku benar benar tidak bisa menahan air mataku mengalir membasahi pipiku. Maafkan ibumu nak, ibu belum mempunyai uang untuk membelikan kamu seragam baru. Sebelum aku membawa anakku ke rumah sakit, aku mendapati anakku sudah tidak bernafas lagi. Ya, sedih sekali hatiku saat itu, ibu mana yang tidak sedih melihat anaknya meninggal dipangkuan ibunya?


Saat itu, aku sedang hamil tua, aku mengandung anakku yang ke delapan. Meski fisikku terasa lemah, tapi semangatku tak pernah lemah, aku memaksakan diri berangkat keluar kota untuk melakukan ujian PNS. Sore itu, pulang dari ujian, perutku terasa sakit, seperti ada gejala melahirkan. Diantar oleh adikku, aku pun melahirkan seorang anak di sebuah panti di dekat rumah adikku. Rasa sakit setelah melahirkan aku tahan, paginya aku harus melanjutkan perjuanganku, melanjutkan ujian PNS yang sedang aku ikuti. Entah kenapa aku lupa dengan rasa sakitku, senang rasanya aku mendapatkan momongan baru.


Alhamdulillah, ternyata aku diterima menjadi PNS, ya..sekarang aku menjadi seorang guru di salah satu sekolah menengah. Seketika, aku merasakan ada perubahan dengan keuanganku meski tidak terlalu mencolok tapi aku mensyukurinya. Aku bisa membeli sepeda motor untuk berangkat kerja, aku juga bisa merenofasi rumahku, dan lain sebagainya.


Setelah anak anakku beranjak besar, aku semakin membutuhkan biaya besar untuk menghidupi mereka. Satu persatu harta yang aku punya harus aku jual untuk membayar biaya sekolah anakku. Awalnya, aku hanya menjual sepeda kayuh, kemudian sepeda motor, lalu gelang, cincin, bahkan lemari untuk menyimpan pakaian pun aku jual. Tak patah arang aku menghadapi situasi seperti itu, aku berusaha bangkit melawan keterpurukan. Dengan dibantu oleh anak anakku, aku berusaha menjalani bisnis kecil kecilan. Mulai dari membuka warung sembako, warung makan sederhana, menjual pakaian, menjual koran dan lain sebagainya. Bukan untung yang aku dapatkan, tapi beban hutang yang semakin melilit keuanganku. Aku harus merelakan gajiku di potong 400ribu setiap bulannya, tentunya gaji yang aku terima semakin kecil.


Kondisi ekonomi yang semakin memburuk tak lantas membuatku ciut nyali untuk menghadapi hidup ini. Aku hanya bisa menyuruh anakku untuk bersabar, ketika aku tak mampu memberi sesuap nasi di pagi hari, ketika aku tak mampu membayar SPP yang nunggak berbulan bulan, ketika aku tak mampu memberikan pengobatan ketika mereka sakit, dan lain sebagainya. Dengan penuh rasa sabar, aku memberi nasehat kepada anak anakku satu persatu.



“Nak, kamu tahu kan, ibu sudah berusaha melakukan semuanya, menguras tenaga, waktu dan pikiran ibu untuk merubah keadaan. Mungkin seperti inilah jalan hidup kita, kalian harus sabar menghadapi semua cobaan ini. Pagi hari ibu harus bangun mencuci semua baju kalian, membersihkan rumah, memasak nasi, ngajar di sekolah, dan nyari kerja sampingan. Meski belum membuahkan hasil, ibu tetap tidak menyerah untuk melakukan apa yang bisa ibu lakukan”



Rasanya, aku tidak tega melihat kondisi anak anakku seperti itu. Terkadang, tengah malam aku hanya bisa menangis sembari melihat anak anakku yang sedang tertidur pulas. Tidur harus berhimpitan satu sama lain, makan dengan lauk seadanya saling rebutan, liburan sekolah hanya bisa berdiam diri di rumah, semoga kalian sabar menghadapi semua ini, maafkan ibumu nak.
Singkat cerita, anakku yang bekerja di luar negeri menelpon rumah, ia memutuskan kontrak kerja sepihak. Ia merasa tidak tenang bekerja disana, ia merasa rindu dengan kedua orang tuanya. Dua bulan setelah itu, anakku pun sampai di rumah dengan selamat. Sungguh, aku merasa sangat bahagia dan bangga melihat anakku sudah bisa keluar negeri. Tidak apalah kalau anakku belum bisa menjadi orang sukses, melihat mereka tumbuh besar, sehat dan berpendidikan, itu sudah membuatku bahagia.


Entah apa yang ada dalam pikiranku, uang hasil pemberian anakku yang bekerja diluar negeri itu, aku pakai untuk mengurus sertifikat tanah dan rumah yang aku tempati selama ini. Lega rasanya, setelah proses balik nama sertifikat tanah & rumah itu selesai. Aku tidak ingin ada sengketa masalah tanah dengan saudara saudaraku yang lain.


Sebulan setelah proses balik nama sertifikat itu selesai, suamiku mulai sakit sakitan. Ia terserang penyakit paru paru dan tipus, fisiknya mulai melemah. Genap seminggu suamiku sakit, aku melihat kondisinya makin memburuk. Aku sudah berusaha untuk membawanya ke dokter untuk berobat, tapi ia selalu menolak permintaanku itu. Pagi itu, aku bingung, aku panik, aku tidak kuasa menahan tangisku. Setiap pagi, selama suamiku sakit, aku selalu mendengar rintihannya. Tapi pagi itu aku sama sekali tidak mendengar rintihan suamiku yang sakit. Aku berteriak histeris, aku berusaha membangunkan anak anakku yang sedang tertidur pulas di kamar. Bersama anak anakku, aku melihat menuju kamar suamiku yang ada di depan. Innalillahi wa inna ilaihi rojiun, shock mengetahui suamiku pergi, aku hanya bisa menangis sambil memijat kaki jenazah suamiku. Tidak lama setelah itu, aku hilang kesadaran, aku pingsan di tempat tidur suamiku. Setelah suamiku selesai di kebumikan, aku pun ikut menyusul kepergian suamiku untuk selama lamanya.


Kini, perjuanganku untuk menjadi seorang hamba sekaligus seorang istri di dunia ini telah selesai, aku pasrahkan semuanya kepada Allah SWT. Aku harus mengubur jauh cita citaku untuk mendirikan sekolah gratis bagi mereka yang tidak mampu. Aku merasa bahwa tanggung jawabku sebagai seorang istri dan seorang ibu lebih penting dari sekedar cita citaku. Aku hanya bisa berharap, agar kelak ada salah satu anak anakku yang sudi melanjutkan cita citaku itu. Dan semoga Allah SWT berkenan da berkehendak mengabulkan do’a ku itu, Aamiin.
anasabilaAvatar border
a9r7aAvatar border
pulaukapokAvatar border
pulaukapok dan 2 lainnya memberi reputasi
3
1.7K
3
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan