- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Guru yang Rambutnya Dicukur Ortu Siswa Bisa Dapat Ganti Rugi Rp 100 Juta


TS
tukangkomen123
Guru yang Rambutnya Dicukur Ortu Siswa Bisa Dapat Ganti Rugi Rp 100 Juta
Quote:
Jakarta - Guru SD di Majalengka, Jawa Barat, Aop Saopudin mengalami peradilan sesat. Ia dihukum percobaan karena dinilai melakukan perbuatan tidak menyenangkan kepada siswanya. Aop sendiri dibebaskan di tingkat kasasi. Apa hak Aop atas apa yang dialaminya?
Kasus bermula saat guru honorer SDN Penjalin Kidul V itu melakukan razia rambut gondrong di kelas III pada 19 Maret 2012. Dalam razia itu, didapati 4 siswa yang berambut gondrong yaitu AN, M, MR dan THS.
Mendapati rambut gondrong ini, Aop lalu melakukan tindakan disiplin dengan memotong rambut THS ala kadarnya sehingga gundul tidak beraturan. Sepulang sekolah, THS menceritakan hukuman disiplin itu ke orang tuanya, Iwan Himawan.
Atas laporan itu, Iwan tidak terima dan mendatangi sekolahan. Iwan marah-marah dan mengancam balik Aop. Sang guru lalu dicukur balik rambutnya oleh Iwan sebagai balasan.
Tidak hanya sampai di situ, Iwan juga mempolisikan Aop. Mau tidak mau, pahlawan tanpa tanda jasa itu harus berurusan dengan kepolisian dan jaksa. Teman-teman Aop tidak terima dan mempolisikan balik Iwan.
Aop yang seharusnya merasa aman dan memiliki kebebasan akademik dalam mengajar akhirnya mengalami gegar hukum. Ia harus bolak-balik ke kantor polisi dan kejaksaan.
Terakhir, ia harus duduk di kursi pesakitan menghadap meja majelis hakim dengan pasal berlapis: diskriminasi terhadap anak, penganiayaan terhadap anak dan perbuatan tidak menyenangkan.
Tapi apa daya, tepat pada Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) 2013, Aop dinyatakan bersalah telah melakukan perbuatan tidak menyenangkan berupa memotong rambut siswanya yang melanggar disiplin.
Di hari di mana negara menghargai peran besar guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, Aop malah harus menelan pil pahit dari negara. Aop diganjar hukuman percobaan yaitu selama 6 bulan tidak boleh berbuat pidana, jika berbuat pidana maka langsung dibui 3 bulan penjara.
Anehnya, putusan ini dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi (PT) Bandung pada 31 Juli 2013. Sempurna sudah 'peradilan sesat' yang dialami Aop yaitu dari tingkat kepolisian, kejaksaan, pengadilan tingkat pertama dan pengadilan banding.
Hingga akhirnya palu hakim agung memvonis sebaliknya. Mahkamah Agung (MA) membalik keadaan dan menyatakan bahwa perbuatan Aop tidak salah. Aop haruslah bebas karena yang dilakukannya adalah dalam kerangka akademik.
Pada 6 Mei 2014, hakim agung Dr Salman Luthan dengan anggota Dr Syarifuddin dan Dr Margono membebaskan Aop. Ketiganya membebaskan Aop karena sebagai guru, Aop mempunyai tugas untuk mendisiplinkan siswa yang rambutnya sudah panjang/gondrong untuk menertibkan para siswa.
Apa yang dilakukan Aop dianggap hakim sudah menjadi tugasnya dan bukan merupakan suatu tindak pidana dan terdakwa tidak dapat dijatuhi pidana atas perbuatan/tindakannya tersebut karena bertujuan untuk mendidik agar menjadi murid yang baik dan berdisiplin.
"Memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya," ujar majelis kasasi sebagaimana dikutip dari website MA, Minggu (3/1/2016).
(Baca: Akhirnya Bebas, Ini Lika-liku Kriminalisasi Guru yang Cukur Rambut Siswanya)
Lantas apa hak Aop yang dimaksud? Berdasarkan aturan, Aop berhak mendapatkan ganti rugi sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Berdasarkan aturan itu, Aop berhak menuntut ganti rugi dan maksimal mendapatkan ganti rugi Rp 100 juta.
Pasal 9 dalam PP Nomor 92/2015 berbunyi:
Besarnya ganti kerugian berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 huruf b dan Pasal 95 KUHAP paling sedikit Rp 500 ribu dan paling banyak Rp 100 juta.
Lalu apa yang dimaksud pasal 77 huruf b KUHP?
Yaitu ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
Sedangkan Pasal 95 KUHP menyatakan:
Tersangka, terdakwa atau terpidana berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili atau dikenakan tindakan lain, tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan.
Atas aturan ini, maka Aop telah mengalami peradilan sesat yaitu menjadi tersangka dan terdakwa yang dituntut dan diadili tanpa alasan yang berdasarkan UU serta kekeliruan hukum yang diterapkan. Untuk mendapatkan ganti rugi dari negara tersebut, Aop haruslah mengajukan gugatan ke pengadilan setempat dengan memakai hukum acara praperadilan.
Dalam waktu 7 hari, hakim tunggal akan menilai berapa kerugian Aop dalam rentang Rp 500 ribu hingga Rp 100 juta. Hakim nanti yang akan menilai besaran konkret tersebut dan memutuskannya. Putusan ini akan dikirim ke Menteri Keuangan dan haruslah dicairkan maksimal 14 hari sejak putusan itu diterima.
"Pembayaran ganti kerugian dilakukan dalam jangka waktu paling lama 14 hari kerja terhitung sejak tanggal permohonan ganti kerugian diterima oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan," demikian bunyi pasal 11 PP 92/2015 tersebut.
Latar belakang lahirnya revisi PP 92/2015 sendiri adalah keinginan negara untuk hadir saat warganya mengalami kezaliman hukum oleh aparatnya. Nilai ganti rugi ini telah dinaikkan oleh Pemerintah Joko Widodo 200 kali lipat, setelah nilai tersebut tidak naik selama 32 tahun lamanya.
"Dipenuhinya tuntutan masyarakat agar negara melalui Presiden besaran ganti kerugian dan jangka waktu pembayaran dalam PP 27/1983 juga mencerminkan implementasi prinsip negara hukum yang demokratis dengan ciri utamanya adanya pengakuan atas daulat rakyat serta partisipasi publik dalam pembentukan peraturan perundang-undangan," ujar ahli perundang-undangan Dr Bayu Dwi Anggono menyikapi lahirnya PP 92/2015 tersebut.
Nah, bagaimana dengan Iwan? Awalnya diberi hukuman layaknya Aop dan sama-sama dihukum percobaan. Tapi oleh Pengadilan Tinggi (PT) Bandung, majelis hakim mencoret hukuman percobaan Iwan tersebut. Sebab apa yang dilakukan Iwan merupakan kejahatan dan jika tidak dipenjara, maka bisa mengulangi perbuatannya.
Alhasil, Iwan selayaknya dipenjara selama 3 bulan untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya yaitu menteror/mengintimidasi guru dan mencukur rambut Aop. Vonis ini dikuatkan di tingkat kasasi.
Kasus bermula saat guru honorer SDN Penjalin Kidul V itu melakukan razia rambut gondrong di kelas III pada 19 Maret 2012. Dalam razia itu, didapati 4 siswa yang berambut gondrong yaitu AN, M, MR dan THS.
Mendapati rambut gondrong ini, Aop lalu melakukan tindakan disiplin dengan memotong rambut THS ala kadarnya sehingga gundul tidak beraturan. Sepulang sekolah, THS menceritakan hukuman disiplin itu ke orang tuanya, Iwan Himawan.
Atas laporan itu, Iwan tidak terima dan mendatangi sekolahan. Iwan marah-marah dan mengancam balik Aop. Sang guru lalu dicukur balik rambutnya oleh Iwan sebagai balasan.
Tidak hanya sampai di situ, Iwan juga mempolisikan Aop. Mau tidak mau, pahlawan tanpa tanda jasa itu harus berurusan dengan kepolisian dan jaksa. Teman-teman Aop tidak terima dan mempolisikan balik Iwan.
Aop yang seharusnya merasa aman dan memiliki kebebasan akademik dalam mengajar akhirnya mengalami gegar hukum. Ia harus bolak-balik ke kantor polisi dan kejaksaan.
Terakhir, ia harus duduk di kursi pesakitan menghadap meja majelis hakim dengan pasal berlapis: diskriminasi terhadap anak, penganiayaan terhadap anak dan perbuatan tidak menyenangkan.
Tapi apa daya, tepat pada Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) 2013, Aop dinyatakan bersalah telah melakukan perbuatan tidak menyenangkan berupa memotong rambut siswanya yang melanggar disiplin.
Di hari di mana negara menghargai peran besar guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, Aop malah harus menelan pil pahit dari negara. Aop diganjar hukuman percobaan yaitu selama 6 bulan tidak boleh berbuat pidana, jika berbuat pidana maka langsung dibui 3 bulan penjara.
Anehnya, putusan ini dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi (PT) Bandung pada 31 Juli 2013. Sempurna sudah 'peradilan sesat' yang dialami Aop yaitu dari tingkat kepolisian, kejaksaan, pengadilan tingkat pertama dan pengadilan banding.
Hingga akhirnya palu hakim agung memvonis sebaliknya. Mahkamah Agung (MA) membalik keadaan dan menyatakan bahwa perbuatan Aop tidak salah. Aop haruslah bebas karena yang dilakukannya adalah dalam kerangka akademik.
Pada 6 Mei 2014, hakim agung Dr Salman Luthan dengan anggota Dr Syarifuddin dan Dr Margono membebaskan Aop. Ketiganya membebaskan Aop karena sebagai guru, Aop mempunyai tugas untuk mendisiplinkan siswa yang rambutnya sudah panjang/gondrong untuk menertibkan para siswa.
Apa yang dilakukan Aop dianggap hakim sudah menjadi tugasnya dan bukan merupakan suatu tindak pidana dan terdakwa tidak dapat dijatuhi pidana atas perbuatan/tindakannya tersebut karena bertujuan untuk mendidik agar menjadi murid yang baik dan berdisiplin.
"Memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya," ujar majelis kasasi sebagaimana dikutip dari website MA, Minggu (3/1/2016).
(Baca: Akhirnya Bebas, Ini Lika-liku Kriminalisasi Guru yang Cukur Rambut Siswanya)
Lantas apa hak Aop yang dimaksud? Berdasarkan aturan, Aop berhak mendapatkan ganti rugi sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Berdasarkan aturan itu, Aop berhak menuntut ganti rugi dan maksimal mendapatkan ganti rugi Rp 100 juta.
Pasal 9 dalam PP Nomor 92/2015 berbunyi:
Besarnya ganti kerugian berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 huruf b dan Pasal 95 KUHAP paling sedikit Rp 500 ribu dan paling banyak Rp 100 juta.
Lalu apa yang dimaksud pasal 77 huruf b KUHP?
Yaitu ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
Sedangkan Pasal 95 KUHP menyatakan:
Tersangka, terdakwa atau terpidana berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili atau dikenakan tindakan lain, tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan.
Atas aturan ini, maka Aop telah mengalami peradilan sesat yaitu menjadi tersangka dan terdakwa yang dituntut dan diadili tanpa alasan yang berdasarkan UU serta kekeliruan hukum yang diterapkan. Untuk mendapatkan ganti rugi dari negara tersebut, Aop haruslah mengajukan gugatan ke pengadilan setempat dengan memakai hukum acara praperadilan.
Dalam waktu 7 hari, hakim tunggal akan menilai berapa kerugian Aop dalam rentang Rp 500 ribu hingga Rp 100 juta. Hakim nanti yang akan menilai besaran konkret tersebut dan memutuskannya. Putusan ini akan dikirim ke Menteri Keuangan dan haruslah dicairkan maksimal 14 hari sejak putusan itu diterima.
"Pembayaran ganti kerugian dilakukan dalam jangka waktu paling lama 14 hari kerja terhitung sejak tanggal permohonan ganti kerugian diterima oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan," demikian bunyi pasal 11 PP 92/2015 tersebut.
Latar belakang lahirnya revisi PP 92/2015 sendiri adalah keinginan negara untuk hadir saat warganya mengalami kezaliman hukum oleh aparatnya. Nilai ganti rugi ini telah dinaikkan oleh Pemerintah Joko Widodo 200 kali lipat, setelah nilai tersebut tidak naik selama 32 tahun lamanya.
"Dipenuhinya tuntutan masyarakat agar negara melalui Presiden besaran ganti kerugian dan jangka waktu pembayaran dalam PP 27/1983 juga mencerminkan implementasi prinsip negara hukum yang demokratis dengan ciri utamanya adanya pengakuan atas daulat rakyat serta partisipasi publik dalam pembentukan peraturan perundang-undangan," ujar ahli perundang-undangan Dr Bayu Dwi Anggono menyikapi lahirnya PP 92/2015 tersebut.
Nah, bagaimana dengan Iwan? Awalnya diberi hukuman layaknya Aop dan sama-sama dihukum percobaan. Tapi oleh Pengadilan Tinggi (PT) Bandung, majelis hakim mencoret hukuman percobaan Iwan tersebut. Sebab apa yang dilakukan Iwan merupakan kejahatan dan jika tidak dipenjara, maka bisa mengulangi perbuatannya.
Alhasil, Iwan selayaknya dipenjara selama 3 bulan untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya yaitu menteror/mengintimidasi guru dan mencukur rambut Aop. Vonis ini dikuatkan di tingkat kasasi.
http://news.detik.com/berita/3109498...gi-rp-100-juta
baguslah kena batunya itu walimurid.. lumayan nyicipin hotel prodeo, walau sebentar sih
0
4.6K
Kutip
38
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan