- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Susahnya Jadi Pelatih Klub Sepak Bola di Indonesia


TS
jakmania48
Susahnya Jadi Pelatih Klub Sepak Bola di Indonesia
Hallo kembali lagi bersama akoh
Kali ini ane mau coba mengulas realita yang ada di persepak bolaan tanah air. Konten thread berdasar obrolan langsung dengan si narasumber. Cekidot yess

Lebih Dekat dengan Rudy Eka Priyambada
Kurang Diminati di Indonesia, Tapi Dipinang Klub Liga Bahrain
Rudy Eka Priyambada terlihat sangat berwibawa saat menjadi instruktur dalam acara coaching course tingkat advance yang diadakan Asosiasi Kota (Askot) PSSI Jakarta Pusat di Lapangan Banteng, beberapa waktu lalu. Karakternya dalam melatih sangat tegas. Namun, dia tidak otoriter. Dalam melatih, Rudy terbuka dalam menerima pendapat para peserta. Maka tidak heran, para peserta coaching course begitu bersemangat dalam menyerap ilmu yang dimilikinya.
Ilmu kepelatihan yang dimiliki pria asli Jakarta itu sebenarnya cukup membuat namanya disejajarkan dengan head coach lainnya di Indonesia. Apalagi, Rudy adalah pelatih yang potensial. Di usianya yang baru 33 tahun, alumnus Universitas Nasional (UNAS) itu telah mengantongi sertifikat kepelatihan A AFC. Hanya saja, pada kenyataannya, pria yang sempat menggemari olahraga basket itu kesulitan untuk mendapatkan tempat sebagai pelatih kepala di klub Liga Indonesia.
Penyebabnya adalah identitas pelatih. Di Indonesia, hampir seluruh tim yang berkompetisi dalam Indonesia Super League (kasta teratas Liga Indonesia) mencari pelatih berlabel mantan pemain tim nasional Indonesia. Jika bukan mantan pemain timnas, paling tidak, dia adalah mantan pemain top di eranya. Sementara Rudy bukan pemain timnas. Dia juga bukan mantan pemain ngetop. Selama aktif bermain, Rudy hanya mampu berkarier pada level Pra PON DKI di 2000.
Karena karier di usia muda tidak berkembang, ayah dua anak itu akhirnya banting stir ke dunia kepelatihan. Hal itu dilakukan agar hobinya dalam sepak bola tetap bisa tersalurkan. Rudy mulai mengambil lisensi kepelatihan D nasional pada 2002. Perjalanannya untuk menjadi pelatih terus dilalui hingga berhasil memiliki lisensi A kepelatihan AFC. ”Tapi, saya merasa kesulitan untuk mendapat pengakuan di Indonesia. Background saya bukan mantan pemain timnas,” keluh Rudy.
Kesulitan Rudy dalam upaya menjadi pelatih kepala dimulai sejak 2012. Saat itu, Rudy digadang-gadang akan menangani tim nasional Indonesia U-12. Namun, di tengah jalan, jebolan Pelita Jaya Academy, Lebak Bulus itu dicoret dari daftar seleksi pelatih. Rudy kalah bersaing dari pelatih sarat pengalaman, M Khaidir. Tapi, kegagalan itu tidak membuatnya menyerah. Pada 2013, Rudy mendapatkan pengalaman penting dengan bergabung bersama tim kepelatihan timnas Indonesia U-19 era Indra Sjafrie.
Di timnas U-19, pria bertubuh kekar itu menjabat sebagai tactical analyst saat perhelatan kualifikasi Piala Asia U-19 2013. Tugasnya adalah menganalisa kekuatan lawan. Untuk dapat menganalisa kekuatan lawan, Rudy harus merekam setiap pertandingan yang dilakoni calon lawan Indonesia. Setelah direkam, Rudy memilah rekaman atas momen-momen dalam pertandingan untuk dijadikan bahan analisa. Kemudian, hasil analisa tersebut dibandingan dengan kekuatan timnas U-19.
Dari data analisa tersebut, pria lulusan Teknik Mesin itu memberikan masukan pelatih Indra Sjafri soal kelemahan dan kekuatan lawan. Dalam analisa tersebut, Rudy juga menyampaikan bagaimana organisasi permainan lawan saat bertahan maupun menyerang. ”Head coach lalu menyampaikan hasil analisa tersebut kepada pemain. Oleh sebab itu, pelatih selalu berkomentar optimistis sebelum pertandingan. Sebab, pelatih telah memiliki perhitungan yang tepat,” tutur Rudy kemudian tersenyum.
Hasil analisa Rudy terbukti membantu perjuangan Evan Dimas dkk pada babak penyisihan. Salah satu kemenangan yang paling berkesan adalah saat mengalahkan juara bertahan Korea Selatan pada laga terakhir babak kualifikasi Piala Asia U-19 di Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK), Senayan, Jakarta Pusat. Saat itu, timnas U-19 menang 3-2 dan memastikan tiket ke putaran final Piala Asia pada 2014. ”Kunci dari mengalahkan Korsel adalah mematikan pemain sayap mereka,” beber Rudy.
Kecerdasannya sebagai tim analisis timnas U-19 membuat nama Rudy mulai dikenal banyak orang. Kub raksasa asal Kalimantan, Mitra Kukar tertarik meminangnya sebagai asisten pelatih Stefan Hanson. Tanpa pikir panjang, tawaran tersebut langsung diterima. Menurutnya, selain bisa menjadi batu loncatan menjadi pelatih kepala, Rudy ingin mengilangkan image “orang sukses di balik layar”. Karena itu, setelah timnas U-19 lolos putaran final Piala Asia, Rudy mengundurkan diri.
Prestasi Rudy pada tahun pertama bersama tim Naga Mekes –julukan Mitra Kukar- terbilang bagus. Dia sukses mengantarkan Mitra Kukar lolos ke babak delapan besar Indonesia Super League (ISL) 2014. Pencapaian itu membuat namanya dipertahankan manajemen saat pelatih kepala Stefan Hanson justru didepak. Dalam perombakan posisi head coach, manajemen mendatangkan Scott Cooper. Sementara Rudy tetap mengemban tugas sebagai asisten pelatih.
Tapi, masa kerja Scott di Mitra Kukar tidak lama. Dia mengundurkan diri karena Liga Indonesia 2015 berantakan akibat adanya konflik sepak bola nasional. Dalam mengisi kekosongan tempat tersebut, Rudy akhirnya didapuk sebagai pelatih kepala. Ya, posisi yang sebenarnya dia idam-idamkan sejak lama. Tapi, apa boleh buat. Kesempatan itu datang justru di saat yang tidak tepat. Konflik sepak bola nasional membuat kegaitan Mitra Kukar vakum. ”Akhirnya, saya memutuskan untuk mundur dari sana,” ucapnya.
Setelah mundur dari Mitra Kukar, Rudy ternyata tidak membutuhkan waktu lama untuk mendapatkan klub baru. Alumnus STM Triguna, Ciputat, Tangerang Selatan itu kini telah resmi menandatangani kontrak kerja bersama salah satu klub Divisi II Liga Bahrain, Al Najma sebagai asisten pelatih. Tadinya, Rudy ditawarkan untuk bekerja selama lima tahun. ”Akhirnya sepakat kontrak awal setahun,” tutur mantan pelatih Asian Soccer Academy itu.
Peluang berkarier di Liga Bahrain sangat disyukurinya. Menurutnya, ini adalah kesempatan berharga untuk mencari nilai tambah. Rudy menyadari, background-nya yang bukan mantan pemain top atau mantan pemain timnas membuatnya sulit bersaing sebagai pelatih kepala di Indonesia. ”Ini juga kesempatan bagus untuk menunjukkan kemampuan pelatih Indonesia di mata dunia. Saya mau buktikan kalau pelatih Indonesia juga bisa berprestasi,” tutupnya.
Jangan lupa kasih cendol ya gans


Kali ini ane mau coba mengulas realita yang ada di persepak bolaan tanah air. Konten thread berdasar obrolan langsung dengan si narasumber. Cekidot yess

Spoiler for Langsung ke TKP gans:
Lebih Dekat dengan Rudy Eka Priyambada
Kurang Diminati di Indonesia, Tapi Dipinang Klub Liga Bahrain
Rudy Eka Priyambada terlihat sangat berwibawa saat menjadi instruktur dalam acara coaching course tingkat advance yang diadakan Asosiasi Kota (Askot) PSSI Jakarta Pusat di Lapangan Banteng, beberapa waktu lalu. Karakternya dalam melatih sangat tegas. Namun, dia tidak otoriter. Dalam melatih, Rudy terbuka dalam menerima pendapat para peserta. Maka tidak heran, para peserta coaching course begitu bersemangat dalam menyerap ilmu yang dimilikinya.
Ilmu kepelatihan yang dimiliki pria asli Jakarta itu sebenarnya cukup membuat namanya disejajarkan dengan head coach lainnya di Indonesia. Apalagi, Rudy adalah pelatih yang potensial. Di usianya yang baru 33 tahun, alumnus Universitas Nasional (UNAS) itu telah mengantongi sertifikat kepelatihan A AFC. Hanya saja, pada kenyataannya, pria yang sempat menggemari olahraga basket itu kesulitan untuk mendapatkan tempat sebagai pelatih kepala di klub Liga Indonesia.
Penyebabnya adalah identitas pelatih. Di Indonesia, hampir seluruh tim yang berkompetisi dalam Indonesia Super League (kasta teratas Liga Indonesia) mencari pelatih berlabel mantan pemain tim nasional Indonesia. Jika bukan mantan pemain timnas, paling tidak, dia adalah mantan pemain top di eranya. Sementara Rudy bukan pemain timnas. Dia juga bukan mantan pemain ngetop. Selama aktif bermain, Rudy hanya mampu berkarier pada level Pra PON DKI di 2000.
Karena karier di usia muda tidak berkembang, ayah dua anak itu akhirnya banting stir ke dunia kepelatihan. Hal itu dilakukan agar hobinya dalam sepak bola tetap bisa tersalurkan. Rudy mulai mengambil lisensi kepelatihan D nasional pada 2002. Perjalanannya untuk menjadi pelatih terus dilalui hingga berhasil memiliki lisensi A kepelatihan AFC. ”Tapi, saya merasa kesulitan untuk mendapat pengakuan di Indonesia. Background saya bukan mantan pemain timnas,” keluh Rudy.
Kesulitan Rudy dalam upaya menjadi pelatih kepala dimulai sejak 2012. Saat itu, Rudy digadang-gadang akan menangani tim nasional Indonesia U-12. Namun, di tengah jalan, jebolan Pelita Jaya Academy, Lebak Bulus itu dicoret dari daftar seleksi pelatih. Rudy kalah bersaing dari pelatih sarat pengalaman, M Khaidir. Tapi, kegagalan itu tidak membuatnya menyerah. Pada 2013, Rudy mendapatkan pengalaman penting dengan bergabung bersama tim kepelatihan timnas Indonesia U-19 era Indra Sjafrie.
Di timnas U-19, pria bertubuh kekar itu menjabat sebagai tactical analyst saat perhelatan kualifikasi Piala Asia U-19 2013. Tugasnya adalah menganalisa kekuatan lawan. Untuk dapat menganalisa kekuatan lawan, Rudy harus merekam setiap pertandingan yang dilakoni calon lawan Indonesia. Setelah direkam, Rudy memilah rekaman atas momen-momen dalam pertandingan untuk dijadikan bahan analisa. Kemudian, hasil analisa tersebut dibandingan dengan kekuatan timnas U-19.
Dari data analisa tersebut, pria lulusan Teknik Mesin itu memberikan masukan pelatih Indra Sjafri soal kelemahan dan kekuatan lawan. Dalam analisa tersebut, Rudy juga menyampaikan bagaimana organisasi permainan lawan saat bertahan maupun menyerang. ”Head coach lalu menyampaikan hasil analisa tersebut kepada pemain. Oleh sebab itu, pelatih selalu berkomentar optimistis sebelum pertandingan. Sebab, pelatih telah memiliki perhitungan yang tepat,” tutur Rudy kemudian tersenyum.
Hasil analisa Rudy terbukti membantu perjuangan Evan Dimas dkk pada babak penyisihan. Salah satu kemenangan yang paling berkesan adalah saat mengalahkan juara bertahan Korea Selatan pada laga terakhir babak kualifikasi Piala Asia U-19 di Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK), Senayan, Jakarta Pusat. Saat itu, timnas U-19 menang 3-2 dan memastikan tiket ke putaran final Piala Asia pada 2014. ”Kunci dari mengalahkan Korsel adalah mematikan pemain sayap mereka,” beber Rudy.
Kecerdasannya sebagai tim analisis timnas U-19 membuat nama Rudy mulai dikenal banyak orang. Kub raksasa asal Kalimantan, Mitra Kukar tertarik meminangnya sebagai asisten pelatih Stefan Hanson. Tanpa pikir panjang, tawaran tersebut langsung diterima. Menurutnya, selain bisa menjadi batu loncatan menjadi pelatih kepala, Rudy ingin mengilangkan image “orang sukses di balik layar”. Karena itu, setelah timnas U-19 lolos putaran final Piala Asia, Rudy mengundurkan diri.
Prestasi Rudy pada tahun pertama bersama tim Naga Mekes –julukan Mitra Kukar- terbilang bagus. Dia sukses mengantarkan Mitra Kukar lolos ke babak delapan besar Indonesia Super League (ISL) 2014. Pencapaian itu membuat namanya dipertahankan manajemen saat pelatih kepala Stefan Hanson justru didepak. Dalam perombakan posisi head coach, manajemen mendatangkan Scott Cooper. Sementara Rudy tetap mengemban tugas sebagai asisten pelatih.
Tapi, masa kerja Scott di Mitra Kukar tidak lama. Dia mengundurkan diri karena Liga Indonesia 2015 berantakan akibat adanya konflik sepak bola nasional. Dalam mengisi kekosongan tempat tersebut, Rudy akhirnya didapuk sebagai pelatih kepala. Ya, posisi yang sebenarnya dia idam-idamkan sejak lama. Tapi, apa boleh buat. Kesempatan itu datang justru di saat yang tidak tepat. Konflik sepak bola nasional membuat kegaitan Mitra Kukar vakum. ”Akhirnya, saya memutuskan untuk mundur dari sana,” ucapnya.
Setelah mundur dari Mitra Kukar, Rudy ternyata tidak membutuhkan waktu lama untuk mendapatkan klub baru. Alumnus STM Triguna, Ciputat, Tangerang Selatan itu kini telah resmi menandatangani kontrak kerja bersama salah satu klub Divisi II Liga Bahrain, Al Najma sebagai asisten pelatih. Tadinya, Rudy ditawarkan untuk bekerja selama lima tahun. ”Akhirnya sepakat kontrak awal setahun,” tutur mantan pelatih Asian Soccer Academy itu.
Peluang berkarier di Liga Bahrain sangat disyukurinya. Menurutnya, ini adalah kesempatan berharga untuk mencari nilai tambah. Rudy menyadari, background-nya yang bukan mantan pemain top atau mantan pemain timnas membuatnya sulit bersaing sebagai pelatih kepala di Indonesia. ”Ini juga kesempatan bagus untuk menunjukkan kemampuan pelatih Indonesia di mata dunia. Saya mau buktikan kalau pelatih Indonesia juga bisa berprestasi,” tutupnya.
Jangan lupa kasih cendol ya gans



Diubah oleh jakmania48 02-01-2016 19:53
0
2.4K
Kutip
28
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan