- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
dan akhirnya........menyesal memilih Indonesia


TS
mobil.bergoyang
dan akhirnya........menyesal memilih Indonesia
Abilio Dacosta Gueterez (36 tahun), merindukan tanah kelahirannya di Distrik Viqueque, sebelah timur Kota Dili Ibukota Timor Leste. Abilio, yang saat referendum 1999 memilih otonomi khusus, kini terpaksa hidup bersama dengan istrinya Margaretha Dasilva Soja (32 tahun) dan empat anaknya di sebuah lahan seluas 28 kali 12 meter yang disulap jadi tempat pengungsian seadanya.
Petak tanah di Pahandut, tepi utara Palangkaraya, Kalimantan Tengah tersebut didiami setidaknya 314 orang, yang sebagian adalah mantan buruh perusahaan sawit yang dipecat sepihak.
Sebagian keluarga memanfaatkan rumah panggung sederhana yang tersisa. Sebagian lagi tinggal di bangunan beton setengah jadi yang ada di bagian belakang lahan, dan sisanya lebih banyak membangun tenda-tenda dari terpal dan bekas baliho pilkada setempat.
Abilio menyesal. Harapan kemakmuran yang dulu dia bayangkan, kini buyar. Nasibnya kini tak lebih baik dari saat dia hidup di kampungnya, bahkan lebih buruk. Di sini, dia malah jadi korban kekerasan pihak perusahaan sawit. Penganiayaan dan upah tak dibayar, bahkan pemecatan, adalah tiga kesengsaraan yang dia alami, justru setelah memilih Indonesia.
Abilio adalah satu dari 21 persen warga Timor Timur saat itu yang memilih merah putih. Dia akhirnya pindah dari kampungnya di Viqueque ke Atambua, Nusa Tenggara Timur (NTT) perbatasan Timor Leste dan Indonesia. 10 tahun hidup di perbatasan, tidak mengubah banyak nasibnya. Akhirnya dia memilih merantau jauh.
Pada 2011, Pemerintah Provinsi NTT memberikan kesempatan itu. Abilio dan puluhan warga Atambua lain bergabung dengan program penyerapan tenaga kerja bernama AKAD (antar kerja antar daerah).
Provinsi NTT mengirim tenaga kerja ke Kalimantan Tengah. Sebagian pekerja dari Atambua dan separuh lagi dari Flores dikirim bekerja di perusahaan sawit yang terletak di Gunung Mas, Kalimantan Tengah.
Harapan itu sempat muncul memang. Abilio dan ratusan buruh lain dari Flores dan Jawa Tengah akhirnya diberi pekerjaan sebagai penyemprot pupuk di lahan sawit milik PT Agro Lestari Sentosa. Gelombang kedatangan buruh juga berlanjut. Hingga 2014 tercatat sudah beberapa kali perusahaan menambah pekerja.
Namun sayang, keinginan untuk hidup lebih baik di seberang negeri lantas meredup pelan. Perlakuan perusahaan dinilai tak manusiawi. Para pekerja tidak boleh melakukan kesalahan sedikit pun atau pukulan akan mendarat di wajah atau perut.
"Saya sering kerja lembur tapi tidak ada uang lembur. Malah pernah saya masuk kerja malah dianggap mangkir. Kalau protes nanti dipukuli mandor," ujar Abilio kepada Republika saat berbincang di antara tenda-tenda para pengungsi.
Istri Abilio, Margaretha, juga mengalami nasib serupa. Dia bekerja sebagai pemilah berondol sawit. Pekerjaan ini walupun melelahkan, gajinya sedikit sekali.
Margaretha mengaku hanya dibayar 10 persen dari total upah seharusnya. Mau sekeras apapun dia bekerja, upahnya sama saja 10 persen. Parahnya, kalau ada butiran berondol sawit yang tercecer, bayarannya akan dipotong Rp 3.000 per butir.
Kekerasan fisik, perlakuan tak menyenangkan, gaji tak dibayarkan, hingga upaya perusahaan untuk membungkam keluhan pekerja, membuat Abilio dan puluhan pekerja lainnya mengadu kepada pemerintah daerah Kalimantan Tengah.
Namun, yang ada hanya jalan buntu. PT ALS yang semakin gerah justru memecat mereka semua. Ujungnya, di tempat pengungsian inilah mereka sekarang hidup. Sebanyak 314 orang termasuk anak-anak harus bertahan seadanya.
Beruntung, Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI) Kalimantan Tengah masih menampung mereka. Kini, tak kurang dari dua bulan mereka bertahan di tempat ini. Termasuk saat bencana asap melanda Kalimantan Tengah.
Saat itu asap tak terhindarkan menyelinap masuk tenda sederhana mereka. Paparan asap pekat tak terhindarkan, ditambah pemerintah yang seolah tutup mata dan tutup telinga.
Koordinator Wilayah KSBSI Kalimantan Tengah Karliansyah mengungkapkan, praktik penggunaan buruh dari luar pulau kerap kali dilakukan perusahaan sawit di Kalimantan.
Alasannya, pekerja ini bisa diupah lebih murah dan tidak banyak menuntut. Praktik ini, lanjut dia, tak jauh beda dengan perdagangan manusia atau bahkan perbudakan. Perilaku semena-mena terhadap pekerja sawit harus segera dibasmi.
Saat dikonfirmasi, Kepala Seksi Perselisihan Industrial Disnakertrans Kalimantan Tengah Rinal menjelaskan, pihaknya telah mencoba melakukan mediasi antara pihak buruh dengan perusahaan. Namun, hingga Oktober lalu, upaya ini gagal.
Rinal mengaku pihak perusahaan sudah menutup pintu mediasi. Jalan terakhir adalah pengadilan hubungan industrial, atau bisa juga berujung di Mahkamah Agung (MA). "Kami sudah lakukan upaya mediasi namun mentok. Yang bisa adalah pengadilan. Kami minta kedua pihak melengkapi berkas dalam tiga hari ke depan," ujar Rinal.
Sementara pihak Sinar Mas mengakui bahwa lahan sawit PT ALS di Gunung Mas adalah milik mereka. Direktur PT Sinar Mas Agro Resources and Technology Tbk Agus Purnomo kepada Republika mengatakan, kasus mengenai karyawan dari NTT ini telah ditangani pihak kepolisian dan dinas tenaga kerja dan transmigrasi setempat.
Agus berjanji, pihaknya akan menindak lanjuti kasus ini. "Satu hal, perilaku kasar atau pemecatan itu bukan gaya kerja kami. Nanti kami selidiki di lapangan," ujar Agus.
Nasib yang dialami Abilio dan 314 orang lainnya di Pahandut, Palangkaraya bisa jadi hanya secuil dari mimpi buruk pekerja sawit. Mereka berpeluh keringat, mereka yang letih, malah mereka yang dipukuli.
Di satu sisi, perusahaan sawit di Kalimantan justru semakin besar dan luas. Semakin leluasa memperluas lahan, bahkan dengan cara pembakaran lahan.
Di pengujung percakapan dengan Abilio, di depan salah satu tenda di ujung lahan pengungsian, dia sempat berkata lirih, "Saya menyesal memilih Indonesia. Dulu saya ingin nasib lebih baik. Saya merasa sejak lahir, saya adalah Indonesia. Di sini bukan itu yang saya temukan. Lebih baik penuhi hak kami, dan saya akan pulang."
Red: Djibril Muhammad
#kelapa sawit #buruh perusahaan sawit
#indonesia
=========
menyesal
Petak tanah di Pahandut, tepi utara Palangkaraya, Kalimantan Tengah tersebut didiami setidaknya 314 orang, yang sebagian adalah mantan buruh perusahaan sawit yang dipecat sepihak.
Sebagian keluarga memanfaatkan rumah panggung sederhana yang tersisa. Sebagian lagi tinggal di bangunan beton setengah jadi yang ada di bagian belakang lahan, dan sisanya lebih banyak membangun tenda-tenda dari terpal dan bekas baliho pilkada setempat.
Abilio menyesal. Harapan kemakmuran yang dulu dia bayangkan, kini buyar. Nasibnya kini tak lebih baik dari saat dia hidup di kampungnya, bahkan lebih buruk. Di sini, dia malah jadi korban kekerasan pihak perusahaan sawit. Penganiayaan dan upah tak dibayar, bahkan pemecatan, adalah tiga kesengsaraan yang dia alami, justru setelah memilih Indonesia.
Abilio adalah satu dari 21 persen warga Timor Timur saat itu yang memilih merah putih. Dia akhirnya pindah dari kampungnya di Viqueque ke Atambua, Nusa Tenggara Timur (NTT) perbatasan Timor Leste dan Indonesia. 10 tahun hidup di perbatasan, tidak mengubah banyak nasibnya. Akhirnya dia memilih merantau jauh.
Pada 2011, Pemerintah Provinsi NTT memberikan kesempatan itu. Abilio dan puluhan warga Atambua lain bergabung dengan program penyerapan tenaga kerja bernama AKAD (antar kerja antar daerah).
Provinsi NTT mengirim tenaga kerja ke Kalimantan Tengah. Sebagian pekerja dari Atambua dan separuh lagi dari Flores dikirim bekerja di perusahaan sawit yang terletak di Gunung Mas, Kalimantan Tengah.
Harapan itu sempat muncul memang. Abilio dan ratusan buruh lain dari Flores dan Jawa Tengah akhirnya diberi pekerjaan sebagai penyemprot pupuk di lahan sawit milik PT Agro Lestari Sentosa. Gelombang kedatangan buruh juga berlanjut. Hingga 2014 tercatat sudah beberapa kali perusahaan menambah pekerja.
Namun sayang, keinginan untuk hidup lebih baik di seberang negeri lantas meredup pelan. Perlakuan perusahaan dinilai tak manusiawi. Para pekerja tidak boleh melakukan kesalahan sedikit pun atau pukulan akan mendarat di wajah atau perut.
"Saya sering kerja lembur tapi tidak ada uang lembur. Malah pernah saya masuk kerja malah dianggap mangkir. Kalau protes nanti dipukuli mandor," ujar Abilio kepada Republika saat berbincang di antara tenda-tenda para pengungsi.
Istri Abilio, Margaretha, juga mengalami nasib serupa. Dia bekerja sebagai pemilah berondol sawit. Pekerjaan ini walupun melelahkan, gajinya sedikit sekali.
Margaretha mengaku hanya dibayar 10 persen dari total upah seharusnya. Mau sekeras apapun dia bekerja, upahnya sama saja 10 persen. Parahnya, kalau ada butiran berondol sawit yang tercecer, bayarannya akan dipotong Rp 3.000 per butir.
Kekerasan fisik, perlakuan tak menyenangkan, gaji tak dibayarkan, hingga upaya perusahaan untuk membungkam keluhan pekerja, membuat Abilio dan puluhan pekerja lainnya mengadu kepada pemerintah daerah Kalimantan Tengah.
Namun, yang ada hanya jalan buntu. PT ALS yang semakin gerah justru memecat mereka semua. Ujungnya, di tempat pengungsian inilah mereka sekarang hidup. Sebanyak 314 orang termasuk anak-anak harus bertahan seadanya.
Beruntung, Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI) Kalimantan Tengah masih menampung mereka. Kini, tak kurang dari dua bulan mereka bertahan di tempat ini. Termasuk saat bencana asap melanda Kalimantan Tengah.
Saat itu asap tak terhindarkan menyelinap masuk tenda sederhana mereka. Paparan asap pekat tak terhindarkan, ditambah pemerintah yang seolah tutup mata dan tutup telinga.
Koordinator Wilayah KSBSI Kalimantan Tengah Karliansyah mengungkapkan, praktik penggunaan buruh dari luar pulau kerap kali dilakukan perusahaan sawit di Kalimantan.
Alasannya, pekerja ini bisa diupah lebih murah dan tidak banyak menuntut. Praktik ini, lanjut dia, tak jauh beda dengan perdagangan manusia atau bahkan perbudakan. Perilaku semena-mena terhadap pekerja sawit harus segera dibasmi.
Saat dikonfirmasi, Kepala Seksi Perselisihan Industrial Disnakertrans Kalimantan Tengah Rinal menjelaskan, pihaknya telah mencoba melakukan mediasi antara pihak buruh dengan perusahaan. Namun, hingga Oktober lalu, upaya ini gagal.
Rinal mengaku pihak perusahaan sudah menutup pintu mediasi. Jalan terakhir adalah pengadilan hubungan industrial, atau bisa juga berujung di Mahkamah Agung (MA). "Kami sudah lakukan upaya mediasi namun mentok. Yang bisa adalah pengadilan. Kami minta kedua pihak melengkapi berkas dalam tiga hari ke depan," ujar Rinal.
Sementara pihak Sinar Mas mengakui bahwa lahan sawit PT ALS di Gunung Mas adalah milik mereka. Direktur PT Sinar Mas Agro Resources and Technology Tbk Agus Purnomo kepada Republika mengatakan, kasus mengenai karyawan dari NTT ini telah ditangani pihak kepolisian dan dinas tenaga kerja dan transmigrasi setempat.
Agus berjanji, pihaknya akan menindak lanjuti kasus ini. "Satu hal, perilaku kasar atau pemecatan itu bukan gaya kerja kami. Nanti kami selidiki di lapangan," ujar Agus.
Nasib yang dialami Abilio dan 314 orang lainnya di Pahandut, Palangkaraya bisa jadi hanya secuil dari mimpi buruk pekerja sawit. Mereka berpeluh keringat, mereka yang letih, malah mereka yang dipukuli.
Di satu sisi, perusahaan sawit di Kalimantan justru semakin besar dan luas. Semakin leluasa memperluas lahan, bahkan dengan cara pembakaran lahan.
Di pengujung percakapan dengan Abilio, di depan salah satu tenda di ujung lahan pengungsian, dia sempat berkata lirih, "Saya menyesal memilih Indonesia. Dulu saya ingin nasib lebih baik. Saya merasa sejak lahir, saya adalah Indonesia. Di sini bukan itu yang saya temukan. Lebih baik penuhi hak kami, dan saya akan pulang."
Red: Djibril Muhammad
#kelapa sawit #buruh perusahaan sawit
#indonesia
=========
menyesal
Diubah oleh mobil.bergoyang 31-12-2015 06:40
0
1.4K
11
Thread Digembok
Urutan
Terbaru
Terlama
Thread Digembok
Komunitas Pilihan