- Beranda
- Komunitas
- Food & Travel
- Cerita Pejalan Domestik
Dieng Sebentar - Belajar tentang alam


TS
-=delicious=-
Dieng Sebentar - Belajar tentang alam
Malem gan!
Udah lama banget ane gak bikin trit di Kaskus
Kali ini mau sedikit cerita tentang hasil jalan-jalan ke Dieng, tentu sedikit dikasih bumbu biar makin hot 

Cerita perjalanan di sini adalah secuil dari artikel di blog ane WWW.RIDHOMUKTI.COM
Jadi karena lagi belajar, semoga bisa dapet komentar dan masukan dari agan-agan biar blognya makin oye!
CEKIDOT GANS!
Udah lama banget ane gak bikin trit di Kaskus



Cerita perjalanan di sini adalah secuil dari artikel di blog ane WWW.RIDHOMUKTI.COM
Jadi karena lagi belajar, semoga bisa dapet komentar dan masukan dari agan-agan biar blognya makin oye!

CEKIDOT GANS!
Spoiler for BELAJARLAH DARI DIENG:
Quote:
Sore di Dieng. Sebuah penginapan tua berlantai dua, berdiri kokoh di sudut pertigaan. Bercat setengah merah dan putih dengan balkon yang selalu terisi oleh turis-turis asing. Menurut statistik, 50% penghuninya sedang tidur, 30% sedang membaca buku, 10% lainnya makan, dan 10% sisanya meninggal dunia. Oke, ini bohong! Statistik adalah jelmaan kebohongan nomer tiga, menurut Benjamin Disraeli. Katanya ada tiga tipe bohong: kebohongan, kebohongan jahat, dan statistik.
Seorang pemuda keluar dari dalam penginapan tersebut. Tinggi ideal untuk menjadi seorang model. Rambut cepak disisir ke atas, persis seperti Fernando Torres. Penggemar bola seharusnya bisa membayangkan. Kulit putih. Memakai celana pendek dan sepatu khas pendaki gunung. Jaket tebal berwarna biru tua dengan tulisan “Columbia”. Sebuah merek yang siapapun akan tahu bahwa dia memang pendaki.
Namanya Gara. Kulit putihnya yang membuat orang lain sering beranggapan bahwa dia salah satu turis asing yang sedang menginap di Losmen Bu Djono. Sarung tangan yang selalu dipakainya pun tak pernah lepas dari kamera DSLR. Sesekali kamera dipakainya untuk memotret jalanan, entah subjek apa yang dicari. Matanya seakan tak pernah lepas untuk menanti momen-momen langka sepanjang jalan menuju Candi Arjuna, sebuah candi yang tak jauh dari penginapan.
Sore yang cerah memang waktu yang langka untuk dinikmati. Gara berjalan sangat pelan. Benar-benar mengamati setiap detil tingkah laku masyarakat yang ada di pinggir jalan. Saking pelannya, dia lupa untuk mencari sunset di kompleks candi. Tapi tak apa, momen perilaku masyarakat ini pun langka dijumpai di kota-kota besar. Sebagian dari mereka berkumpul di satu sudut warung dengan sarung dan kupluk. Duduk di depan perapian yang mereka buat untuk menghangatkan badan. Kalau sedang tidak ada pesanan, pemilik warung mengambil stok kayu yang ada di gudang, kemudian bergabung duduk di depan perapian. Selalu begitu. Sampai langit gelap dan akhirnya mereka mengantuk. Sebuah pola yang terbentuk dari zaman nenek moyang.
Gara yang sadar ini adalah momen yang jarang ia temui di kota pun akhirnya menghentikan langkahnya. Tapi sepertinya hanya dia yang tertarik dengan hal semacam ini. Puluhan orang lain masih melanjutkan langkah kakinya untuk mengejar matahari terbenam. Beberapa dengan dandanan yang sama. Celana pendek. Seakan lupa bahwa suhu di sana dibawah 10 derajat celcius.
Gara hanya bisa terpana, sesekali mengarahkan lensanya ke arah mereka. Memandangi tingkah laku masyarakat sekitar yang sama-sama menghangatkan badan. Mengambil stok kayu, kemudian mempertahankan api agar terus menyala. Tidak jauh dengan yang dia lakukan 2 hari lalu di Gunung Prau. Gunung yang tak jauh dari Desa Dieng. Benar-benar persis. Yang membedakan mungkin hanya tempat dan prosesnya.
Mendaki gunung hanya untuk mencari kehangatan bersama dengan teman seperjalanan. Makan bersama, bercanda, kemudian mengantuk, lalu tidur. Gara hanya bisa tersenyum, kemudian mengingat apa yang sudah dia lakukan selama 2 hari yang lalu di gunung. Mencoba kembali mengingat apa yang dia cari di perjalanan panjang untuk sampai ke gunung ini. Gara tahu jawabannya, tapi ia tak ingin tahu. Sebab kenyataan ini bukanlah yang dia mau. Diluar itu, Gara mencoba menikmatinya. Ia selalu belajar untuk selalu menikmati perjalanannya. Mengabaikan kegelisahan yang selama perjalanan akan merusak perjalanan itu sendiri. Biarlah itu ia pikirkan sepulang dari sana.
“Numpang ya pak, dingin juga di sini.” Gara membuka perbincangan mencoba masuk ke dalam lingkaran perapian. Suasana yang ramah itu seakan tak berubah semenjak kedatangan orang baru. Mereka masih melanjutkan perbincangan tentang libur panjang yang membawa berkah bagi warung-warung kecil di desa ini.
“Dari mana dek?” – seorang bapak tua lengkap dengan pakaian khas Dieng, sarung dan kupluk- mencoba ramah dengan orang baru ini.
“Surabaya pak.”
Tidak lama, segelas teh hangat datang dan disodorkannya kepada Gara, menawarkan kehangatan lain. Ibu-ibu setengah baya ini adalah penjual warung. Wajahnya yang ceria sebenarnya sudah cukup menghangatkan.
Gara lama mengernyit, mencoba memahami apa yang sedang terjadi sore itu. bayangannya tentang Gunung Prau kembali muncul. Rasa dingin yang belum lama begitu menusuk sekejap terlupakan. Tergantikan oleh rasa penasaran yang menggelitik akalnya.
“Ternyata orang-orang di sini kedinginan juga ya pak. Hahaha…”
“Lhaiyo mas, kalo sedingin ini gak kedinginan yo ampuh tenan, mas.”
“Sehari habis berapa kayu pak?”
“Yo gak tentu, mas. Tapi di sini sudah gak boleh nebang kayu, jadi kayu yo beli dari kota.”
“Heh, serius pak? Berapa harganya? Padahal kan orang sini butuh kayu tiap hari.”
“Soalnya di sini orang udah gak boleh lagi nebang pohon, mas. Biar hutan-hutan tetep ada, pemandangan terus bisa dinikmati wisatawan. Air juga terus mengalir. Nek kayak gitu kan enak wisatawan dateng terus.”
Gara menggeleng-gelengkan kepalanya seraya meneguk kembali teh anget. Merasa takjub dengan daya berfikir masyarakat sekitar. Meskipun uang yang dipikirkan, tetapi ada nilai lain yang mereka pahami. Menjaga kelestarian desa mereka.
Langit semakin gelap, dan obrolan mereka semakin kemana-mana. Seakan sudah menjadi bagian dari penduduk sekitar. Tak ada lagi jarak antara penduduk lokal dengan pemburu dingin desa Dieng. Gara melanjutkan perjalanannya. Berpamitan dengan pemilik warung dan kembali ke penginapan tua di ujung pertigaan. Kali ini dingin kembali menguasai tubuhnya. Setiap orang yang dijumpai semakin merapatkan jaket tebalnya ditambah dengan sarung, seakan hanya bagian mata yang tidak terlindungi dari hembusan angin malam dan asap kendaraan yang lalu lalang.
Segera ia masuk ke dalam kamar, menjumpai teman-teman yang ternyata juga telah selesai berburu matahari tenggelam di candi tadi. Saling bercerita dan memamerkan foto hasil bidikan masing-masing, kemudian melepaskan ejekan setelah ada satu foto yang menunjukan kekonyolan Marisa –perempuan manis yang selalu menjadi bahan ejekan karena kejombloannya-.
Tepat ketika tangannya mulai meraih HP yang ada diatas meja. Mencoba mengintip dari mata yang setengah malas, mendapati pukul 7 pagi, seorang laki-laki seumuran dengannya datang dan membuka pintu kamar, membangunkannya dari malam yang panjang.
Suara rintik hujan tiba-tiba terdengar di antara pintu kamar. Menolehkan kepalanya. Mebelesakkan dirinya kedalam kenangan sore kemarin. Duduk dan bercerita bersama dengan orang-orang sekitar di warung depan penginapan.
Hujan. Dingin. Berarti orang-orang itu sedang di depan perapian. Sepagi ini mereka sudah menghabiskan kayu bakarnya yang mereka harus beli dari kota. Wajah penuh kesedihan kembali ia tutupi dengan selimut.
Hembusan angin mencoba menarik-narik selimut yang membungkus seluruh tubuhnya. Ruangan masih kosong. Hanya ada dua orang yang terbangun, dan satu orang adalah sahabatnya yang ia kenal dari internet. Penduduk sekitar, asli desa ini. Satu orang lagi tidak ia kenal. Baju berserakan di lantai. Trangia dan nesting bekas membuat kopi semalam masih dibiarkan berceceran di sudut kamar.
Suara petir menggelegar di angkasa. Mengagetkan seisi kamar. Semua orang terbangun. Segera ia beranjak dari tempat tidur dan mempersiapkan perlengkapan gunungnya yang ia bongkar 2 hari lalu karena hari ini adalah hari terakhirnya liburan di Dieng.
“Kenalin nih, namanya Edi. Dia ranger Prau. Kalo naik Prau besok-besok bisa ajak dia.”
“Wah asik nih. Naik Prau bareng yang punya gunung. Hahahaha…”
“Waiyo enggak mas. Lha wong saya ini orang baru naik Prau aja masih kemarin.”
“Wah merendah ini Mas Edi. Seenggaknya kan udah sering naik tho mas?”
“Ha itu lho, mas Kukuh aja. Kita malah pengikutnya dia. Wong dia yang buka pertama kali Gunung Prau ini. Yang ngenalin gunung ini tuh dia mas. Kalo dia gak ngenalin, ya nggak bisa serame ini. Hahaha…”
Gara hanya kaget mendengar cerita dari Mas Edi. Semua orang di dalam kamar pun sepertinya juga baru pertama kali mendengarnya. Namun Gara yang sudah mengenal Kukuh lebih lama menjadi orang yang sangat antusias mendengarkan.
“Tapi sekarang udah gak kayak dulu, Gar. Gimana ya? Malah sekarang ada perasaan bersalah setelah ngenalin Prau ke orang-orang. Liat aja kemarin di puncak kayak apa bentuknya. Kotor, sampah dimana-mana.”
“Iya sih kotor, tapi kan ekonomi penduduk sekitar juga jadi tumbuh, Kuh. Seharusnya mereka berterima kasih sama kamu.”
“Yo nek aku sih gak butuh ucapan terima kasih. Yang aku butuhin adalah mereka gak cuma cari duit aja tapi gak ngurusin gunung. Kan kalo besok-besok udah kotor dan gak menarik lagi, mereka jadi gak punya pendapatan lagi dari gunung itu sendiri. Apa tuh namanya? Susiable Traveling?”
“Sustainable Tourism, Kuh. Hahaha…”
“Yo pokokmen kui. Kalo penduduk sekitar ikut menjaga Gunung Prau dengan cara membatasi pendaki atau bikin regulasi apa gitu, pokoknya gimana caranya agar pendaki nggak sembarangan buang sampah di gunung.”
“Bener, Kuh. Sebaiknya memang penduduk sekitar juga paham potensi wisata mereka tidak bisa selamanya akan didatangi orang kalau didiamkan begini terus. Harus ada tindak lanjut, misal ada aturan-aturan tertentu biar orang gak buang sampah sembarangan. Tapi juga gak bisa cuma nyalahin orang-orang sekitar sih, harus ada dukungan dari pemerintah juga, tentu juga kesadaran pendaki juga sangat penting.”
“Haiyo kui. Tapi tantangan sustainable tourism ini yang agak susah, Gar. Gimana memperbaiki kehancuran lingkungan tanpa mengorbankan kebutuhan pembangunan ekonomi dan keadilan sosial. Tsaaah… Bahasaku keren ra? Hahaha…”
“Hahaha… Pie kui maksudnya?”
“Sustainable tourism ini kan berkaitan erat sama pertumbuhan ekonomi dan bagaimana mencari jalan untuk memajukan ekonomi dalam jangka panjang, tanpa menghabiskan modal alam. Sedangkan orang-orang sekitar sudah terlanjur dapet duit banyak dari kunjugan yang tidak sedikit, artinya duit yang mereka terima sekarang ini sangat banyak. Usulan-usulan membatasi pendaki atau aturan-aturan yang ketat soal buang sampah ini takutnya akan mengurangi pendapatan mereka.”
“Iyo sih, setuju. Berarti tugas pertama adalah menyadarkan akan keterbatasan alam itu sendiri, Kuh. Emang berat sih, tapi menjadi tugas kita sebagai agen perubahan. Kalo bahasa gaulnya, Agent of Change. Hahaha.. Kita gak bisa selamanya menunggu mereka sadar dengan sendirinya, tidak bisa juga menunggu pemerintah untuk menyadarkan penduduk sekitar. Sekarang saatnya kita bergerak untuk memajukan pariwisata Indonesia. MERDEKA!!”
“MERDEKA!!!”
SELESAI
Seorang pemuda keluar dari dalam penginapan tersebut. Tinggi ideal untuk menjadi seorang model. Rambut cepak disisir ke atas, persis seperti Fernando Torres. Penggemar bola seharusnya bisa membayangkan. Kulit putih. Memakai celana pendek dan sepatu khas pendaki gunung. Jaket tebal berwarna biru tua dengan tulisan “Columbia”. Sebuah merek yang siapapun akan tahu bahwa dia memang pendaki.
Namanya Gara. Kulit putihnya yang membuat orang lain sering beranggapan bahwa dia salah satu turis asing yang sedang menginap di Losmen Bu Djono. Sarung tangan yang selalu dipakainya pun tak pernah lepas dari kamera DSLR. Sesekali kamera dipakainya untuk memotret jalanan, entah subjek apa yang dicari. Matanya seakan tak pernah lepas untuk menanti momen-momen langka sepanjang jalan menuju Candi Arjuna, sebuah candi yang tak jauh dari penginapan.
Sore yang cerah memang waktu yang langka untuk dinikmati. Gara berjalan sangat pelan. Benar-benar mengamati setiap detil tingkah laku masyarakat yang ada di pinggir jalan. Saking pelannya, dia lupa untuk mencari sunset di kompleks candi. Tapi tak apa, momen perilaku masyarakat ini pun langka dijumpai di kota-kota besar. Sebagian dari mereka berkumpul di satu sudut warung dengan sarung dan kupluk. Duduk di depan perapian yang mereka buat untuk menghangatkan badan. Kalau sedang tidak ada pesanan, pemilik warung mengambil stok kayu yang ada di gudang, kemudian bergabung duduk di depan perapian. Selalu begitu. Sampai langit gelap dan akhirnya mereka mengantuk. Sebuah pola yang terbentuk dari zaman nenek moyang.
Gara yang sadar ini adalah momen yang jarang ia temui di kota pun akhirnya menghentikan langkahnya. Tapi sepertinya hanya dia yang tertarik dengan hal semacam ini. Puluhan orang lain masih melanjutkan langkah kakinya untuk mengejar matahari terbenam. Beberapa dengan dandanan yang sama. Celana pendek. Seakan lupa bahwa suhu di sana dibawah 10 derajat celcius.
Gara hanya bisa terpana, sesekali mengarahkan lensanya ke arah mereka. Memandangi tingkah laku masyarakat sekitar yang sama-sama menghangatkan badan. Mengambil stok kayu, kemudian mempertahankan api agar terus menyala. Tidak jauh dengan yang dia lakukan 2 hari lalu di Gunung Prau. Gunung yang tak jauh dari Desa Dieng. Benar-benar persis. Yang membedakan mungkin hanya tempat dan prosesnya.
Mendaki gunung hanya untuk mencari kehangatan bersama dengan teman seperjalanan. Makan bersama, bercanda, kemudian mengantuk, lalu tidur. Gara hanya bisa tersenyum, kemudian mengingat apa yang sudah dia lakukan selama 2 hari yang lalu di gunung. Mencoba kembali mengingat apa yang dia cari di perjalanan panjang untuk sampai ke gunung ini. Gara tahu jawabannya, tapi ia tak ingin tahu. Sebab kenyataan ini bukanlah yang dia mau. Diluar itu, Gara mencoba menikmatinya. Ia selalu belajar untuk selalu menikmati perjalanannya. Mengabaikan kegelisahan yang selama perjalanan akan merusak perjalanan itu sendiri. Biarlah itu ia pikirkan sepulang dari sana.
“Numpang ya pak, dingin juga di sini.” Gara membuka perbincangan mencoba masuk ke dalam lingkaran perapian. Suasana yang ramah itu seakan tak berubah semenjak kedatangan orang baru. Mereka masih melanjutkan perbincangan tentang libur panjang yang membawa berkah bagi warung-warung kecil di desa ini.
“Dari mana dek?” – seorang bapak tua lengkap dengan pakaian khas Dieng, sarung dan kupluk- mencoba ramah dengan orang baru ini.
“Surabaya pak.”
Tidak lama, segelas teh hangat datang dan disodorkannya kepada Gara, menawarkan kehangatan lain. Ibu-ibu setengah baya ini adalah penjual warung. Wajahnya yang ceria sebenarnya sudah cukup menghangatkan.
Gara lama mengernyit, mencoba memahami apa yang sedang terjadi sore itu. bayangannya tentang Gunung Prau kembali muncul. Rasa dingin yang belum lama begitu menusuk sekejap terlupakan. Tergantikan oleh rasa penasaran yang menggelitik akalnya.
“Ternyata orang-orang di sini kedinginan juga ya pak. Hahaha…”
“Lhaiyo mas, kalo sedingin ini gak kedinginan yo ampuh tenan, mas.”
“Sehari habis berapa kayu pak?”
“Yo gak tentu, mas. Tapi di sini sudah gak boleh nebang kayu, jadi kayu yo beli dari kota.”
“Heh, serius pak? Berapa harganya? Padahal kan orang sini butuh kayu tiap hari.”
“Soalnya di sini orang udah gak boleh lagi nebang pohon, mas. Biar hutan-hutan tetep ada, pemandangan terus bisa dinikmati wisatawan. Air juga terus mengalir. Nek kayak gitu kan enak wisatawan dateng terus.”
Gara menggeleng-gelengkan kepalanya seraya meneguk kembali teh anget. Merasa takjub dengan daya berfikir masyarakat sekitar. Meskipun uang yang dipikirkan, tetapi ada nilai lain yang mereka pahami. Menjaga kelestarian desa mereka.
Langit semakin gelap, dan obrolan mereka semakin kemana-mana. Seakan sudah menjadi bagian dari penduduk sekitar. Tak ada lagi jarak antara penduduk lokal dengan pemburu dingin desa Dieng. Gara melanjutkan perjalanannya. Berpamitan dengan pemilik warung dan kembali ke penginapan tua di ujung pertigaan. Kali ini dingin kembali menguasai tubuhnya. Setiap orang yang dijumpai semakin merapatkan jaket tebalnya ditambah dengan sarung, seakan hanya bagian mata yang tidak terlindungi dari hembusan angin malam dan asap kendaraan yang lalu lalang.
Segera ia masuk ke dalam kamar, menjumpai teman-teman yang ternyata juga telah selesai berburu matahari tenggelam di candi tadi. Saling bercerita dan memamerkan foto hasil bidikan masing-masing, kemudian melepaskan ejekan setelah ada satu foto yang menunjukan kekonyolan Marisa –perempuan manis yang selalu menjadi bahan ejekan karena kejombloannya-.
“Dia biarkan udara pagi ini
Memadati ruang kosong yang kumal
Dia panasi air dalam bejana
Menyiapkan secangkir teh yang hangat
Meneduh bumi dengan adukan kayunya
Menemani para pengembara..”
A Song by Nugie, “Pembuat Teh”
Memadati ruang kosong yang kumal
Dia panasi air dalam bejana
Menyiapkan secangkir teh yang hangat
Meneduh bumi dengan adukan kayunya
Menemani para pengembara..”
A Song by Nugie, “Pembuat Teh”
Tepat ketika tangannya mulai meraih HP yang ada diatas meja. Mencoba mengintip dari mata yang setengah malas, mendapati pukul 7 pagi, seorang laki-laki seumuran dengannya datang dan membuka pintu kamar, membangunkannya dari malam yang panjang.
Suara rintik hujan tiba-tiba terdengar di antara pintu kamar. Menolehkan kepalanya. Mebelesakkan dirinya kedalam kenangan sore kemarin. Duduk dan bercerita bersama dengan orang-orang sekitar di warung depan penginapan.
Hujan. Dingin. Berarti orang-orang itu sedang di depan perapian. Sepagi ini mereka sudah menghabiskan kayu bakarnya yang mereka harus beli dari kota. Wajah penuh kesedihan kembali ia tutupi dengan selimut.
Hembusan angin mencoba menarik-narik selimut yang membungkus seluruh tubuhnya. Ruangan masih kosong. Hanya ada dua orang yang terbangun, dan satu orang adalah sahabatnya yang ia kenal dari internet. Penduduk sekitar, asli desa ini. Satu orang lagi tidak ia kenal. Baju berserakan di lantai. Trangia dan nesting bekas membuat kopi semalam masih dibiarkan berceceran di sudut kamar.
Suara petir menggelegar di angkasa. Mengagetkan seisi kamar. Semua orang terbangun. Segera ia beranjak dari tempat tidur dan mempersiapkan perlengkapan gunungnya yang ia bongkar 2 hari lalu karena hari ini adalah hari terakhirnya liburan di Dieng.
“Kenalin nih, namanya Edi. Dia ranger Prau. Kalo naik Prau besok-besok bisa ajak dia.”
“Wah asik nih. Naik Prau bareng yang punya gunung. Hahahaha…”
“Waiyo enggak mas. Lha wong saya ini orang baru naik Prau aja masih kemarin.”
“Wah merendah ini Mas Edi. Seenggaknya kan udah sering naik tho mas?”
“Ha itu lho, mas Kukuh aja. Kita malah pengikutnya dia. Wong dia yang buka pertama kali Gunung Prau ini. Yang ngenalin gunung ini tuh dia mas. Kalo dia gak ngenalin, ya nggak bisa serame ini. Hahaha…”
Gara hanya kaget mendengar cerita dari Mas Edi. Semua orang di dalam kamar pun sepertinya juga baru pertama kali mendengarnya. Namun Gara yang sudah mengenal Kukuh lebih lama menjadi orang yang sangat antusias mendengarkan.
“Tapi sekarang udah gak kayak dulu, Gar. Gimana ya? Malah sekarang ada perasaan bersalah setelah ngenalin Prau ke orang-orang. Liat aja kemarin di puncak kayak apa bentuknya. Kotor, sampah dimana-mana.”
“Iya sih kotor, tapi kan ekonomi penduduk sekitar juga jadi tumbuh, Kuh. Seharusnya mereka berterima kasih sama kamu.”
“Yo nek aku sih gak butuh ucapan terima kasih. Yang aku butuhin adalah mereka gak cuma cari duit aja tapi gak ngurusin gunung. Kan kalo besok-besok udah kotor dan gak menarik lagi, mereka jadi gak punya pendapatan lagi dari gunung itu sendiri. Apa tuh namanya? Susiable Traveling?”
“Sustainable Tourism, Kuh. Hahaha…”
“Yo pokokmen kui. Kalo penduduk sekitar ikut menjaga Gunung Prau dengan cara membatasi pendaki atau bikin regulasi apa gitu, pokoknya gimana caranya agar pendaki nggak sembarangan buang sampah di gunung.”
“Bener, Kuh. Sebaiknya memang penduduk sekitar juga paham potensi wisata mereka tidak bisa selamanya akan didatangi orang kalau didiamkan begini terus. Harus ada tindak lanjut, misal ada aturan-aturan tertentu biar orang gak buang sampah sembarangan. Tapi juga gak bisa cuma nyalahin orang-orang sekitar sih, harus ada dukungan dari pemerintah juga, tentu juga kesadaran pendaki juga sangat penting.”
“Haiyo kui. Tapi tantangan sustainable tourism ini yang agak susah, Gar. Gimana memperbaiki kehancuran lingkungan tanpa mengorbankan kebutuhan pembangunan ekonomi dan keadilan sosial. Tsaaah… Bahasaku keren ra? Hahaha…”
“Hahaha… Pie kui maksudnya?”
“Sustainable tourism ini kan berkaitan erat sama pertumbuhan ekonomi dan bagaimana mencari jalan untuk memajukan ekonomi dalam jangka panjang, tanpa menghabiskan modal alam. Sedangkan orang-orang sekitar sudah terlanjur dapet duit banyak dari kunjugan yang tidak sedikit, artinya duit yang mereka terima sekarang ini sangat banyak. Usulan-usulan membatasi pendaki atau aturan-aturan yang ketat soal buang sampah ini takutnya akan mengurangi pendapatan mereka.”
“Iyo sih, setuju. Berarti tugas pertama adalah menyadarkan akan keterbatasan alam itu sendiri, Kuh. Emang berat sih, tapi menjadi tugas kita sebagai agen perubahan. Kalo bahasa gaulnya, Agent of Change. Hahaha.. Kita gak bisa selamanya menunggu mereka sadar dengan sendirinya, tidak bisa juga menunggu pemerintah untuk menyadarkan penduduk sekitar. Sekarang saatnya kita bergerak untuk memajukan pariwisata Indonesia. MERDEKA!!”
“MERDEKA!!!”
SELESAI
Gimana coy? Semoga dibaca sampe selesai 
Ditunggu komentarnya
cendol juga gak nolak


Ditunggu komentarnya



Diubah oleh -=delicious=- 21-12-2015 22:08
0
3K
Kutip
23
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan