- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Seleksi Serampangan Punggawa Penyiaran (KPI)


TS
dsturridge15
Seleksi Serampangan Punggawa Penyiaran (KPI)
PEMILIHAN sembilan Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia mengundang pertanyaan. Investigasi Tempo menemukan bukti bagaimana hasil uji kompetensi justru dikesampingkan. Menjelang pemilu, pemilik televisi yang punya kepentingan politik diuntungkan.

Cacat Sejak Lahir

Foto Ketua KPI Pusat Mochamad Riyanto. (foto:Budi Purwanto)
PANITIA Seleksi Pemilihan KPI terdiri dari tiga orang: Ketua KPI Mochamad Riyanto, Sekretaris Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Muhammad Ichwan Sam dan dosen Fakultas Hukum Universitas Tujuhbelas Agustus (Untag) Semarang, Edi Lisdiono.
Mereka bekerja berdasarkan Surat Keputusan yang diterbitkan Komisi Informasi Dewan Perwakilan Rakyat. Mekanisme ini diatur dalam Peraturan KPI soal Pedoman Rekruitmen KPI yang disahkan pada April 2011 lalu. Peraturan ini merupakan penjabaran dari Undang-Undang Penyiaran yang mengatur tata cara umum seleksi komisioner KPI.
Peraturan itu tegas-tegas menyebut bahwa anggota tim seleksi seharusnya lima orang. Kelima anggota ini mewakili pemerintah, tokoh masyarakat dan akademisi.
Sumber Tempo di KPI menyebutkan bahwa semula memang ada lebih dari 20 nama yang diajukan ke DPR sebagai anggota tim seleksi. Di antaranya ada Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Komaruddin Hidayat, tokoh pers dari Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerbitan Yogyakarta (LP3Y) Ashadi Siregar, dan eks Direktur Antara, Mohamad Sobary. Selain itu, praktisi penyiaran Inke Marris dan psikolog Elly Rusman Musa juga diusulkan.
Yang jadi masalah, nama-nama tersebut tidak dipilah-pilah dulu sebelum diajukan ke DPR. Nama Edi Lisdiono misalnya, nyaris tak pernah terdengar rekam jejaknya dalam dunia penyiaran. Edi dan Riyanto sama-sama tenaga pengajar di Untag Semarang.
Selain itu, nama-nama ini juga diajukan tanpa ditanya kesediaannya. Walhasil, setelah ditetapkan DPR, baru terungkap kalau nyaris semuanya berhalangan. Panitia yang seharusnya berisi lima orang, praktis dikerjakan tiga orang. "Saya sudah minta tambahan nama kepada DPR, tapi mereka bilang jalan saja terus," kata Riyanto ketika dimintai konfirmasi, akhir November lalu. Dengan proses yang karut marut itu, pada Mei lalu, tim seleksi mulai bekerja.
Asal Tabrak Aturan
Tim Bayangan Senayan
Serangan Udara di Layar Kaca
Loyo Hadapi Jurus Iklan

Quote:
AHMAD Riza Faisal masih ingat betul percakapannya dengan Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Mochamad Riyanto, pada pertengahan Juni lalu. Riyanto yang kala itu masih menjabat Ketua Panitia Seleksi Komisioner KPI Pusat menyampaikan kabar buruk: Riza tak lulus seleksi.
"Pak Riyanto bilang saya tidak lolos karena saya masih muda dan bagus. Dia ingin saya tetap di daerah, menjaga Lampung," kata Riza kepada Tempo, akhir November lalu. "Kalau saya dianggap bagus, bukankah saya tetap bisa menjaga industri penyiaran di daerah dengan menjadi komisioner KPI Pusat?" ujar dosen Ilmu Komunikasi Universitas Lampung ini. "Kalau soal usia, mengapa yang lebih muda dari saya justru lolos?"
Sederet pertanyaan Riza itu tak segera mendapat jawaban. Proses seleksi menggelinding cepat. Dimulai sejak April, semula ada 120 orang yang melamar menjadi pejabat negara pengawal frekuensi publik itu. Riza, Komisioner KPI Daerah di Lampung yang ikut mendaftar, lolos seleksi administrasi tapi tersandung pada tahap ujian tertulis.

Calon Anggota KPI Pusat mengikuti salah satu rangkaian uji psikotes. (SUMBER: KPI.GO.ID)
Ujian tertulis pada awal Juni itu akan menentukan 20 nama perserta yang akan mengikuti uji kelayakan dan kepatutan oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Tujuh komisioner incumbent yang mencalonkan diri lagi, juga otomatis ikut seleksi final di Senayan. Jadi total ada 27 orang yang lolos untuk mengikuti fit and proper test. Lewat voting pada pekan pertama Juli lalu, sembilan orang akhirnya terpilih menjadi komisioner KPI masa bakti 2013 sampai 2016.
Tiga wajah lama bertahan: Judhariksawan, Azimah Subagijo, dan Idy Muzayyad. Enam lainnya nama baru: Bekti Nugroho, Agatha Lily, Amirudin, Sujarwanto Rahmat M Arifin, Danang Sangga Buwana, dan Fajar Arifianto Isnugroho. Pada awal Agustus, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menandatangani Keputusan Presiden yang mengukuhkan mereka menjadi komisioner baru Komisi Penyiaran Indonesia.
Dua bulan kemudian, pada awal Oktober, barulah pertanyaan Riza menemukan jawaban. Dono Prasetyo, salahsatu calon komisioner KPI yang juga tak lolos seleksi, menemukan bukti bahwa proses pemilihan tidak berjalan semestinya. “Tim seleksi KPI tidak transparan dan tidak akuntabel,” kata Dono ketika dihubungi Tempo, akhir Desember lalu.
Dia punya dua lembar dokumen yang berisi daftar skor calon komisioner yang ikut ujian tertulis. Mereka yang nilainya bagus justru gugur. Jika dokumen itu otentik, maka ada indikasi tim seleksi sengaja mengesampingkan hasil ujian kompetensi itu.
Apa motifnya? "Saya menduga ada kepentingan politik untuk mengamankan kepentingan industri televisi menjelang pemilihan umum," kata Dono. Berbekal bukti itu, mantan Komisioner Komisi Informasi Pusat (KIP) ini mengadukan amburadulnya proses seleksi KPI ke Komisi Ombudsman Indonesia dan Sekretariat Negara. Dia berharap proses seleksi diulang.
Kabar soal protes Dono menyebar cepat lewat media. Di Lampung, Riza yang mendengar soal ini, bergegas pergi ke Jakarta. Diam-diam, dia mendapat akses untuk melihat sendiri hasil ujian tertulis yang membuatnya gagal lolos ke Senayan. "Ternyata nama saya ada di urutan kedua terbaik," kata Riza pelan.
"Pak Riyanto bilang saya tidak lolos karena saya masih muda dan bagus. Dia ingin saya tetap di daerah, menjaga Lampung," kata Riza kepada Tempo, akhir November lalu. "Kalau saya dianggap bagus, bukankah saya tetap bisa menjaga industri penyiaran di daerah dengan menjadi komisioner KPI Pusat?" ujar dosen Ilmu Komunikasi Universitas Lampung ini. "Kalau soal usia, mengapa yang lebih muda dari saya justru lolos?"
Sederet pertanyaan Riza itu tak segera mendapat jawaban. Proses seleksi menggelinding cepat. Dimulai sejak April, semula ada 120 orang yang melamar menjadi pejabat negara pengawal frekuensi publik itu. Riza, Komisioner KPI Daerah di Lampung yang ikut mendaftar, lolos seleksi administrasi tapi tersandung pada tahap ujian tertulis.

Calon Anggota KPI Pusat mengikuti salah satu rangkaian uji psikotes. (SUMBER: KPI.GO.ID)
Ujian tertulis pada awal Juni itu akan menentukan 20 nama perserta yang akan mengikuti uji kelayakan dan kepatutan oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Tujuh komisioner incumbent yang mencalonkan diri lagi, juga otomatis ikut seleksi final di Senayan. Jadi total ada 27 orang yang lolos untuk mengikuti fit and proper test. Lewat voting pada pekan pertama Juli lalu, sembilan orang akhirnya terpilih menjadi komisioner KPI masa bakti 2013 sampai 2016.
Tiga wajah lama bertahan: Judhariksawan, Azimah Subagijo, dan Idy Muzayyad. Enam lainnya nama baru: Bekti Nugroho, Agatha Lily, Amirudin, Sujarwanto Rahmat M Arifin, Danang Sangga Buwana, dan Fajar Arifianto Isnugroho. Pada awal Agustus, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menandatangani Keputusan Presiden yang mengukuhkan mereka menjadi komisioner baru Komisi Penyiaran Indonesia.
Dua bulan kemudian, pada awal Oktober, barulah pertanyaan Riza menemukan jawaban. Dono Prasetyo, salahsatu calon komisioner KPI yang juga tak lolos seleksi, menemukan bukti bahwa proses pemilihan tidak berjalan semestinya. “Tim seleksi KPI tidak transparan dan tidak akuntabel,” kata Dono ketika dihubungi Tempo, akhir Desember lalu.
Dia punya dua lembar dokumen yang berisi daftar skor calon komisioner yang ikut ujian tertulis. Mereka yang nilainya bagus justru gugur. Jika dokumen itu otentik, maka ada indikasi tim seleksi sengaja mengesampingkan hasil ujian kompetensi itu.
Apa motifnya? "Saya menduga ada kepentingan politik untuk mengamankan kepentingan industri televisi menjelang pemilihan umum," kata Dono. Berbekal bukti itu, mantan Komisioner Komisi Informasi Pusat (KIP) ini mengadukan amburadulnya proses seleksi KPI ke Komisi Ombudsman Indonesia dan Sekretariat Negara. Dia berharap proses seleksi diulang.
Kabar soal protes Dono menyebar cepat lewat media. Di Lampung, Riza yang mendengar soal ini, bergegas pergi ke Jakarta. Diam-diam, dia mendapat akses untuk melihat sendiri hasil ujian tertulis yang membuatnya gagal lolos ke Senayan. "Ternyata nama saya ada di urutan kedua terbaik," kata Riza pelan.
Cacat Sejak Lahir
Quote:

Foto Ketua KPI Pusat Mochamad Riyanto. (foto:Budi Purwanto)
PANITIA Seleksi Pemilihan KPI terdiri dari tiga orang: Ketua KPI Mochamad Riyanto, Sekretaris Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Muhammad Ichwan Sam dan dosen Fakultas Hukum Universitas Tujuhbelas Agustus (Untag) Semarang, Edi Lisdiono.
Mereka bekerja berdasarkan Surat Keputusan yang diterbitkan Komisi Informasi Dewan Perwakilan Rakyat. Mekanisme ini diatur dalam Peraturan KPI soal Pedoman Rekruitmen KPI yang disahkan pada April 2011 lalu. Peraturan ini merupakan penjabaran dari Undang-Undang Penyiaran yang mengatur tata cara umum seleksi komisioner KPI.
Peraturan itu tegas-tegas menyebut bahwa anggota tim seleksi seharusnya lima orang. Kelima anggota ini mewakili pemerintah, tokoh masyarakat dan akademisi.
Sumber Tempo di KPI menyebutkan bahwa semula memang ada lebih dari 20 nama yang diajukan ke DPR sebagai anggota tim seleksi. Di antaranya ada Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Komaruddin Hidayat, tokoh pers dari Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerbitan Yogyakarta (LP3Y) Ashadi Siregar, dan eks Direktur Antara, Mohamad Sobary. Selain itu, praktisi penyiaran Inke Marris dan psikolog Elly Rusman Musa juga diusulkan.
Yang jadi masalah, nama-nama tersebut tidak dipilah-pilah dulu sebelum diajukan ke DPR. Nama Edi Lisdiono misalnya, nyaris tak pernah terdengar rekam jejaknya dalam dunia penyiaran. Edi dan Riyanto sama-sama tenaga pengajar di Untag Semarang.
Selain itu, nama-nama ini juga diajukan tanpa ditanya kesediaannya. Walhasil, setelah ditetapkan DPR, baru terungkap kalau nyaris semuanya berhalangan. Panitia yang seharusnya berisi lima orang, praktis dikerjakan tiga orang. "Saya sudah minta tambahan nama kepada DPR, tapi mereka bilang jalan saja terus," kata Riyanto ketika dimintai konfirmasi, akhir November lalu. Dengan proses yang karut marut itu, pada Mei lalu, tim seleksi mulai bekerja.
Asal Tabrak Aturan
Quote:
JIKA mengacu pada peraturan KPI tentang pedoman rekruitmen, seharusnya seleksi komisioner penyiaran terdiri dari tiga tahap. Tahap pertama adalah seleksi administrasi atas berkas pendaftaran calon. Tahap kedua adalah uji kompetensi, yang terdiri dari tes tertulis dan tes psikologis. Mereka yang tak lolos di setiap tahap, langsung dicoret. Fit and proper test di parlemen adalah tahap ketiga dan final dari proses seleksi komisioner.
Kenyataannya, semua tahapan itu diabaikan. Dokumen-dokumen hasil pemilihan yang diperoleh Tempo menunjukkan bagaimana tim seleksi membuat aturan sendiri untuk menilai calon. Makalah mengenai visi dan misi calon komisioner –yang seharusnya dinilai pada tahap seleksi administrasi, justru dinilai pada tahap uji kompetensi.
Nilai visi misi itu lalu digabungkan dengan skor hasil ujian tertulis, untuk menentukan kelulusan uji kompetensi. Yang lebih parah, hasil tes psikologi yang seharusnya jadi salahsatu dasar kelulusan malah sama sekali tidak dipakai.
Tim seleksi bahkan berinisiatif membuat satu ujian lagi: seleksi integritas. Cara penilaiannya amat subyektif: "Kami menilai integritas berdasarkan pengamatan kami atas latar belakang calon," kata Riyanto.
Meski sudah dihubungi berkali-kali, dua anggota tim seleksi KPI, Ichwan Syam dan Edi Lisdiono, menolak diwawancarai. Keduanya mengaku sakit. Hanya Riyanto yang bersedia bicara. Dia mengakui semua pelanggaran aturan rekruitmen KPI. Menurutnya, "Peraturan KPI soal pedoman rekruitmen itu kan cuma pedoman saja."
Akibat metode penilaian semacam itulah, Ahmad Riza Faisal tersingkir meski skornya terbaik kedua dalam ujian tertulis. Selain dia, ada delapan peserta lain yang nilainya memenuhi syarat, namun tak diloloskan ke DPR.
Posisi mereka diganti oleh sembilan orang lain yang nilainya pas-pasan, namun terdongkrak oleh hasil ujian "visi misi" dan "penilaian integritas". Ada calon yang nilai ujian kompetensinya amat buruk, namun tetap lolos karena mengantongi rekomendasi sebuah lembaga negara. Satu calon lain lolos karena "sudah senior".
Tak hanya itu. Hasil tes psikologi yang menemukan ada 13 calon komisioner yang tidak disarankan untuk menjadi pejabat publik, juga diabaikan. Dua orang komisioner KPI sekarang sebenarnya tak lolos psikotest.
Pada akhir Juni lalu, daftar 20 nama yang dihasilkan dari proses seleksi nan semrawut itu kemudian disetorkan ke DPR, bersama nama tujuh komisioner incumbent yang kembali mencalonkan diri. Sekarang bola ada di Senayan.
Kenyataannya, semua tahapan itu diabaikan. Dokumen-dokumen hasil pemilihan yang diperoleh Tempo menunjukkan bagaimana tim seleksi membuat aturan sendiri untuk menilai calon. Makalah mengenai visi dan misi calon komisioner –yang seharusnya dinilai pada tahap seleksi administrasi, justru dinilai pada tahap uji kompetensi.
Nilai visi misi itu lalu digabungkan dengan skor hasil ujian tertulis, untuk menentukan kelulusan uji kompetensi. Yang lebih parah, hasil tes psikologi yang seharusnya jadi salahsatu dasar kelulusan malah sama sekali tidak dipakai.
Tim seleksi bahkan berinisiatif membuat satu ujian lagi: seleksi integritas. Cara penilaiannya amat subyektif: "Kami menilai integritas berdasarkan pengamatan kami atas latar belakang calon," kata Riyanto.
Meski sudah dihubungi berkali-kali, dua anggota tim seleksi KPI, Ichwan Syam dan Edi Lisdiono, menolak diwawancarai. Keduanya mengaku sakit. Hanya Riyanto yang bersedia bicara. Dia mengakui semua pelanggaran aturan rekruitmen KPI. Menurutnya, "Peraturan KPI soal pedoman rekruitmen itu kan cuma pedoman saja."
Akibat metode penilaian semacam itulah, Ahmad Riza Faisal tersingkir meski skornya terbaik kedua dalam ujian tertulis. Selain dia, ada delapan peserta lain yang nilainya memenuhi syarat, namun tak diloloskan ke DPR.
Posisi mereka diganti oleh sembilan orang lain yang nilainya pas-pasan, namun terdongkrak oleh hasil ujian "visi misi" dan "penilaian integritas". Ada calon yang nilai ujian kompetensinya amat buruk, namun tetap lolos karena mengantongi rekomendasi sebuah lembaga negara. Satu calon lain lolos karena "sudah senior".
Tak hanya itu. Hasil tes psikologi yang menemukan ada 13 calon komisioner yang tidak disarankan untuk menjadi pejabat publik, juga diabaikan. Dua orang komisioner KPI sekarang sebenarnya tak lolos psikotest.
Pada akhir Juni lalu, daftar 20 nama yang dihasilkan dari proses seleksi nan semrawut itu kemudian disetorkan ke DPR, bersama nama tujuh komisioner incumbent yang kembali mencalonkan diri. Sekarang bola ada di Senayan.
Tim Bayangan Senayan
Quote:
TIDAK banyak yang tahu, sebelum terbentuknya panitia seleksi komisioner Komisi Penyiaran Indonesia, pada akhir Januari lalu, Komisi Informasi DPR membentuk sebuah tim khusus bernama Tim Sembilan. Anggotanya adalah perwakilan setiap fraksi di parlemen.

Tantowi Yahya. TEMPO/Wahyu Setiawan
Dalam pertemuan konsultasi panitia seleksi dengan Tim Sembilan pada 14 Mei tahun lalu, Wakil Ketua Komisi Informasi DPR Ramadhan Pohan menjelaskan tugas tim itu dengan gamblang. “Sesuai UU Penyiaran, DPR yang berwenang memilih komisioner KPI Pusat. Untuk itu, kami memberi mandat penuh pada Tim Sembilan untuk memilih komisioner KPI,” katanya.
Pernyataan politikus Demokrat ini tercantum dalam notulensi rapat yang salinannya diperoleh Tempo. Dengan demikian, sejak awal parlemen sebenarnya sudah mengambilalih proses pemilihan KPI. Tim seleksi Riyanto hanya kepanjangan tangan dari fraksi-fraksi di Senayan.
Ditanya soal ini, Ramadhan membenarkan. “Yang menyeleksi nantinya kan DPR juga. Jadi sebelas duabelaslah,” katanya, Desember lalu. Riyanto juga mengaku tahu soal ini. “Tugas tim seleksi hanya mempresentasikan hasil pemilihan pada Tim Sembilan,” katanya. “Semua kami laporkan kepada mereka.”
Anggota tim sembilan adalah: Hayono Isman (Demokrat), Tantowi Yahya/Meutia Hafidz (Golkar), Evita Nursanti (PDIP), Mardani (PKS), Djazuli (PKB), Muhammad Najib (PAN), Husnan Bey (PPP), Ahmad Muzani (Gerindra) dan Susaningtyas Kertopati (Hanura).
Sepanjang proses seleksi di KPI, Tim Sembilan beberapa kali meminta laporan dari Tim Seleksi. Dalam satu rapat, seorang anggota DPR secara terbuka meminta keterangan soal latar belakang para calon. “Kalau perlu CV-nya sekalian,” kata satu politikus, seperti tercantum dalam notulensi rapat KPI yang diperoleh Tempo.
Ketika ditanya soal ini, anggota Tim Sembilan, Tantowi Yahya, buru-buru meluruskan. “Kami tidak cawe-cawe soal siapa yang lulus ujian atau tidak,” katanya, November lalu. Tim ini, kata dia, hanya ingin memastikan siapa saja yang ikut seleksi KPI. “Supaya kami tidak kecolongan,” katanya. “Intervensi” DPR sejak awal proses seleksi semacam ini tak pernah terjadi sebelumnya.
Pada pekan pertama Juli, uji kepatutan dan kelayakan atas 27 calon komisioner KPI akhirnya digelar di Komisi Informasi DPR. Di sinilah pertarungan politik resmi dimulai. Setiap fraksi memiliki calon unggulannya sendiri.
Salahsatu fraksi yang jelas punya kepentingan untuk mengamankan industri televisi adalah Hanura. Bos MNC Group Hary Tanoesoedibjo adalah calon wakil presiden dari partai itu. Politikus Hanura, Susaningtyas Kertopati, tak malu mengakuinya. “Yang menguntungkan MNC, saya suka. Yang tidak menguntungkan ya enggak suka,” ujarnya terus terang.
Fraksi Golkar yang terafiliasi dengan grup media Viva –ANTV dan tvOne-- juga tak menutupi kepentingannya. “Fraksi lain juga begitu, apa bedanya? Ini demokrasi,” kata Agus Gumiwang Kartasasmita, politikus Golkar di Komisi Informasi.
Sumber Tempo yang mengikuti proses lobi antar fraksi pada malam penentuan hasil uji kelayakan, mengakui panasnya negosiasi. Bahkan, kata dia, pola tawar-menawarnya pun berbeda dengan lobi pada penentuan pimpinan lembaga negara lain seperti Komisi Pemberantasan Korupsi atau Komisi Yudisial.
“Kalau biasanya, setiap fraksi punya daftar nama yang didukung, kali ini ada fraksi yang terang-terangan minta ada nama yang tidak boleh lolos,” kata sumber ini. Dia mengaku tak pernah mengalami dinamika politik sekencang itu dalam proses pemilihan komisioner lembaga lain. “Ini non-negotiable,” kata dia menirukan tuntutan satu politikus fraksi itu.
Menjelang tengah malam pada Rabu pertama Juli lalu, sembilan komisioner baru Komisi Penyiaran Indonesia akhirnya terpilih. Sekarang, lebih dari enam bulan kemudian, buah dari proses seleksi yang serampangan itu, mulai dirasakan publik.

Tantowi Yahya. TEMPO/Wahyu Setiawan
Dalam pertemuan konsultasi panitia seleksi dengan Tim Sembilan pada 14 Mei tahun lalu, Wakil Ketua Komisi Informasi DPR Ramadhan Pohan menjelaskan tugas tim itu dengan gamblang. “Sesuai UU Penyiaran, DPR yang berwenang memilih komisioner KPI Pusat. Untuk itu, kami memberi mandat penuh pada Tim Sembilan untuk memilih komisioner KPI,” katanya.
Pernyataan politikus Demokrat ini tercantum dalam notulensi rapat yang salinannya diperoleh Tempo. Dengan demikian, sejak awal parlemen sebenarnya sudah mengambilalih proses pemilihan KPI. Tim seleksi Riyanto hanya kepanjangan tangan dari fraksi-fraksi di Senayan.
Ditanya soal ini, Ramadhan membenarkan. “Yang menyeleksi nantinya kan DPR juga. Jadi sebelas duabelaslah,” katanya, Desember lalu. Riyanto juga mengaku tahu soal ini. “Tugas tim seleksi hanya mempresentasikan hasil pemilihan pada Tim Sembilan,” katanya. “Semua kami laporkan kepada mereka.”
Anggota tim sembilan adalah: Hayono Isman (Demokrat), Tantowi Yahya/Meutia Hafidz (Golkar), Evita Nursanti (PDIP), Mardani (PKS), Djazuli (PKB), Muhammad Najib (PAN), Husnan Bey (PPP), Ahmad Muzani (Gerindra) dan Susaningtyas Kertopati (Hanura).
Sepanjang proses seleksi di KPI, Tim Sembilan beberapa kali meminta laporan dari Tim Seleksi. Dalam satu rapat, seorang anggota DPR secara terbuka meminta keterangan soal latar belakang para calon. “Kalau perlu CV-nya sekalian,” kata satu politikus, seperti tercantum dalam notulensi rapat KPI yang diperoleh Tempo.
Ketika ditanya soal ini, anggota Tim Sembilan, Tantowi Yahya, buru-buru meluruskan. “Kami tidak cawe-cawe soal siapa yang lulus ujian atau tidak,” katanya, November lalu. Tim ini, kata dia, hanya ingin memastikan siapa saja yang ikut seleksi KPI. “Supaya kami tidak kecolongan,” katanya. “Intervensi” DPR sejak awal proses seleksi semacam ini tak pernah terjadi sebelumnya.
Pada pekan pertama Juli, uji kepatutan dan kelayakan atas 27 calon komisioner KPI akhirnya digelar di Komisi Informasi DPR. Di sinilah pertarungan politik resmi dimulai. Setiap fraksi memiliki calon unggulannya sendiri.
Salahsatu fraksi yang jelas punya kepentingan untuk mengamankan industri televisi adalah Hanura. Bos MNC Group Hary Tanoesoedibjo adalah calon wakil presiden dari partai itu. Politikus Hanura, Susaningtyas Kertopati, tak malu mengakuinya. “Yang menguntungkan MNC, saya suka. Yang tidak menguntungkan ya enggak suka,” ujarnya terus terang.
Fraksi Golkar yang terafiliasi dengan grup media Viva –ANTV dan tvOne-- juga tak menutupi kepentingannya. “Fraksi lain juga begitu, apa bedanya? Ini demokrasi,” kata Agus Gumiwang Kartasasmita, politikus Golkar di Komisi Informasi.
Sumber Tempo yang mengikuti proses lobi antar fraksi pada malam penentuan hasil uji kelayakan, mengakui panasnya negosiasi. Bahkan, kata dia, pola tawar-menawarnya pun berbeda dengan lobi pada penentuan pimpinan lembaga negara lain seperti Komisi Pemberantasan Korupsi atau Komisi Yudisial.
“Kalau biasanya, setiap fraksi punya daftar nama yang didukung, kali ini ada fraksi yang terang-terangan minta ada nama yang tidak boleh lolos,” kata sumber ini. Dia mengaku tak pernah mengalami dinamika politik sekencang itu dalam proses pemilihan komisioner lembaga lain. “Ini non-negotiable,” kata dia menirukan tuntutan satu politikus fraksi itu.
Menjelang tengah malam pada Rabu pertama Juli lalu, sembilan komisioner baru Komisi Penyiaran Indonesia akhirnya terpilih. Sekarang, lebih dari enam bulan kemudian, buah dari proses seleksi yang serampangan itu, mulai dirasakan publik.
Serangan Udara di Layar Kaca
Quote:
LAMAT-lamat suara percakapan sejumlah lelaki berlogat Jawa Timur terdengar dari rekaman di situs YouTube itu. Dari rekaman berdurasi sekitar dua menit lebih itu terdengar nama Partai Hati Nurani Rakyat disebut. Lalu juga ada nama stasiun televisi RCTI dan Indovision diucapkan oleh salah satu pembicara, yang mendominasi percakapan.
Kurang lebih percakapan itu berlangsung seperti ini: “Kami kepingin ada satu channel di Indovision itu yaitu informasi tentang Partai Hanura.” Suara lain menimpali, “Karena memang itu menyangkut waktu, agak susah.”
Di bagian lain, percakapan mengarah ke soal kampanye dan bantuan pemberitaan. “Nanti aku mau izin, pokoknya kalian mau bikin berita, baik teks atau apapun, langsung ke Willy saja. Willy yang koordinir semua.”
Lalu ada suara menyahut yang menimpali, “Ini sudah kami programkan di partai lama. Mudah-mudahan bersama Hanura bisa dilakukan lagi, Pak Arya.” Ajakan itu disambut dengan suara bersemangat, “Mari sama-sama bahu-membahu memenangkan ini.”
Meski singkat, rekaman audio yang diunggah ke situs media sosial YouTube, pada Mei tahun lalu itu punya makna luar biasa. Inilah untuk pertama kalinya, rencana pengurus sebuah partai untuk memanfaatkan lembaga penyiaran demi kepentingan kampanye politik, terbongkar dengan jelas.
ARYA Sinulingga hanya tertawa ketika diingatkan soal insiden video Youtube itu. Ditemui pada awal Desember lalu, Sekretaris Perusahaan PT Media Nusantara Citra (MNC) Group ini tak membantah kalau rekaman percakapan tersebut berkaitan dengan rencana pemenangan Partai Hanura di Jawa Timur.
Arya sendiri adalah Wakil Ketua Badan Pemenangan Pemilu Hanura. Ketua badan itu adalah bos MNC Hary Tanoesoedibjo. Tak heran kalau Arya sering disebut-sebut sebagai orang kepercayaan Hary.

Arya Sinulingga (kiri) dan Yadi Hendriana. ANTARA/Ismar Patrizki
“Itu hanya permintaan pemberitaan. Lalu, salahnya di mana?” ujar Arya tenang, ketika didesak soal benar tidaknya isi percakapan itu. Suaranya berubah serius. Dia mengklaim permintaan kader-kader Hanura itu tak pernah benar-benar dipenuhi MNC.
Tanpa berusaha menutupi, Arya –yang juga menjabat Pemimpin Redaksi Global TV— menjelaskan bahwa percakapan dua menit itu terjadi di kantor Perindo di Surabaya, Jawa Timur. Perindo adalah singkatan dari ‘Persatuan Indonesia’, ormas yang didirikan Hary Tanoe selepas dia keluar dari Nasdem.
Menurut Arya, permintaan pemberitaan semacam itu seharusnya bisa dimaklumi. Soalnya, Komisi Pemilihan Umum melarang partai dan calon legislator memasang iklan di media sampai tiga pekan menjelang hari pemungutan suara. “Waktunya sempit sekali untuk memperkenalkan diri secara langsung pada masyarakat,” katanya.
Karena itulah, kata Arya, kampanye Hanura banyak mengandalkan media massa. Siaran televisi diyakini mampu menyebarkan informasi secara cepat dan akurat, untuk audiens dalam jumlah yang amat besar. “Kami menyebutnya serangan udara,” katanya. Berita positif dan iklan yang terus menerus adalah “peluru-peluru” untuk memenangkan pertempuran di udara itu.
Tentu tak hanya Hanura dan Hary Tanoesoedibjo yang gencar melakukan ‘serangan udara’ di layar kaca. Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie juga beriklan di dua stasiun teve miliknya: tvOne dan ANTV. Kepada wartawan, Aburizal mengakui memasang iklan sebanyak-banyaknya adalah bagian dari strategi kampanyenya. ”Iklan itu saya bayar,” kata Aburizal, pada akhir November lalu. “Meskipun dapat diskon banyak juga,” ujarnya sambil tersenyum lebar.
Ketua Umum Partai NasDem, Surya Paloh, tak mau ketinggalan. Sebagai bos Media Grup yang terafiliasi dengan stasiun televisi Metro TV, wajah Surya kerap muncul di acara teve itu. Acara partai NasDem juga sering ditayangkan, lebih banyak dari pemberitaan mengenai partai lain.
Kurang lebih percakapan itu berlangsung seperti ini: “Kami kepingin ada satu channel di Indovision itu yaitu informasi tentang Partai Hanura.” Suara lain menimpali, “Karena memang itu menyangkut waktu, agak susah.”
Di bagian lain, percakapan mengarah ke soal kampanye dan bantuan pemberitaan. “Nanti aku mau izin, pokoknya kalian mau bikin berita, baik teks atau apapun, langsung ke Willy saja. Willy yang koordinir semua.”
Lalu ada suara menyahut yang menimpali, “Ini sudah kami programkan di partai lama. Mudah-mudahan bersama Hanura bisa dilakukan lagi, Pak Arya.” Ajakan itu disambut dengan suara bersemangat, “Mari sama-sama bahu-membahu memenangkan ini.”
Meski singkat, rekaman audio yang diunggah ke situs media sosial YouTube, pada Mei tahun lalu itu punya makna luar biasa. Inilah untuk pertama kalinya, rencana pengurus sebuah partai untuk memanfaatkan lembaga penyiaran demi kepentingan kampanye politik, terbongkar dengan jelas.
ARYA Sinulingga hanya tertawa ketika diingatkan soal insiden video Youtube itu. Ditemui pada awal Desember lalu, Sekretaris Perusahaan PT Media Nusantara Citra (MNC) Group ini tak membantah kalau rekaman percakapan tersebut berkaitan dengan rencana pemenangan Partai Hanura di Jawa Timur.
Arya sendiri adalah Wakil Ketua Badan Pemenangan Pemilu Hanura. Ketua badan itu adalah bos MNC Hary Tanoesoedibjo. Tak heran kalau Arya sering disebut-sebut sebagai orang kepercayaan Hary.

Arya Sinulingga (kiri) dan Yadi Hendriana. ANTARA/Ismar Patrizki
“Itu hanya permintaan pemberitaan. Lalu, salahnya di mana?” ujar Arya tenang, ketika didesak soal benar tidaknya isi percakapan itu. Suaranya berubah serius. Dia mengklaim permintaan kader-kader Hanura itu tak pernah benar-benar dipenuhi MNC.
Tanpa berusaha menutupi, Arya –yang juga menjabat Pemimpin Redaksi Global TV— menjelaskan bahwa percakapan dua menit itu terjadi di kantor Perindo di Surabaya, Jawa Timur. Perindo adalah singkatan dari ‘Persatuan Indonesia’, ormas yang didirikan Hary Tanoe selepas dia keluar dari Nasdem.
Menurut Arya, permintaan pemberitaan semacam itu seharusnya bisa dimaklumi. Soalnya, Komisi Pemilihan Umum melarang partai dan calon legislator memasang iklan di media sampai tiga pekan menjelang hari pemungutan suara. “Waktunya sempit sekali untuk memperkenalkan diri secara langsung pada masyarakat,” katanya.
Karena itulah, kata Arya, kampanye Hanura banyak mengandalkan media massa. Siaran televisi diyakini mampu menyebarkan informasi secara cepat dan akurat, untuk audiens dalam jumlah yang amat besar. “Kami menyebutnya serangan udara,” katanya. Berita positif dan iklan yang terus menerus adalah “peluru-peluru” untuk memenangkan pertempuran di udara itu.
Tentu tak hanya Hanura dan Hary Tanoesoedibjo yang gencar melakukan ‘serangan udara’ di layar kaca. Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie juga beriklan di dua stasiun teve miliknya: tvOne dan ANTV. Kepada wartawan, Aburizal mengakui memasang iklan sebanyak-banyaknya adalah bagian dari strategi kampanyenya. ”Iklan itu saya bayar,” kata Aburizal, pada akhir November lalu. “Meskipun dapat diskon banyak juga,” ujarnya sambil tersenyum lebar.
Ketua Umum Partai NasDem, Surya Paloh, tak mau ketinggalan. Sebagai bos Media Grup yang terafiliasi dengan stasiun televisi Metro TV, wajah Surya kerap muncul di acara teve itu. Acara partai NasDem juga sering ditayangkan, lebih banyak dari pemberitaan mengenai partai lain.
Loyo Hadapi Jurus Iklan
Quote:
BERSAMAAN dengan meredupnya kelanjutan kasus rekaman rapat yang tersebar di YouTube, Hanura menemukan cara baru untuk melakukan ‘serangan udara’. Strategi anyar ini melibatkan acara berjudul ‘Kuis Kebangsaan’, yang ditayangkan setiap hari di RCTI.
Acara ini tanpa malu-malu mempromosikan Hanura dan pasangan calon presiden-wakil presiden mereka: Wiranto-Hary Tanoesoedibjo. Setiap kali ditayangkan, pembawa acara kuis ini meminta warga yang menelepon untuk berseru, “Bersih, Peduli, Tegas.”
Tiga kata itu adalah slogan kampanye “Win HT” --begitu pasangan Wiranto-Hary Tanoe menyebut diri mereka. Sekretaris Perusahaan MNC Group, Arya Sinulingga sendiri membantah kalau acara itu disebut kampanye. “Itu iklan kok. Silakan diperiksa,” katanya.

KPI Temukan Ratusan Iklan Politik Terselubung. Ilustrasi Majalah Tempo
Menghadapi model kampanye baru seperti ini, KPI tampak mati langkah. Agatha Lily, komisioner baru KPI yang bertanggungjawab mengawasi isi siaran, mengaku tak menemukan pelanggaran Undang-Undang Penyiaran maupun Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) di acara kuis itu. “Diubrek-ubrek juga enggak ketemu,” katanya.
Karena itulah, kata Agatha, KPI memilih untuk merampungkan aturan teknis baru sebagai senjata mereka. Rancangan peraturan KPI yang dinamakan “Pengaturan Pemanfaatan Lembaga Penyiaran Untuk Kepentingan Politik” ini mulai disosialisasikan pada November lalu. Sepekan kemudian, pada awal Desember, Komisi Informasi DPR menyatakan dukungannya atas rancangan peraturan tersebut.
Masalahnya, entah dengan pertimbangan apa, KPI juga menyodorkan rancangan aturan itu kepada industri penyiaran, yang kemudian menolaknya mentah-mentah. Walhasil, senjata baru KPI itu langsung loyo dan masuk kotak. Padahal ‘serangan udara’ dari berbagai partai kini makin kerap menyerbu layar kaca.
Kini, dua bulan menjelang pelaksanaan Pemilu 2014, KPI semakin tak berdaya menghadapi jurus baru lembaga penyiaran. Seperti pada Senin pekan pertama Januari 2014, upaya KPI memanggil MNC untuk mempersoalkan acara ‘Mewujudkan Mimpi Indonesia’ yang ditayangkan RCTI pada 21 Desember lalu berakhir tanpa hasil. MNC menunjukkan bukti kontrak dengan pihak ketiga bahwa siaran tersebut merupakan iklan. Namun, mereka menolak menyerahkan bukti-bukti tersebutkepada KPI. “Kami tidak bisa memaksa karena tak ada aturannya,” kata Lily.
Acara ini tanpa malu-malu mempromosikan Hanura dan pasangan calon presiden-wakil presiden mereka: Wiranto-Hary Tanoesoedibjo. Setiap kali ditayangkan, pembawa acara kuis ini meminta warga yang menelepon untuk berseru, “Bersih, Peduli, Tegas.”
Tiga kata itu adalah slogan kampanye “Win HT” --begitu pasangan Wiranto-Hary Tanoe menyebut diri mereka. Sekretaris Perusahaan MNC Group, Arya Sinulingga sendiri membantah kalau acara itu disebut kampanye. “Itu iklan kok. Silakan diperiksa,” katanya.

KPI Temukan Ratusan Iklan Politik Terselubung. Ilustrasi Majalah Tempo
Menghadapi model kampanye baru seperti ini, KPI tampak mati langkah. Agatha Lily, komisioner baru KPI yang bertanggungjawab mengawasi isi siaran, mengaku tak menemukan pelanggaran Undang-Undang Penyiaran maupun Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) di acara kuis itu. “Diubrek-ubrek juga enggak ketemu,” katanya.
Karena itulah, kata Agatha, KPI memilih untuk merampungkan aturan teknis baru sebagai senjata mereka. Rancangan peraturan KPI yang dinamakan “Pengaturan Pemanfaatan Lembaga Penyiaran Untuk Kepentingan Politik” ini mulai disosialisasikan pada November lalu. Sepekan kemudian, pada awal Desember, Komisi Informasi DPR menyatakan dukungannya atas rancangan peraturan tersebut.
Masalahnya, entah dengan pertimbangan apa, KPI juga menyodorkan rancangan aturan itu kepada industri penyiaran, yang kemudian menolaknya mentah-mentah. Walhasil, senjata baru KPI itu langsung loyo dan masuk kotak. Padahal ‘serangan udara’ dari berbagai partai kini makin kerap menyerbu layar kaca.
Kini, dua bulan menjelang pelaksanaan Pemilu 2014, KPI semakin tak berdaya menghadapi jurus baru lembaga penyiaran. Seperti pada Senin pekan pertama Januari 2014, upaya KPI memanggil MNC untuk mempersoalkan acara ‘Mewujudkan Mimpi Indonesia’ yang ditayangkan RCTI pada 21 Desember lalu berakhir tanpa hasil. MNC menunjukkan bukti kontrak dengan pihak ketiga bahwa siaran tersebut merupakan iklan. Namun, mereka menolak menyerahkan bukti-bukti tersebutkepada KPI. “Kami tidak bisa memaksa karena tak ada aturannya,” kata Lily.
Diubah oleh dsturridge15 27-12-2015 13:27
0
3.7K
Kutip
26
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan