SENANDUNG BIDADARI DI BULAN DESEMBER (BAGIAN 45)
Quote:
DISCLAIMER
Peristiwa ini yang tidak pernah Nadine ketahui sebelumnya, untuk Nadine, aku mohon maaf karena memang saat tanggal 21 Desember waktu itu tidak bisa datang untuk mengantarkan kamu nonton konser Jazz, ya sekali lagi aku minta maaf. Mungkin ini sedikit menyakitkan, sekali lagi aku mohon maaf.
Jujur, sejak saat itu memang aku lebih berat ke Elya dibandingkan sama kamu, dan sampai sekarang pun begitu, aku tahu kamu tahu itu Nad. Makasih buat semua kepercayaan kamu buat aku, apapun itu aku tetap sayang dan cinta sama kamu Nad.
Wajahnya berubah, air mata kembali mengalir di pipinya, aku hanya tersenyum saat ia memandangku dengan wajah yang tidak percaya. Sebuah Black Forest Cake berukuran 30 cm x 30 cm tersaji di sana lengkap dengan lilin angka 16 serta ada wording dari cokelat putih dengan tulisan HAPPY BIRTHDAY MY LOVELY ONE.
Quote:
“Selamat ulang tahun ke enam-belas yah sayang,” ujarku dan tersenyum kepadanya, aku menggenggam kedua tangannya kemudian, “semoga di umur dede yang berkurang satu ini, dede bisa menjadi manusia yang lebih baik lagi, makin sayang sama kakak, sama semua apa yang dede inginkan menjadi kenyataan,” ujarku pelan, ia tidak mengatakan apapun, hanya mendekapku dengan sangat erat.
“Makasih yah kak, makasih banget,” ujarnya di dekapanku, “selama enam-belas tahun umur dede, baru kali ini dede ngerasa amat bahagia,” ujarnya masih di dekapanku, “sama-sama sayang, semuanya kakak lakuin emang buat dede,” ujarku pelan, lalu perlahan kulepas dekapannya kepadaku.
Masih dengan lilin yang menyala, aku segera mengambil gitar yang berada di dekat lilin tersebut, kuminta ia untuk duduk di kursi di dekat meja yang tersaji cake tersebut, aku pun duduk dekat di seberangnya. Kumainkan gitar akustik itu dengan kemampuan bermain gitarku yang a la kadarnya di depan Cauthelia.
Quote:
Bon Jovi – Thank You for Loving Me
It's hard for me to say the things
I want to say sometimes
There's no one here but you and me
And that broken old street light
Lock the doors
We'll leave the world outside
All I've got to give to you
Are these five words tonight
Thank you for loving me
For being my eyes
When I couldn't see
For parting my lips
When I couldn't breathe
Thank you for loving me
Thank you for loving me
I never knew I had a dream
Until that dream was you
When I look into your eyes
The sky's a different blue
Cross my heart
I wear no disguise
If I tried, you'd make believe
That you believed my lies
Thank you for loving me
For being my eyes
When I couldn't see
For parting my lips
When I couldn't breathe
Thank you for loving me
You pick me up when I fall down
You ring the bell before they count me out
If I was drowning you would part the sea
And risk your own life to rescue me
Lock the doors
We'll leave the world outside
All I've got to give to you
Are these five words tonight
Thank you for loving me
For being my eyes
When I couldn't see
You parted my lips
When I couldn't breathe
Thank you for loving me
When I couldn't fly
Oh, you gave me wings
You parted my lips
When I couldn't breathe
Thank you for loving me
Sesaat setelah ia mendengarkan lagu itu, ia menutup sendiri mulutnya dengan kedua tangannya, air matanya kembali mengalir pelan di pipinya, aku hanya bisa tersenyum kepadanya yang saat itu mulai terharu. Mungkin ini agak berlebihan bagi remaja seusiaku, tetapi hatiku sudah benar-benar terpatri kepada gadis itu.
Kukeluarkan sesuatu dari saku celana pendekku, aku berlutut di depan gadis itu air matanya masih saja mengalir deras di pipinya, kuraih kedua lulut gadis itu dan sedikit kuremas untuk menenangkannya. Ia melihat benda yang kukeluarkan itu, sebuah kotak perhiasan kecil dari bahan beludru berwarna merah, kubuka kotak itu di depan gadis itu, ia lalu memandangku.
Quote:
“Dek, mungkin baru tiga bulan kakak kenal deket sama dede, mungkin juga ini terlalu cepet, tapi ini,” ujarku dan memberikan cincin Platinum itu untuknya, “sebuah komitmen dari hati kakak buat dede, sebuah penyerahan diri paling tinggi dari kakak,” ujarku lagi, “mulai sekarang, hari ini, besok, atau sampai kakak mati, mau kah dede jadi lebih dari sekedar teman buat kakak?” tanyaku kepada gadis itu.
“Kakak,” ujarnya manja masih dengan air mata yang mengalir deras, ia lalu mengenggam tanganku yang saat itu masih membuka kotak perhiasan kecil itu, “iya sayang,” ujarku pelan, “mau kah dede bahkan lebih dari sekedar pacar buat kakak?” tanyaku lagi, ia hanya mengangguk, “mau kah dede jadi Istri kakak kelak, ibu dari anak kita kelak, sahabat kakak, teman kakak, dan seluruh hidup kakak?” tanyaku lagi, “mau kak, mau banget,” ujarnya lalu makin menangis tersedu.
“Selama dede pake cincin ini, dede janji seluruh hati dede, semuanya hanya buat kakak,” ujar Cauthelia dengan masih menangis tersedu, “dede gak nyangka kakak akan nyatain hal itu di depan pantai ini,” ujar Cauthelia sambil sesekali menyeka air matanya, “dek, kakak mau mulai sekarang pikirin kebahagiaan dede sendiri, dan jangan pernah pergi dari kakak,” ujarku pelan, ia hanya mengangguk.
“Kalo suatu saat dede hilang, terus dede gak kembali, cuma satu pinta dede, tolong kakak bahagiain Kak Nadine,” ujar Cauthelia pelan, “adakah satu alasan kenapa harus Nadine?” tanyaku pelan, “ada darah dede dan kakak di sana,” ujar Cauthelia pelan, “darah dede?” tanyaku bingung, ia hanya mengangguk, “dede gak akan cerita banyak, tapi Kak Nadine pernah sakit, terus dede sumbangin darah dede dulu.
“Sekarang udah sembuh belum?” tanyaku pelan, “dede gak tahu kak, tapi Kak Nadine gak pernah tahu kalo dede yang nyumbangin itu semua buat Kak Nadine,” ujar Cauthelia pelan, “kakak janji gak akan kasih tahu hal itu sama Nadine,” ujarku pelan, aku tersenyum lalu kusematkan cincin itu di jari manis kiri gadis yang benar-benar kucintai itu.
“Dek, apapun yang kakak lakuin sama Shinta, Kak Teana, ato Nadine, semuanya gak akan bisa ngubah perasaan kakak ke dede,” ujarku pelan, “jangan pergi dari kakak, karena kakak tahu dede dilahirin buat kakak,” ujarku pelan, “dede tahu kenapa kakak milih kesini sama dede ketimbang sama Nadine?” tanyaku pelan, ia menggeleng.
“Karena keegoisan kakak memilih hati dede sebagai pendamping kakak,” ujarku pelan, “karena kakak lebih yakin sama dede ketimbang sama Nadine,” ujarku masih berlutut, sejurus aku menggenggam hangat tangannya yang saat itu sudah kusematkan cincin, “karena dede jauh lebih baik dari dia, dari segi apapun,” ujarku lagi.
“Kak, jangan bandingin dede sama Kak Nadine,” ujarnya pelan, aku lalu mengangguk, “bukan bandingin, tapi dalam hidup kita harus tentukan pilihan yang terbaik, dan itu ada di dede,” ujarku lalu tersenyum, “semuanya kak, semuanya,” ujar Cauthelia lalu memandangku, “apanya yang semuanya?” tanyaku sedikit bingung, “hati dede, tubuh dede, semuanya buat kakak,” ujarnya pelan.
“Mo shaol, mo ghrá, mo amach anseo, tá gach rud ar do shon,” ujarnya pelan, lagi-lagi dengan bahasa Eire, “seo go luath ar maidin, an dáta seo, ar a lá breithe déag ar mo, ba mhaith liom tú gach rud a chur ar dom,” ujarnya lalu membuka pakaian yang ia gunakan, “dede, lilinya belum ditiup,” ujarku pelan untuk menghindari kejadian buruk yang mungkin terjadi, tetapi gadis itu hanya menggeleng pelan.
“Dúirt mé a thabhairt duit, anois, amárach, nó roinnt blianta ina dhiaidh sin, tá sé fós mar an gcéanna,” ujar Cauthelia lalu menindih tubuhku, “anois nó amárach, beidh mé a thabhairt mo mhaighdean a thabhairt duit daor Tama, ní féidir liom cúram ar fad mar gheall orthu, ní féidir liom cúram faoi gach rud.”
“Dede, tunggu dulu, jangan dulu,” ujarku mulai menghindarinya, “buat laki-laki yang udah mencintai dede sebegini hebat, dede rasa ini pantes buat kakak,” ujar Cauthelia lalu mencium bibirku dengan hangat, “dhéanamh caidreamh collaí le liom, briseadh mo fhaighin le do bod chomh crua is a dhéanann tú sna aisling, a chur ar mo mhaighdean, a stór Tama.”
“Dede, sebentar,” ujarku pelan, ia lalu menciumku dengan sangat berhasrat, “Le do thoil, líonadh mo bhroinn le do seamhan te, más na rudaí is gá, le do thoil déan iompar clainne orm, mar sin mé a choinneáil ar mo chreideamh amháin a thabhairt duit.”
Tanpa menghiraukan apapun, ia menindih tubuhku, dengan sangat liar Labia orisnya bermain di Corpora cavernosaku, ia sengaja melakukan itu dengan cepat sehingga membuatku terlarut dalam birahi yang begitu membara, hingga beberapa kali ia sengaja tidak membiarkan protein itu keluar. Hingga saat mataku sudah gelap dengan birahi, ia arahkan Corpora cavernosaku di bawah Mons nya, ia berada di atas, dan Corpora cavernosaku siap memasukinya, luar biasa Cauthelia.
Esok hari tiba dengan cepat, aku menghela nafas saat kami berdua tertidur di atas matras ini, harum tubug Cauthelia sangat kental tercium menusuk hidungku, seakan menyadarkan seluruh tubuh ini akan apa yang terjadi semalam. Ia masih tertidur di atas tubuhku, ia jadikan dadaku sebagai bantal ternyaman, bahkan ia masih mendengkur halus, ya ia masih terlelap pada pagi hari ini.
Cake itu masih utuh di sana, kami sama sekali tidak menyentuhnya, bahkan lilinnya dibiarkan menyala hingga akhirnya mati sendiri karena sumbunya sudah habis. Apa yang kami sudah lakukan semalam? Hanya Event Horizon yang dilanjutkan dengan kegiatan yang ia inginkan di dalam mimpi itu. Rasanya benar-benar luar biasa, dan tanpa sadar aku mendekapnya sangat erat, hampir-hampir ia terbangun.
Delapan belas kali di event horizon ternyata tidak menurunkan hasrat Cauthelia sama sekali di alam itu, dua hari dua malam, kami lakukan kegiatan itu hingga kami tak tahan dengan rasa kantuk dan lapar yang mendera hingga kami tertidur dan terbangun di sini. Di sana entah berapa puluh kali impuls dia dapatkan, tetapi aku senang setidaknya tidak ada tragedi apapun yang terjadi.
Wangi laut di pagi ini, berpadu serasi dengan wangi pasir pantai yang menggoda raga ini untuk sekedar menyentuh airnya. Suara-suara alam di pagi ini berbaur dengan deburan ombak yang mengalun manja bak alunan musik klasik yang amat sangat indah. Aku benar-benar tersihir dengan apa yang kurasakan saat ini, ingin rasanya tubuh ini beranjak tetapi tidak mungkin.
Cincin itu masih tersemat indah di jari manisnya, aku menggenggam jemari kiri gadis itu, seketika ia juga membuka matanya coklatnya yang masih sayu, bibirnya yang merah muda tanpa pemoles itu tersenyum manja kepadaku, saat itu kubelai pelan rambutnya yang masih saja halus meskipun semalaman kami berkeringat, ia lalu mendekapku dengan sangat hangat.
Quote:
“Makasih yah kak,” ujar Cauthelia manja, “makasih buat semuanya, kejutannya, cincinnya, impulsnya,” ujar gadis itu lalu mendekapku makin erat, “sama-sama sayang, kakak yang bahagia banget dede mau nerima kakak,” ujarku pelan, ia lalu memandangku, matanya masih sayu, tetapi pandangannya masih tetap sama, manja dan penuh cinta.
“Apa alasan dede nolak kakak coba?” tanya gadis itu pelan, ia menyentuh manja hidungku, “kakak kan jelek, item, enggak banget dek,” ujarku pelan, ia lalu tersenyum, “kakak item itu kebanyakan maen di luar, noh badannya putih dari lengan sampe paha,” ujarnya lalu tertawa kecil, “kakak itu tulus, cerdas, berkarisma, apa lagi emang yang dicari?” tanyanya pelan, “kebahagiaan kan bukan dari fisik sayang,” ujarnya lalu menggenggam erat tanganku.
“Iya sih, cuma kan yang lebih ganteng banyak,” ujarku pelan, “emang sih yang ganteng, putih, atletis banyak,” ujar Cauthelia pelan, “tapi yang tulus, yang mikirin kebahagiaan dede, yang gak egois, dede rasa jarang,” ujarnya pelan, “kayaknya cuma kakak yang bisa nolak semalem, dan masih di Event Horizon,” ujarnya pelan, “kalo cowok lain dede yakin pasti mau,” ujarnya lagi.
“Kakak masih mikirin dede, kalau-kalau dede gak nikah sama kakak,” ujarku pelan, “dede gak peduli kok kak, kalopun misalnya dede gak nikah sama kakak, terus dede gak perawan gara-gara kakak,” ujarnya pelan, “setidaknya laki-laki terhebat pernah ada di sini,” ujarnya pelan, ia lalu tersenyum, wajahnya sangat merah saat ini.
“Emangnya dede gak ngerasa dilecehin sama kakak?” tanyaku pelan, detak jantungku langsung berdetak sangat kencang saat itu, “sama sekali enggak, justru dede bahagia kakak lakuin itu semua,” ujarnya pelan, “kakak tahu, buat dede, kakak itu segala yang terbaik dan terindah buat dede, gak akan ada gantinya buat dede, sampai kapanpun itu,” ujarnya pelan.
“Makasih yah sayang,” ujarku dan tersenyum kepadanya, “sekali lagi yah kak,” ujar gadis itu lalu ia menurunkan kepalanya, “dek, ini masih pagi sayang,” ujarku lalu menahan tubuhnya, ia tetap memaksa, “ini kan ulang tahun dede, terserah dede lah,” ujarnya lalu menjulurkan lidahnya dengan sangat menggoda, “lagian dede suka rasanya protein itu.”
Dua jam kemudian, setelah kegiatan yang menyita peluh itu berlangsung, kami memutuskan untuk segera naik ke kamar kami tentu saja dengan membawa Cake Black Forest yang sudah semalaman dibiarkan di sana. Lapar, ya aku sangat lapar begitu juga dengan Cauthelia, berulang kali kudengar perutnya keroncongan menahan lapar.
Shinta menyambut kami dengan sedikit terkejut, sama terkejutnya mungkin seperti beberapa orang yang melihat kami sepanjang perjalanan menuju kamar ini, rambut Cauthelia sedikit acak-acakan, sisa protein masih menempel jelas beberapa di rambutnya, tetapi Shinta malah tertawa kecil dan makin menjadi meledeki kami.
Setelah mandi, kami pun memutuskan untuk memakan Black Forest yang kubeli di resort tersebut, cukup enak memang, tentu saja cake cokelatnya dilengkapi dengan Rum yang memiliki rasa yang khas. Setelah kami memakan beberapa potong dengan lahap dan meletakkanya di kulkas, kami langsung menuju ke restoran tempat kami mendapatkan sarapan prasmanan.
Cukup ramai, mengingat ini akhir tahun, maka tempat wisata seperti ini pasti dibanjiri oleh pengunjung, baik asing ataupun dalam negeri. Aku meminta kedua gadis itu menunggu di sana, aku tahu makanan favorit mereka masing-masing, tentu saja aku bolak balik untuk mengisi piring dengan makanan kesuakaan mereka.
Cauthelia menyukai Nasi Goreng dengan Sosis Sapi dan dua butir telur mata sapi matang, sementara Shinta menyukai Nasi Putih dengan Fillet Ayam Goreng dan juga beberapa jenis tumisan yang disajikan. Sebagai tambahan aku juga mengambilkan Waffle dengan Hersey’s, Almond, Cokelat parut, dan sedikit Maple Syrup.
Quote:
“Kak Tata, sosisnya kecil yah,” ujar Cauthelia sambil menusukkan garpu ke sosis sapi itu lalu menunjukannya ke Shinta, “eh iya diliat-liat, sosis itu ternyata kecil ya,” ujar Shinta lalu matanya menuju ke salah satu bagian di tubuhku, semntara Cauthelia memilih mengulum sosis itu lalu memandangku, “ini cuma setengahnya,” ujar Cauthelia dan kedua gadis itu tertawa kecil.
Apa-apaan mereka membicarakan hal seperti itu di depan umum, sudahlah, ujarku dalam hati. Akhirnya dengan ditemani dengan Jus Strawberry untuk Cauthelia dan juga Jus Sirsak untuk Shinta kami memakan sarapan ini. Suasana mendadak berubah saat seseorang menepuk pundakku, deg, detak jantungku berdetak sangat cepat, dan saat kumenoleh ke belakang, jantungku tiba-tiba copot seketika, tidak mungkin.