Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

widya poetraAvatar border
TS
widya poetra
ISIS, Paris, dan Indonesia
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ikhwanul Kiram Mashuri

Bisa dipastikan mayoritas umat Islam mengecam terorisme di Paris atau tempat lainnya. Mereka juga menolak ideologi, cara berpikir, dan tindakan yang menyimpang dari kelompok-kelompok radikal itu. Sayangnya, mereka hanyalah suara diam (silent majority). Dan, sikap (baca: penolakan) diam ini tentu tidak cukup untuk mempersempit aksi para radikalis dan teroris.

Silent majority umat Islam ini telah membuat suara kelompok-kelompok radikal yang sebenarnya kecil menjadi nyaring. Mereka berhasil memengaruhi opini masyarakat internasional. Seolah, apa yang mereka lakukan dan suarakan adalah kebenaran Islam dan umat Islam. Padahal, tindakan mereka justru merusak dan memperburuk citra agama yang merahmati seluruh bumi dan langit ini.

Karena itu, suara umat Islam yang moderat (tawasshut), toleran, dan ramah ini harus diteriakkan dengan kencang. Dunia harus tahu sikap dan tindakan kelompok-kelompok teroris tidak mewakili Islam dan umat Islam. Dan, lebih penting dari itu, kelompok-kelompok radikal dan teroris itu sendiri supaya ngeh bahwa mayoritas umat Islam menolak keberadaan mereka. Bahwa mereka tidak mewakili agama Islam yang sangat mulia ini. Mereka tidak mewakili suara mayoritas umat Islam dunia yang berjumlah satu setengah miliar ini.

Dalam kasus serangan teroris terhadap Paris, sejumlah pemimpin dan kepala negara-negara Islam (mayoritas berpenduduk Muslim) memang telah mengecam tindakan biadab yang menewaskan 129 orang itu. Namun, sekali lagi, suara mereka seolah ditelan bumi. Suara mereka belum cukup untuk mewakili mayoritas umat Islam yang diam ini. Suara mereka belum cukup untuk memahamkan kepada kelompok-kelompok radikal itu bahwa umat Islam menolak ajaran menyimpang dan tindakan orang-orang yang sakit jiwa itu.

Lihatlah, di negara-negara Eropa kini, sikap anti-Islam dan orang Islam meningkat tajam. Setiap orang Islam dicurigai. Mereka melihat Islam sebagai agama yang mengajarkan kekerasan dan terorisme. Meskipun ada pihak-pihak yang empati terhadap Islam dan umat Islam, Islamofobia langsung meningkat setiap terjadi serangan terorisme. Mereka pun memakai istilah ‘terorisme Islam’, ‘teroris beragama Islam’, ‘militansi Islam’, ‘radikalisme Islam’, dan seterusnya.

Pemakaian istilah-istilah itu tentu tidak bisa disalahkan lantaran pelakunya memang mengatasnamakan sebagai kelompok Islam. Seperti yang terjadi pada serangan terhadap Paris, pelakunya adalah kelompok yang mengaku sebagai ISIS (Islamic State of Iraq and Syria) alias Negara Islam.

Karena itu, tidak ada cara lain kecuali mayoritas umat Islam harus bersuara, seperti halnya ketika terjadi serangan teroris terhadap para turis asing/Barat di Tunis, Tunisia, beberapa waktu lalu. Saat itu, puluhan ribu orang langsung melakukan aksi unjuk rasa, menyalakan lilin, dan meletakkan karangan bunga di tempat kejadian. Mereka juga berkumpul di depan kedutaan besar negara-negara yang warganya menjadi korban aksi teror itu sebagai bentuk solidaritas terhadap para korban.

Aksi demo menyalakan lilin, meletakkan karangan bunga, dan unjuk rasa solidaritas adalah bukti nyata bahwa masyarakat menolak kejahatan para teroris. Mereka juga marah terhadap tindakan-tindakan kelompok radikal dan teroris yang mengatasnamakan Islam dan umat Islam.

Pemandangan seperti itu semestinya dilakukan seluruh umat Islam setiap kali terjadi serangan teroris, termasuk umat Islam Indonesia. Apalagi, Indonesia merupakan negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia. Sikap umat Islam Indonesia yang moderat, toleran, menghargai perbedaan, serta ramah dan menolak radikalisme-terorisme, seharusnya diperlihatkan kepada dunia.

Faktanya, kita tidak melakukan apa-apa ketika terjadi ledakan bom pesawat Rusia di Sinai, Mesir, yang menewaskan 224 penumpang. Kita juga tidak melakukan apa-apa saat berlangsung serangan di Paris yang merenggut nyawa 129 orang. Kita seolah-olah tidak peduli dan hanya menjadi penonton kebiadaban sekelompok orang yang mengaku tindakan mereka untuk membela Islam dan umat Islam.

Bisa saja kita mengatakan sudah banyak yang dilakukan Indonesia dalam melawan radikalisme dan terorisme. Kita mempunyai BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme), Densus 88, dan aparat keamanan kita sangat tanggap untuk mencegah berkembangnya ISIS, Alqaida, dan kelompok-kelompok radikal lainnya. Para petinggi negeri juga sudah sering mengecam tindakan para teroris, pun para tokoh agama. Namun, semua itu belum cukup kalau kita betul-betul mau mempersempit gerak, bahkan menghilangkan sama sekali munculnya kelompok-kelompok teroris.

Kondisinya akan sangat berbeda apabila mayoritas diam ini berteriak keras. Kondisinya akan berbeda bila mayoritas umat Islam keluar ke jalan-jalan meneriakkan penolakan terhadap radikalime-terorisme ini. Kondisinya akan berbeda bila kita mau berunjuk rasa damai untuk menunjukkan solidaritas kepada para keluarga korban dari tindakan para teroris ini. Sayangnya, sekali lagi, semua itu tidak kita lakukan.

Sikap diam umat Islam ini seolah mempersilakan kelompok-kelompok beridelogi radikal untuk menggunakan ruang-ruang kosong. Bisa berupa mimbar masjid, media internet, terutama media sosial, untuk menyiarkan dan mempromosikan ajaran sesat mereka. Sikap diam itu juga telah dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok radikalis/teroris untuk mengampanyekan bahwa yang mereka lakukan adalah atas nama Islam dan umat Islam.

Sungguh sangat memprihatinkan setiap kali ISIS merilis video mereka di internet, tidak lama kemudian keluar terjemahannya dalam bahasa Indonesia. Bahkan, komentar-komentar di media online yang mendukung tindakan terorisme ketika berlangsung serangan bom di berbagai tempat. Termasuk, ketika terjadi serangan di Paris beberapa hari lalu. Dukungan itu lengkap dengan alasan-alasan yang dikutip dari Alquran dan hadis.

Gambaran atau kondisi ini--bahwa kita serius melawan kelompok-kelompok radikal dan teroris--tidak akan berubah hanya dengan pernyataan resmi para petinggi negara, para pemimpin agama, dan tindakan preventif aparat keamanan. Yang diperlukan adalah mayoritas umat Islam harus keluar dari diamnya. Mereka harus keluar ke jalan-jalan setiap kali terjadi aksi terorisme di manapun, melakukan aksi-aksi unjuk rasa secara damai.

Mereka harus meneriakkan ajaran Islam yang benar. Mereka harus meneriakkan penolakan terhadap idelologi atau ajaran yang dianut para teroris yang mengatasnamakan Islam dan umat Islam. Mereka harus meneriakkan bahwa Islam tidak ada hubungannya dengan tindakan para teroris meskipun mengatasnamakan Islam dan membela kepentingan umat Islam.

Yang harus dipahami, tindakan para teroris yang mengatasnamakan kepentingan Islam dan umat Islam adalah justru merugikan umat Islam sendiri. Tidak semustinya mayoritas umat Islam hanya diam. Suara mereka harus terdengar nyaring.

Yang menjadi persoalan, suara kita baru nyaring apabila ada pihak kafir (baca: non-Muslim) menghina Islam, merobek atau membakar Alquran, melecehkan dan merendahkan Nabi Muhammad SAW. Semua ini tentu keharusan. Namun, yang tidak kalah pentingnya tindakan para teroris yang mengatansamakan kepentingan Islam dan umat Islam juga harus kita lawan. Perlawanan dengan suara nyaring. Tidak dengan diam seperti selama ini.



- - - - - -

Ternyata repvblika mau juga ngasih tulisan begitu. emoticon-Belo

Ane kurang lebih sependapat

sejauh pengamatan ane
bukannya menyimpulkan dan mengutuk aksi terorisme itu bertentangan dengan ajaran agama Islam dan wajib diberantas,
medsoser2 Indonesia yang ane amati justru malah lebih mempersoalkan kenapa FB "cuman" ngurusin Perancis dst...dst..., kenapa dunia baru heboh pas Perancis, dst...dst.. (padahal medsoser2 itu juga rata-rata diem aja pas ISIS bunuh2 muslim emoticon-Hammer)
0
1.3K
6
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan