SENANDUNG BIDADARI DI BULAN DESEMBER (BAGIAN 42)
Quote:
“Gak Shin,” ujarku lalu menahan pundaknya, “hari ini aku udah cukup sama Elya,” ujarku pelan, ia hanya memandangku dengan tatapan penuh kesedihan, “kasih aku satu alasan,” pinta Shinta dengan wajah yang masih merah, dimana Mammanya menempel ketat di dadaku, aku menggeleng pelan, “gak ada alasan Shin, aku cuma mau setia sama Elya, itu aja.”
“Aku juga sayang sama kamu Tam,” ujar Shinta pelan, “apa iya kamu lupa sama semua yang pernah terjadi sama kita?” tanya Shinta lagi dengan wajah yang sangat merah, aku menggeleng, “I always remember all precious moment in my mind,” ujarku pelan, “and all the memories of you is precious,” ujarku lalu tersenyum kepadanya.
“Please, izinin aku bahagiain kamu Tam,” pinta Shinta, aku lalu menggeleng, “gak dengan cara ini Shin,” ujarku lalu mencoba menahan lebih jauh pundaknya, “sekali lagi Tam,” pinta gadis itu, dan aku tetap menggeleng, “aku selalu ingat apapun itu, tapi aku gak mau ikutin apa yang kamu mau.”
Quote:
Januari 2005, ini adalah hari terakhirku dirawat di rumah sakit, ujian sekolah juga sudah usai minggu kemarin, Nadine masih sangat setia menemaniku di rumah sakit hingga hari ini. Ia masih saja menyuapiku siang ini, ya Nadine, gadis yang sangat berbeda saat ini, ia menjadi sangat perhatian dan juga ramah kepadaku.
Quote:
“Tam, loe udah enakan?” tanya Nadine sambil menggenggam ringan tanganku, aku mengangguk pelan, “udah gak sakit lagi sekarang,” ujarku pelan, “gue mau jadi dokter aja Tam, jadi bisa ngerawat loe setiap saat,” ujar Nadine sambil tertawa kecil, “berarti loe jadi dokter pribadi gue dong Nad,” ujarku lalu tersenyum kepadanya, ia mengangguk hingga kacamata full frame nya turun.
“Makasih yah Nad udah jagain gue dua minggu ini,” ujarku lalu membenahi kacamatanya, saat itu wajahnya memerah, “gue seneng ngeliat loe ceria lagi Tam, jadi loe bisa deh ngejar Aerish di kelas sebelah,” ujar Nadine sambil menepuk-nepuk ringan pundakku, “loe emang temen gue yang paling mengerti gue,” ujarku, sementara Nadine hanya memandangku dengan wajah memerah.
Saat itu suster dan dokter datang untuk visit terakhir dan melepas infus serta gelang pasien di tangan kiriku, aku berjalan bersama Nadine menuju ke ruang lab untuk mengambil hasil lab tadi pagi, di sana kulihat ada Shinta yang saat itu tengah mengobrol bersama seorang gadis, ia melambaikan tangan kepada kami dan serta merta menghampiri kami.
Quote:
“Tam,” panggil Shinta saat ia berjalan menuju ke arah kami sambil tersenyum, “loe lagi ngapain ke sini?” tanyaku sambil memandangnya penasaran, ia lalu berdiri di depanku, “nganterin adek sepupu gw cek lab tadi,” ujarnya lalu menoleh ke arah tempat ia tadi berada, “oh cewek itu adek sepupu loe?” tanyaku sedikit penasaran, ia lalu mengangguk, “emang loe kenal Tam?” tanya Nadine penasaran, aku menggeleng.
“Gue Cuma ketemu beberapa kali aja di lab,” ujarku pelan, “cakep ya Tam, kayak gue,” ujar Shinta memuji dirinya sendiri, “ye, cakepan adek sepupu loe kali,” ujarku membantah perkataannya, seketika tawa pecah di antara mereka berdua, “cie, Tama tahu aja cewek cakep, kirain Cuma Aerish doang yang cakep,” ujar Nadine meledekku.
“Cakep sih iya, cuma kalo hati sih tetep ke Aerish,” ujarku sambil memandang ke arah mereka berdua, “iya deh tahu yang cuma buat Aerish,” ujar Nadine meledekku dengan menekankan kata Aerish, “ehm, Nadine cemburu ya,” ujar Shinta meledeknya, “cemburu sama cowok item gitu, no way,” ujar Nadine dengan wajah yang memerah.
“Jadi gitu Nad,” ujarku malah ingin meledeknya lebih, “gue sama Shinta aja deh,” ujarku lalu menggenggam tangan Shinta, “Tama ah,” ujar Nadine, wajahnya memerah saat itu, “Nadine aneh nih,” ujar Shinta lalu tertawa kecil, “biar gimana juga loe berdua itu sahabat terbaik buat gue,” ujarku lalu merangkul kedua gadis itu.
“Terus, jadi mau kenalan sama adek sepupu gue?” tanya Shinta, sekilas aku memandang ke arah gadis itu duduk, aku lalu memandang Shinta, aku lalu menggeleng, “gue milih setia sama Aerish, gue gak mau mikir buat duain perasaan gue,” ujarku pelan, “aelah gaya bener loe Tam,” ujar Nadine lalu kedua gadis ini tertawa kecil.
Setelah obrolan singkat itu, aku pun segera menuju ke lobi rumah sakit untuk pulang bersama Nadine dengan menaiki taksi menuju ke rumahku. Tidak butuh waktu lama, akhirnya aku tiba di rumahku yang saat ini masih sepi, ya lagi-lagi masih sepi karena kedua orang tuaku masih mengurus pindahtangan lahan di Sumatera dalam dua minggu ini, hanya Nadine yang menemaniku hingga ke kamarku saat ini.
Quote:
“Tam, selama loe ikutin ujian susulan, gue ajarin loe ya, mau kan?” tanya Nadine saat itu ia duduk di sebelahku dengan wajah yang merah, aku mengangguk pelan, ‘”makasih yah Nad, loe udsh jagain gue, sekarang loe mau ngajarin gue,” ujarku pelan, “ada alasan loe lakuin itu?” tanyaku pelan, ia tersenyum, “gak ada alasan, cuma karena gue sayang sama loe Tam, itu kok.”
Nadine, ya aku tiba-tiba ingat dengan sosok gadis bertubuh mungil dengan kacamata full frame itu yang saat ini sedang berada di Malang. Shinta masih memandangku dengan penuh heran, sementara aku hanya tersenyum dan memilih berjalan menuju laut, mencoba melihat senja yang sudah mulai menjingga dan melukis horizon dengan begitu indah.
Setelah betisku sudah berada di dalam laut, suara langkah kaki mungil terdengar mengikutiku dari belakang, tangan halus gadis itu meraih jemariku dan menggenggam ruas-ruas tanganku dengan sangat lembut. Deru nafasnya yang cepat ganas menampar tengkukku dengan tiap helaan yang begitu menggodaku, semakin lama, semakin cepat dan kurasakan ia sudah berada di belakangku.
Angin berhembus lembut menerbangkan rambut panjang Shinta yang wanginya menusuk ke hidungku, begitu khas sehingga semua kenangan tentangnya jelas terlihat di pikiranku. Seketika angin itu juga menerbangkan segala yang kuingat tentang Nadine yang saat ini berada jauh di sana. Kurasakan, hidupku sangatlah kurang tanpa kehadirannya dalam dua hari ini, gadis mungil itu benar-benar memberikanku kesan yang amat sangat dalam hingga kini.
Angin, terbangkanlah segala anganku, sampaikanlah rada rindu yang mulai tumbuh untuk gadis itu, ucapkan segala kata hati dariku untuknya. Pertemukan segala asa yang tercipta agar ia tahu bahwa aku di sini sangat merindukannya, aku membutuhkannya untuk hadir, temani hatiku yang saat ini rindu akan belaian manja rasanya.
Ah Nadine, mengapa kepalaku tiba-tiba terisi semua kenangan tentang gadis itu, aku benar-benar merasa bersalah sudah berjanji kepadanya untuk menemaninya menonton konser Jazz tanggal 21 besok. Tetapi aku malah di sini, di pantai ini bersama dua orang gadis yang juga sangat berarti untukku, andai Nadine bisa ikut kemari, maka perasaanku tidak akan segundah ini saat ini.
Aku tersadar saat Papilla mammaria milik Shinta lembut menyentuh punggunggku, tangannya lembut menyentuh tiap centimeter tubuhku, bahkan Labia orisnya menjangkau tengkukku, usapannya perlahan sontak membangkitkan segala hasrat yang masih terpendam sejak tadi, bahkan semuanya berakhir dengan sentuhan Phalanxya, menggenggam lembut Corpora cavernosaku.
Quote:
“Tam, mungkin ada hal yang gak kamu tahu tentang aku,” ujar Shinta, ia masih melakukan usapan itu di sana, “aku gak akan tahu semuanya Shin, tapi yang aku tahu kamu itu sahabat aku,” ujarku pelan, “kenapa kamu gak pernah bisa setidaknya suka sama aku?” tanya Shinta pelan, saat itu ia melepas satu-satunya apa yang kukenakan saat ini.
“Tam, kamu tahu gak kalo aku sayang sama kamu lebih dari sahabat?” tanya Shinta pelan, lalu ia melakukan gerakan rekursif itu, “aku gak pernah tahu Shin,” ujarku lalu menahan tangannya yang bergerak nakal di sana, “apa yang kamu dapet dari ngelakuin hal ini?” tanyaku masih menahan tangannya yang saat ini menggenggam ujung saraf parasimpatikku yang berdenyut mengikuti irama sistem cardiovascular.
“Pertanyaan yang sama, apa yang kamu dapet pas kamu lakuin hal itu buat aku?” tanya Shinta balik, “kenapa kamu dari dulu rela buat lakuin hal yang gak menguntungkan buat kamu?” tanya Shinta lagi pelan di telingaku, aku lalu menghela nafas panjang, aku terdiam sambil memandang langit senja yang benar-benar meluksikan betapa indahnya sore di sini.
“Aku lakuin itu semua biar kamu bahagia, biar bisa lindungin kamu, yang pasti itu adalah cara yang diajarin Ayah untuk menghargai wanita,” ujarku pelan, lalu jemari Shinta lainnya meraih Cremasterku, sentuhan dan remasan lembut terjadi di sana, sejalan tangan lainnya juga meremas pelan Corpora cavernosaku, “aku ngelakuin ini semua karena aku juga mau kamu bahagia.”
“Hal ini cuma bikin kesenangan sesaat dan akan memperparah keadaan aku Shin,” ujarku pelan, “makin hari aku makin butuh diginiin, dan aku tahu itu salah,” ujarku lalu menghela nafas, “gak salah saat kalo aku sukarela lakuin ini Tam,” ujarnya pelan, ia lalu menghentikan kedua tangannya, ia meraih tangan kananku dan menggenggamnya, lalu ia arahkan ke ujung saraf parasimpatiknya, sudah basah.
“Aku nyaman dan ikhlas lakuin ini kok Tam, bukan karena aku mau balas budi, tapi murni karena aku sayang sama kamu,” ujar Shinta saat jemariku dengan jelas menyentuh belahan Labia di sana, “Shin, kenapa sama kamu?” tanyaku keheranan, “kenapa kamu tiba-tiba lakuin hal bodoh gini sih Shin?” tanyaku agak tinggi, saat kuberusaha melepaskan tangannya ia malah makin menekan jemariku lebih dalam.
“Gak ada hal yang lebih membahagiakanku daripada deket sama kamu Tam, hal itu sangat bikin aku bahagia,” ujarnya pelan, “Tam, kamu gak perlu sayang atau cinta sama aku, kamu cukup ada aja di hatiku, dan aku akan selalu ada buat kamu,” ujarnya dan bodohnya aku malah tepacu untuk mengusap jemariku di sana, “Tama,” ujarnya mendesah di telingaku, lalu aku berhenti melakukan itu.
“Kamu sahabat terbaik aku, dan aku gak bisa lakuin hal ini, aku bener-bener ngelecehin kamu Shin,” ujarku setelah helaan nafas panjang barusan, “kamu gak ngelecehin aku, justru aku ngerasa bahagia Tam,” ujarnya pelan, “aneh Shin, dimana-mana wanita maunya dinikahi dulu baru disentuh,” ujarku pelan, “karena aku gak akan mampu menang lawan Elya, dia terlalu sempurna buat aku lawan,” ujar Shinta pelan.
“Cinta itu membahagiakan orang yang kita cinta kan Tam?” tanyanya sambil melakukan lagi apa yang ia lakukan tadi, aku hanya diam saat jemari lembutnya menyentuh ujung saraf itu, “udah Shin, gak ada untungnya kamu lakuin ini,” ujarku pelan, “kamu sayang kan sama aku, kalau kamu gak sayang pasti aku udah kamu tampar daritadi.”
“Iya Shin, aku sayang sama kamu, tapi gak dengan gini,” ujarku pelan, “kamu tahu, kamu adalah laki-laki terindah yang pernah dateng dalam hidup aku,” ujar Shinta pelan, ia lalu berjalan ke depanku, ia berlutut saat ombak perlahan menyapu kulit-kulit kami, “ngeliat wajah Tama merah pas protein itu keluar adalah kebahagiaan buat aku Tam,” ujar Shinta, perlahan ia gunakan Mammanya untuk memberikan impuls kepada otakku.
“Shin, berhenti,” pintaku sambil menahan kepalanya, “gak ada yang bisa hentiin aku Tam, aku juga mau bisa berguna buat kamu, gak cuma nyusahin kamu terus,” ujar Shinta dan melakukan gerakan rekursif itu dengan cepat, “Shinta stop!” bentakku kepadanya, “kalau kamu aja bisa sama Bu Teana kenapa sama aku enggak?” ujarnya dan Labia orisnya makin membuatku melayang oleh impuls ini.