- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
[No Sara] Pancasila di Mata Seorang Gadis Tionghoa


TS
iogia
[No Sara] Pancasila di Mata Seorang Gadis Tionghoa
Ini bukan tulisan TS. Ini adalah cerita tentang gadis warga negara RI keturunan Tionghoa yang ingin menjadi Indonesia seutuhnya. Simak cerita Lamia Putri D, seorang mahasiswi jurusan komunikasi di kampus negeri tertua sekabupaten Sleman Yogyakarta.
Audrey Yu Jia Huiadalah salah satu dari sekian banyak orang keturunan Tionghoa yang sangat cinta dengan Indonesia. Ia menulis sebuah surat cinta dalam bukunya Mencari Sila Kelima.
Spoiler for Perlakuan Diskriminasi:
Selama ini, WNI keturunan tionghoa memiliki bahwa mereka bersikap tidak acuh dengan kondisi bangsa ini. Menanggapi sikap tidak acuh tersebut kita tidak boleh lantas menyalahkan mereka. Sebab, sebagian ketidakacuhan itu sendiri disebabkan oleh bangsa kita sendiri. Berbagai diskriminasi dilimpahkan kepada mereka karena mereka adalah keturunan tionghoa. Entah apa yang menjadi dasar bagi negara ini, namun pada saat Soeharto menjabat sebagai presiden, seluruh WNI keturunan Tionghoa dilarang menggunakan nama Cina mereka
Identitas mereka sebagai warga keturunan Tionghoa dicerabut dan dipaksa menjadi Indonesianis dengan simbol-simbol “nama asli” Indonesia. Hal tersebut termaktub dalam Pasal 5 Keputusan Presiden No. 240 Tahun 1967 tentang Kebijaksanaan Jang Menjangkut Warga Negara Indonesia Keturunan Asing (“Keppres 240/1967”) yang menyebutkan:
“Khusus terhadap warga negara Indonesia keturunan asing jang masih memakai nama Cina diandjurkan mengganti nama-namanja dengan nama Indonesia sesuai dengan ketentuan jang berlaku.”
Keluarnya peraturan tersebut kemudian menyebabkan berbondong-bondongnya WNI Tionghoa untuk mengurus nama mereka yang sebelumnya “Liem Yo Giek” menjadi “Budiono”. Perlu kita ketahui pula bahwa klausul peraturan diatas menggunakan kata “dianjurkan”. Kita tahu bahwa anjuran berbeda dengan kewajiban. Namun, implementasi dari peraturan tersebut menjadi sebuah “pelarangan menggunakan nama Cina”. Kini, tak satupun kita dapati WNI Tionghoa yang masih menggunakan nama Cina-nya.
Padahal, jika kita berbicara mengenai konteks “keterasingan”, nama-nama “Abdul”, “Ahmad” dan “Aisyah” adalah nama-nama Arab. Tetapi tidak ada pelarangan terhadap nama-nama tersebut. Nama-nama lain seperti Robert, Alexander, dan sebagainya yang merujuk pada nama-nama “khas” Eropa juga tidak dianjurkan untuk berganti nama. Sebuah film pendek berjudul “Sugiharti Halim” yang dibesut oleh Ariani Darmawan mengisahkan bagaimana nama menjadi sesuatu hal yang sangat penting karena menunjukkan identitas. Kita tahu bahwa dalam hidup ini, identitas adalah ihwal penting.
Dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara, kita seringkali membangun sekat yang tebal dengan WNI keturunan Tionghoa. WNI keturunan Tionghoa seolah-olah dipisahkan dari identitas mereka terhadap Indonesia. Mereka dipaksa menggunakan “nama Indonesia” tetapi keberadaannya tidak mendapat perhatian. WNI Tionghoa pun (secara stereotipe) menjadi elitis, membentuk komunal dan lingkaran relasi mereka sendiri. Mereka tidak berbaur dengan masyarakat lain dan berkelompok dengan diri mereka sendiri.
Identitas mereka sebagai warga keturunan Tionghoa dicerabut dan dipaksa menjadi Indonesianis dengan simbol-simbol “nama asli” Indonesia. Hal tersebut termaktub dalam Pasal 5 Keputusan Presiden No. 240 Tahun 1967 tentang Kebijaksanaan Jang Menjangkut Warga Negara Indonesia Keturunan Asing (“Keppres 240/1967”) yang menyebutkan:
“Khusus terhadap warga negara Indonesia keturunan asing jang masih memakai nama Cina diandjurkan mengganti nama-namanja dengan nama Indonesia sesuai dengan ketentuan jang berlaku.”
Keluarnya peraturan tersebut kemudian menyebabkan berbondong-bondongnya WNI Tionghoa untuk mengurus nama mereka yang sebelumnya “Liem Yo Giek” menjadi “Budiono”. Perlu kita ketahui pula bahwa klausul peraturan diatas menggunakan kata “dianjurkan”. Kita tahu bahwa anjuran berbeda dengan kewajiban. Namun, implementasi dari peraturan tersebut menjadi sebuah “pelarangan menggunakan nama Cina”. Kini, tak satupun kita dapati WNI Tionghoa yang masih menggunakan nama Cina-nya.
Padahal, jika kita berbicara mengenai konteks “keterasingan”, nama-nama “Abdul”, “Ahmad” dan “Aisyah” adalah nama-nama Arab. Tetapi tidak ada pelarangan terhadap nama-nama tersebut. Nama-nama lain seperti Robert, Alexander, dan sebagainya yang merujuk pada nama-nama “khas” Eropa juga tidak dianjurkan untuk berganti nama. Sebuah film pendek berjudul “Sugiharti Halim” yang dibesut oleh Ariani Darmawan mengisahkan bagaimana nama menjadi sesuatu hal yang sangat penting karena menunjukkan identitas. Kita tahu bahwa dalam hidup ini, identitas adalah ihwal penting.
Dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara, kita seringkali membangun sekat yang tebal dengan WNI keturunan Tionghoa. WNI keturunan Tionghoa seolah-olah dipisahkan dari identitas mereka terhadap Indonesia. Mereka dipaksa menggunakan “nama Indonesia” tetapi keberadaannya tidak mendapat perhatian. WNI Tionghoa pun (secara stereotipe) menjadi elitis, membentuk komunal dan lingkaran relasi mereka sendiri. Mereka tidak berbaur dengan masyarakat lain dan berkelompok dengan diri mereka sendiri.
Spoiler for Pendapat Audrey:
Audrey adalah WNI Tionghoa yang begitu mencintai Pancasila, konsep dasar negara Indonesia. Menurut Audrey, kelima butir Pancasila memiliki makna yang dalam dan sebetulnya mampu membangun rasa persatuan dan kesatuan. Sayangnya, Audrey belum menemukan implementasi dari pancasila itu sendiri.
Alih-alih dipraktikan, Pancasila hanya dihapal untuk ulangan di sekolah. Kelima butir dasar negara tersebut hanya menjadi formalitas dan sekadar atribut negara semata. Padahal, Audrey begitu mengagumi pancasila dan ia percaya, praktik berpancasila yang baik akan menghadilkan sikap yang baik.
Alih-alih dipraktikan, Pancasila hanya dihapal untuk ulangan di sekolah. Kelima butir dasar negara tersebut hanya menjadi formalitas dan sekadar atribut negara semata. Padahal, Audrey begitu mengagumi pancasila dan ia percaya, praktik berpancasila yang baik akan menghadilkan sikap yang baik.
Spoiler for Harapannya:
Audrey memang mengkritik luputnya penerapan pancasila. Ia kemudian mengambil beberapa filsafat kuno Tiongkok yang selaras dengan Pancasila. Dengan menganalogikan filsafat kuno Tiongkok tersebut, Audrey mengkritisi berbagai persoalan yang saat ini terjadi di Indonesia seperti pendidikan, praktik kehidupan beragama, dan lain sebagainya. Baginya, kunci dari kehidupan harmonis adalah kesediaan untuk mengasihi sesama. Sebelumnya ia pernah menulis tentang pergulatannya mencintai Indonesia — yang berujung pada rasa patah hati. Ia menuliskan semua pandangannya tentang Indonesia dengan sangat jujur dalam bukunya “Mellow Yellow Drama”.
Apa yang ingin Audrey tuntut dalam pelaksanaan Pancasila adalah kembalinya fungsi pendidikan dan agama untuk mengasihi sesama. Bukannya menjadi alat untuk membuat kelas-kelas di masyarakat, merasa hebat, menindas orang lain, dan menakut-nakuti sesama. Sangat besar harapan Audrey untuk mewujudukan implementasi butir-butir Pancasila. Baginya, pancasila akan menjadi dasar untuk mencintai sesama dan negara. Audrey sebagai WNI Tionghoa yang “teracuhkan” memiliki berbagai gagasan dalam bukunya; bagaimana cara ia memandang pancasila. Dan bagaimana cara ia memandang Indonesia. Audrey mungkin bukan Gie, tetapi dia juga memiliki gagasan yang besar kepada Indonesia.
Apa yang ingin Audrey tuntut dalam pelaksanaan Pancasila adalah kembalinya fungsi pendidikan dan agama untuk mengasihi sesama. Bukannya menjadi alat untuk membuat kelas-kelas di masyarakat, merasa hebat, menindas orang lain, dan menakut-nakuti sesama. Sangat besar harapan Audrey untuk mewujudukan implementasi butir-butir Pancasila. Baginya, pancasila akan menjadi dasar untuk mencintai sesama dan negara. Audrey sebagai WNI Tionghoa yang “teracuhkan” memiliki berbagai gagasan dalam bukunya; bagaimana cara ia memandang pancasila. Dan bagaimana cara ia memandang Indonesia. Audrey mungkin bukan Gie, tetapi dia juga memiliki gagasan yang besar kepada Indonesia.
Spoiler for Tentang Audrey:
Jia Hui menuliskan memorabilia hidupnya dalam sebuah buku yang ia beri judul “Mellow Yellow Drama“. Boleh dibilang saya membeli buku yang diterbitkan pada bulan Mei 2014 ini secara tak sengaja. Saya beli setelah membaca sekilas halaman belakangnya. Membaca bagian-bagian awal bukunya, saya melihat kalau Jia Hui memang anak aneh. Bagaimana tidak, di usia 6 tahun ia jatuh cinta luar biasa pada negara Indonesia, hal yang jarang dijumpai pada anak seumur itu. Kecintaanya pada Indonesia lahir setelah melihat kenyataan di sekitar kehidupannya dan membaca buku PPKN. Dia ingin membantu memperbaiki nasib orang tak mampu yang dia lihat di lingkungannya.
Orang tua Jia Hui merasa aneh dengan rasa cinta anaknya yang besar pada ibu pertiwi. Ayah ibunya memarahinya karena menganggap orang keturunan Cina bukan merupakan bagian dari yang mengurusi negara. Pengalaman hidup orang tua Jia Hui meninggalkan bekas bahwa orang keturunan Cina seolah hanyalah menjadi kelompok yang terpinggirkan, tidak sama dengan warga pribumi. Maka ketika Jia Hui menyatakan keinginan untuk mengabdi pada negara, orangtuanya dengan keras menentangnya. Apalagi ketika terjadi kerusuhan Mei 1998, Jia Hui dan keluarganya harus mengungsi untuk melindungi diri dari hal-hal yang tidak diinginkan. Kerusuhan Mei 1998 meninggalkan bekas yang mendalam bagi banyak keluarga keturunan Cina.
Kejadian kerusuhan Mei 1998 meninggalkan mimpi yang sangat buruk bagi Indonesia terutama mereka yang menjadi korban. Dalam kejadian itu dikabarkan banyak wanita keturunan Cina yang dirudapaksa. Mimpi buruk itu tak bisa dihilangkan dan juga menghantui keluarga Jia Hui. Karenanya, keinginan Jia Hui untuk berbakti kepada negara tak disetujui oleh keluarganya. Tapi semangat membara dalam dada Jia Hui tak bisa diredam oleh kemarahan kedua orang tuanya. Gadis yang sedang bertumbuh itu tak surut menghadapi tantangan. Ia malah belajar semakin keras untuk menghadapi tantangan yang menghambat.
Untuk gadis sejenius Jia Hui, ia sesungguhnya tak perlu belajar keras. Semua mata pelajaran dapat dia kuasai dalam waktu singkat. Ujian di sekolah diselesaikannya dengan sempurna. Nilai ujiannya selalu dengan angka 100. Ia bahkan sering merasa bosan, karena apa yang diajarkan guru-gurunya disekolah dirasakan sangat lambat. Dari Surabaya Jia Hui meneruskan sekolah ke Jakarta di mana ada kelas khusus untuk siswa yang berkemampuan lebih. Di kelas akselerasi yang bergengsi di Jakarta bisa dilalui Jia Hui dengan sempurna. Tapi di Jakarta ia juga melihat kehidupan nyata bahwa banyak anak yang harus mengemis di pinggir jalan, banyak kakek-kakek lemah yang harus bekerja keras demi sesuap nasi. Potret kehidupan yang keras bagi rakyat miskin tetap membebani pikirannya, dan ia tetap bertekat untuk bisa membantu membela rakyat yang didera kesusahan. Dalam usia 13 tahun Jia Hui menamatkan SMA.
Ayah Jia Hui yang melihat kejeniusan putrinya, merasa bahwa Jia Hui harus mendapat pendidikan di luar negeri agar kemampuan putrinya mendapat tempat yang sesuai. Jia Hui mengikuti berbagai melewati berbagai test dengan baik, sampai akhirnya ia bisa diterima di sekolah bergengsi di Amerika. Di Amerika Jia Hui memompa semangat cinta negeri yang tak pernah padam. Ia mempersiapkan diri, ia belajar keras, bekerja keras, berdisiplin keras. Anak remaja 13 tahun, seorang diri di Amerika. Ia berhasil, ia sukses, pada umur 16 tahun ia lulus summa cum laude dari universitas yang dikhususkan bagi anak berbakat.
Memorabiolia Jia Hui, bukan hanya sekedar catatan perjalanan hidupnya. Buku ini adalah cerminan kondisi sosial masyarakat Indonesia yang tidak seimbang. Banyak anak keturunan Tionghoa yang sesungguhnya ingin berbakti membela negara, tapi terjebak dalam kondisi yang menjadikan mereka hanya selah jadi penonton dari perjalanan bangsa Indonesia. Mereka lahir dan besar di Indonesia, tapi mereka terpinggirkan oleh situasi yang terjadi. Mereka ingin keluar dari situasi yang tak nyaman itu, tapi jalan keluar seolah tersumbat oleh kondisi sosial politik yang tak mendukung.
Jia Hui bermimpi, suatu hari nanti semua anak Indonesia dari papua sampai Aceh, dari segala macam etnis akan bisa bergandeng tangan bersama dalam suatu keharmonisan Bhinneka Tunggal Ika yang sesungguhnya. Bukan hanya kebersamaan pura-pura, bukan hanya ucapan yang sekedar pemanis kata-kata.
“Aku bermimpi bahwa keturunan Tionghoa di negaraku akan memperbaiki permadani kami yang tercabik. Aku bermimpi bahwa suatu hari setiap orang Indonesia keturunan Tionghoa akan bangga memiliki nama Mandarin, bisa berbicara bahasa Mandarin dengan fasih, tetapi tetap setia secara politik pada prinsip-prinsip Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika. Aku bermimpi bahwa kita akan dihargai dan dihormati di seluruh Nusantara karena memiliki nama Mandarin, sebaik kita mempraktikkan bahasa dan budaya Tionghoa kita, bukannya dianggap tidak patriot, aneh atau kuno.
Aku bermimpi bahwa generasi muda Indonesia keturunan Tionghoa akan mampu melihat permadani ini sebagai warisan berharga mereka, bukan terus menganggapnya sebagai sesuatu yang kuno dan tidak ada hubungannya dengan mereka.”
Mimpi Jia Hui terinspirasi dari mimpi Martin Luther King Jr, pemimpin kulit hitam Amerika yang tersohor. Jia Hui mengajak generasi muda Indonesia untuk bisa bermimpi dan bisa merealisasikan mimpi-mimpinya di bumi Indonesia. Suatu hari semua anak Indonesia bisa yakin akan “Indonesian Dream” yang menjadi nyata. Anak muda Indonesia akan terus merajut dan menenun permadani nusantara. Ya, permadani Indonesia tempat bernaung seluruh anak bangsa.
Orang tua Jia Hui merasa aneh dengan rasa cinta anaknya yang besar pada ibu pertiwi. Ayah ibunya memarahinya karena menganggap orang keturunan Cina bukan merupakan bagian dari yang mengurusi negara. Pengalaman hidup orang tua Jia Hui meninggalkan bekas bahwa orang keturunan Cina seolah hanyalah menjadi kelompok yang terpinggirkan, tidak sama dengan warga pribumi. Maka ketika Jia Hui menyatakan keinginan untuk mengabdi pada negara, orangtuanya dengan keras menentangnya. Apalagi ketika terjadi kerusuhan Mei 1998, Jia Hui dan keluarganya harus mengungsi untuk melindungi diri dari hal-hal yang tidak diinginkan. Kerusuhan Mei 1998 meninggalkan bekas yang mendalam bagi banyak keluarga keturunan Cina.
Kejadian kerusuhan Mei 1998 meninggalkan mimpi yang sangat buruk bagi Indonesia terutama mereka yang menjadi korban. Dalam kejadian itu dikabarkan banyak wanita keturunan Cina yang dirudapaksa. Mimpi buruk itu tak bisa dihilangkan dan juga menghantui keluarga Jia Hui. Karenanya, keinginan Jia Hui untuk berbakti kepada negara tak disetujui oleh keluarganya. Tapi semangat membara dalam dada Jia Hui tak bisa diredam oleh kemarahan kedua orang tuanya. Gadis yang sedang bertumbuh itu tak surut menghadapi tantangan. Ia malah belajar semakin keras untuk menghadapi tantangan yang menghambat.
Untuk gadis sejenius Jia Hui, ia sesungguhnya tak perlu belajar keras. Semua mata pelajaran dapat dia kuasai dalam waktu singkat. Ujian di sekolah diselesaikannya dengan sempurna. Nilai ujiannya selalu dengan angka 100. Ia bahkan sering merasa bosan, karena apa yang diajarkan guru-gurunya disekolah dirasakan sangat lambat. Dari Surabaya Jia Hui meneruskan sekolah ke Jakarta di mana ada kelas khusus untuk siswa yang berkemampuan lebih. Di kelas akselerasi yang bergengsi di Jakarta bisa dilalui Jia Hui dengan sempurna. Tapi di Jakarta ia juga melihat kehidupan nyata bahwa banyak anak yang harus mengemis di pinggir jalan, banyak kakek-kakek lemah yang harus bekerja keras demi sesuap nasi. Potret kehidupan yang keras bagi rakyat miskin tetap membebani pikirannya, dan ia tetap bertekat untuk bisa membantu membela rakyat yang didera kesusahan. Dalam usia 13 tahun Jia Hui menamatkan SMA.
Ayah Jia Hui yang melihat kejeniusan putrinya, merasa bahwa Jia Hui harus mendapat pendidikan di luar negeri agar kemampuan putrinya mendapat tempat yang sesuai. Jia Hui mengikuti berbagai melewati berbagai test dengan baik, sampai akhirnya ia bisa diterima di sekolah bergengsi di Amerika. Di Amerika Jia Hui memompa semangat cinta negeri yang tak pernah padam. Ia mempersiapkan diri, ia belajar keras, bekerja keras, berdisiplin keras. Anak remaja 13 tahun, seorang diri di Amerika. Ia berhasil, ia sukses, pada umur 16 tahun ia lulus summa cum laude dari universitas yang dikhususkan bagi anak berbakat.
Memorabiolia Jia Hui, bukan hanya sekedar catatan perjalanan hidupnya. Buku ini adalah cerminan kondisi sosial masyarakat Indonesia yang tidak seimbang. Banyak anak keturunan Tionghoa yang sesungguhnya ingin berbakti membela negara, tapi terjebak dalam kondisi yang menjadikan mereka hanya selah jadi penonton dari perjalanan bangsa Indonesia. Mereka lahir dan besar di Indonesia, tapi mereka terpinggirkan oleh situasi yang terjadi. Mereka ingin keluar dari situasi yang tak nyaman itu, tapi jalan keluar seolah tersumbat oleh kondisi sosial politik yang tak mendukung.
Jia Hui bermimpi, suatu hari nanti semua anak Indonesia dari papua sampai Aceh, dari segala macam etnis akan bisa bergandeng tangan bersama dalam suatu keharmonisan Bhinneka Tunggal Ika yang sesungguhnya. Bukan hanya kebersamaan pura-pura, bukan hanya ucapan yang sekedar pemanis kata-kata.
“Aku bermimpi bahwa keturunan Tionghoa di negaraku akan memperbaiki permadani kami yang tercabik. Aku bermimpi bahwa suatu hari setiap orang Indonesia keturunan Tionghoa akan bangga memiliki nama Mandarin, bisa berbicara bahasa Mandarin dengan fasih, tetapi tetap setia secara politik pada prinsip-prinsip Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika. Aku bermimpi bahwa kita akan dihargai dan dihormati di seluruh Nusantara karena memiliki nama Mandarin, sebaik kita mempraktikkan bahasa dan budaya Tionghoa kita, bukannya dianggap tidak patriot, aneh atau kuno.
Aku bermimpi bahwa generasi muda Indonesia keturunan Tionghoa akan mampu melihat permadani ini sebagai warisan berharga mereka, bukan terus menganggapnya sebagai sesuatu yang kuno dan tidak ada hubungannya dengan mereka.”
Mimpi Jia Hui terinspirasi dari mimpi Martin Luther King Jr, pemimpin kulit hitam Amerika yang tersohor. Jia Hui mengajak generasi muda Indonesia untuk bisa bermimpi dan bisa merealisasikan mimpi-mimpinya di bumi Indonesia. Suatu hari semua anak Indonesia bisa yakin akan “Indonesian Dream” yang menjadi nyata. Anak muda Indonesia akan terus merajut dan menenun permadani nusantara. Ya, permadani Indonesia tempat bernaung seluruh anak bangsa.
Spoiler for Penampakan Audrey:
![[No Sara] Pancasila di Mata Seorang Gadis Tionghoa](https://s.kaskus.id/images/2015/11/16/5756318_20151116114056.jpg)
Spoiler for Sumur :
Spoiler for Karya-karyanya:
Diubah oleh iogia 16-11-2015 13:22
0
12.1K
Kutip
64
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan