- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Setahun Sudah Rezim Jokowi Berkuasa: Gap Kaya-Miskin & Kemiskinan Semakin Parah!


TS
zitizen4r
Setahun Sudah Rezim Jokowi Berkuasa: Gap Kaya-Miskin & Kemiskinan Semakin Parah!
Bank Dunia: Kesenjangan di Indonesia Sangat Tinggi
Selasa, 8 Desember 2015 | 13:14 WIB
INILAHCOM, Jakarta - Direktur World Bank untuk Indonesia, Rodrigo A Chaves memperingatkan besarnya ketimpangan ekonomi di Indonesia. Pertumbuhan ekonomi hanya dinikmati kalangan menengah ke atas saja.
"Ketimpangan di Indonesia bisa terjadi lantaran pertumbuhan ekonomi hanya dirasakan oleh beberapa orang saja khususnya yang berada di daerah yang menjadi pusat kota," kata Chaves dalam diskusi bertajuk Akhiri Ketimpangan untuk Indonesia (AKU Indonesia) di Djakarta Theatre Building, Jakarta, Selasa (08/12/2015).
Chaves mencontohkan, ketimpangan yang paling mencolok, tergambar dari perbandingan antara kota ibukota dengan beberapa terpencil.
"Soal sanitasi, contohnya. Kalau di Jakarta, hanya 6 persen masyarakat yang tak memiliki sanitasi yang baik. Sedankan kalau di daerah terpencil, hampir 98 persen sanitasi masyarakatnya buruk. Ini barus soal sanitasi, belum masalah lainnya," papar Chaves.
Selain itu, kata Chaves, menjulangnya kesenjangan di Indonesia bisa dicermati dari melorotnya angka Gini ratio dalam 15 tahun terakhir. Pada 2000, Gini ratio Indonesia berada di urutan 30 dunia. Namun pada 2014 anjlok sampai di urutan 41.
"Angka ini (Gini ratio Indonesia) merupakan tertinggi jika di bandingkan dengan negara-negara di Asia Timur. Masalah ini, bisa menjadi penghambat prospek segmen-segmen masyarakat dari generasi ke generasi," terang Chaves.
dengan kondisi ini, papar Chaves, pemerintah Indonesia harus bisa mendongkrak kesejahteraan masyarakat khususnya di daerah terpencil. Agar kesenjangan antar daerah bisa dipangkas.
http://ekonomi.inilah.com/read/detai...-sangat-tinggi
Empat Penyebab Ketimpangan di Indonesia Versi Bank Dunia
8 December 2015 - 15:57
Jakarta, 08/12/2015 Kemenkeu - Di tengah upaya untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi, pemerintah juga terus berusaha mengurangi ketimpangan sosial. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM), misalnya, pemerintah menetapkan sasaran untuk menurunkan tingkat koefisien Gini (Gini ratio) dari 41 menjadi 36 pada tahun 2019 mendatang.
Agar berhasil mencapai sasaran tersebut, Indonesia, menurut Bank Dunia, perlu mengatasi empat penyebab utama ketimpangan. Dalam keterangan resminya pada Selasa (8/12), Bank Dunia merinci keempat penyebab utama ketimpangan tersebut.
Pertama, ketimpangan peluang, yang tercermin pada nasib anak-anak dari keluarga miskin, yang terpengaruh oleh tempat mereka dilahirkan atau pendidikan orang tua mereka. Menurut Bank Dunia, awal yang tidak adil dapat menentukan kurangnya peluang bagi mereka selanjutnya.
Kedua, ketimpangan pasar tenaga kerja, dimana pekerja dengan keterampilan tinggi menerima gaji yang lebih besar, dan tenaga kerja lainnya hampir tidak memiliki peluang untuk mengembangkan keterampilan mereka. Hal ini mengakibatkan mereka terperangkap dalam pekerjaan informal dengan produktivitas rendah dan pemasukan yang kecil.
Ketiga, konsentrasi kekayaan, dimana kaum elit memiliki aset keuangan seperti properti atau saham, yang ikut mendorong ketimpangan saat ini dan masa depan.
Keempat, ketimpangan dalam menghadapi goncangan. Hal ini terlihat saat terjadi goncangan, dimana masyarakat miskin dan rentan akan lebih terkena dampak. Goncangan akan menurunkan kemampuan mereka untuk memperoleh pemasukan dan melakukan investasi kesehatan dan pendidikan
http://www.kemenkeu.go.id/Berita/emp...rsi-bank-dunia
Buruh Dikasih Upah Murah, Kemiskinan Semakin Parah
Sabtu, 19 Desember 2015 , 09:00:00 WIB
RMOL. Memperingati Hari Buruh Migran se-Dunia pada 18 Desember kemarin, sejumlah organisasi buruh migran mendesak agar Konvensi PBB 1990 yang telah diratifikasi pemerintah Indonesia segera dijalankan.
Konvensitersebut berisikan tentang perlindungan pekerja migran dan anggota keluarganya. Selama ini, selain rentan mengalami kekerasan, para buruh migran Indonesia merasa diabaikan oleh negara. Mereka pun terpaksa berjuang sendiri di luar negeri hanya untuk menghidupi keluarganya di Indonesia.
Ketua Umum Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Hariyanto mengatakan, setelah tiga tahun Indonesia meratifikasi Konvensi PBB 1990 tersebut, belum tampak upaya perlindungan yang signifikan terhadap buruh migran. Meski pemerintah memberikan sejumlah program bagi buruh migran namun program tersebut bukan solusi dari akar permasalahan.
"Kebijakan seperti Roadmap Zero Domestic Workers tidak menetapkan pokok-pokok perlindungan yang nyata bagi kelompok paling rentan, yaitu perempuan buruh migran yang bekerja sebagai pekerja rumah tangga," katanya, dalam jumpa pers Peringatan Hari Buruh Migran se-Dunia di kantor Komnas Perempuan, Jalan Latuharhary, Jakarta, kemarin.
Hariyanto mengingatkan, 70 persen dari 8 juta buruh migran Indonesia adalah pekerja rumah tangga. "Tanpa menyingkap dimensi yang diperlukan para PRTmigran, roadmap buatan pemerintah itu hanya sekadar pengembangan teknis dari pembentukan sub-sub pekerjaan rumah tangga seperti pengurus rumah tangga, penjaga bayi, tukang masak, pengurus lansia, dan lainnya," sebutnya.
Padahal buruh migran berharap, pemerintah menetapkan peraturan perundang-undangan untuk melindungi pekerja rumah tangga migran dan domestik. Pihaknya juga menyatakan menolak isi RUU Perlindungan Pekerja Indonesia di Luar Negeri (PPILN) karena isinya belum memuat perlindungan bagi buruh migran secara menyeluruh.
"Kami minta pembahasan RUU tersebut harus melibatkan kelompok buruh migran dan organisasi masyarakat sipil yang bekerja untuk perlindungan buruh migran," katanya.
Selain itu, Hariyanto juga meminta pemerintah menghapus biaya penempatan buruh migran yang sangat tinggi dan memberikan ruang bagi buruh migran untuk melakukan kontrak mandiri. "Pemerintah harus menghentikan kebijakan-kebijakan diskriminatif terhadap pekerja rumah tangga, serta ciptakan lapangan kerja dan akhiri kemiskinan," ujarnya.
Di sisi lain, pemerintah juga dianggap semakin melupakan perbaikan nasib buruh. Hingga akhir 2015 ini, meski ada sedikit pertumbuhan ekonomi makro, namun kemiskinan terus meningkat di Indonesia.
Setidaknya, kaum buruh sebagai bagian masyarakat miskin kekeuh menolak kebijakan upah murah yang dikeluarkan rezim Jokowi-JK. Buruh yang tergabung dalam Komite Aksi Upah Gerakan Buruh Indonesia (KAU-GBI) menyampaikan, satu tahun lebih pemerintahan ini hanya mampu memberikan kado menyakitkan. Hal ini dinyatakan juru bicara Komite Aksi Upah Gerakan Buruh Indonesia (KAU-GBI) Said Iqbal.
"Ini kado istimewa yang pahit dan menyakitkan. Kesenjangan pendapatan antara orang kaya dan miskin kian melebar dibanding era pemerintahan terdahulu," ujarnya.
Menurut Said yang juga Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) ini, dari data Bank Dunia 2015 disebutkan, angka gini ratio Indonesia berada pada 0,42. Angka ini meningkat dari perhitungan 2014 lalu yang masih pada 0,41 dan pada 2014 pada titik 0,39.
Bagi kaum buruh, lanjutnya, kondisi tersebut menunjukkan, pertumbuhan ekonomi di Indonesia hanya dinikmati kalangan kelas menengah atas. "Sedangkan menengah bawah, termasuk buruh dan orang miskin, makin terpuruk. Ini memperlihatkan, hanya 20 persen orang kaya yang menikmati banget benefit pertumbuhan ekonomi itu," ujar Said.
Kondisi itu menurutnya sangat mempersulit kehidupan kaum buruh Indonesia. Bahkan, lanjutnya lagi, kemiskinan massif kian terjadi pada sektor buruh dan kian parah dengan kebijakan upah murah yang diteken oleh Presiden Jokowi dalam Peraturan Pemerintah Nomor 78 tahun 2015.
"Kondisi ini akan semakin mempersulit biaya hidup buruh dan menurunkan daya beli buruh. Juga menurunkan angka konsumsi, karena kenaikan upah kecil, seiring melambungnya harga kebutuhan pokok," ujar Said.
Buruh sangat yakin, ujarnya lagi, bila kebijakan upah murah dan pro kapitalis dan pro bisnis, bisa dipastikan angka gini ratio di masa Jokowi-JK akan terus meningkat. Terutama melalui paket kebijakan ekonomi, tanpa diiringi upah layak untuk meningkatkan daya beli dan perlindungan buat orang miskin.
http://m.rmol.co/read/2015/12/19/228...Semakin-Parah-
Bank Dunia: 'Gap' Orang Kaya & Miskin di RI Kian Lebar
Dinilai dapat menimbulkan bahaya besar.
Selasa, 8 Desember 2015 | 11:40 WIB
VIVA.co.id - Angka ketimpangan antara orang kaya dan miskin (gini ratio) di Indonesia tahun ini mencapai 0,42 persen. Angka ini dianggap paling tinggi dibandingkan negara-negara seperti Uganda, India, maupun Pantai Gading.
Dalam laporan "Ketimpangan Yang Semakin Lebar" yang dirilis Bank Dunia (World Bank), Selasa, 8 Desember 2015, jurang yang berada di antara kondisi si 'kaya' dan si 'miskin' ini berpotensi menganggu laju pertumbuhan ekonomi dalam negeri.
"Ada sebagian literatur, besaran ketimpangan berkontribusi pada melambatnya pertumbuhan ekonomi," kata Kepala Perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia, Rodrigo Chaves di Ballroom XXI Jakarta Theater, Jakarta.
Rodrigo menjelaskan, tingkat ketimpangan yang terjadi di Indonesia menanjak naik lebih cepat dibandingkan sebagian besar negara tetangga di Asia Timur. Menurut dia, perlu ada langkah konkrit pemerintah untuk mengatasi ketimpangan ini.
"Banyak hal yang dipertaruhkan ketika Indonesia tidak bisa mengatasi ketimpangan ini. Bisa menimbulkan bahaya besar."
Sekadar informasi, berdasarkan laporan Bank Dunia, pertumbuhan selama satu dasawarsa terakhir hanya menguntungkan 20 persen orang terkaya di Indonesia. Sementara, 80 persen sisanya dari hampir 205 juta orang masih berada di lingkaran kemiskinan.
Bahkan, selama krisis keuangan Asia di periode 1997-1998 saat angka kemiskinan naik tajam, rasio gini ikut turun. Semua segmentasi masyarakat terkena dampaknya. Pada tahun 2014, ketimpangan orang kaya dan miskin meningkat dari 0,30 persen pada tahun 2000, menjadi 0,41 persen. Bahkan, tahun ini angka itu kembali menanjak ke level 0,42 persen.
http://bisnis.news.viva.co.id/news/r...-ri-kian-lebar
-----------------------------------
Lhaaaa ... terus ... setahun ini pada kemana aja?
Selasa, 8 Desember 2015 | 13:14 WIB
INILAHCOM, Jakarta - Direktur World Bank untuk Indonesia, Rodrigo A Chaves memperingatkan besarnya ketimpangan ekonomi di Indonesia. Pertumbuhan ekonomi hanya dinikmati kalangan menengah ke atas saja.
"Ketimpangan di Indonesia bisa terjadi lantaran pertumbuhan ekonomi hanya dirasakan oleh beberapa orang saja khususnya yang berada di daerah yang menjadi pusat kota," kata Chaves dalam diskusi bertajuk Akhiri Ketimpangan untuk Indonesia (AKU Indonesia) di Djakarta Theatre Building, Jakarta, Selasa (08/12/2015).
Chaves mencontohkan, ketimpangan yang paling mencolok, tergambar dari perbandingan antara kota ibukota dengan beberapa terpencil.
"Soal sanitasi, contohnya. Kalau di Jakarta, hanya 6 persen masyarakat yang tak memiliki sanitasi yang baik. Sedankan kalau di daerah terpencil, hampir 98 persen sanitasi masyarakatnya buruk. Ini barus soal sanitasi, belum masalah lainnya," papar Chaves.
Selain itu, kata Chaves, menjulangnya kesenjangan di Indonesia bisa dicermati dari melorotnya angka Gini ratio dalam 15 tahun terakhir. Pada 2000, Gini ratio Indonesia berada di urutan 30 dunia. Namun pada 2014 anjlok sampai di urutan 41.
"Angka ini (Gini ratio Indonesia) merupakan tertinggi jika di bandingkan dengan negara-negara di Asia Timur. Masalah ini, bisa menjadi penghambat prospek segmen-segmen masyarakat dari generasi ke generasi," terang Chaves.
dengan kondisi ini, papar Chaves, pemerintah Indonesia harus bisa mendongkrak kesejahteraan masyarakat khususnya di daerah terpencil. Agar kesenjangan antar daerah bisa dipangkas.
http://ekonomi.inilah.com/read/detai...-sangat-tinggi
Empat Penyebab Ketimpangan di Indonesia Versi Bank Dunia
8 December 2015 - 15:57
Jakarta, 08/12/2015 Kemenkeu - Di tengah upaya untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi, pemerintah juga terus berusaha mengurangi ketimpangan sosial. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM), misalnya, pemerintah menetapkan sasaran untuk menurunkan tingkat koefisien Gini (Gini ratio) dari 41 menjadi 36 pada tahun 2019 mendatang.
Agar berhasil mencapai sasaran tersebut, Indonesia, menurut Bank Dunia, perlu mengatasi empat penyebab utama ketimpangan. Dalam keterangan resminya pada Selasa (8/12), Bank Dunia merinci keempat penyebab utama ketimpangan tersebut.
Pertama, ketimpangan peluang, yang tercermin pada nasib anak-anak dari keluarga miskin, yang terpengaruh oleh tempat mereka dilahirkan atau pendidikan orang tua mereka. Menurut Bank Dunia, awal yang tidak adil dapat menentukan kurangnya peluang bagi mereka selanjutnya.
Kedua, ketimpangan pasar tenaga kerja, dimana pekerja dengan keterampilan tinggi menerima gaji yang lebih besar, dan tenaga kerja lainnya hampir tidak memiliki peluang untuk mengembangkan keterampilan mereka. Hal ini mengakibatkan mereka terperangkap dalam pekerjaan informal dengan produktivitas rendah dan pemasukan yang kecil.
Ketiga, konsentrasi kekayaan, dimana kaum elit memiliki aset keuangan seperti properti atau saham, yang ikut mendorong ketimpangan saat ini dan masa depan.
Keempat, ketimpangan dalam menghadapi goncangan. Hal ini terlihat saat terjadi goncangan, dimana masyarakat miskin dan rentan akan lebih terkena dampak. Goncangan akan menurunkan kemampuan mereka untuk memperoleh pemasukan dan melakukan investasi kesehatan dan pendidikan
http://www.kemenkeu.go.id/Berita/emp...rsi-bank-dunia
Buruh Dikasih Upah Murah, Kemiskinan Semakin Parah
Sabtu, 19 Desember 2015 , 09:00:00 WIB
RMOL. Memperingati Hari Buruh Migran se-Dunia pada 18 Desember kemarin, sejumlah organisasi buruh migran mendesak agar Konvensi PBB 1990 yang telah diratifikasi pemerintah Indonesia segera dijalankan.
Konvensitersebut berisikan tentang perlindungan pekerja migran dan anggota keluarganya. Selama ini, selain rentan mengalami kekerasan, para buruh migran Indonesia merasa diabaikan oleh negara. Mereka pun terpaksa berjuang sendiri di luar negeri hanya untuk menghidupi keluarganya di Indonesia.
Ketua Umum Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Hariyanto mengatakan, setelah tiga tahun Indonesia meratifikasi Konvensi PBB 1990 tersebut, belum tampak upaya perlindungan yang signifikan terhadap buruh migran. Meski pemerintah memberikan sejumlah program bagi buruh migran namun program tersebut bukan solusi dari akar permasalahan.
"Kebijakan seperti Roadmap Zero Domestic Workers tidak menetapkan pokok-pokok perlindungan yang nyata bagi kelompok paling rentan, yaitu perempuan buruh migran yang bekerja sebagai pekerja rumah tangga," katanya, dalam jumpa pers Peringatan Hari Buruh Migran se-Dunia di kantor Komnas Perempuan, Jalan Latuharhary, Jakarta, kemarin.
Hariyanto mengingatkan, 70 persen dari 8 juta buruh migran Indonesia adalah pekerja rumah tangga. "Tanpa menyingkap dimensi yang diperlukan para PRTmigran, roadmap buatan pemerintah itu hanya sekadar pengembangan teknis dari pembentukan sub-sub pekerjaan rumah tangga seperti pengurus rumah tangga, penjaga bayi, tukang masak, pengurus lansia, dan lainnya," sebutnya.
Padahal buruh migran berharap, pemerintah menetapkan peraturan perundang-undangan untuk melindungi pekerja rumah tangga migran dan domestik. Pihaknya juga menyatakan menolak isi RUU Perlindungan Pekerja Indonesia di Luar Negeri (PPILN) karena isinya belum memuat perlindungan bagi buruh migran secara menyeluruh.
"Kami minta pembahasan RUU tersebut harus melibatkan kelompok buruh migran dan organisasi masyarakat sipil yang bekerja untuk perlindungan buruh migran," katanya.
Selain itu, Hariyanto juga meminta pemerintah menghapus biaya penempatan buruh migran yang sangat tinggi dan memberikan ruang bagi buruh migran untuk melakukan kontrak mandiri. "Pemerintah harus menghentikan kebijakan-kebijakan diskriminatif terhadap pekerja rumah tangga, serta ciptakan lapangan kerja dan akhiri kemiskinan," ujarnya.
Di sisi lain, pemerintah juga dianggap semakin melupakan perbaikan nasib buruh. Hingga akhir 2015 ini, meski ada sedikit pertumbuhan ekonomi makro, namun kemiskinan terus meningkat di Indonesia.
Setidaknya, kaum buruh sebagai bagian masyarakat miskin kekeuh menolak kebijakan upah murah yang dikeluarkan rezim Jokowi-JK. Buruh yang tergabung dalam Komite Aksi Upah Gerakan Buruh Indonesia (KAU-GBI) menyampaikan, satu tahun lebih pemerintahan ini hanya mampu memberikan kado menyakitkan. Hal ini dinyatakan juru bicara Komite Aksi Upah Gerakan Buruh Indonesia (KAU-GBI) Said Iqbal.
"Ini kado istimewa yang pahit dan menyakitkan. Kesenjangan pendapatan antara orang kaya dan miskin kian melebar dibanding era pemerintahan terdahulu," ujarnya.
Menurut Said yang juga Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) ini, dari data Bank Dunia 2015 disebutkan, angka gini ratio Indonesia berada pada 0,42. Angka ini meningkat dari perhitungan 2014 lalu yang masih pada 0,41 dan pada 2014 pada titik 0,39.
Bagi kaum buruh, lanjutnya, kondisi tersebut menunjukkan, pertumbuhan ekonomi di Indonesia hanya dinikmati kalangan kelas menengah atas. "Sedangkan menengah bawah, termasuk buruh dan orang miskin, makin terpuruk. Ini memperlihatkan, hanya 20 persen orang kaya yang menikmati banget benefit pertumbuhan ekonomi itu," ujar Said.
Kondisi itu menurutnya sangat mempersulit kehidupan kaum buruh Indonesia. Bahkan, lanjutnya lagi, kemiskinan massif kian terjadi pada sektor buruh dan kian parah dengan kebijakan upah murah yang diteken oleh Presiden Jokowi dalam Peraturan Pemerintah Nomor 78 tahun 2015.
"Kondisi ini akan semakin mempersulit biaya hidup buruh dan menurunkan daya beli buruh. Juga menurunkan angka konsumsi, karena kenaikan upah kecil, seiring melambungnya harga kebutuhan pokok," ujar Said.
Buruh sangat yakin, ujarnya lagi, bila kebijakan upah murah dan pro kapitalis dan pro bisnis, bisa dipastikan angka gini ratio di masa Jokowi-JK akan terus meningkat. Terutama melalui paket kebijakan ekonomi, tanpa diiringi upah layak untuk meningkatkan daya beli dan perlindungan buat orang miskin.
http://m.rmol.co/read/2015/12/19/228...Semakin-Parah-
Bank Dunia: 'Gap' Orang Kaya & Miskin di RI Kian Lebar
Dinilai dapat menimbulkan bahaya besar.
Selasa, 8 Desember 2015 | 11:40 WIB
VIVA.co.id - Angka ketimpangan antara orang kaya dan miskin (gini ratio) di Indonesia tahun ini mencapai 0,42 persen. Angka ini dianggap paling tinggi dibandingkan negara-negara seperti Uganda, India, maupun Pantai Gading.
Dalam laporan "Ketimpangan Yang Semakin Lebar" yang dirilis Bank Dunia (World Bank), Selasa, 8 Desember 2015, jurang yang berada di antara kondisi si 'kaya' dan si 'miskin' ini berpotensi menganggu laju pertumbuhan ekonomi dalam negeri.
"Ada sebagian literatur, besaran ketimpangan berkontribusi pada melambatnya pertumbuhan ekonomi," kata Kepala Perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia, Rodrigo Chaves di Ballroom XXI Jakarta Theater, Jakarta.
Rodrigo menjelaskan, tingkat ketimpangan yang terjadi di Indonesia menanjak naik lebih cepat dibandingkan sebagian besar negara tetangga di Asia Timur. Menurut dia, perlu ada langkah konkrit pemerintah untuk mengatasi ketimpangan ini.
"Banyak hal yang dipertaruhkan ketika Indonesia tidak bisa mengatasi ketimpangan ini. Bisa menimbulkan bahaya besar."
Sekadar informasi, berdasarkan laporan Bank Dunia, pertumbuhan selama satu dasawarsa terakhir hanya menguntungkan 20 persen orang terkaya di Indonesia. Sementara, 80 persen sisanya dari hampir 205 juta orang masih berada di lingkaran kemiskinan.
Bahkan, selama krisis keuangan Asia di periode 1997-1998 saat angka kemiskinan naik tajam, rasio gini ikut turun. Semua segmentasi masyarakat terkena dampaknya. Pada tahun 2014, ketimpangan orang kaya dan miskin meningkat dari 0,30 persen pada tahun 2000, menjadi 0,41 persen. Bahkan, tahun ini angka itu kembali menanjak ke level 0,42 persen.
http://bisnis.news.viva.co.id/news/r...-ri-kian-lebar
-----------------------------------
Lhaaaa ... terus ... setahun ini pada kemana aja?

0
3.2K
32


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan