- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Sesat Pikir Revisi UU MD3


TS
adhyatmoko
Sesat Pikir Revisi UU MD3
Dua hal digarisbawahi dalam artikel ini, ialah mekanisme pemilihan pimpinan DPR dan kedudukan Mahkamah Kehormatan sebagaimana tersebut dalam Pasal 245 ayat (1) UU MD3.
Jika pemilu adalah murni suara rakyat, apakah lebih rendah kedudukannya daripada sidang dewan yang dianggap demokratis?
UU MD3 terevisi telah disahkan, mereka yang mengatasnamakan rakyat merubah Pasal 82 UU MD3 No. 27 Tahun 2009 tentang mekanisme pemilihan pimpinan DPR kecuali PDIP, PKB, dan Hanura. Mereka berpendapat bahwa setiap orang berhak memperoleh posisi sebagai ketua. Terdengar manis, bukan? -klise dalam alam demokrasi yang mana seolah-olah jika setiap orang mempunyai hak dan kesempatan yang sama, menunjukkan semangat demokratis. Lalu, apakah pemilihan pimpinan DPR yang berasal dari urutan perolehan kursi terbanyak (Pasal 82) tidak demokratis?
Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 menyatakan:
“Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya” ,
Dengan menimbang Pasal 82, anggota DPR dari semua parpol yang memperoleh urutan kursi terbanyak berhak menduduki jabatan pimpinan DPR. Ketentuan tersebut tidak bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) di atas yang mempersamakan kedudukan setiap warga negara dari parpol manapun. Susunan kepemimpinan DPR secara proporsional berdasarkan urutan jumlah kursi masing-masing parpol peserta pemilu adalah ketentuan yang adil karena perolehan kursi menunjukkan pilihan rakyat sebagai pemegang kedaulatan.
Maka, upaya merevisi Pasal 82 adalah bentuk pengingkaran atas kedaulatan rakyat -suara rakyat dibungkam atas nama politik oligarki. Jika pengingkaran ini dibiarkan, bukan tak mungkin suatu saat presiden hasil pemilu di Indonesia ditumbangkan oleh kepentingan sekelompok orang/golongan dengan menjual nama demokrasi, lewat kudeta misalnya.
Di saat rakyat kesulitan mencari advokat, anggota dewan kok sibuk jaga kehormatan?
Lagi-lagi kekonyolan terjadi di Senayan. Merasa terhormat, mereka mengangkangi rakyat di hadapan hukum yang telah dipersamakan kedudukan dan kewajibannya berdasarkan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945.
Sebagaimana pula disebut dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”, revisi UU MD3 yang membuahkan Pasal 245 ayat (1) telah menyalahi aturan hukum yang berkedudukan secara hirarkis di atasnya.
Bunyi Pasal 245 ayat (1),
“Pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan.”
Mahkamah Kehormatan bukanlah lembaga yudikatif. Ini hanyalah salah satu alat kelengkapan DPR. Disamping tidak menunjukkan semangat pro-justicia, Pasal 245 ayat (1) merusak sistem ketatanegaraan (trias politika).
Konsekwensi Pasal 28D ayat 1, supremasi hukum harus ditegakkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hukum tidak boleh diibaratkan dua sisi mata pisau yang tajam ke bawah, tetapi tumpul ke atas.
Jika para anggota dewan memahami arti kedaulatan, mereka telah terhormat saat terpilih menjadi wakil rakyat. Jelas tersebut dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-undang Dasar. Maka, apa istilahnya untuk wakil yang mengangkangi kedaulatan rakyat dengan menabrak UUD?
Jika pemilu adalah murni suara rakyat, apakah lebih rendah kedudukannya daripada sidang dewan yang dianggap demokratis?
UU MD3 terevisi telah disahkan, mereka yang mengatasnamakan rakyat merubah Pasal 82 UU MD3 No. 27 Tahun 2009 tentang mekanisme pemilihan pimpinan DPR kecuali PDIP, PKB, dan Hanura. Mereka berpendapat bahwa setiap orang berhak memperoleh posisi sebagai ketua. Terdengar manis, bukan? -klise dalam alam demokrasi yang mana seolah-olah jika setiap orang mempunyai hak dan kesempatan yang sama, menunjukkan semangat demokratis. Lalu, apakah pemilihan pimpinan DPR yang berasal dari urutan perolehan kursi terbanyak (Pasal 82) tidak demokratis?
Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 menyatakan:
“Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya” ,
Dengan menimbang Pasal 82, anggota DPR dari semua parpol yang memperoleh urutan kursi terbanyak berhak menduduki jabatan pimpinan DPR. Ketentuan tersebut tidak bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) di atas yang mempersamakan kedudukan setiap warga negara dari parpol manapun. Susunan kepemimpinan DPR secara proporsional berdasarkan urutan jumlah kursi masing-masing parpol peserta pemilu adalah ketentuan yang adil karena perolehan kursi menunjukkan pilihan rakyat sebagai pemegang kedaulatan.
Maka, upaya merevisi Pasal 82 adalah bentuk pengingkaran atas kedaulatan rakyat -suara rakyat dibungkam atas nama politik oligarki. Jika pengingkaran ini dibiarkan, bukan tak mungkin suatu saat presiden hasil pemilu di Indonesia ditumbangkan oleh kepentingan sekelompok orang/golongan dengan menjual nama demokrasi, lewat kudeta misalnya.
Di saat rakyat kesulitan mencari advokat, anggota dewan kok sibuk jaga kehormatan?
Lagi-lagi kekonyolan terjadi di Senayan. Merasa terhormat, mereka mengangkangi rakyat di hadapan hukum yang telah dipersamakan kedudukan dan kewajibannya berdasarkan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945.
Sebagaimana pula disebut dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”, revisi UU MD3 yang membuahkan Pasal 245 ayat (1) telah menyalahi aturan hukum yang berkedudukan secara hirarkis di atasnya.
Bunyi Pasal 245 ayat (1),
“Pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan.”
Mahkamah Kehormatan bukanlah lembaga yudikatif. Ini hanyalah salah satu alat kelengkapan DPR. Disamping tidak menunjukkan semangat pro-justicia, Pasal 245 ayat (1) merusak sistem ketatanegaraan (trias politika).
Konsekwensi Pasal 28D ayat 1, supremasi hukum harus ditegakkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hukum tidak boleh diibaratkan dua sisi mata pisau yang tajam ke bawah, tetapi tumpul ke atas.
Jika para anggota dewan memahami arti kedaulatan, mereka telah terhormat saat terpilih menjadi wakil rakyat. Jelas tersebut dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-undang Dasar. Maka, apa istilahnya untuk wakil yang mengangkangi kedaulatan rakyat dengan menabrak UUD?
Diubah oleh adhyatmoko 21-11-2015 01:07
0
1.2K
2


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan