- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita Luar Negeri
Melihat Iran Lebih Dekat: Warganya Ramah dan Toleran dengan Minoritas (Bag. 1)


TS
vichaksana
Melihat Iran Lebih Dekat: Warganya Ramah dan Toleran dengan Minoritas (Bag. 1)
Quote:
Orang Iran dikenal paling ramah di dunia. Kerahamantamahan itu bahkan sudah dikenal sejak sebelum Masehi. Orang Iran juga sangat toleran. Itulah yang membuat Duta Besar Indonesia untuk Iran memberi judul buku fotografinya, Iran Lovely People. Berikut catatan perjalanan wartawan batampos.co.id ke Iran, November lalu.
AHMADI SULTAN, Teheran
Satu setengah bulan sebelum perjalanan solo (solo traveling) ke Iran, keramahtamahan orang Iran sudah terasa. Melalui sebuah laman jejaring sosial penggemar traveling, Couchsurfing, seorang warga Teheran yang mengetahui rencana perjalanan saya mengirimkan pesan. Ia menawarkan bantuan kepada saya untuk mendapatkan visa on arrival (VoA).
Bagi warga Indonesia, kunjungan singkat atau dua pekan dengan tujuan wisata bisa mendapatkan VoA di lima bandara internasional di Iran, dengan sponsor atau penjamin. Warga Iran yang baru saya kenal itulah yang menjadi sponsor atau penjamin. Ia mengirimkan data-data pribadinya yang diperlukan dan ditulis dalam formulir visa yang akan didapatkan di bandara.
Namanya Mojtaba Abdoulrahimkan. Dialah orang Iran pertama yang menjadi teman saya. Tetapi dia sudah berteman lebih dulu dengan Duta Besar Indonesia untuk Iran, Dian Wirengjurit. Mereka berteman dalam komunitas fotografi di Iran.
Mojtaba kemudian banyak bercerita tentang hobi Dubes Indonesia ini, padahal kami belum pernah bertemu. Ia menceritakan kegiatan fotografi mereka. Lalu menghubungkan saya dengan Dubes Indonesia.
Dua pekan sebelum berangkat, saya menemukan teman baru lagi melalui Couchsurfing. Seorang jurnalis dan pimpinan redaksi di dua media di Tehran. Namanya Reza Jamili. Kesamaan profesi membuat ia tertarik untuk menyediakan rumahnya saya tumpangi.
Mendapat teman di Iran, rasa ‘takut’ saya berkurang. Malah semakin yakin dengan cerita yang sering saya baca di travel blog yang ditulis orang-orang Barat yang sudah pernah mengunjungi Iran. Mereka terkesan dengan keramahtamahan orang Iran.
Tanggal 1 November pagi, saya akhirnya tiba di Bandara Internasional Imam Khomeini yang letaknya 35 kilometer di luar Kota Teheran. Ruang kedatangan internasional tidak ramai. Hanya puluhan orang saja. Rata-rata orang bule. Mereka, termasuk saya, langsung mengantre di konter visa.
Petugas di konter visa memberikan formulir yang isinya sangat ringkas. Data-data sponsor dituliskan di bagian akhir. Ketika melihat paspor saya, petugas itu bertanya,”Anda Muslim?” Iya,” jawab saya. “Syiah apa Sunni” tanyanya lagi. “Sunni.”
Ia tersenyum hangat dan tidak ada lagi pertanyaan. Ia kemudian menyerahkan paspor saya yang sudah ditempeli visa. Saya melangkahkan kaki ke bagian imigrasi dan tidak ada antrean panjang. Hanya satu orang di depan saya. Seorang petugas imigrasi mendekat dan menyapa, lalu menanyakan asal saya. “Saya dari Indonezy,” jawab saya menirukan pengucapan orang Iran.
Ia lalu bertanya lagi, “Anda Muslim?” Iya,” jawab saya. Ia meninggalkan saya dan menemui rekannya yang bertugas memeriksa. Saya mendengar ia mengatakan sesuatu tetapi saya tidak pahami. Keduanya berbicara bahasa Farsi.
Ketika giliran saya untuk pemeriksaan paspor, petugas imigrasi itu sama sekali tidak bertanya. Ia langsung memberi cap pada paspor saya dan mempersilahkan saya menikmati liburan di Iran.
Setelah melewati pemeriksaan imigrasi, saya beranjak ke bagian pengambilan bagasi. Saya melihat pria Australia yang sebelumnya sama-sama mengurus VoA, kebingungan karena tidak menemukan tasnya. Saya menyapanya dan berbincang dengannya sambil menunggu tasnya. Namanya John. Ia juga tidak menginap di hotel, tetapi di rumah temannya yang baru dikenalnya.
Kami kemudian sepakat untuk menumpang sharing taxi atau mustakim dari bandara ke pusat Kota Teheran. Seperti di Batam, taksi di Bandara Imam Khomeini juga tidak menggunakan argometer dan bisa ditumpangi bersama-sama. Saya ikut John ke rumah temannya karena teman saya bekerja hingga pukul 18.00.
Cuaca dingin menyapa ketika keluar dari bandara. Musim dingin memang sudah hampir mendekat. Sejumlah sopir taksi menawarkan taksinya dengan sopan. Awalnya mereka menyebut 30 dolar Amerika, tetapi kemudian turun jadi 24 dolar Amerika setelah kami tawar. Taksi meninggalkan bandara dan melaju di jalan mulus yang sepi. Sopir taksi itu mengajak kami berbincang meski ia hanya tahu beberapa kata bahasa Inggris. Lalu mengajari kami beberapa bahasa Farsi.
Tepat tengah hari, kami tiba di rumah teman John. Namanya Ali, seorang dosen di salah satu perguruan tinggi di Iran. Ia dan ibunya menyambut hangat kedatangan kami. Mengalahkan cuaca dingin yang sedang merayap datang. Ali bertanya,”kalian sudah makan?” Belum” jawab saya dan John hampir bersamaan. “Oke, ibu saya sudah menyiapkan makanan,” katanya.
Ibu Ali menghidangkan nasi bumbu herbal, ayam kari, sayuran, dan puding yang terbuat dari nasi. Disela-sela makan siang itu, kami berbagi cerita. Ali menceritakan kondisi dan budaya negaranya. Ali juga mengingatkan hal-hal yang tak boleh dilakukan. “Jangan menyapa atau bertanya kepada wanita yang berjalan sendiri. Kamu bisa bertanya pada wanita yang bersama pasangannya tetapi pasti yang menjawab itu si pria,” jelasnya.
Usai makan siang, Ali menawarkan layanan internet di rumahnya kalau-kalau kami butuh. Tentu saja saya dan John senang hati menerima tawaran itu. Ali memberikan kata kunci dan smartphone saya pun terhubung dengan internet. Saya mendapat pesan dari Reza Jamili. Ia mengatakan akan berada di kantornya hingga malam, tetapi ia meninggalkan kunci rumahnya untuk saya di kedai dekat apartemennya. Ia mempersilahkan saya datang ke apartemennya dan mengambil kunci yang ia titipkan.
“Nanti saya yang antar ke sana,” ujar Ali setelah mengetahui pesan dari teman saya itu.
Usai Magrib, saya tiba di apartemen teman saya. Tetapi saya tak mendapatkan kunci yang ia titipkan di kedai sayur dekat rumahnya. Pria di kedai itu tak paham bahasa Inggris dan saya tak paham bahasa Farsi. Saya nekat memencet salah satu bel apartemen berlantai empat itu. Seorang wanita menjawab. Saya bertanya dalam bahasa Inggris tetapi ia menjawabnya dengan bahasa Farsi. Saya pencet bel kedua, pria yang menjawab bisa berbahasa Inggris tetapi tidak mengenali teman saya. Saya pun bingung.
Dilanda kebingungan, saya melipir ke bengkel di depan apartemen itu. Lima orang pria sedang berbincang-bincang. Tak satu pun yang bisa bahasa Inggris. Tetapi mereka segera memberikan saya tempat duduk, menawarkan rokok, dan kopi. Saya tolak karena tidak merokok dan bukan penikmat kopi. Mereka berusaha mengajak berbincang meski bahasanya tak ketemu. Bicaranya bersemangat dan hangat. Salah satunya kemudian meminta nomor telepon teman saya dan menghubunginya. Teman saya menyampaikan akan datang segera.
Tak lama, ada yang datang menjemput saya tetapi bukan teman saya. Ternyata ia keponakan teman saya. Ia merangkul dan mengajak saya ke apartemen. Dengan sopan, Majid namanya, mempersilahkan masuk. Ia lalu tiba-tiba membungkuk dan hendak membukakan sepatu saya. Saya menolak karena sambutan itu berlebihan buat saya.
Ia pun segera ke dapur dan membuatkan teh untuk saya. Teh yang dimasak selama 15 menit. Teh panas itu mengangatkan tubuh saya yang kedinginan karena terlalu lama di luar ruang. Sambil menikmati teh, saya berbincang dengan Majid. Ia hanya tahu beberapa kata bahasa Inggris tetapi berusaha mengimbangi obrolan kami.
Pukul 20:30 waktu Iran, teman saya akhirnya pulang kerja. Reza tersenyum lebar begitu melihat saya. Ia langsung menawarkan makan malam. Roti pipih yang super lebar, namanya engask, ia hidangkan bersama sayuran, telur orak-arik, biji zaitun, dan madu. Makan malam itu diselingi obrolan dan pertanyaan-pertanyaan. Bahkan soal pekerjaan kami. Sebab, sama-sama bekerja sebagai jurnalis. Reza juga menceritakan keramahtamahan orang-orang Iran terhadap orang asing atau turis yang berkunjung ke Iran.
“Anda adalah tamu di Iran. Orang-orang akan mengundang Anda ke rumahnya,” ungkap Reza.
Keramahtamahan yang saya temukan di hari pertama menjejakkan kaki di tanah bangsa Arya itu benar-benar mengesankan. Bahkan banyak kejutan-kejutan pada hari-hari berikutnya. Ketika hendak jalan-jalan dan saya belum menukarkan uang dolar dengan uang Rial, Reza memberikan uang 120 Rial untuk ongkos taksi dan metro.
Di jalan, orang-orang yang berpapasan seringkali menatap dan tersenyum ramah. Ada juga yang menyapa. Di metro (kereta bawa tanah), orang-orang menyapa saya dan menanyakan asal saya. “Kamu dari Peru,” tanya seorang pria di hadapan saya sambil tersenyum. “Bukan” jawab saya. “Dari Philipina? “Bukan, saya dari Indonesia,” kata saya.
Ketika tahu saya dari Indonesia, mereka tampak senang. Tetapi ada juga yang tak percaya saya orang Indonesia. Saat jalan kaki, seorang pria tua menyapa dan mengira saya dari Afganistan.
“Bukan. Saya dari Indonesia,” jawab saya. Tetapi dia tetap tak percaya dan ngotot dengan dugaannya.”Tidak. Kamu dari Afganistan,” katanya disertai senyum. Saya pun ngotot dan akhirnya dia menyerah.
Setelah tiga hari di Teheran, saya ke Isfahan. Kota Budaya Iran. Reza menanyakan apakah saya sudah menukar duit. Saya pun memperlihatkan uang yang diberikan sehari sebelumnya. “Itu tidak cukup,” katanya.
Saat melewati ATM, ia singgah dan mengambil duit. “Ini untuk beli tiket dan ongkos taksi kamu nanti,” katanya sembari menyerahkan uang 600 ribu Rial. “Okay, saya akan berikan uang dolar,” kata saya dan Reza menolaknya.
Keramahtamahan dan kebaikan orang-orang Iran itu terus menghampiri saya. Kerahamahtamahan yang sesungguhnya dan tulus. Tak hanya orang-orang dewasa, keramahtamahan itu juga ditunjukkan anak-anak muda dan remaja.
Di lain hari, saya masuk ke Kentucky House yang dipadati orang lokal. Hanya saya orang asing. Saya tidak mendapatkan tempat duduk di Kentucky House untuk makan siang, dan seorang remaja akhirnya membagikan tempat duduknya. Tubuhnya agak bongsor. Awalnya, saya sempat kaget melihat pesanan makanannya yang jumbo. Satu loyang pizza, salad satu mangkok besar, dan satu piring kentang goreng. Sementara saya memesan burger ukuran besar dan minuman ringan.
Tak saya sangka, ketika seorang perempuan ingin merasakan nikmatnya pizza itu dan meminta secuil, remaja itu malah memberikan satu potong. Tak hanya sekali, seseorang mendatanginya. Seorang anak kecil datang menawarkan tisu, ia langsung membelinya dan memberikan uang yang lebih. Bahkan ia menawarkan pizza dan anak perempuan itu pun tersenyum senang.
Tak lama setelah anak perempuan itu pergi, muncul anak kecil lainnya menawarkan jualan yang sama. Ia pun membelinya dan lagi-lagi memberikan uang lebih. Saat anak laki-laki itu hendak pergi, ia membekalinya dengan sepotong pizza dan salad yang belum disentuhnya. Ia memberikannya dengan tulus, seperti seorang kakak kepada adiknya.
bersambung....
AHMADI SULTAN, Teheran
Satu setengah bulan sebelum perjalanan solo (solo traveling) ke Iran, keramahtamahan orang Iran sudah terasa. Melalui sebuah laman jejaring sosial penggemar traveling, Couchsurfing, seorang warga Teheran yang mengetahui rencana perjalanan saya mengirimkan pesan. Ia menawarkan bantuan kepada saya untuk mendapatkan visa on arrival (VoA).
Bagi warga Indonesia, kunjungan singkat atau dua pekan dengan tujuan wisata bisa mendapatkan VoA di lima bandara internasional di Iran, dengan sponsor atau penjamin. Warga Iran yang baru saya kenal itulah yang menjadi sponsor atau penjamin. Ia mengirimkan data-data pribadinya yang diperlukan dan ditulis dalam formulir visa yang akan didapatkan di bandara.
Namanya Mojtaba Abdoulrahimkan. Dialah orang Iran pertama yang menjadi teman saya. Tetapi dia sudah berteman lebih dulu dengan Duta Besar Indonesia untuk Iran, Dian Wirengjurit. Mereka berteman dalam komunitas fotografi di Iran.
Mojtaba kemudian banyak bercerita tentang hobi Dubes Indonesia ini, padahal kami belum pernah bertemu. Ia menceritakan kegiatan fotografi mereka. Lalu menghubungkan saya dengan Dubes Indonesia.
Dua pekan sebelum berangkat, saya menemukan teman baru lagi melalui Couchsurfing. Seorang jurnalis dan pimpinan redaksi di dua media di Tehran. Namanya Reza Jamili. Kesamaan profesi membuat ia tertarik untuk menyediakan rumahnya saya tumpangi.
Mendapat teman di Iran, rasa ‘takut’ saya berkurang. Malah semakin yakin dengan cerita yang sering saya baca di travel blog yang ditulis orang-orang Barat yang sudah pernah mengunjungi Iran. Mereka terkesan dengan keramahtamahan orang Iran.
Tanggal 1 November pagi, saya akhirnya tiba di Bandara Internasional Imam Khomeini yang letaknya 35 kilometer di luar Kota Teheran. Ruang kedatangan internasional tidak ramai. Hanya puluhan orang saja. Rata-rata orang bule. Mereka, termasuk saya, langsung mengantre di konter visa.
Petugas di konter visa memberikan formulir yang isinya sangat ringkas. Data-data sponsor dituliskan di bagian akhir. Ketika melihat paspor saya, petugas itu bertanya,”Anda Muslim?” Iya,” jawab saya. “Syiah apa Sunni” tanyanya lagi. “Sunni.”
Ia tersenyum hangat dan tidak ada lagi pertanyaan. Ia kemudian menyerahkan paspor saya yang sudah ditempeli visa. Saya melangkahkan kaki ke bagian imigrasi dan tidak ada antrean panjang. Hanya satu orang di depan saya. Seorang petugas imigrasi mendekat dan menyapa, lalu menanyakan asal saya. “Saya dari Indonezy,” jawab saya menirukan pengucapan orang Iran.
Ia lalu bertanya lagi, “Anda Muslim?” Iya,” jawab saya. Ia meninggalkan saya dan menemui rekannya yang bertugas memeriksa. Saya mendengar ia mengatakan sesuatu tetapi saya tidak pahami. Keduanya berbicara bahasa Farsi.
Ketika giliran saya untuk pemeriksaan paspor, petugas imigrasi itu sama sekali tidak bertanya. Ia langsung memberi cap pada paspor saya dan mempersilahkan saya menikmati liburan di Iran.
Setelah melewati pemeriksaan imigrasi, saya beranjak ke bagian pengambilan bagasi. Saya melihat pria Australia yang sebelumnya sama-sama mengurus VoA, kebingungan karena tidak menemukan tasnya. Saya menyapanya dan berbincang dengannya sambil menunggu tasnya. Namanya John. Ia juga tidak menginap di hotel, tetapi di rumah temannya yang baru dikenalnya.
Kami kemudian sepakat untuk menumpang sharing taxi atau mustakim dari bandara ke pusat Kota Teheran. Seperti di Batam, taksi di Bandara Imam Khomeini juga tidak menggunakan argometer dan bisa ditumpangi bersama-sama. Saya ikut John ke rumah temannya karena teman saya bekerja hingga pukul 18.00.
Cuaca dingin menyapa ketika keluar dari bandara. Musim dingin memang sudah hampir mendekat. Sejumlah sopir taksi menawarkan taksinya dengan sopan. Awalnya mereka menyebut 30 dolar Amerika, tetapi kemudian turun jadi 24 dolar Amerika setelah kami tawar. Taksi meninggalkan bandara dan melaju di jalan mulus yang sepi. Sopir taksi itu mengajak kami berbincang meski ia hanya tahu beberapa kata bahasa Inggris. Lalu mengajari kami beberapa bahasa Farsi.
Tepat tengah hari, kami tiba di rumah teman John. Namanya Ali, seorang dosen di salah satu perguruan tinggi di Iran. Ia dan ibunya menyambut hangat kedatangan kami. Mengalahkan cuaca dingin yang sedang merayap datang. Ali bertanya,”kalian sudah makan?” Belum” jawab saya dan John hampir bersamaan. “Oke, ibu saya sudah menyiapkan makanan,” katanya.
Ibu Ali menghidangkan nasi bumbu herbal, ayam kari, sayuran, dan puding yang terbuat dari nasi. Disela-sela makan siang itu, kami berbagi cerita. Ali menceritakan kondisi dan budaya negaranya. Ali juga mengingatkan hal-hal yang tak boleh dilakukan. “Jangan menyapa atau bertanya kepada wanita yang berjalan sendiri. Kamu bisa bertanya pada wanita yang bersama pasangannya tetapi pasti yang menjawab itu si pria,” jelasnya.
Usai makan siang, Ali menawarkan layanan internet di rumahnya kalau-kalau kami butuh. Tentu saja saya dan John senang hati menerima tawaran itu. Ali memberikan kata kunci dan smartphone saya pun terhubung dengan internet. Saya mendapat pesan dari Reza Jamili. Ia mengatakan akan berada di kantornya hingga malam, tetapi ia meninggalkan kunci rumahnya untuk saya di kedai dekat apartemennya. Ia mempersilahkan saya datang ke apartemennya dan mengambil kunci yang ia titipkan.
“Nanti saya yang antar ke sana,” ujar Ali setelah mengetahui pesan dari teman saya itu.
Usai Magrib, saya tiba di apartemen teman saya. Tetapi saya tak mendapatkan kunci yang ia titipkan di kedai sayur dekat rumahnya. Pria di kedai itu tak paham bahasa Inggris dan saya tak paham bahasa Farsi. Saya nekat memencet salah satu bel apartemen berlantai empat itu. Seorang wanita menjawab. Saya bertanya dalam bahasa Inggris tetapi ia menjawabnya dengan bahasa Farsi. Saya pencet bel kedua, pria yang menjawab bisa berbahasa Inggris tetapi tidak mengenali teman saya. Saya pun bingung.
Dilanda kebingungan, saya melipir ke bengkel di depan apartemen itu. Lima orang pria sedang berbincang-bincang. Tak satu pun yang bisa bahasa Inggris. Tetapi mereka segera memberikan saya tempat duduk, menawarkan rokok, dan kopi. Saya tolak karena tidak merokok dan bukan penikmat kopi. Mereka berusaha mengajak berbincang meski bahasanya tak ketemu. Bicaranya bersemangat dan hangat. Salah satunya kemudian meminta nomor telepon teman saya dan menghubunginya. Teman saya menyampaikan akan datang segera.
Tak lama, ada yang datang menjemput saya tetapi bukan teman saya. Ternyata ia keponakan teman saya. Ia merangkul dan mengajak saya ke apartemen. Dengan sopan, Majid namanya, mempersilahkan masuk. Ia lalu tiba-tiba membungkuk dan hendak membukakan sepatu saya. Saya menolak karena sambutan itu berlebihan buat saya.
Ia pun segera ke dapur dan membuatkan teh untuk saya. Teh yang dimasak selama 15 menit. Teh panas itu mengangatkan tubuh saya yang kedinginan karena terlalu lama di luar ruang. Sambil menikmati teh, saya berbincang dengan Majid. Ia hanya tahu beberapa kata bahasa Inggris tetapi berusaha mengimbangi obrolan kami.
Pukul 20:30 waktu Iran, teman saya akhirnya pulang kerja. Reza tersenyum lebar begitu melihat saya. Ia langsung menawarkan makan malam. Roti pipih yang super lebar, namanya engask, ia hidangkan bersama sayuran, telur orak-arik, biji zaitun, dan madu. Makan malam itu diselingi obrolan dan pertanyaan-pertanyaan. Bahkan soal pekerjaan kami. Sebab, sama-sama bekerja sebagai jurnalis. Reza juga menceritakan keramahtamahan orang-orang Iran terhadap orang asing atau turis yang berkunjung ke Iran.
“Anda adalah tamu di Iran. Orang-orang akan mengundang Anda ke rumahnya,” ungkap Reza.
Keramahtamahan yang saya temukan di hari pertama menjejakkan kaki di tanah bangsa Arya itu benar-benar mengesankan. Bahkan banyak kejutan-kejutan pada hari-hari berikutnya. Ketika hendak jalan-jalan dan saya belum menukarkan uang dolar dengan uang Rial, Reza memberikan uang 120 Rial untuk ongkos taksi dan metro.
Di jalan, orang-orang yang berpapasan seringkali menatap dan tersenyum ramah. Ada juga yang menyapa. Di metro (kereta bawa tanah), orang-orang menyapa saya dan menanyakan asal saya. “Kamu dari Peru,” tanya seorang pria di hadapan saya sambil tersenyum. “Bukan” jawab saya. “Dari Philipina? “Bukan, saya dari Indonesia,” kata saya.
Ketika tahu saya dari Indonesia, mereka tampak senang. Tetapi ada juga yang tak percaya saya orang Indonesia. Saat jalan kaki, seorang pria tua menyapa dan mengira saya dari Afganistan.
“Bukan. Saya dari Indonesia,” jawab saya. Tetapi dia tetap tak percaya dan ngotot dengan dugaannya.”Tidak. Kamu dari Afganistan,” katanya disertai senyum. Saya pun ngotot dan akhirnya dia menyerah.
Setelah tiga hari di Teheran, saya ke Isfahan. Kota Budaya Iran. Reza menanyakan apakah saya sudah menukar duit. Saya pun memperlihatkan uang yang diberikan sehari sebelumnya. “Itu tidak cukup,” katanya.
Saat melewati ATM, ia singgah dan mengambil duit. “Ini untuk beli tiket dan ongkos taksi kamu nanti,” katanya sembari menyerahkan uang 600 ribu Rial. “Okay, saya akan berikan uang dolar,” kata saya dan Reza menolaknya.
Keramahtamahan dan kebaikan orang-orang Iran itu terus menghampiri saya. Kerahamahtamahan yang sesungguhnya dan tulus. Tak hanya orang-orang dewasa, keramahtamahan itu juga ditunjukkan anak-anak muda dan remaja.
Di lain hari, saya masuk ke Kentucky House yang dipadati orang lokal. Hanya saya orang asing. Saya tidak mendapatkan tempat duduk di Kentucky House untuk makan siang, dan seorang remaja akhirnya membagikan tempat duduknya. Tubuhnya agak bongsor. Awalnya, saya sempat kaget melihat pesanan makanannya yang jumbo. Satu loyang pizza, salad satu mangkok besar, dan satu piring kentang goreng. Sementara saya memesan burger ukuran besar dan minuman ringan.
Tak saya sangka, ketika seorang perempuan ingin merasakan nikmatnya pizza itu dan meminta secuil, remaja itu malah memberikan satu potong. Tak hanya sekali, seseorang mendatanginya. Seorang anak kecil datang menawarkan tisu, ia langsung membelinya dan memberikan uang yang lebih. Bahkan ia menawarkan pizza dan anak perempuan itu pun tersenyum senang.
Tak lama setelah anak perempuan itu pergi, muncul anak kecil lainnya menawarkan jualan yang sama. Ia pun membelinya dan lagi-lagi memberikan uang lebih. Saat anak laki-laki itu hendak pergi, ia membekalinya dengan sepotong pizza dan salad yang belum disentuhnya. Ia memberikannya dengan tulus, seperti seorang kakak kepada adiknya.
bersambung....
sumber
Apakah sang jurnalis Batam Pos ini antek Syiah sehingga begitu lebaynya memuji-muji keramahan masyarakat Iran? Apakah Duta Besar Indonesia untuk Iran juga telah dicuci otaknya oleh rezim Syiah Iran? Apakaah bloger-bloger traveler Barat yang mengapresiasi keramahan masyarakat Iran telah kehilangan pula akal sehatnya dan meniadi korban takiyah? Semua bergantung pada praasumsi masing-masing tentang Iran dan Syiah. dan semua praasumsi ini erat kaitannya dengan asupan informasi dan berita yang kita cerap... Selamat membaca!

0
6.2K
Kutip
48
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan