- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Ketua DPR Lecehkan Lembaga Negara dan Merampas Hak Rakyat


TS
siraitparadoks
Ketua DPR Lecehkan Lembaga Negara dan Merampas Hak Rakyat
Quote:
Kegaduhan transkrip rekaman pembicaraan tentang Freeport yang dilakukan Ketua DPR Setya Novanto (SN), pengusaha Muhammad Reza Chalid (MR), dan Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin (MS), membuktikan sangat menyedihkan bahwa dari transkrip pembicaraan antara SN, MR, dan MS yang sedang membicarakan perpanjangan kontrak itu tidak sekalipun terdengar kata "rakyat". Pelaku yang merupakan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat sudah lupa akan posisinya. Kepentingan rakyat jauh dari orbit pemikirannya. Yang menjadi topik justru dugaan bagi-bagi saham ke beberapa pihak tanpa menyertakan rakyat. Ini menyedihkan karena yang sedang dibicarakan dalam transkrip tersebut adalah soal kekayaan alam besar di perut bumi Indonesia. Membicarakan kekayaan alam tanpa menyebut rakyat jelas mengingkari amanat konstitusi. Pasal 33 UUD 1945 tegas menyatakan "Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat". Jelaslah bahwa rakyat menjadi tujuan utama pengelolaan kekayaan alam. Bukan untuk para elite partai atau negara.
Sejak awal perjanjian kontrak, manfaat Freeport memang jauh dari kepentingan rakyat. Memang benar bahwa pajak dan royalti yang dibayarkan Freeport sebagian untuk kepentingan rakyat. Namun, ketika pembicaraan sampai pada persoalan divestasi (pelepasan) saham Freeport yang menjadi bagian Pemerintah Indonesia, maka kepentingan rakyat diabaikan. Sebagai contoh pada divestasi 9,36 persen saham Freeport 1991 ketika kontrak kerja diperpanjang untuk 20 tahun ke depan, pemilik sahamnya justru bukan pemerintah atau BUMN, tetapi PT Indocopper milik Bakrie Brothers. Bagaimana bisa kepemilikan saham pemerintah begitu mudah dikuasai swasta? Bagaimana Ginandjar Kartasasmita waktu itu bisa memberikan kepada Bakrie? Sisa kepemilikan saham hingga 20 persen yang mestinya dikuasai Pemerintah Indonesia, kemudian tidak diberikan. Pemerintah justru mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1994 yang membolehkan kepemilikan saham oleh penanaman modal asing hingga 100 persen. Jika dilogika, aturan ini sangat aneh: membiarkan asing menguasai saham 100 persen. Tidak sedikit pun dari aturan itu memihak kepentingan rakyat.
Pelecehan lembaga negara
Peran Ketua DPR dalam pembicaraan tersebut seperti peran makelar. Barangkali peran sejenis makelar masih akan dihargai orang seandainya kata rakyat menjadi bagian dari pembicaraan itu. Namun, yang terjadi sungguh sangat tidak pantas. Tindakan Ketua DPR membawa pengusaha swasta dalam pertemuan itu sudah sangat merendahkan martabat lembaga DPR dan sekaligus bangsa ini. Jabatan Ketua Dewan yang begitu mulia direduksi perannya hanya sebagai makelar. Selanjutnya peran sebagai makelar pun tak ada niat untuk membela rakyat. Lengkaplah sudah pelecehan terhadap jabatan mulia ketua dan lembaga tinggi DPR dan pengabaian kepentingan rakyat. Dari transkrip itu juga bisa diketahui tidak ada upaya sedikitpun dari Ketua Dewan untuk mengusahakan pembagian keuntungan atau royalti atau kepemilikan saham Freeport yang lebih menguntungkan bagi kepentingan bangsa. Seakan justru Ketua Dewan ingin memelihara keadaan yang sekian lama merugikan kepentingan rakyat atau bangsa. Urusan kekayaan alam ternyata memang hanya milik para elite politik dan penguasa. Rakyat hanya dibicarakan saat pemilu atau pilkada. Setelah itu, tidak ada kata rakyat di kamus sebagian besar anggota DPR dan juga para elite politik. Sangat disayangkan bahwa para elite yang membicarakan kekayaan itu lebih berpihak pada kepentingan asing dan kelompoknya daripada mengusahakan kemakmuran untuk bangsanya. Mungkin Freeport hanya salah satu. Bagaimana dengan kekayaan bumi Indonesia yang lain, misalnya Newmont?
Kini Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) melengkapi kebusukan itu dengan menutupi apa yang disampaikan Ketua Dewan dari pantauan publik. MKD secara tidak langsung telah mendukung tindakan Ketua Dewan yang lebih mementingkan pribadi dan kelompok serta asing daripada memikirkan rakyatnya. Kita masih berharap bahwa Freeport akan memberikan saham ke pemerintah hingga 20 persen. Mestinya sudah diwujudkan pada Oktober 2015. Namun, belum terwujud hingga kini. Pemerintah merencanakan kali ini saham tidak akan dikuasai swasta, seperti masa lalu, melainkan akan diberikan kepada BUMN, seperti PT Aneka Tambang atau Inalum. Ini baru keputusan yang tepat. Walaupun belum tentu juga penguasaan oleh BUMN akan menjamin kemakmuran rakyat, tetapi dari sisi keadilan itu sudah suatu kemajuan. Kita tunggu hasilnya. Setidaknya sudah ada usaha perbaikan dari sisi eksekutif. Kisah Ketua Dewan dalam hal Freeport ini mungkin hanya satu dari sekian banyak kasus di mana rakyat tidak menjadi tujuan utama dari sepak terjang para elite politik yang sedang menjalankan amanat rakyat pemilihnya. Kita berharap perilaku para elite politik bisa berubah. Kalau tidak, bangsa ini akan semakin terjerumus dalam kangkangan pihak-pihak yang hanya memikirkan kepentingan sempit pribadi dan kelompoknya, bisa asing di bangsa sendiri.
Sejak awal perjanjian kontrak, manfaat Freeport memang jauh dari kepentingan rakyat. Memang benar bahwa pajak dan royalti yang dibayarkan Freeport sebagian untuk kepentingan rakyat. Namun, ketika pembicaraan sampai pada persoalan divestasi (pelepasan) saham Freeport yang menjadi bagian Pemerintah Indonesia, maka kepentingan rakyat diabaikan. Sebagai contoh pada divestasi 9,36 persen saham Freeport 1991 ketika kontrak kerja diperpanjang untuk 20 tahun ke depan, pemilik sahamnya justru bukan pemerintah atau BUMN, tetapi PT Indocopper milik Bakrie Brothers. Bagaimana bisa kepemilikan saham pemerintah begitu mudah dikuasai swasta? Bagaimana Ginandjar Kartasasmita waktu itu bisa memberikan kepada Bakrie? Sisa kepemilikan saham hingga 20 persen yang mestinya dikuasai Pemerintah Indonesia, kemudian tidak diberikan. Pemerintah justru mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1994 yang membolehkan kepemilikan saham oleh penanaman modal asing hingga 100 persen. Jika dilogika, aturan ini sangat aneh: membiarkan asing menguasai saham 100 persen. Tidak sedikit pun dari aturan itu memihak kepentingan rakyat.
Pelecehan lembaga negara
Peran Ketua DPR dalam pembicaraan tersebut seperti peran makelar. Barangkali peran sejenis makelar masih akan dihargai orang seandainya kata rakyat menjadi bagian dari pembicaraan itu. Namun, yang terjadi sungguh sangat tidak pantas. Tindakan Ketua DPR membawa pengusaha swasta dalam pertemuan itu sudah sangat merendahkan martabat lembaga DPR dan sekaligus bangsa ini. Jabatan Ketua Dewan yang begitu mulia direduksi perannya hanya sebagai makelar. Selanjutnya peran sebagai makelar pun tak ada niat untuk membela rakyat. Lengkaplah sudah pelecehan terhadap jabatan mulia ketua dan lembaga tinggi DPR dan pengabaian kepentingan rakyat. Dari transkrip itu juga bisa diketahui tidak ada upaya sedikitpun dari Ketua Dewan untuk mengusahakan pembagian keuntungan atau royalti atau kepemilikan saham Freeport yang lebih menguntungkan bagi kepentingan bangsa. Seakan justru Ketua Dewan ingin memelihara keadaan yang sekian lama merugikan kepentingan rakyat atau bangsa. Urusan kekayaan alam ternyata memang hanya milik para elite politik dan penguasa. Rakyat hanya dibicarakan saat pemilu atau pilkada. Setelah itu, tidak ada kata rakyat di kamus sebagian besar anggota DPR dan juga para elite politik. Sangat disayangkan bahwa para elite yang membicarakan kekayaan itu lebih berpihak pada kepentingan asing dan kelompoknya daripada mengusahakan kemakmuran untuk bangsanya. Mungkin Freeport hanya salah satu. Bagaimana dengan kekayaan bumi Indonesia yang lain, misalnya Newmont?
Kini Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) melengkapi kebusukan itu dengan menutupi apa yang disampaikan Ketua Dewan dari pantauan publik. MKD secara tidak langsung telah mendukung tindakan Ketua Dewan yang lebih mementingkan pribadi dan kelompok serta asing daripada memikirkan rakyatnya. Kita masih berharap bahwa Freeport akan memberikan saham ke pemerintah hingga 20 persen. Mestinya sudah diwujudkan pada Oktober 2015. Namun, belum terwujud hingga kini. Pemerintah merencanakan kali ini saham tidak akan dikuasai swasta, seperti masa lalu, melainkan akan diberikan kepada BUMN, seperti PT Aneka Tambang atau Inalum. Ini baru keputusan yang tepat. Walaupun belum tentu juga penguasaan oleh BUMN akan menjamin kemakmuran rakyat, tetapi dari sisi keadilan itu sudah suatu kemajuan. Kita tunggu hasilnya. Setidaknya sudah ada usaha perbaikan dari sisi eksekutif. Kisah Ketua Dewan dalam hal Freeport ini mungkin hanya satu dari sekian banyak kasus di mana rakyat tidak menjadi tujuan utama dari sepak terjang para elite politik yang sedang menjalankan amanat rakyat pemilihnya. Kita berharap perilaku para elite politik bisa berubah. Kalau tidak, bangsa ini akan semakin terjerumus dalam kangkangan pihak-pihak yang hanya memikirkan kepentingan sempit pribadi dan kelompoknya, bisa asing di bangsa sendiri.
Yang terlibat pasti masuk NERAKA JAHANAM,, INGAT HIDUP ITU SEMENTARA jgan BERBANGGA BISA KAYA KARENA CARA KOTOR... MAKAN TUHHH KEKAYAAN TOHH MATI GX BAWA DUIT..... 

Spoiler for :
Diubah oleh siraitparadoks 15-12-2015 09:52
0
3.9K
Kutip
42
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan