- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Setya Novanto memiliki kemampuan lobi diatas rata-rata


TS
sukamto77
Setya Novanto memiliki kemampuan lobi diatas rata-rata
SAJIAN KHUSUS (Setya Novanto), 16/1999
Episode Kelabu Setya Novanto
Sebagai pengusaha muda ia sempat melejit. Ia pun sukses berkiprah di
panggung politik. Benarkah ia hebat?
Agustus 1999, barangkali bulan yang paling gegap-gempita dalam catatan
hidup Setya Novanto. Hari-hari belakangan ini, pengusaha muda yang selalu
tampil necis dengan semerbak parfum ini bak seorang selebriti yang
memancarkan aura popularitas. Ia diburu pul uhan wartawan dalam negeri dan
luar negeri. Kilatan lampu blitz dan sorotan kamera televisi kerap
mengiringi ayunan langkahnya. Bahkan, ketika berakhir pekan dengan
putranya di bioskop pun ia tak lepas dari kuntitan wartawan. Para nyamuk
pers ini setia me nongkrongi kediamannya di Pondok Indah, Jakarta Selatan.
"Saya capai, betul-betul capai," ungkap Nova -- begitu ia akrab disapa --
sembari mengusap muka dengan kedua tangannya.
Belakangan ini, hampir semua media cetak dan TV memuat wawancara dan sepak
terjangnya. Jangan salah, bukan popularitas yang didapat. Hujatan dan
kecurigaan mengarah ke ayah sepasang putra-putri ini. "Bagi saya pribadi
tak soal, saya sudah tahan banting," ujarnya kalem. Ia mengaku tak bisa
menikmati publikasi media akhir-akhir ini. Maklum, yang diberitakan bukan
lagi prestasinya sebagai pengusaha. "Saya sedih karena dampak pemberitaan
itu juga dirasakan keluarga saya," tuturnya dengan wajah muram.
Suami Luciana Lily Herliyanti ini memang wajar menyimpan kegundahan.
Akibat liputan pers akhir-akhir ini, orang tuanya jatuh sakit. "Kedua anak
saya pun pulang sekolah menangis dan mengadu pada ibunya, apa dosa Bapak,
Bapak ditangkap, ya, Bapak salah engg ak sih?" ceritanya. Masih dengan
nada sedih, Nova mengungkapkan keprihatinannya kepada guru putrinya di
sekolah bergengsi yang khusus untuk orang-orang berduit, Sekolah Global
Jaya. "Kamu tanya bapakmu siapa," ungkapnya. Ia mengaku akan protes keras
kepad a guru tersebut. Namun, setelah dijelaskan, buah hatinya, Rezha
Herwindo (11 tahun) dan Dwina Michaela (9 tahun), bisa mengerti. "Yang
jelas, saya tidak mungkin melakukan kesalahan dalam hal ini," tandas
menantu mantan Wakil Kapolda Jawa Barat, Brigjen Su dharsono.
Siang itu Nova yang mengenakan setelan celana dan jas dark blue terlihat
muram dan kuyu. Gurat-gurat kelelahan tak bisa ia sembunyikan, meski ia
berusaha rileks dan banyak mengumbar senyum. "Saya ngantuk sekali, saya
mau cuci muka dulu, ya," pintanya kepa da SWA yang siang itu, Kamis 5
Agustus lalu, menemuinya di ruang kerjanya yang cukup lapang dan tertata
apik di Plaza Bank Mandiri, lantai 26. Sembari berbincang-bincang, ia yang
ditemani beberapa stafnya tak bisa duduk tenang. Ia kerap mondar-mandir
anta ra meja tamu dan meja kerjanya. Bahkan, beberapa kali ia minta izin
keluar ruangan. Entah apa yang dikerjakan. Ia pun beberapa kali menerima
telepon masuk. "Gila, kasus ini benar-benar menguras energi saya. Dalam
seminggu ini berat badan saya turun dua ki logram," ungkapnya terus
terang.
Kasus transaksi pembelian hak piutang Bank Bali (BB) ke Bank Dagang
Nasional Indonesia oleh PT Era Giat Prima (EGP) yang mencuat awal bulan
ini telah melambungkan nama Nova. Maklum, Chairman kerajaan bisnis Grup
Nova -- menaungi sekitar 11 perusahaan -- d an wakil bendahara Partai
Golkar ini adalah orang nomor satu di EGP. Seiring dengan bergulirnya
kasus pembobolan Rp 905 miliar yang menghebohkan itu, nama "harum"
pengusaha bershio kuda ini pun dipertaruhkan. Pasalnya, kasus BB bukan
semata transaksi bisn is. Ditengarai, dana miliaran rupiah yang masuk
kocek pribadi dan EGP digunakan untuk kepentingan partai berlambang
beringin demi mengegolkan B.J. Habibie ke kursi presiden yang kedua kali.
Tak urung, isu money politic pun semakin keras menghantam partai yang di
zaman reformasi ini kabarnya menawarkan paradigma baru.
Selama ini, Nova yang 12 November mendatang berusia 44 tahun memang
memiliki dua "wajah". Sebagai pengusaha, ia dikenal binaan konglomerat
Sudwikatmono. Ia dipercaya Pak Dwi -- begitulah ia menyapa sang suhu --
menjadi tangan kanannya untuk menggerakkan r oda bisnis Grup Global Putera
Nasional, pemilik 15 anak perusahaan.
Menurut Dwi, ia dua kali bertemu dengan Nova. Yang pertama, beberapa hari
setelah kasus BB mencuat ke permukaan, dan yang kedua, pada Senin, 2
Agustus lalu. Dwi menuturkan, Nova datang bersama seorang temannya bernama
Nursalim. "Kami ketawa-ketawa saja, y ang dibicarakan hanya urusan
bisnis," ungkapnya. Sayangnya, ia tidak merinci bisnis apa yang
dibicarakan itu. Memang, Dwi menanyakan kasus BB, dan menurut pengakuan
Nova, apa yang ia lakukan hanya bisnis biasa. Dwi menambahkan, "Saya rasa
dia tidak bohong , orangnya jujur, dan sampai sekarang dia tidak pernah
membohongi saya."
Terlepas dari kasus itu, Dwi bangga karena kini Nova sudah berhasil
sebagai pengusaha. "Saya senang, dia maju. Tapi, saya tidak tahu-menahu
dan tidak mengikuti kasus itu," jelasnya. Saat ini, tambahnya, ia tidak
membimbing Nova lagi. Ia hanya menasihatiny a, agar berhati-hati dalam
menjalankan bisnis debt collection, sebab "Bisnis itu banyak risikonya."
Juga, agar Nova tidak mencampuradukkan bisnis dengan politik.
Berdasarkan pengalaman Dwi, Nova dan Joko Soegiarto Tjandra, bos Grup
Mulia, memang punya kemampuan lobi di atas rata-rata. "Mereka hebat kalau
meyakinkan orang. Menurut saya, mereka jago lobi, dua-duanya hebat,"
jelasnya. Namun, dalam pengamatan Dwi, dib andingkan Nova, Joko lebih
matang.
Sebagai pengusaha, pamor Nova cepat melejit. Sederet perusahaan pun
berhasil dibangunnya, mulai dari jasa, resor, padang golf, real estat,
hotel, kafe, kawasan industri, granit, sampai pertambangan. Bahkan, ia
juga sukses menggandeng --tepatnya digandeng -- sejumlah pengusaha besar.
Putri sulung mantan Presiden Soeharto, Siti Hardijanti Rukmana alias Mbak
Tutut juga mempercayakan kemudi PT Citra Permatasakti Persada di
tangannya. Perusahaan yang mengelola surat izin mengemudi swasta di Polri
ini ditengara i meraup untung gede.
Nama mantan Pria Tampan se-Surabaya 1975 ini memang mulai mencorong
setelah ia diangkat menjadi anak binaan Sudwikatmono. Sebelumnya, meski
telah malang melintang di dunia bisnis, ia boleh dibilang bukan
siapa-siapa. Menerjuni rimba bisnis ketika masih be lia -- setamat SMA IX
Jakarta -- putra ketiga dari 6 bersaudara ini berjualan beras dan madu
bersama seorang temannya. "Untuk mengisi waktu karena saya terlambat ikut
ujian masuk ke Universitas Airlangga, Surabaya," ceritanya pada SWA
beberapa waktu lalu.
Dengan modal Rp 82.500, ketika itu ia mengaku bisa kulakan tiga kuintal
beras. Ketekunannya berusaha membuat ia bisa berjualan beras sampai dua
truk yang langsung diambil dari pusatnya di Lamongan. Saat itu ia juga
punya kios di pasar Keputren, Surabaya.
Sayang, usaha tersebut tak bertahan lama. Predikat juragan beras pun
terpaksa ditanggalkannya karena mitra usahanya mulai tidak jujur. Toh,
pehobi tenis meja ini tak lantas patah arang. Bersama putra Direktur Bank
BRI Surabaya, Hartawan, Nova mengibarkan bendera CV Mandar Teguh. Seiring
dengan itu, ia pun ditawari bekerja oleh bos PT Sinar Mas Galaxi -- diler
Suzuki untuk Indonesia Bagian Timur -- sebagai salesman. Kesempatan itu
tak disia-siakannya. Ia pun memilih membubarkan CV yang baru seumur
jagung. Keputusan tersebut tak dinyana malah mengantarkannya ke tangga
sukses. Dalam waktu relatif singkat, berkat kepiawaiannya menjual, Nova
yang waktu itu berusia 22 tahun dan tercatat sebagai mahasiswa Jurusan
Akuntansi Universitas Widya Mandala Surabaya dipe rcaya menjadi Kepala
Penjualan Mobil untuk wilayah Indonesia Bagian Timur.
Toh, kesuksesan itu tak menyurutkan cita-citanya menjadi pengusaha. "Itu
cita-cita saya sejak kecil," ungkapnya. Dengan jujur dan berani sebagai
pijakan bisnisnya, ia pun melanglang belantara bisnis. Dengan niat
melanjutkan kuliahnya dan meluaskan cakrawa la bisnisnya, ia hijrah ke
Jakarta. Di sela-sela kegiatannya sebagai mahasiswa Jurusan Akuntansi
Universitas Trisaksi, Jakarta, ia tetap menjalankan kiprahnya sebagai
pengusaha. Dibantu istri tercinta, ia mengembangkan pompa bensin milik
mertuanya di Ciko to, Tangerang.
Bisnisnya terus merambah. Bersama beberapa rekannya ia mendirikan PT Obor
Swastika yang mengusahakan peternakan. Lewat usaha inilah putra perwira
AURI ini mengenal jasa bank. Ia mendapat suntikan dana sebesar Rp 200 juta
dari Bank Dagang Negara. Langkahny a pun makin maju seiring intuisi
bisnisnya yang makin tajam. Kemashyuran nama mertua pun secara tak
langsung membantu bisnisnya. Pabrik tekstil Naintex di Bandung
mempercayakan pengadaan bahan baku tekstil maklon kepadanya. Tak sampai di
situ, ia pun berh asil menembus pabrik kertas PN Padalarang dan PN Sandang
dengan memasok pulp bahan baku kertas. "Saat itu saya mulai berkenalan
dengan mitra dagang dari mancanegara," ceritanya.
Rupanya Dewi Fortuna terus mendampinginya. Masih di tahun 1980-an, ia
berhasil mendapatkan tender pembangunan kawasan industri kayu Marunda,
Jakarta Utara. Ia mengaku tak gampang memenangkan tender senilai Rp 1,6
miliar tersebut. Menurut pengakuannya, ia mesti menongkrongi kantor Wali
Kota Jakarta Utara sejak pagi hari. Soalnya, ia empat kali gagal menemui
Pak Wali Kota. Berkat kegigihan dan tangan dinginnya, bisnisnya terus
melaju kencang. Ia pun tak berhenti hanya sebatas jadi kontraktor. Ia
melangkah p ula ke bidang transportasi dan industri lewat PT Duta Kencana
Bakti dan PT Citra Wahana.
Perjalanan membangun bisnisnya memang tak selalu mulus. Ia juga kerap
mendapat kendala. Toh, ambisinya menjadi pengusaha besar tak goyah. "Saya
malah semakin tertantang," katanya kalem. Pengalaman dianggapnya merupakan
pelajaran yang paling berharga. Dari pengalaman ia menilai, kekuatan lobi
menjadi bagian dari kunci sukses usaha. Karenanya, ia mulai menebar jaring
dengan menjalin persahabatan dengan pejabat tinggi dan pengusaha besar. Ia
mendekati orang-orang yang dekat dengan mereka, seperti ajudan, sek
retaris pribadi, sampai bawahan si pejabat.
Sifat pantang menyerah sepertinya melekat dalam jiwa Nova. Keteguhan dan
kegigihannya makin teruji ketika ia berniat mendekati Sudwikatmono. Usai
menyelesaikan proyek Nagoya Plaza Hotel di Batam yang menelan investasi Rp
8,5 miliar (1986) bersama tiga pen gusaha Indonesia, ia melihat kawasan
Pulau Batam potensial dikembangkan menjadi daerah wisata. Untuk
menwujudkan impiannya, ia melirik sang taipan itu. Soalnya, tanah yang
diincarnya di Pantai Nongsa, Batam, adalah milik Dwi, Ciputra dan Liem
Sioe Liong. "Saya baru bisa bicara dengan Pak Dwi setelah berhari-hari
mencegatnya di lapangan parkir," ceritanya. Malahan, sebelum ketemu Dwi,
ia mengaku telah mengumpulkan sejumlah bekal menyangkut bio data Dwi dan
jurus-jurus jitu meyakinkannya.
Kesabaran dan ketahanan mental yang luar biasa memang. Akhirnya,
kegigihannya membuahkan hasil. Ia tak cuma bisa mewujudkan impiannya
membangun Talvas Resort Island Batam -- padang golf bertaraf internasional
seluas 2x18 hole di atas tanah seluas 400 hek tare yang menelan investasi
US$ 100 juta. Ia pun mampu meyakinkan Dwi bahwa ia patut menjadi anak
didiknya. "Karena krisis, proyek pembangunan resor dan hotelnya agak
tertunda," jelasnya. Kerjasamanya dengan Dwi lewat PT Pan Island
Development tersebut -- patungan pengusaha Indonesia (40%, yang 30%
dimilikinya bersama Dwi dan Komatsubara Kensha Jigyodan Co, Jepang (60%)
-- semakin melekatkan pertalian antara keduanya.
Sang guru rupanya semakin kepincut dengan semangat tinggi si murid.
Proyek-proyek prestisius lainnya pun mulai mereka garap, seperti bidang
telekomunikasi (PT Putri Selaka Kencana), proyek real estat dan kawasan
industri di Batam yang menggandeng mitra da ri Taiwan, Ericaro Industrial
Development, industri water pump dan paper cup juga di Batam, dan
pembangunan hotel dan kota satelit di Palembang. "Sampai saat ini saya
masih bermitra dengan Pak Dwi," ujarnya menampik tudingan "anak durhaka"
yang dialamatka n kepadanya. Di matanya, Dwi tetap gurunya. "Saya hormat
dan bangga padanya. Beliau yang mendidik saya. Segala usasa saya tak lepas
dari peran beliau," tuturnya.
Angin reformasi yang merubuhkan kekuasaan Soeharto pada Mei 1998 yang
berdampak pada perubahan politik dinilainya juga mempengaruhi iklim bisnis
di Indonesia. "Kalau dulu kami masih bisa berbisnis dengan para senior,
seperti Pak Eka Wijaya, Pak Dwi, Pak P rajogo. Kenyataannya mereka
sekarang pada ambruk semua," ungkapnya lirih. Karenanya, ia melihat
perubahan besar terjadi pada peta bisnis di Indonesia. "Sekarang beralih
ke generasi muda yang berarti ada perubahan pemikiran," tuturnya sembari
mencomot kuda pan yang tersedia di atas meja tamu.
Ia menjelaskan, bisnis-bisnisnya pun tak luput dari hantaman krisis
ekonomi. "Ya, efisiensi di sana-sini," katanya. Ia mengaku beberapa
proyeknya memang ditunda, seperti proyek real estat di Batam dan sejumlah
proyek lainnya. Sayangnya, ia menampik merinc inya. "Ya, adalah beberapa,"
tambahnya. Sementara core business Grup Nova dikatakannya masih tetap di
bidang industri, investment company (EGP), pariwisata, properti dan
pengiriman tenaga kerja Indonesia ke luar negeri, di antaranya ke Arab
Saudi. "Yang m enjadi andalan bisnis ekspor damar kucing (bahan untuk cat)
ke New York," jelasnya.
Selain dikenal sebagai pengusaha, peraih ASEAN Entrepreneur Award 1993 ini
juga dikenal luas sebagai politisi dan aktif di organisasi keolahragaan.
Memang, kedekatannya dengan Dwi membuat jalan baginya semakin mulus. Ia
dengan mudah bisa melobi kalangan p ejabat tinggi dan pengusaha besar
lainnya. Berkat Dwi pula, ia bisa dipercaya menduduki kursi Bendahara
Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Pusat. Ia pun pernah tercatat
sebagai Pembina Golf Putra-Putri ABRI dan Pembina Olahraga Generasi Muda
Kosgor o (1995). Sederet jabatan lainnya pun pernah mampir di pundaknya,
sebut saja Bendahara Lemkasi (1997), Bendahara Proyek Sea Games
XVIII/1995, Bendahara Proyek Olympic Games XXVI/1996 dan Wakil Bendahara
PON XIV/1996.
Di panggung politik, kiprahnya dimulai sebagai kader Kosgoro (1974). Lewat
organisasi massa inilah ia menjalin persahabatan dengan mantan Menpora
Hayono Isman yang telah dikenalnya ketika sama-sama menjadi siswa SMA IX
Jakarta. Dalam satu kesempatan ia me ngaku merasa memperoleh binaan dari
tiga orang. "Sudwikatmono adalah pembina usaha saya, Hayono Isman membina
saya dalam politik, dan Wismoyo Arismunandar (jenderal purnawirawan, kini
Ketua KONI, Red.) membina wawasan pengabdian pada bangsa dan negara," t
uturnya bangga. Toh, Hayono menilai lain. "Dia baru belajar politik,"
ujarnya.
Belakangan kedekatan mantan Ketua Umum Badan Musyawarah Pengusaha Swasta
Kosgoro dan anggota Pimpinan Pusat Kolektif Kosgoro ini dengan putra
pendiri Kosgoro itu retak. Pasalnya, ia menuduh Hayono berada di balik
kebijakan supaya Kosgoro memisahkan diri d ari Golkar. Hayono yang
kemudian keluar dari rimbunan Pohon Beringin akhirnya bergabung dengan
Partai Keadilan dan Persatuan yang dimotori mantan Pangab dan Menhankam
Edi Sudrajat. Sementara Nova memilih mengundurkan diri dari Kosgoro dan
tetap "berlindun g" di kerindangan partai tersebut sampai akhirnya pada
Munaslub Partai Golkar, Juli tahun lalu, ia terpilih sebagai Wakil
Bendahara dan Ketua Korwil IV. Kini, ia juga tercatat sebagai calon
legislatif jadi dari daerah Timor-Timur yang dalam waktu dekat ak an
melakukan jajak pendapat untuk menentukan nasibnya sendiri.
"Politik ini pendidikan kader sebenarnya yang akan mengasah kita untuk
bisa memberikan pertimbangan-pertimbangan yang jernih kepada perjuangan
rakyat Indonesia," jelasnya. Ia menambahkan, dengan terjun ke gelanggang
poltik ia menjumpai pengalaman yang lua s. Toh, ia menampik punya ambisi.
"Dengan begini saja, sudah cukup," ujarnya sembari tertawa. Menurutnya,
ada bagusnya pengusaha terjun sebagai politisi. "Bisa memberikan nuansa
yang bijaksana dalam pengambilan keputusan," tandasnya. Ketika ditanya
apakah politik ia pakai sebagai kendaraan untuk meraih sukses, Nova
tertawa. "Wah, kalimat yang bagus. Apa tadi, jangan menggunakan politik
sebagai kendaraan untuk menuju sukses. Kalimat bagus, tolong dicatat,
nanti saya pasang gede-gede," pintanya kepada salah seorang stafnya yang
serta-merta mencatat kalimat tersebut pada secarik kertas.
http://www.library.ohiou.edu/indopubs/1999/08/16/0022.html
Salah Satu alumni widya mandala yang sukses
Episode Kelabu Setya Novanto
Sebagai pengusaha muda ia sempat melejit. Ia pun sukses berkiprah di
panggung politik. Benarkah ia hebat?
Agustus 1999, barangkali bulan yang paling gegap-gempita dalam catatan
hidup Setya Novanto. Hari-hari belakangan ini, pengusaha muda yang selalu
tampil necis dengan semerbak parfum ini bak seorang selebriti yang
memancarkan aura popularitas. Ia diburu pul uhan wartawan dalam negeri dan
luar negeri. Kilatan lampu blitz dan sorotan kamera televisi kerap
mengiringi ayunan langkahnya. Bahkan, ketika berakhir pekan dengan
putranya di bioskop pun ia tak lepas dari kuntitan wartawan. Para nyamuk
pers ini setia me nongkrongi kediamannya di Pondok Indah, Jakarta Selatan.
"Saya capai, betul-betul capai," ungkap Nova -- begitu ia akrab disapa --
sembari mengusap muka dengan kedua tangannya.
Belakangan ini, hampir semua media cetak dan TV memuat wawancara dan sepak
terjangnya. Jangan salah, bukan popularitas yang didapat. Hujatan dan
kecurigaan mengarah ke ayah sepasang putra-putri ini. "Bagi saya pribadi
tak soal, saya sudah tahan banting," ujarnya kalem. Ia mengaku tak bisa
menikmati publikasi media akhir-akhir ini. Maklum, yang diberitakan bukan
lagi prestasinya sebagai pengusaha. "Saya sedih karena dampak pemberitaan
itu juga dirasakan keluarga saya," tuturnya dengan wajah muram.
Suami Luciana Lily Herliyanti ini memang wajar menyimpan kegundahan.
Akibat liputan pers akhir-akhir ini, orang tuanya jatuh sakit. "Kedua anak
saya pun pulang sekolah menangis dan mengadu pada ibunya, apa dosa Bapak,
Bapak ditangkap, ya, Bapak salah engg ak sih?" ceritanya. Masih dengan
nada sedih, Nova mengungkapkan keprihatinannya kepada guru putrinya di
sekolah bergengsi yang khusus untuk orang-orang berduit, Sekolah Global
Jaya. "Kamu tanya bapakmu siapa," ungkapnya. Ia mengaku akan protes keras
kepad a guru tersebut. Namun, setelah dijelaskan, buah hatinya, Rezha
Herwindo (11 tahun) dan Dwina Michaela (9 tahun), bisa mengerti. "Yang
jelas, saya tidak mungkin melakukan kesalahan dalam hal ini," tandas
menantu mantan Wakil Kapolda Jawa Barat, Brigjen Su dharsono.
Siang itu Nova yang mengenakan setelan celana dan jas dark blue terlihat
muram dan kuyu. Gurat-gurat kelelahan tak bisa ia sembunyikan, meski ia
berusaha rileks dan banyak mengumbar senyum. "Saya ngantuk sekali, saya
mau cuci muka dulu, ya," pintanya kepa da SWA yang siang itu, Kamis 5
Agustus lalu, menemuinya di ruang kerjanya yang cukup lapang dan tertata
apik di Plaza Bank Mandiri, lantai 26. Sembari berbincang-bincang, ia yang
ditemani beberapa stafnya tak bisa duduk tenang. Ia kerap mondar-mandir
anta ra meja tamu dan meja kerjanya. Bahkan, beberapa kali ia minta izin
keluar ruangan. Entah apa yang dikerjakan. Ia pun beberapa kali menerima
telepon masuk. "Gila, kasus ini benar-benar menguras energi saya. Dalam
seminggu ini berat badan saya turun dua ki logram," ungkapnya terus
terang.
Kasus transaksi pembelian hak piutang Bank Bali (BB) ke Bank Dagang
Nasional Indonesia oleh PT Era Giat Prima (EGP) yang mencuat awal bulan
ini telah melambungkan nama Nova. Maklum, Chairman kerajaan bisnis Grup
Nova -- menaungi sekitar 11 perusahaan -- d an wakil bendahara Partai
Golkar ini adalah orang nomor satu di EGP. Seiring dengan bergulirnya
kasus pembobolan Rp 905 miliar yang menghebohkan itu, nama "harum"
pengusaha bershio kuda ini pun dipertaruhkan. Pasalnya, kasus BB bukan
semata transaksi bisn is. Ditengarai, dana miliaran rupiah yang masuk
kocek pribadi dan EGP digunakan untuk kepentingan partai berlambang
beringin demi mengegolkan B.J. Habibie ke kursi presiden yang kedua kali.
Tak urung, isu money politic pun semakin keras menghantam partai yang di
zaman reformasi ini kabarnya menawarkan paradigma baru.
Selama ini, Nova yang 12 November mendatang berusia 44 tahun memang
memiliki dua "wajah". Sebagai pengusaha, ia dikenal binaan konglomerat
Sudwikatmono. Ia dipercaya Pak Dwi -- begitulah ia menyapa sang suhu --
menjadi tangan kanannya untuk menggerakkan r oda bisnis Grup Global Putera
Nasional, pemilik 15 anak perusahaan.
Menurut Dwi, ia dua kali bertemu dengan Nova. Yang pertama, beberapa hari
setelah kasus BB mencuat ke permukaan, dan yang kedua, pada Senin, 2
Agustus lalu. Dwi menuturkan, Nova datang bersama seorang temannya bernama
Nursalim. "Kami ketawa-ketawa saja, y ang dibicarakan hanya urusan
bisnis," ungkapnya. Sayangnya, ia tidak merinci bisnis apa yang
dibicarakan itu. Memang, Dwi menanyakan kasus BB, dan menurut pengakuan
Nova, apa yang ia lakukan hanya bisnis biasa. Dwi menambahkan, "Saya rasa
dia tidak bohong , orangnya jujur, dan sampai sekarang dia tidak pernah
membohongi saya."
Terlepas dari kasus itu, Dwi bangga karena kini Nova sudah berhasil
sebagai pengusaha. "Saya senang, dia maju. Tapi, saya tidak tahu-menahu
dan tidak mengikuti kasus itu," jelasnya. Saat ini, tambahnya, ia tidak
membimbing Nova lagi. Ia hanya menasihatiny a, agar berhati-hati dalam
menjalankan bisnis debt collection, sebab "Bisnis itu banyak risikonya."
Juga, agar Nova tidak mencampuradukkan bisnis dengan politik.
Berdasarkan pengalaman Dwi, Nova dan Joko Soegiarto Tjandra, bos Grup
Mulia, memang punya kemampuan lobi di atas rata-rata. "Mereka hebat kalau
meyakinkan orang. Menurut saya, mereka jago lobi, dua-duanya hebat,"
jelasnya. Namun, dalam pengamatan Dwi, dib andingkan Nova, Joko lebih
matang.
Sebagai pengusaha, pamor Nova cepat melejit. Sederet perusahaan pun
berhasil dibangunnya, mulai dari jasa, resor, padang golf, real estat,
hotel, kafe, kawasan industri, granit, sampai pertambangan. Bahkan, ia
juga sukses menggandeng --tepatnya digandeng -- sejumlah pengusaha besar.
Putri sulung mantan Presiden Soeharto, Siti Hardijanti Rukmana alias Mbak
Tutut juga mempercayakan kemudi PT Citra Permatasakti Persada di
tangannya. Perusahaan yang mengelola surat izin mengemudi swasta di Polri
ini ditengara i meraup untung gede.
Nama mantan Pria Tampan se-Surabaya 1975 ini memang mulai mencorong
setelah ia diangkat menjadi anak binaan Sudwikatmono. Sebelumnya, meski
telah malang melintang di dunia bisnis, ia boleh dibilang bukan
siapa-siapa. Menerjuni rimba bisnis ketika masih be lia -- setamat SMA IX
Jakarta -- putra ketiga dari 6 bersaudara ini berjualan beras dan madu
bersama seorang temannya. "Untuk mengisi waktu karena saya terlambat ikut
ujian masuk ke Universitas Airlangga, Surabaya," ceritanya pada SWA
beberapa waktu lalu.
Dengan modal Rp 82.500, ketika itu ia mengaku bisa kulakan tiga kuintal
beras. Ketekunannya berusaha membuat ia bisa berjualan beras sampai dua
truk yang langsung diambil dari pusatnya di Lamongan. Saat itu ia juga
punya kios di pasar Keputren, Surabaya.
Sayang, usaha tersebut tak bertahan lama. Predikat juragan beras pun
terpaksa ditanggalkannya karena mitra usahanya mulai tidak jujur. Toh,
pehobi tenis meja ini tak lantas patah arang. Bersama putra Direktur Bank
BRI Surabaya, Hartawan, Nova mengibarkan bendera CV Mandar Teguh. Seiring
dengan itu, ia pun ditawari bekerja oleh bos PT Sinar Mas Galaxi -- diler
Suzuki untuk Indonesia Bagian Timur -- sebagai salesman. Kesempatan itu
tak disia-siakannya. Ia pun memilih membubarkan CV yang baru seumur
jagung. Keputusan tersebut tak dinyana malah mengantarkannya ke tangga
sukses. Dalam waktu relatif singkat, berkat kepiawaiannya menjual, Nova
yang waktu itu berusia 22 tahun dan tercatat sebagai mahasiswa Jurusan
Akuntansi Universitas Widya Mandala Surabaya dipe rcaya menjadi Kepala
Penjualan Mobil untuk wilayah Indonesia Bagian Timur.
Toh, kesuksesan itu tak menyurutkan cita-citanya menjadi pengusaha. "Itu
cita-cita saya sejak kecil," ungkapnya. Dengan jujur dan berani sebagai
pijakan bisnisnya, ia pun melanglang belantara bisnis. Dengan niat
melanjutkan kuliahnya dan meluaskan cakrawa la bisnisnya, ia hijrah ke
Jakarta. Di sela-sela kegiatannya sebagai mahasiswa Jurusan Akuntansi
Universitas Trisaksi, Jakarta, ia tetap menjalankan kiprahnya sebagai
pengusaha. Dibantu istri tercinta, ia mengembangkan pompa bensin milik
mertuanya di Ciko to, Tangerang.
Bisnisnya terus merambah. Bersama beberapa rekannya ia mendirikan PT Obor
Swastika yang mengusahakan peternakan. Lewat usaha inilah putra perwira
AURI ini mengenal jasa bank. Ia mendapat suntikan dana sebesar Rp 200 juta
dari Bank Dagang Negara. Langkahny a pun makin maju seiring intuisi
bisnisnya yang makin tajam. Kemashyuran nama mertua pun secara tak
langsung membantu bisnisnya. Pabrik tekstil Naintex di Bandung
mempercayakan pengadaan bahan baku tekstil maklon kepadanya. Tak sampai di
situ, ia pun berh asil menembus pabrik kertas PN Padalarang dan PN Sandang
dengan memasok pulp bahan baku kertas. "Saat itu saya mulai berkenalan
dengan mitra dagang dari mancanegara," ceritanya.
Rupanya Dewi Fortuna terus mendampinginya. Masih di tahun 1980-an, ia
berhasil mendapatkan tender pembangunan kawasan industri kayu Marunda,
Jakarta Utara. Ia mengaku tak gampang memenangkan tender senilai Rp 1,6
miliar tersebut. Menurut pengakuannya, ia mesti menongkrongi kantor Wali
Kota Jakarta Utara sejak pagi hari. Soalnya, ia empat kali gagal menemui
Pak Wali Kota. Berkat kegigihan dan tangan dinginnya, bisnisnya terus
melaju kencang. Ia pun tak berhenti hanya sebatas jadi kontraktor. Ia
melangkah p ula ke bidang transportasi dan industri lewat PT Duta Kencana
Bakti dan PT Citra Wahana.
Perjalanan membangun bisnisnya memang tak selalu mulus. Ia juga kerap
mendapat kendala. Toh, ambisinya menjadi pengusaha besar tak goyah. "Saya
malah semakin tertantang," katanya kalem. Pengalaman dianggapnya merupakan
pelajaran yang paling berharga. Dari pengalaman ia menilai, kekuatan lobi
menjadi bagian dari kunci sukses usaha. Karenanya, ia mulai menebar jaring
dengan menjalin persahabatan dengan pejabat tinggi dan pengusaha besar. Ia
mendekati orang-orang yang dekat dengan mereka, seperti ajudan, sek
retaris pribadi, sampai bawahan si pejabat.
Sifat pantang menyerah sepertinya melekat dalam jiwa Nova. Keteguhan dan
kegigihannya makin teruji ketika ia berniat mendekati Sudwikatmono. Usai
menyelesaikan proyek Nagoya Plaza Hotel di Batam yang menelan investasi Rp
8,5 miliar (1986) bersama tiga pen gusaha Indonesia, ia melihat kawasan
Pulau Batam potensial dikembangkan menjadi daerah wisata. Untuk
menwujudkan impiannya, ia melirik sang taipan itu. Soalnya, tanah yang
diincarnya di Pantai Nongsa, Batam, adalah milik Dwi, Ciputra dan Liem
Sioe Liong. "Saya baru bisa bicara dengan Pak Dwi setelah berhari-hari
mencegatnya di lapangan parkir," ceritanya. Malahan, sebelum ketemu Dwi,
ia mengaku telah mengumpulkan sejumlah bekal menyangkut bio data Dwi dan
jurus-jurus jitu meyakinkannya.
Kesabaran dan ketahanan mental yang luar biasa memang. Akhirnya,
kegigihannya membuahkan hasil. Ia tak cuma bisa mewujudkan impiannya
membangun Talvas Resort Island Batam -- padang golf bertaraf internasional
seluas 2x18 hole di atas tanah seluas 400 hek tare yang menelan investasi
US$ 100 juta. Ia pun mampu meyakinkan Dwi bahwa ia patut menjadi anak
didiknya. "Karena krisis, proyek pembangunan resor dan hotelnya agak
tertunda," jelasnya. Kerjasamanya dengan Dwi lewat PT Pan Island
Development tersebut -- patungan pengusaha Indonesia (40%, yang 30%
dimilikinya bersama Dwi dan Komatsubara Kensha Jigyodan Co, Jepang (60%)
-- semakin melekatkan pertalian antara keduanya.
Sang guru rupanya semakin kepincut dengan semangat tinggi si murid.
Proyek-proyek prestisius lainnya pun mulai mereka garap, seperti bidang
telekomunikasi (PT Putri Selaka Kencana), proyek real estat dan kawasan
industri di Batam yang menggandeng mitra da ri Taiwan, Ericaro Industrial
Development, industri water pump dan paper cup juga di Batam, dan
pembangunan hotel dan kota satelit di Palembang. "Sampai saat ini saya
masih bermitra dengan Pak Dwi," ujarnya menampik tudingan "anak durhaka"
yang dialamatka n kepadanya. Di matanya, Dwi tetap gurunya. "Saya hormat
dan bangga padanya. Beliau yang mendidik saya. Segala usasa saya tak lepas
dari peran beliau," tuturnya.
Angin reformasi yang merubuhkan kekuasaan Soeharto pada Mei 1998 yang
berdampak pada perubahan politik dinilainya juga mempengaruhi iklim bisnis
di Indonesia. "Kalau dulu kami masih bisa berbisnis dengan para senior,
seperti Pak Eka Wijaya, Pak Dwi, Pak P rajogo. Kenyataannya mereka
sekarang pada ambruk semua," ungkapnya lirih. Karenanya, ia melihat
perubahan besar terjadi pada peta bisnis di Indonesia. "Sekarang beralih
ke generasi muda yang berarti ada perubahan pemikiran," tuturnya sembari
mencomot kuda pan yang tersedia di atas meja tamu.
Ia menjelaskan, bisnis-bisnisnya pun tak luput dari hantaman krisis
ekonomi. "Ya, efisiensi di sana-sini," katanya. Ia mengaku beberapa
proyeknya memang ditunda, seperti proyek real estat di Batam dan sejumlah
proyek lainnya. Sayangnya, ia menampik merinc inya. "Ya, adalah beberapa,"
tambahnya. Sementara core business Grup Nova dikatakannya masih tetap di
bidang industri, investment company (EGP), pariwisata, properti dan
pengiriman tenaga kerja Indonesia ke luar negeri, di antaranya ke Arab
Saudi. "Yang m enjadi andalan bisnis ekspor damar kucing (bahan untuk cat)
ke New York," jelasnya.
Selain dikenal sebagai pengusaha, peraih ASEAN Entrepreneur Award 1993 ini
juga dikenal luas sebagai politisi dan aktif di organisasi keolahragaan.
Memang, kedekatannya dengan Dwi membuat jalan baginya semakin mulus. Ia
dengan mudah bisa melobi kalangan p ejabat tinggi dan pengusaha besar
lainnya. Berkat Dwi pula, ia bisa dipercaya menduduki kursi Bendahara
Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Pusat. Ia pun pernah tercatat
sebagai Pembina Golf Putra-Putri ABRI dan Pembina Olahraga Generasi Muda
Kosgor o (1995). Sederet jabatan lainnya pun pernah mampir di pundaknya,
sebut saja Bendahara Lemkasi (1997), Bendahara Proyek Sea Games
XVIII/1995, Bendahara Proyek Olympic Games XXVI/1996 dan Wakil Bendahara
PON XIV/1996.
Di panggung politik, kiprahnya dimulai sebagai kader Kosgoro (1974). Lewat
organisasi massa inilah ia menjalin persahabatan dengan mantan Menpora
Hayono Isman yang telah dikenalnya ketika sama-sama menjadi siswa SMA IX
Jakarta. Dalam satu kesempatan ia me ngaku merasa memperoleh binaan dari
tiga orang. "Sudwikatmono adalah pembina usaha saya, Hayono Isman membina
saya dalam politik, dan Wismoyo Arismunandar (jenderal purnawirawan, kini
Ketua KONI, Red.) membina wawasan pengabdian pada bangsa dan negara," t
uturnya bangga. Toh, Hayono menilai lain. "Dia baru belajar politik,"
ujarnya.
Belakangan kedekatan mantan Ketua Umum Badan Musyawarah Pengusaha Swasta
Kosgoro dan anggota Pimpinan Pusat Kolektif Kosgoro ini dengan putra
pendiri Kosgoro itu retak. Pasalnya, ia menuduh Hayono berada di balik
kebijakan supaya Kosgoro memisahkan diri d ari Golkar. Hayono yang
kemudian keluar dari rimbunan Pohon Beringin akhirnya bergabung dengan
Partai Keadilan dan Persatuan yang dimotori mantan Pangab dan Menhankam
Edi Sudrajat. Sementara Nova memilih mengundurkan diri dari Kosgoro dan
tetap "berlindun g" di kerindangan partai tersebut sampai akhirnya pada
Munaslub Partai Golkar, Juli tahun lalu, ia terpilih sebagai Wakil
Bendahara dan Ketua Korwil IV. Kini, ia juga tercatat sebagai calon
legislatif jadi dari daerah Timor-Timur yang dalam waktu dekat ak an
melakukan jajak pendapat untuk menentukan nasibnya sendiri.
"Politik ini pendidikan kader sebenarnya yang akan mengasah kita untuk
bisa memberikan pertimbangan-pertimbangan yang jernih kepada perjuangan
rakyat Indonesia," jelasnya. Ia menambahkan, dengan terjun ke gelanggang
poltik ia menjumpai pengalaman yang lua s. Toh, ia menampik punya ambisi.
"Dengan begini saja, sudah cukup," ujarnya sembari tertawa. Menurutnya,
ada bagusnya pengusaha terjun sebagai politisi. "Bisa memberikan nuansa
yang bijaksana dalam pengambilan keputusan," tandasnya. Ketika ditanya
apakah politik ia pakai sebagai kendaraan untuk meraih sukses, Nova
tertawa. "Wah, kalimat yang bagus. Apa tadi, jangan menggunakan politik
sebagai kendaraan untuk menuju sukses. Kalimat bagus, tolong dicatat,
nanti saya pasang gede-gede," pintanya kepada salah seorang stafnya yang
serta-merta mencatat kalimat tersebut pada secarik kertas.
http://www.library.ohiou.edu/indopubs/1999/08/16/0022.html
Salah Satu alumni widya mandala yang sukses

0
6.9K
15


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan