- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
'Guantanamo' Jakarta: Tempat Baru Pejabat yang Dicopot Ahok


TS
tukang.k0prol
'Guantanamo' Jakarta: Tempat Baru Pejabat yang Dicopot Ahok
TEMPO.CO, Jakarta - Sejak menjadi Gubernur Jakarta setahun lalu, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok gemar merombak pejabat di semua lembaga. Ia tak segan mencopot mereka meski baru sebentar menjabat. Ahok mengaku tak tahan jika ada anak buahnya yang berkinerja buruk dan tak sesuai visi-misinya.
Visi-misi itu adalah anggaran yang transparan, kerja yang berorientasi hasil, dan serba elektronik. Karena itu ia mengimbanginya dengan gaji yang fantastis. Kini gaji terendah pegawai Jakarta Rp 13 juta karena mendapat tunjangan kinerja dinamis.
Dan Basuki tak punya fanatisme pada anak buah. Saat gonjang-ganjing anggaran siluman di Dinas Pendidikan, Ahok tersanjung pada Lasro Marbun yang mencoret Rp 3,4 triliun anggaran tak perlu di dinas itu.
Ahok menuruti permintaan Lasro yang mundur dari Dina situ dan menempatkannya sebagai Kepala Inspektorat. Belum genap dua tahun, kepercayaan pada Lasro runtuh. Ahok mengetahui bahwa Lasro meloloskan proyek pengadan alat catu daya listrik (UPS) senilai Rp 1,2 triliun pada tahun yang sama ia mencoret anggaran mubazir.
Ahok mengetahuinya karena pengadaan berindikasi korupsi itu diusut polisi. Karena itu pada 27 November lalu ia mencopot Lasro.
Mereka menjadi staf biasa dan ditempatkan di Badan Pendidikan dan Latihan yang berkantor di lantai Gedung Dinas Teknis di Jalan Abdul Muis, Jakarta Pusat.
Para penghuninya menyebut “Guantanamo Jakarta”—merujuk pada penjara Amerika Serikat di Teluk Kuba bagi para penjahat dan orang yang dianggap bermasalah. “Nama itu hanya candaan di antara kami saja,” ucap I Made Karmayoga, mantan Kepala Badan Kepegawaian Daerah itu dicopot pada Januari tahun lalu.
Penghuni kantor itu tinggal 24 orang, setelah ada tambahan “penghuni” baru Lasro Marbun dan Andi Baso Mappapoleonro, yang dicopot sebagai Kepala Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah. Selama Ahok menjabat sudah ada 48 orang yang dikirim ke sana. Beberapa sudah ada yang ditempatkan kembali di satuan perangkat kerja daerah ada juga yang memasuki masa pensiun.
Di “Guantanamo” secara resmi mereka bekerja di bawah Badan Pendidikan dan Pelatihan. Tugasnya melatih, membina, dan membekali para pegawai negeri tentang kepemimpinan, birokrasi, yang diselenggarakan Badan itu. Karena itu, kata Made, sebagian pejabat teras itu menjalani kursus lagi untuk menjadi pembimbing handal.
Karena beberapa sedang pelatihan, ruangan kerap sepi. Seperti siang kemarin. Puluhan bangku dan meja kerja kosong dan bersih dari perabotan kerja. Di sana komputer hanya ada satu, yang ditempatkan di bagian tengah ruangan. “Kalau lagi banyak yang butuh kami berebut,” kata Made.
Jika Made mulai terbiasa, Lasro Marbun sempat terkejut ketika pertama kali berkantor karena tak banyak yang bisa ia kerjakan. “Sekarang kerjaannya begini: lihatin orang saja. Kalau istirahat makan. Nyari makanan yang enak,” ujar Lasro berseloroh.
Pencopotan dari jabatan itu berpengaruh terhadap gaji. Selama menjadi pejabat eselon II, gaji Lasro bisa puluhan juta sebulan—tertinggi Rp 96 juta sesuai penilaian kinerja dinamis. “Sekarang hanya gaji sebagai staf,” kata mantan Kepala Dinas Pendidikan itu tanpa menyebutkan nominalnya.
Sebetulnya tunjangan masih ada. Tapi jumlahnya sangat kecil. Jika ada tugas mengajar mereka mendapat uang transportasi. “Tapi kecil banget, buat parkir saja tidak cukup,” kata dia.
Kepala Badan Pengelola Keuangan Daerah dan Aset Heru Budi Hartono menjelaskan bahwa gaji pejabat yang dicopot seperti Lasro dan Made sekitar Rp 4 juta sebulan karena hanya mendapat gaji pokok. Pendapatan mereka jauh lebih kecil dibanding staf, yang masih mendapat tunjangan kinerja daerah. “Yang dicopot itu tidak mendapat tunjangan sama sekali,” ucap Heru.
Semua itu merupakan aturan Basuki. Ia pernah mengatakan akan memiskinkan pejabat Jakarta yang ketahuan bermasalah. Ia malah senang jika ada pejabat yang rela mengundurkan diri, seperti mantan Kepala Dinas Tata Air Tri Djoko Margianto yang mengajukan surat pengunduran diri pada Selasa lalu. “Saya senang Pak Tri mau memberi kesempatan kepada orang lain,” kata dia.
Tri Djoko mengirimkan surat pengunduran diri ke Gubernur Ahok pada Selasa kemarin. Ia mundur dengan berbagai alasan. Mulai dari urusan kesehatan, mendekati usia pensiun, sampai soal kehormatan. “Paling tidak jauh lebih terhormat kalau mundur. Masak nunggu ditendang?” ujarnya.
Basuki ingin kerja Spartan dengan menyingkirkan pejabat yang bekerja tak sesuai visi-misinya. Pemecatan adalah salah satu cara dengan memotong tunjangan. Menurut dia mereka yang dipotong tunjangannya akan tak tahan dengan gaji kecil dan ujungnya mengundurkan diri. Itu sejalan dengan targetnya memangkas pegawai Jakarta dari 72 ribu menjadi 35 ribu.
Sumber
Siape bakal nyusul?

Visi-misi itu adalah anggaran yang transparan, kerja yang berorientasi hasil, dan serba elektronik. Karena itu ia mengimbanginya dengan gaji yang fantastis. Kini gaji terendah pegawai Jakarta Rp 13 juta karena mendapat tunjangan kinerja dinamis.
Dan Basuki tak punya fanatisme pada anak buah. Saat gonjang-ganjing anggaran siluman di Dinas Pendidikan, Ahok tersanjung pada Lasro Marbun yang mencoret Rp 3,4 triliun anggaran tak perlu di dinas itu.
Ahok menuruti permintaan Lasro yang mundur dari Dina situ dan menempatkannya sebagai Kepala Inspektorat. Belum genap dua tahun, kepercayaan pada Lasro runtuh. Ahok mengetahui bahwa Lasro meloloskan proyek pengadan alat catu daya listrik (UPS) senilai Rp 1,2 triliun pada tahun yang sama ia mencoret anggaran mubazir.
Ahok mengetahuinya karena pengadaan berindikasi korupsi itu diusut polisi. Karena itu pada 27 November lalu ia mencopot Lasro.
Mereka menjadi staf biasa dan ditempatkan di Badan Pendidikan dan Latihan yang berkantor di lantai Gedung Dinas Teknis di Jalan Abdul Muis, Jakarta Pusat.
Para penghuninya menyebut “Guantanamo Jakarta”—merujuk pada penjara Amerika Serikat di Teluk Kuba bagi para penjahat dan orang yang dianggap bermasalah. “Nama itu hanya candaan di antara kami saja,” ucap I Made Karmayoga, mantan Kepala Badan Kepegawaian Daerah itu dicopot pada Januari tahun lalu.
Penghuni kantor itu tinggal 24 orang, setelah ada tambahan “penghuni” baru Lasro Marbun dan Andi Baso Mappapoleonro, yang dicopot sebagai Kepala Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah. Selama Ahok menjabat sudah ada 48 orang yang dikirim ke sana. Beberapa sudah ada yang ditempatkan kembali di satuan perangkat kerja daerah ada juga yang memasuki masa pensiun.
Di “Guantanamo” secara resmi mereka bekerja di bawah Badan Pendidikan dan Pelatihan. Tugasnya melatih, membina, dan membekali para pegawai negeri tentang kepemimpinan, birokrasi, yang diselenggarakan Badan itu. Karena itu, kata Made, sebagian pejabat teras itu menjalani kursus lagi untuk menjadi pembimbing handal.
Karena beberapa sedang pelatihan, ruangan kerap sepi. Seperti siang kemarin. Puluhan bangku dan meja kerja kosong dan bersih dari perabotan kerja. Di sana komputer hanya ada satu, yang ditempatkan di bagian tengah ruangan. “Kalau lagi banyak yang butuh kami berebut,” kata Made.
Jika Made mulai terbiasa, Lasro Marbun sempat terkejut ketika pertama kali berkantor karena tak banyak yang bisa ia kerjakan. “Sekarang kerjaannya begini: lihatin orang saja. Kalau istirahat makan. Nyari makanan yang enak,” ujar Lasro berseloroh.
Pencopotan dari jabatan itu berpengaruh terhadap gaji. Selama menjadi pejabat eselon II, gaji Lasro bisa puluhan juta sebulan—tertinggi Rp 96 juta sesuai penilaian kinerja dinamis. “Sekarang hanya gaji sebagai staf,” kata mantan Kepala Dinas Pendidikan itu tanpa menyebutkan nominalnya.
Sebetulnya tunjangan masih ada. Tapi jumlahnya sangat kecil. Jika ada tugas mengajar mereka mendapat uang transportasi. “Tapi kecil banget, buat parkir saja tidak cukup,” kata dia.
Kepala Badan Pengelola Keuangan Daerah dan Aset Heru Budi Hartono menjelaskan bahwa gaji pejabat yang dicopot seperti Lasro dan Made sekitar Rp 4 juta sebulan karena hanya mendapat gaji pokok. Pendapatan mereka jauh lebih kecil dibanding staf, yang masih mendapat tunjangan kinerja daerah. “Yang dicopot itu tidak mendapat tunjangan sama sekali,” ucap Heru.
Semua itu merupakan aturan Basuki. Ia pernah mengatakan akan memiskinkan pejabat Jakarta yang ketahuan bermasalah. Ia malah senang jika ada pejabat yang rela mengundurkan diri, seperti mantan Kepala Dinas Tata Air Tri Djoko Margianto yang mengajukan surat pengunduran diri pada Selasa lalu. “Saya senang Pak Tri mau memberi kesempatan kepada orang lain,” kata dia.
Tri Djoko mengirimkan surat pengunduran diri ke Gubernur Ahok pada Selasa kemarin. Ia mundur dengan berbagai alasan. Mulai dari urusan kesehatan, mendekati usia pensiun, sampai soal kehormatan. “Paling tidak jauh lebih terhormat kalau mundur. Masak nunggu ditendang?” ujarnya.
Basuki ingin kerja Spartan dengan menyingkirkan pejabat yang bekerja tak sesuai visi-misinya. Pemecatan adalah salah satu cara dengan memotong tunjangan. Menurut dia mereka yang dipotong tunjangannya akan tak tahan dengan gaji kecil dan ujungnya mengundurkan diri. Itu sejalan dengan targetnya memangkas pegawai Jakarta dari 72 ribu menjadi 35 ribu.
Sumber
Siape bakal nyusul?



0
2.6K
21


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan