Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

nusantaralinkAvatar border
TS
nusantaralink
Kilang Terapung, Langkah Pertama Sektor Migas di Poros Maritim
Waktu kampanye Pilpres, istilah ‘Poros Maritim’ adalah salah satu bagian yang paling saya ingat dan menarik dari konsep yang diajukan Jokowi – JK. Meski waktu itu saya bukan pendukung Jokowi – JK, tetapi secara obyektif saya anggap konsep ‘Poros Maritim’ bagus untuk Indonesia. Faktanya, Indonesia memang dominan wilayah perairan.

Luas Indonesia sekitar 5.455.675 km persegi. Luas perairan Indonesia 3.544.744 km persegi (65%), sedangkan luas daratan Indonesia 1.910.931 km persegi (35%). Mirip komposisi tubuh manusia dan planet Bumi yang kita huni, yaitu 1/3 material padat dan 2/3 material cairan.

‘Poros Maritim’ adalah konsep yang mencoba mengajak Indonesia menyelaraskan diri dengan kondisi faktualnya yang dominan perairan. Ketika di bangku sekolah dahulu, beberapa pengajar mengatakan Indonesia ini seharusnya dibangun atas prinsip-prinsip perairan, bukan daratan, karena 2/3 wilayah Indonesia adalah perairan. Contoh yang sering disebut soal pertahanan laut yang seharusnya lebih diutamakan ketimbang pertahanan darat. Contoh lainnya, sektor perikanan seharusnya lebih diutamakan ketimbang sektor pertanian. Contoh lainnya lagi, sistem transportasi air seharusnya lebih diutamakan ketimbang sistem transportasi darat.

Pada intinya, konsep Maritim Indonesia seharusnya menjadikan aktivitas perairan lebih diutamakan ketimbang memusatkan segala aktivitas di daratan. Luas perairan RI yang dominan seharusnya mendorong revitalisasi dan kemandirian di area perairan. Kacamata lawas masyarakat RI yang sudah terbiasa menjadikan daratan sebagai pusat aktivitas, harus diubah berkala agar mulai melepaskan diri dari daratan. Mengembangkan industri perairan atau lepas pantai yang mandiri adalah tak terhindarkan jika RI benar-benar mau mendeklarasikan diri sebagai Negara Maritim.

Sederhana, kunci mendorong ‘Poros Maritim’ adalah bagaimana menciptakan mobilitas perairan yang otonom sehingga tidak terlalu bergantung pada daratan. Dalam kacamata Maritim, daratan hanya berfungsi sebagai supporting (pendukung), sedangkan aktivitas dan mobilitas perairan diutamakan.

Sayangnya, Menko Maritim RI Rizal Ramli yang dipercaya Presiden Jokowi, tampaknya tidak paham dengan fungsi jabatannya itu. Kacamata Menko Rizal Ramli masih memakai kacamata lawas, dimana daratan tetap menjadi pusat aktivitas industri. Memang, kabinet Jokowi terdiri atas 2 jenis, yaitu profesional dan politikus. Menko Maritim Rizal Ramli merupakan politikus, bukan profesional. Wajar Rizal Ramli tak paham apa itu konsep Maritim, juga tak paham bagaimana mewujudkan Maritim Indonesia dalam praktik.

Segudang konsep ‘Poros Maritim’ Jokowi – JK, diantaranya adalah konsep Tol Laut. Realisasi mewujudkan Tol Laut atau sistem transportasi perairan lintas pulau-pulau di Indonesia, belum terlihat wujudnya. Polemik muncul karena Menteri Kelautan dan Perikanan RI Susi Pudjiastuti berencana membeli 2.500 kapal ‘Tol Laut’ dari China. Kabarnya, realisasi pembelian 2.500 kapal ‘Tol Laut’ dari China kini mangkrak di DPR. Persoalan poros politik RI yang lebih dekat dengan Barat ketimbang China menjadi penghambat utama dalam penerapan ‘Tol Laut’.

Mirip, penerapan pertahanan laut Jokowi – JK juga terganjal. Dua faktor yang menghambat. Pertama, rencana memasok kapal perang laut dari Rusia yang bertentangan dengan kepentingan AS. Kedua, TNI AL gagal menduduki jabatan Panglima TNI karena TNI AD masih dominan.

Dua rencana penerapan ‘Poros Maritim’ belum kelihatan batang hidungnya karena polemik politis. Jangankan berubah ‘Poros’, perubahan kebijakan sepele saja bisa jadi politis di Indonesia. Apalagi bicara perubahan ‘Poros’ yang sudah pasti melibatkan banyak kepentingan bisnis raksasa, politisasi selalu jadi cara efektif menghadang.

Usai kegagalan Tol Laut dan Pertahanan Laut, sektor industri yang kini tengah mencoba ‘migrasi’ ke penerapan Maritim adalah sektor Migas. Juga berpolemik. Kalau pernah dengar Blok Masela Abadi, ia kini berpolemik panas karena rencana besarnya mewujudkan konsep Maritim di sektor migas.

Sebuah teknologi baru di industri migas global memperkenalkan apa yang disebut Floating LNG (FLNG) atau Kilang LNG Terapung. Mungkin lebih cocok pakai kosakata ‘Flexible’ atau ‘Mobile’, kalau dilihat dari konsepnya.

Penerapan pengeboran industri migas lepas pantai umumnya, terdiri dari 4 unit besar :

1. Pengeboran Bawah Laut.
2. Kapal Pengangkut.
3. Pipa Bawah Laut.
4. Kilang Pengolahan Darat.

Alurnya, Pengeboran menyedot migas dari dasar laut kemudian dialirkan ke Kapal Pengangkut. Dari Kapal Pengangkut, dialirkan lagi melalui pipa bawah laut ratusan kilometer ke Kilang Darat untuk diolah. Usai diolah di Kilang Darat, dilalirkan lagi ke Kapal Pengangkut melalui pipa bawah laut. Terakhir, Kapal Pengangkut mendistribusikan migas olahan ke daerah tujuan.

Teknologi terbaru memangkas sejumlah faktor yang dinilai tidak efektif dan efisien. Pada teknologi Floating, pengeboran hanya terdiri dari 3 unit besar :

1. Pengeboran Bawah Laut.
2. Kapal Kilang dan Pengangkut.
3. Supporting Base Darat.

Alurnya, Pengeboran menyedot migas dari dasar laut kemudian dialirkan ke Kapal Kilang. Fungsi Kapal Kilang adalah mengolah migas di atas kapal. Fungsi fasilitas darat hanya sebagai supporting (pendukung) dan pengawasan atas aktivitas pengeboran lepas pantai. Teknologi baru ini memangkas banyak aspek :

1. Waktu : tidak perlu menunggu pengaliran migas melalui pipa bawah laut ke Kilang dan sebaliknya. Tidak perlu menunggu konstruksi pembangunan kilang darat dan tidak perlu pembebasan lahan yang seringkali memakan waktu lama.
2. Investasi : Hemat investasi triliunan karena tidak perlu membangun kilang pengolahan darat dan pipa bawah laut ratusan kilometer.
3. Mobilitas : Tidak bergantung pada fasilitas Kilang daratan karena pengolahan dilakukan di atas kapal.

Teknologi baru ini secara obyektif lebih murah secara modal, tidak bergantung pada fasilitas darat serta memiliki tingkat mobilitas tinggi. Ibaratnya, dahulu orang memakai komputer Desktop di rumah dan Handphone ketika di luar rumah. Kini, hanya dengan 1 unit Smartphone, segala aktivitas Komputer Desktop di rumah bisa dilakukan dimana saja.

Pergantian teknologi yang berdampak besar pada perilaku umum masyarakat atau industri, selalu menimbulkan polemik. Biasanya, politisasi menjadi cara efektif. Maklum, penerapan teknologi baru migas ini akan mengganggu kepentingan produsen pipa bawah laut, developer kilang daratan dan kapal pengangkut. Tak semua produsen kapal pengangkut migas mampu memproduksi kapal yang memiliki fasilitas kilang migas di dalamnya.

Apalagi, penerapan teknologi migas baru ini bisa mewabah dan diterapkan di banyak pengeboran lepas pantai. Wajar saja, teknologi baru ini lebih hemat investasi dan bermobilitas tinggi, serta sesuai untuk mewujudkan Indonesia Maritim atau ‘Poros Maritim’.

Jadi maklum saja kalau mereka yang terganggu kepentingan bisnisnya, produsen kilang darat, pipa bawah laut dan kapal pengangkut migas ini, mendorong polemik. Politikus dan ekonom seringkali menjadi pion mengawal kepentingan mereka. Bahkan Menko Maritim Rizal Ramli saja ikut serta membela kepentingan produsen kilang migas, pipa bawah laut dan kapal pengangkut migas.

Sebagai Menko Maritim, Rizal Ramli seharusnya mendukung perubahan-perubahan dan penerapan teknologi yang membantu mewujudkan ‘Poros Maritim’. Tapi yang beliau lakukan malah sebaliknya, tidak mendukung perwujudan Indonesia Maritim.

Rizal Ramli secara frontal menolak penerapan perdana teknologi Kilang Terapung (Floating) di Indonesia meski lebih hemat investasi dan sesuai dengan konsep ‘Poros Maritim’. Apa Rizal Ramli tidak paham bagaimana menerapkan konsep Maritim dalam praktik? Atau Rizal Ramli sadar betul kalau penerapan perdana Kilang Terapung di Indonesia bisa mewabah, maka ia lindungi banyak kepentingan industri?



Dari segi investasi, Kilang Terapung lebih hemat USD 4,5 Miliar atau Rp 61 Triliun. Dari sisi teknologi, Kilang Terapung merupakan terobosan terdepan di industri migas global. Dari segi Maritim, penerapan Kilang Terapung mengurangi ketergantungan dengan daratan dan menciptakan kemandirian aktivitas industri perairan.

Menko Maritim Rizal Ramli mengatakan, penerapan Kilang Terapung masih eksperimen, jangan jadikan Indonesia kelinci percobaan.

Loh, bukannya Kilang Terapung lebih hemat investasi dan sejalan dengan konsep ‘Poros Maritim’?

Jangan-jangan Rizal Ramli sadar betul penerapan teknologi kilang terapung bisa menjadi model utama pengeboran migas lepas pantai di Indonesia?

Jangan-jangan Rizal Ramli hanya membela kepentingan produsen kilang migas darat, pipa bawah laut dan kapal pengangkut migas?

Jadi, apa ya kira-kira alasan Menko Maritim Rizal Ramli mati-matian menolak Kilang Terapung di Blok Masela?

Pembaca tahu sendiri dong kira-kira kepentingan siapa yang dibela Rizal Ramli.
0
3.3K
36
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan