- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Dilihat dari track record, Setya Novanto belum mewakili rakyat


TS
davidyowel
Dilihat dari track record, Setya Novanto belum mewakili rakyat
Merdeka.com - Kasus pencatutan nama presiden dan wakil presiden membuat nama baik Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kembali tercemar. Apalagi, pencatutnya adalah Ketua DPR, Setya Novanto yang meminta sejumlah saham dari PT Freeport Indonesia.
Kelakuan tersebut membuat kepemimpinan Novanto sebagai pimpinan DPR diragukan. Sebagai wakil rakyat, dia telah bertindak di luar kewenangannya, ditambah nama yang dicatut adalah kepala negara dan wakilnya.
"Setya dinilai meragukan sebagai wakil rakyat, karena jika memang dia wakil rakyat tidak berbuat seperti itu mencatut nama orang seenaknya. Apalagi yang dicatut adalah orang yang berpengaruh untuk negara. Kepentingan rakyat prosedurnya harus baik karena ini kepentingan negara. Kalau Setya Novanto dilihat dari track record saja belum bisa dianggap menjadi wakil rakyat," ucap pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Katolik Parahyangan, Asep Warlan Yusup ketika dihubungi merdeka.com di Jakarta, Selasa,(17/11).
Tindakan sepihak yang dilakukan Novanto dalam proses perpanjangan kontrak pertambangan di Tanah Papua menambah buruk pandangan rakyat terhadap DPR. Rakyat tak lagi percaya terhadap wakil-wakilnya yang duduk di kursi legislatif.
"Jika memang benar dia dalang dari semuanya, rakyat juga tidak akan percaya lagi dengannya dan DPR semakin dinilai tidak baik," jelasnya.
Asep menambahkan, DPR harus tegas dalam menangani kasus pencatutan nama yang dilakukan Novanto. Sebab, selain mempertaruhkan nama baik DPR juga menyangkut kepentingan negara.
"DPR seharusnya jangan makin menutupi hal ini atau 'mengamankan'. Seharusnya DPR tegas, ini kasus bukan main-main, menyangkut semuanya, khususnya negara. Bukan satu dua kali DPR menutupi kasus Setya," tuturnya.
Bukan kali ini saja Novanto terjerat sebuah kasus hukum. Novanto juga pernah disebut-sebut dalam sidang persidangan tindak pidana korupsi, mantan Bendahara Umum DPP Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin sebagai seorang sinterklas yang hobi bagi-bagi duit.
Nazar berkicau dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi pengadaan paket penerapan kartu tanda penduduk berbasis nomor induk kependudukan secara elektronik (eKTP) tahun anggaran 2011-2012 di Kementerian Dalam Negeri.
Nazaruddin pernah mengadukan dugaan korupsi dalam proyek eKTP kepada KPK, antara lain mengenai aliran dananya yang disebut mengalir ke sejumlah anggota DPR seperti Bendahara Umum DPP Partai Golkar Setya Novanto yang menerima RP 300 miliar.
Selain itu, Ketua dan Wakil Ketua Komisi II DPR dan anggota sebesar 2,5 persen dari anggaran. Ketua dan Wakil Ketua Banggar 2,5 persen dari anggaran hingga Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi mendapat USD 2 juta melalui adiknya Azmi Aulia Dahlan.
Kelakuan tersebut membuat kepemimpinan Novanto sebagai pimpinan DPR diragukan. Sebagai wakil rakyat, dia telah bertindak di luar kewenangannya, ditambah nama yang dicatut adalah kepala negara dan wakilnya.
"Setya dinilai meragukan sebagai wakil rakyat, karena jika memang dia wakil rakyat tidak berbuat seperti itu mencatut nama orang seenaknya. Apalagi yang dicatut adalah orang yang berpengaruh untuk negara. Kepentingan rakyat prosedurnya harus baik karena ini kepentingan negara. Kalau Setya Novanto dilihat dari track record saja belum bisa dianggap menjadi wakil rakyat," ucap pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Katolik Parahyangan, Asep Warlan Yusup ketika dihubungi merdeka.com di Jakarta, Selasa,(17/11).
Tindakan sepihak yang dilakukan Novanto dalam proses perpanjangan kontrak pertambangan di Tanah Papua menambah buruk pandangan rakyat terhadap DPR. Rakyat tak lagi percaya terhadap wakil-wakilnya yang duduk di kursi legislatif.
"Jika memang benar dia dalang dari semuanya, rakyat juga tidak akan percaya lagi dengannya dan DPR semakin dinilai tidak baik," jelasnya.
Asep menambahkan, DPR harus tegas dalam menangani kasus pencatutan nama yang dilakukan Novanto. Sebab, selain mempertaruhkan nama baik DPR juga menyangkut kepentingan negara.
"DPR seharusnya jangan makin menutupi hal ini atau 'mengamankan'. Seharusnya DPR tegas, ini kasus bukan main-main, menyangkut semuanya, khususnya negara. Bukan satu dua kali DPR menutupi kasus Setya," tuturnya.
Bukan kali ini saja Novanto terjerat sebuah kasus hukum. Novanto juga pernah disebut-sebut dalam sidang persidangan tindak pidana korupsi, mantan Bendahara Umum DPP Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin sebagai seorang sinterklas yang hobi bagi-bagi duit.
Nazar berkicau dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi pengadaan paket penerapan kartu tanda penduduk berbasis nomor induk kependudukan secara elektronik (eKTP) tahun anggaran 2011-2012 di Kementerian Dalam Negeri.
Nazaruddin pernah mengadukan dugaan korupsi dalam proyek eKTP kepada KPK, antara lain mengenai aliran dananya yang disebut mengalir ke sejumlah anggota DPR seperti Bendahara Umum DPP Partai Golkar Setya Novanto yang menerima RP 300 miliar.
Selain itu, Ketua dan Wakil Ketua Komisi II DPR dan anggota sebesar 2,5 persen dari anggaran. Ketua dan Wakil Ketua Banggar 2,5 persen dari anggaran hingga Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi mendapat USD 2 juta melalui adiknya Azmi Aulia Dahlan.

0
1.1K
14


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan