Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

BeritagarIDAvatar border
TS
BeritagarID
Selamat tinggal koran, selamat datang jurnalisme digital
Selamat tinggal koran, selamat datang jurnalisme digital
ILUSTRASI | Peristiwa kematian sebuah media cetak adalah hilangnya sebuah forum publik. Berharap-harap cemas media digital bisa menggantikan.
© Helder Almeida /Shutterstock


Seminggu yang lalu, tanggal 7 November, Harian Sinar Harapan memberitakan rencana kematiannya sendiri. Kelak, terhitung mulai 1 Januari 2016, versi cetak harian itu akan berhenti terbit.

Ini bukanlah lonceng kematian pertama yang kita dengar dari jagat media cetak di Indonesia. Sebelumnya, telah mendahului mati: Harian Bola, Soccer, Jurnal Nasional. Untuk majalah, kematian itu telah dialami oleh Majalah Tajuk, Prospek, Fortune, Chip, dan Jeep. Daftar kematian beruntun ini masih bisa kita perpanjang terus.

Dugaan umum sebab keruntuhan media cetak di Indonesia adalah kehadiran media digital yang mampu menyediakan platform berita dan informasi yang lebih murah, mudah, dan lebih cepat bagi konsumen.

Beberapa pertanyaan mesti diajukan untuk melihat kosekuensi lebih jauh dari bertumbangannya media cetak di Indonesia. Misalnya, apa kerugian yang menyertai kematian sejumlah media cetak?

Satu hal yang segera jelas, ratusan pekerjaan hilang. Namun perusahaan lain juga mengalami hal yang sama. Pabrik tekstil sempat berjaya di tahun 1970an dan 1980an di berbagai provinsi. Kemudian satu-persatu rontok sejak reformasi, dan kini hanya beberapa saja pabrik tekstil yang bertahan.

Kematian sebuah suratkabar yang pekerjanya berjumlah ratusan, magnitude-nya kalah besar dibanding kebangkrutan sebuah pabrik tekstil. Pertumbuhan industri tekstil sempat membuka dan menyerap puluhan ribu tenaga kerja.

Akibatnya, saat pabrik-pabrik tersebut bangkrut dan tutup, puluhan ribu pula pekerja yang kehilangan mata pencarian. Karena itu, dari segi serapan tenaga kerja, pabrik tekstil jauh lebih berharga ketimbang pabrik berita. Dari segi bisnis, kematian sebuah unit usaha adalah peristiwa yang dianggap normal-normal saja.

Tapi kita mungkin perlu melihat peristiwa kematian media cetak dengan cara lain. Misalnya, kita bisa bertanya, apakah kematian Harian Bola sama harganya dengan kematian Sinar Harapan? Apakah kegagalan Majalah Jeep sama nilainya dengan kegagalan Majalah Editor? Apa yang hilang selain pekerjaan?

Koran dan majalah berita menyajikan informasi yang merekam proses kehidupan dan peristiwa publik: mulai dari mengidentifikasi problem kehidupan bersama, melengkapinya dengan bukti, membuka ruang perdebatan kebijakan untuk penyelesaian masalah, dan membuka peluang keterlibatan khalayak luas dalam proses politik pemerintahan.

Harga media cetak, karenanya, sesungguhnya melampaui urusan wartawan yang kehilangan pekerjaan.

Peristiwa kematian sebuah media cetak adalah hilangnya sebuah forum publik. Karena itu, kematian sebuah koran atau majalah bisa lebih penting ketimbang kebangkrutan sebuah pabrik tekstil.

Untuk alasan yang sama, kematian Sinar Harapan lebih layak diratapi ketimbang kematian Harian Bola. Sinar Harapan meliput peristiwa di masyarakat dan mendiskusikan isu-isu dan kebijakan publik yang serius, sementara Harian Bola lebih banyak meliput dunia hiburan. Masing-masing memiliki efek sosial yang berbeda.

Pertanyaannya, jika satu-persatu koran dan majalah bertumbangan, bagaimana masa depan forum-forum publik berbasis media di Indonesia? Ada beberapa plot masa depan yang mungkin terjadi.

Kalaulah kita meratapi rangkaian kematian media cetak, alasannya adalah semakin pudarnya media cetak yang selama ini berfungsi sebagai forum publik.


Plot pertama, beberapa koran dan majalah bertahan, sementara sisanya bangkrut dan mati. Yang bertahan, bersama dengan media elektronik dan digital, mereka menyediakan ruang publik untuk pelibatan khalayak luas dalam proses pembuatan kebijakan publik.

Kalau skenario ini berjalan, berarti kecemasan tentang hilangnya forum publik dan sekaligus matinya jurnalisme pemberitaan adalah kecemasan yang terburu-buru.

Plot ke dua, semua media cetak mati atau ditinggalkan publik karena perubahan media habit yang terjadi di kalangan konsumen media. Orang Indonesia lebih senang menonton televisi serta menyusuri internet dan media sosial ketimbang membaca koran atau majalah. Akibatnya, media cetak bisa mati, namun jurnalisme pemberitaan tetap bisa bertahan.

Berita dan informasi akan menemukan saluran baru untuk menjangkau dan meraih publik melalui panggung media yang berbeda mengikuti perkembangan teknologi. Jurnalisme digital bahkan tidak lagi memerlukan kertas yang menjadi keharusan media cetak agar bisa dikonsumsi publik.

Plot ke tiga, media konvensional cetak dan elektronik--yang di negara-negara maju disebut legacy media--semuanya mati dan ruang mereka diisi oleh media yang berbasis teknologi digital. Kita layaknya memasuki mode konsumsi informasi dan pemberitaan yang disusun dari kepadatan pixel, dan bukan lagi ketebalan tinta dan kertas.

Plot ke empat, semua media, baik yang konvensional maupun yang digital, bisa hidup berdampingan. Ruang publik bisa muncul dan berkembang di semua jenis media dan platform.

Belajar dari pengalaman sejarah, nampaknya plot yang ke empat ini lebih realistis. Di masa silam, saat medium radio baru muncul, ramalan tentang kematian suratkabar juga mencuat. Demikian juga, kehadiran televisi dicemaskan akan mematikan suratkabar dan radio. Namun semua ramalan ini ternyata keliru belaka.

Pertanyaan terakhir, katakanlah bahwa semua media bisa hidup berdampingan dan ternyata hanya jumlah dan jenis media yang berubah, apa kerugiannya jika media digital akhirnya menjadi media yang paling dominan sebagai fasilitator forum publik menggantikan media cetak?

Dunia digital yang murah dan terbuka membuka peluang munculnya jurnalis baru dan entreprenur anyar dengan modal kecil. Kohort profesional atau angkatan baru digital ini dengan mudah dan cepat membangun kanal berita yang kini berjumlah ratusan - atau bahkan ribuan.

Mereka mengembangkan komunitas-komunitas kecil yang terpisah dan masing-masing memiliki perhatian dan kecemasan yang berbeda-beda tentang masa depan Indonesia sebagai sebuah kolektivitas. Pendeknya, yang sedang dan akan kita hadapi adalah terpecahnya khalayak media di Indonesia dalam kepingan-kepingan kecil.

Kalaulah kita meratapi rangkaian kematian media cetak, alasan ratapan itu adalah semakin pudarnya media cetak yang selama ini berfungsi sebagai forum publik. Televisi yang masih dominan di Indonesia kini malah lebih berkembang sebagai forum gosip selebriti.

Sementara, sebagian besar media dan kanal digital ternyata juga terjangkiti penyakit yang sama dengan menjual pertengkaran para selebriti, dan sebagian yang lain masih meraba-raba masa depan. Dan kita hanya bisa berharap dengan cemas bahwa forum publik yang mengendarai platform jurnalisme digital kelak bisa berkembang dan merengkuh publik yang lebih luas.

Tapi kita masih harus berdoa dengan kencang bahwa mereka tidak akan terjebak pada liputan remeh sengketa personal antar-politisi atau antar-selebriti.

Sumber: http://goo.gl/VxcgkS
0
2.6K
33
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan