- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Tambal Defisit Tarik Utang, Bukti Pemerintah Malas
TS
save.endonezya
Tambal Defisit Tarik Utang, Bukti Pemerintah Malas
Isyarat pemerintah menambah utang baru guna menutup defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Perubahan 2015 dinilai hanya akan menyebabkan rakyat Indonesia makin terperosok dalam jebakan utang yang lebih dalam. Kenyataan ini juga mengindikasikan pemerintah cenderung tidak mau kerja keras atau malas menggenjot penerimaan negara dan menggali sumber-sumber penerimaan yang lebih luas, misalnya meningkatkan ekspor dan daya saing.
“Sudah saatnya pemerintah menahan laju besar utang, karena yang ada sekarang sudah terlalu besar. Idealnya cicilan utang per tahun besarnya 25 persen dari pendapatan negara,” kata pengamat ekonomi dari Universitas Airlangga Surabaya, Leo Herlambang, saat dihubungi, Selasa (10/11).
Berdasarkan data Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP), beban pembayaran bunga utang negara setiap tahun selalu meningkat. Jika pada 2011 bunga utang sekitar 93,3 triliun rupiah maka pada menurut APBN-P 2015 bunga utang sudah mencapai 155,7 triliun rupiah. Ini mengindikasikan bahwa stok utang negara terus bertambah tiap tahun.
Bahkan, sepanjang tahun ini stok utang pemerintah bakal bertambah 500 triliun rupiah menjadi 3.091 triliun rupiah dari 2.609 triliun rupiah pada 2014. Padahal, angka 3.091 triliun rupiah itu baru posisi per Agustus 2015 yang akan bertambah lagi karena penarikan utang baru sekitar 68 triliun rupiah untuk menambal pelebaran defisit anggaran.
Sebelumnya dikabarkan, pemerintahan baru dinilai masih meneruskan kegemaran berutang untuk menutup anggaran negara. Bahkan, pemerintah bakal menarik tambahan utang baru hingga 68 triliun rupiah untuk menambal defisit APBN-P 2015 yang melebar dari 1,9 persen menjadi 2,59 persen. Padahal, dengan target defisit 1,9 persen, pemerintah telah menargetkan tambahan utang pada tahun ini mencapai 279,4 triliun rupiah.
Hal itu akan membuat Indonesia kian terperosok dalam jebakan utang yang lebih dalam karena RAPBN 2016 yang menganggarkan belanja menembus 2.000 triliun rupiah itu telah mengisyaratkan tambahan utang baru lagi sekitar 273 triliun rupiah guna menutup defisit anggaran yang ditargetkan mencapai 2,1 persen dari produk domestik bruto (PDB).
Leo menjelaskan jebakan utang yang dimaksud adalah akan semakin banyak negara menarik utang untuk menutup defisit pencapaian yang setiap tahun terus terjadi.
“Kalau utang makin banyak, maka negara akan membutuhkan pendapatan lebih besar dan akan dibebankan pada pajak, padahal yang sebelumnya tidak tercapai. Artinya, perlu utang baru menutupi defisit penerimaan, demikian terus berulang setiap tahun. Kemudian rakyat lagi yang dipaksa menanggungnya,” kata dia.
Ia mengungkapkan keuangan negara sebenarnya telah menunjukkan sinyal yang mengkhawatirkan ditandai dengan terjadinya defisit keseimbangan primer secara berurutan dalam empat tahun terakhir. Itu berarti penerimaan negara sudah tidak bisa lagi menutup belanja negara di luar kewajiban utang.
Defisit keseimbangan primer dalam APBN berlangsung sejak 2012 sebesar 52,8 triliun rupiah dan mencapai puncaknya setahun kemudian di angka 98,6 triliun rupiah. Tahun ini, defisit keseimbangan primer diperkirakan sebesar 66,8 triliun rupiah.
Menanggung Derita
Dihubungi terpisah, Ekonom FEB UGM Yogyakarta, Fahmi Radhi, mengatakan rakyat sebenarnya telah menerima untuk menanggung derita akibat kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) karena pencabutan subsidi di awal pemerintahan Presiden Jokowi. Sebelumnya pemerintah berjanji akan mengalokasikan dana subsidi BBM untuk sektor produktif yang bisa menghasilkan surplus pendapatan negara dan kesejahteraan rakyat.
Namun sayangnya, kebijakan anggaran pemerintah justru terus melanjutkan rezim utang yang terbukti makin memberatkan keuangan negara dan membuat posisi tawar negara sangat lemah di hadapan para debitur. Meski subsidi BBM dicabut, defisit anggaran justru membengkak.
“Pertanyaannya keberanian pemerintah mencabut subsidi BBM itu ternyata berani membuat rakyat lebih susah. Buktinya utang justru makin bertambah, lalu kemana itu dana pencabutan subsidi. Jokowi harus berani terbuka kepada rakyat,” kata Fahmi.
Fahmi mengatakan rakyat dibuat bingung dengan banyak kontradiksi dalam kebijakan pemerintah. Saat subsidi dicabut, justru utang tambah.
Terkait target pajak yang tak tercapai, selain disebabkan oleh kegagalan membangun industri berdaya saing, menurut Fahmi, juga karena terlalu ambisiusnya target yang dicanangkan padahal kenyataannya ada perlambatan ekonomi.
“Target ambisius jelas udah bermasalah, belum lagi ternyata ujung-ujungnya ditambal pakai utang, ini sumber dari segala sumber masalah kita,” kata Fahmi.
http://www.koran-jakarta.com/?38369-...rintah%20malas
“Sudah saatnya pemerintah menahan laju besar utang, karena yang ada sekarang sudah terlalu besar. Idealnya cicilan utang per tahun besarnya 25 persen dari pendapatan negara,” kata pengamat ekonomi dari Universitas Airlangga Surabaya, Leo Herlambang, saat dihubungi, Selasa (10/11).
Berdasarkan data Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP), beban pembayaran bunga utang negara setiap tahun selalu meningkat. Jika pada 2011 bunga utang sekitar 93,3 triliun rupiah maka pada menurut APBN-P 2015 bunga utang sudah mencapai 155,7 triliun rupiah. Ini mengindikasikan bahwa stok utang negara terus bertambah tiap tahun.
Bahkan, sepanjang tahun ini stok utang pemerintah bakal bertambah 500 triliun rupiah menjadi 3.091 triliun rupiah dari 2.609 triliun rupiah pada 2014. Padahal, angka 3.091 triliun rupiah itu baru posisi per Agustus 2015 yang akan bertambah lagi karena penarikan utang baru sekitar 68 triliun rupiah untuk menambal pelebaran defisit anggaran.
Sebelumnya dikabarkan, pemerintahan baru dinilai masih meneruskan kegemaran berutang untuk menutup anggaran negara. Bahkan, pemerintah bakal menarik tambahan utang baru hingga 68 triliun rupiah untuk menambal defisit APBN-P 2015 yang melebar dari 1,9 persen menjadi 2,59 persen. Padahal, dengan target defisit 1,9 persen, pemerintah telah menargetkan tambahan utang pada tahun ini mencapai 279,4 triliun rupiah.
Hal itu akan membuat Indonesia kian terperosok dalam jebakan utang yang lebih dalam karena RAPBN 2016 yang menganggarkan belanja menembus 2.000 triliun rupiah itu telah mengisyaratkan tambahan utang baru lagi sekitar 273 triliun rupiah guna menutup defisit anggaran yang ditargetkan mencapai 2,1 persen dari produk domestik bruto (PDB).
Leo menjelaskan jebakan utang yang dimaksud adalah akan semakin banyak negara menarik utang untuk menutup defisit pencapaian yang setiap tahun terus terjadi.
“Kalau utang makin banyak, maka negara akan membutuhkan pendapatan lebih besar dan akan dibebankan pada pajak, padahal yang sebelumnya tidak tercapai. Artinya, perlu utang baru menutupi defisit penerimaan, demikian terus berulang setiap tahun. Kemudian rakyat lagi yang dipaksa menanggungnya,” kata dia.
Ia mengungkapkan keuangan negara sebenarnya telah menunjukkan sinyal yang mengkhawatirkan ditandai dengan terjadinya defisit keseimbangan primer secara berurutan dalam empat tahun terakhir. Itu berarti penerimaan negara sudah tidak bisa lagi menutup belanja negara di luar kewajiban utang.
Defisit keseimbangan primer dalam APBN berlangsung sejak 2012 sebesar 52,8 triliun rupiah dan mencapai puncaknya setahun kemudian di angka 98,6 triliun rupiah. Tahun ini, defisit keseimbangan primer diperkirakan sebesar 66,8 triliun rupiah.
Menanggung Derita
Dihubungi terpisah, Ekonom FEB UGM Yogyakarta, Fahmi Radhi, mengatakan rakyat sebenarnya telah menerima untuk menanggung derita akibat kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) karena pencabutan subsidi di awal pemerintahan Presiden Jokowi. Sebelumnya pemerintah berjanji akan mengalokasikan dana subsidi BBM untuk sektor produktif yang bisa menghasilkan surplus pendapatan negara dan kesejahteraan rakyat.
Namun sayangnya, kebijakan anggaran pemerintah justru terus melanjutkan rezim utang yang terbukti makin memberatkan keuangan negara dan membuat posisi tawar negara sangat lemah di hadapan para debitur. Meski subsidi BBM dicabut, defisit anggaran justru membengkak.
“Pertanyaannya keberanian pemerintah mencabut subsidi BBM itu ternyata berani membuat rakyat lebih susah. Buktinya utang justru makin bertambah, lalu kemana itu dana pencabutan subsidi. Jokowi harus berani terbuka kepada rakyat,” kata Fahmi.
Fahmi mengatakan rakyat dibuat bingung dengan banyak kontradiksi dalam kebijakan pemerintah. Saat subsidi dicabut, justru utang tambah.
Terkait target pajak yang tak tercapai, selain disebabkan oleh kegagalan membangun industri berdaya saing, menurut Fahmi, juga karena terlalu ambisiusnya target yang dicanangkan padahal kenyataannya ada perlambatan ekonomi.
“Target ambisius jelas udah bermasalah, belum lagi ternyata ujung-ujungnya ditambal pakai utang, ini sumber dari segala sumber masalah kita,” kata Fahmi.
http://www.koran-jakarta.com/?38369-...rintah%20malas
0
870
6
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan