- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Terkuak, 40% dari Harga Obat Buat Menyuap Dokter


TS
bhiineekaa
Terkuak, 40% dari Harga Obat Buat Menyuap Dokter
Quote:
Jakarta -Ketua Komite Nasional Penyusunan Formularium Nasional Iwan Dwiparahasto mengatakan rata-rata perusahaan farmasi menghabiskan duit untuk mempromosikan obatnya sebesar 40 persen dari total biaya produksi.
Alih-alih untuk beriklan, biaya promosi merupakan uang komisi penulisan resep obat. “Itu untuk membiayai dokter jalan-jalan ke luar negeri, bertanding golf, hingga membelikan mobil,” kata Iwan, yang juga guru besar farmakologi dari Universitas Gajah Mada, kepada Tempo, akhir September lalu.
Saat menelusuri penyebab mahalnya harga obat ini, tim investigasi Majalah Tempo memperoleh puluhan kuitansi yang dikeluarkan sebuah produsen obat saat memberikan uang kepada para dokter. Ada juga puluhan file berformat Microsoft Excel yang berisi 2.125 nama dokter di Jakarta, Bekasi, Tangerang, Surabaya, Jember, dan Makassar yang diduga menerima suap dari perusahaan itu.
Saat ini ada 205 perusahaan farmasi yang memperebutkan Rp 69 triliun ceruk pasar obat pada tahun ini. Angka itu setiap tahun meningkat. Pada 2000, misalnya, nilai bisnis obat hanya Rp 6 triliun. Mereka bersaing dengan cara “mendekati” dokter. “Jika dokternya punya banyak pasien, berapa pun uang yang diminta dokter akan dipenuhi,” kata seorang mantan petinggi perusahaan farmasi yang kini tak lagi bekerja di dunia farmasi.
Pada salah satu kuitansi, misalnya, tercantum nama seorang dokter spesialis penyakit dalam yang berpraktek di kawasan Kelapa Gading, Jakarta Utara. Perusahaan farmasi itu menghadiahi si dokter dengan perayaan tahun baru 2014 di Jepang. Di nota agen wisata, perjalanan tersebut bernilai US$ 15.690 atau senilai Rp 170 juta dengan kurs pada masa itu.
Ada lagi kuitansi pada Januari 2014 yang menyebutkan bahwa si dokter menerima Rp 200 juta. Kuitansi itu ia stempel dan ditandatangani. Lalu, pada Januari 2015, ia tercatat menerima Rp 500 juta. Sang dokter sempat membantah menerima uang itu, mengaku setelah ditunjukkan kuitansi pada 2014 tersebut. Menurut dia, itu bukanlah uang suap agar ia meresepkan produk perusahaan farmasi. “Itu uang komisi untuk apotek saya,” katanya, Kamis tiga pekan lalu, di kliniknya.
Selengkapnya liputan investigasi itu bisa di baca di Majalah Tempo edisi terbaru.
Tim Investigasi Tempo
http://m.tempo.co/read/news/2015/11/02/078714995/eksklusif-terkuak-40-dari-harga-obat-buat-menyuap-dokter
Suap Dokter = 40% Harga Obat, Tiga Hal yang Mengejutkan
Temuan investigasi Majalah Tempo edisi terbaru mengenai persengkongkolan antara dokter dan perusahaan farmasi amat memprihatinkan. Praktek kotor itu masih berlangsung hingga sekarang, bahkan modusnya tak banyak berubah. Sebelumnya, 14 tahun lalu, Tempo juga melakukan penelisikan serupa dengan hasil yang mirip pula.
Penegak hukum, entah itu Komisi Pemberantasan Korupsi, kejaksaan, atau kepolisian semestinya turun tangan. Suap membuat harga obat meroket. Publik dirugikan. Biaya perusahaan farmasi untuk menyogok dokter cukup besar, yakni 40 sampai 45 persen dari harga obat. (Baca: Terkuak, 40 Persen dari Harga Obat buat Menyuap Dokter)
Dokter dan perusahaan farmasi sebetulnya bisa dijerat dengan Undang-undang Pemberantasan Korupsi. Hadiah atau imbalan untuk dokter karena telah membikin resep obat dari perusahaan farmasi dikategorikan sebagai gratifikasi. Kode Etik Kedokteran pun melarangnya. Dokter tidak boleh “membuat ikatan atau menerima imbalan dari perusahaan farmasi, perusahaan alat kesehatan atau badan lain yang dapat mempengaruhi pekerjaan dokter”. (Baca pula: Sanksi bagi Dokter Penerima Suap Obat)
Khusus dokter di lingkungan Kementerian Kesehatan terikat pula Peraturan Kementerian Kesehatan Nomor 14/2014 tentang Pengendalian Gratifikasi. Intinya sama, ada larangan untuk menerima imbalan dari perusahaan farmasi.
Memerangi suap dokter amat penting karena tak hanya merugikan rakyat tapi juga memicu ekonomi biaya tinggi sekaligus menciptakan persaingan bisnis yang tidak sehat. Berikut ini realitas yang mengejutkan:
1. Uang Triliunan untuk Dokter
Farmasi termasuk termasuk industri yang kebal krisis ekonomi. Di tengah ekonomi lesu, industri ini masih tumbuh antara 10 hingga 15 persen pada semester pertama 2015. Pada semester kedua, diperkirakan juga akan tumbuh dengan angka sama. Ini berarti industri farmasi bisa mencetak omzet Rp 55 sampai 57,5 triliun pada tahun ini karena omzet tahun lalu sekitar Rp 50 triliun.
Jika sekitar 40 persen dari harga obat digunakan untuk promosi yang tak wajar atau untuk menyuap dokter, betapa besar nilai dana yang disia-siakan itu. Jumlahnya bisa mencapai Rp 22 triliun!
2. Seorang Dokter Bisa Mendapat Miliaran
Dari investigasi Tempo terungkap, seorang dokter internis mendapatkan setoran sekitar Rp 1 miliar dari sebuah perusahaan farmasi. Uang itu ditransfer dalam 15 kali transaksi. Pada 2014 ia menerima Rp 678 juta dan Rp 332 juta pada 2013. Tempo juga mendapat bukti dalam bentuk fotokopi kuitansi dan cek atas nama seorang dokter yang lain. Ia mendapatkan cek senilai Rp 400 juta pada Mei 2013.
Tak cuma uang, dokter juga kerapa ditawari hadiah lain seperti berwisata, beribadah haji, dan bonus lain yang mengiurkan. (Baca juga: Suap Obat, Dirut RSCM Pernah Ditawari PSK)
3. Asal Bikin Resep
Iming-iming menggiurkan itu menyebabkan seorang dokter enteng saja menulis resep obat bermerek yang mahal. Dokter juga gampang sekali memberikan obat antibiotik atau vitamin yang tak dibutuhkan oleh pasien.
Ada semacam aturan main antara perusahaan farmasi dan dokter. Seorang dokter harus mengumpulkan resep dengan nilai sebanyak 5 kali lipat dari setoran atau hadiah. Misalnya, si dokter disuap Rp 100 juta, maka ia harus membikin resep senilai Rp 500 juta. Seluk-beluk suap ini digambarkan secara gamblang dan lengkap dalam Majalah Tempo edisi terbaru.*
https://indonesiana.tempo.co/read/53241/2015/11/02/gendursudarsono/suap-dokter-40-harga-obat-tiga-hal-yang-mengejutkan#.VjhzIej-Kf0
Alih-alih untuk beriklan, biaya promosi merupakan uang komisi penulisan resep obat. “Itu untuk membiayai dokter jalan-jalan ke luar negeri, bertanding golf, hingga membelikan mobil,” kata Iwan, yang juga guru besar farmakologi dari Universitas Gajah Mada, kepada Tempo, akhir September lalu.
Saat menelusuri penyebab mahalnya harga obat ini, tim investigasi Majalah Tempo memperoleh puluhan kuitansi yang dikeluarkan sebuah produsen obat saat memberikan uang kepada para dokter. Ada juga puluhan file berformat Microsoft Excel yang berisi 2.125 nama dokter di Jakarta, Bekasi, Tangerang, Surabaya, Jember, dan Makassar yang diduga menerima suap dari perusahaan itu.
Saat ini ada 205 perusahaan farmasi yang memperebutkan Rp 69 triliun ceruk pasar obat pada tahun ini. Angka itu setiap tahun meningkat. Pada 2000, misalnya, nilai bisnis obat hanya Rp 6 triliun. Mereka bersaing dengan cara “mendekati” dokter. “Jika dokternya punya banyak pasien, berapa pun uang yang diminta dokter akan dipenuhi,” kata seorang mantan petinggi perusahaan farmasi yang kini tak lagi bekerja di dunia farmasi.
Pada salah satu kuitansi, misalnya, tercantum nama seorang dokter spesialis penyakit dalam yang berpraktek di kawasan Kelapa Gading, Jakarta Utara. Perusahaan farmasi itu menghadiahi si dokter dengan perayaan tahun baru 2014 di Jepang. Di nota agen wisata, perjalanan tersebut bernilai US$ 15.690 atau senilai Rp 170 juta dengan kurs pada masa itu.
Ada lagi kuitansi pada Januari 2014 yang menyebutkan bahwa si dokter menerima Rp 200 juta. Kuitansi itu ia stempel dan ditandatangani. Lalu, pada Januari 2015, ia tercatat menerima Rp 500 juta. Sang dokter sempat membantah menerima uang itu, mengaku setelah ditunjukkan kuitansi pada 2014 tersebut. Menurut dia, itu bukanlah uang suap agar ia meresepkan produk perusahaan farmasi. “Itu uang komisi untuk apotek saya,” katanya, Kamis tiga pekan lalu, di kliniknya.
Selengkapnya liputan investigasi itu bisa di baca di Majalah Tempo edisi terbaru.
Tim Investigasi Tempo
http://m.tempo.co/read/news/2015/11/02/078714995/eksklusif-terkuak-40-dari-harga-obat-buat-menyuap-dokter
Suap Dokter = 40% Harga Obat, Tiga Hal yang Mengejutkan
Temuan investigasi Majalah Tempo edisi terbaru mengenai persengkongkolan antara dokter dan perusahaan farmasi amat memprihatinkan. Praktek kotor itu masih berlangsung hingga sekarang, bahkan modusnya tak banyak berubah. Sebelumnya, 14 tahun lalu, Tempo juga melakukan penelisikan serupa dengan hasil yang mirip pula.
Penegak hukum, entah itu Komisi Pemberantasan Korupsi, kejaksaan, atau kepolisian semestinya turun tangan. Suap membuat harga obat meroket. Publik dirugikan. Biaya perusahaan farmasi untuk menyogok dokter cukup besar, yakni 40 sampai 45 persen dari harga obat. (Baca: Terkuak, 40 Persen dari Harga Obat buat Menyuap Dokter)
Dokter dan perusahaan farmasi sebetulnya bisa dijerat dengan Undang-undang Pemberantasan Korupsi. Hadiah atau imbalan untuk dokter karena telah membikin resep obat dari perusahaan farmasi dikategorikan sebagai gratifikasi. Kode Etik Kedokteran pun melarangnya. Dokter tidak boleh “membuat ikatan atau menerima imbalan dari perusahaan farmasi, perusahaan alat kesehatan atau badan lain yang dapat mempengaruhi pekerjaan dokter”. (Baca pula: Sanksi bagi Dokter Penerima Suap Obat)
Khusus dokter di lingkungan Kementerian Kesehatan terikat pula Peraturan Kementerian Kesehatan Nomor 14/2014 tentang Pengendalian Gratifikasi. Intinya sama, ada larangan untuk menerima imbalan dari perusahaan farmasi.
Memerangi suap dokter amat penting karena tak hanya merugikan rakyat tapi juga memicu ekonomi biaya tinggi sekaligus menciptakan persaingan bisnis yang tidak sehat. Berikut ini realitas yang mengejutkan:
1. Uang Triliunan untuk Dokter
Farmasi termasuk termasuk industri yang kebal krisis ekonomi. Di tengah ekonomi lesu, industri ini masih tumbuh antara 10 hingga 15 persen pada semester pertama 2015. Pada semester kedua, diperkirakan juga akan tumbuh dengan angka sama. Ini berarti industri farmasi bisa mencetak omzet Rp 55 sampai 57,5 triliun pada tahun ini karena omzet tahun lalu sekitar Rp 50 triliun.
Jika sekitar 40 persen dari harga obat digunakan untuk promosi yang tak wajar atau untuk menyuap dokter, betapa besar nilai dana yang disia-siakan itu. Jumlahnya bisa mencapai Rp 22 triliun!
2. Seorang Dokter Bisa Mendapat Miliaran
Dari investigasi Tempo terungkap, seorang dokter internis mendapatkan setoran sekitar Rp 1 miliar dari sebuah perusahaan farmasi. Uang itu ditransfer dalam 15 kali transaksi. Pada 2014 ia menerima Rp 678 juta dan Rp 332 juta pada 2013. Tempo juga mendapat bukti dalam bentuk fotokopi kuitansi dan cek atas nama seorang dokter yang lain. Ia mendapatkan cek senilai Rp 400 juta pada Mei 2013.
Tak cuma uang, dokter juga kerapa ditawari hadiah lain seperti berwisata, beribadah haji, dan bonus lain yang mengiurkan. (Baca juga: Suap Obat, Dirut RSCM Pernah Ditawari PSK)
3. Asal Bikin Resep
Iming-iming menggiurkan itu menyebabkan seorang dokter enteng saja menulis resep obat bermerek yang mahal. Dokter juga gampang sekali memberikan obat antibiotik atau vitamin yang tak dibutuhkan oleh pasien.
Ada semacam aturan main antara perusahaan farmasi dan dokter. Seorang dokter harus mengumpulkan resep dengan nilai sebanyak 5 kali lipat dari setoran atau hadiah. Misalnya, si dokter disuap Rp 100 juta, maka ia harus membikin resep senilai Rp 500 juta. Seluk-beluk suap ini digambarkan secara gamblang dan lengkap dalam Majalah Tempo edisi terbaru.*
https://indonesiana.tempo.co/read/53241/2015/11/02/gendursudarsono/suap-dokter-40-harga-obat-tiga-hal-yang-mengejutkan#.VjhzIej-Kf0
Tanggapan:
Harus dibuat aturan bahwa dokter yang mendapatkan fee dari industri obat harus DIPIDANA.
Diubah oleh bhiineekaa 03-11-2015 08:51
0
15K
Kutip
183
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan