
TEMPO.CO,Jakarta- Presiden Joko Widodo telah mengisyaratkan minat untuk bergabung dengan Trans Pasific Partnership (TPP). Ada beberapa syarat berat agar Indonesia bisa diterima. “Kalau benar, ini akan jadi liberalisasi besar-besaran,” kata Kepala Departemen Ekonomi Center for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri saat dihubungi pada Senin, 26 Oktober 2015.
Di antara hal yang harus dipenuhi oleh Indonesia untuk bergabung dengan TPP adalah penghapusan Daftar Negatif Investasi (DNI). Hal ini sudah dilakukan oleh Vietnam dan negara-negara anggota lain.
Di Indonesia, beberapa sektor usaha masih sepenuhnya tertutup bagi asing, seperti pengoperasian angkutan terminal penumpang angkutan darat, navigasi penerbangan, kelistrikan, hingga instalasi penyimpanan, serta pemasaran minyak dan gas di darat.
Sementara, usaha jasa hortikultura, perdagangan, pengolahan sampah, dan banyak sektor lain baru dibuka sebagian. “Nah, kalau ini harus dibuka total, selain pemerintah, sudah siap kah pengusaha kita bersaing terbuka dengan asing?” katanya.
TPP juga mewajibkan anggotanya untuk menghapus segala fasilitas untuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Artinya, tak ada penyertaan modal pemerintah, tak ada monopoli seperti pada listrik bagi PLN, dan beras bagi Bulog. “Ini kan tidak bisa hanya dengan inisiatif pemerintah, tapi juga harus melalui persetujuan DPR,” kata Yose.
Yang juga berat menurut Yose adalah persyaratan TPP untuk membuka proyek yang dibiayai oleh anggaran pemerintah untuk investor asing. Hal yang sebelumnya belum pernah dilakukan di Indonesia.
Masalahnya, semua ketentuan itu tidak bisa ditawar lagi, sebab Indonesia bukan negara pendiri TPP.
Sebagai negara yang datang belakangan (aksesi), tak ada pintu untuk bernegosiasi ulang. “Semua kesepakatan yang sudah ada harus dijalankan,” ujarnya.
Dalam sebuah wawancara, sebelum kunjungan empat hari ke Amerika Serikat pekan ini, Jokowi juga mengatakan pemerintahnya dengan cepat telah melucuti peraturan perdagangan proteksionis rumit yang tidak disukai pebisnis asing.
"Saya pengusaha," kata Jokowi mengacu pada pekerjaannya sebagai eksportir furnitur sebelum ia memulai karier politiknya sebagai wali kota kampung halamannya di Jawa Tengah. "Aku tahu apa yang mereka inginkan. Aku tahu apa yang mereka butuhkan. Saya ingin mengatakan Indonesia terbuka untuk investasi. Indonesia terbuka bagi investor.
"Selain itu, Menteri perdagangan Indonesia Thomas Lembong mengatakan Indonesia siap untuk bergabung dalam waktu dua tahun. Lembong prihatin Indonesia tertinggal di belakang tetangganya yang telah bergabung dengan kesepakatan itu, termasuk Australia,Brunei, Malaysia, Singapura, dan Vietnam.
Sumber :
http://m.tempo.co/read/news/2015/10/...jokowi-sanggup
Keknya bertentangan dengan UUD kita dimana ekonomi liberal tidak memiliki tempat karena negara harus hadir melindungi segenap rakyat dan tumpah darah termasuk dibidang ekonomi, semoga sebatas wacana
Ada analisis menarik berikut buat melengkapi :
Quote:
Trans Pacific-Partnership untuk Siapa?
Setelah sukses menyelenggarakan Diaspora Indonesia, Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat Dino Pattijalal kembali menggelar inisiatif inovatif kali ini di Tanah Air.
Tanggal 15- 17 Juli lalu Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia menyelenggarakan The 1st US Indonesia Think Tank Conference (TTC), sebuah ajang tukar pikiran tentang masalah strategis dunia antara para cendekiawan AS dan Indonesia serta para pengambil kebijakan luar negeri Indonesia. Konferensi tersebut dihadiri oleh sekitar 20 cendekiawan terkemuka dari AS dan 20 orang dari Indonesia dari pusat kajian ternama yang ada di Indonesia.
Topik yang dibicarakan pun sangat beragam dari aspek geopolitik, posisi strategis kerja sama ekonomi politik kawasan, isu demokratisasi hingga hak asasi manusia. Tentu semua isu tersebut penting. Salah satu yang menjadi perhatian tulisan ini adalah mengenai Trans-Pacific Partnership (TPP) yang menjadi salah satu topik hangat konferensi tersebut.
Tulisan ini membahas untuk kepentingan siapa sebenarnya TPP ini. TPP pada awalnya merupakan inisiatif Chile, Selandia Baru, dan Singapura.
Ke-mudian pada bulan April 2005 bergabunglah Brunei Darussalam. Keempat negara inilah yang disebut pendiri. Inisiatif kerja sama perjanjian bebasmultilateral yang bertujuan meliberalisasi ekonomi di Asia-Pasifik ini kemudian secara resmi berdiri danefektif berlaku pada 2006. Sebagai sebuah inisiatif kerja sama yang membentang kawasan cukup luas ini, sepertinya tidak mendapat tanggapan menggembirakan.
Apalagi di tengah berbagai inisiasi regionalisme ekonomi berbagai kawasan dan subkawasan yang bergerak dinamis di Asia maupun Amerika Utara.
Situasi mulai berubah ketika AS bergabung pada 2008. Di saat perekonomian global yang fluktuatif bahkan cenderung krisis pada tahun 2008, persoalan ekonomi domestik AS dan dinamika ekonomi politik internasional di Asia menjadikan momentum bagi AS untuk bergabung.
Konteks kebangkitan kekuatan regional antara lain China dan India dan menurunnya kekuatan relatif AS di berbagai belahan dunia,membuat AS mulai melirik kerja sama TPP ini. Bahkan sejak resmi bergabung, AS semakin agresif untuk menjadikan kerja sama ini sebagai vehicle ekonomi politiko-strategis.
Sekarang AS terlihat jelas memegang kendali TPP ini salah satunya untuk mengimbangi geliat sang naga China di kawasan Asia dari sisi investasi, perdagangan, dan hak kekayaan intelektual. Saat ini selain keempat negara pendiri, TPP beranggotakan AS, Australia, Peru, Vietnam, Meksiko dan Kanada. Besaran aktivitas ekonomi dari TPP dilihat dari kombinasi GDP diperkirakan sampai USD20,5 triliun dengan jumlah pasar 658 juta orang.
Belum lagi bila Korea Selatan sepakat masuk tahun depan, maka size dari TPP ini akan menjadi USD26 triliun dengan jumlah pasar sekitar 700 juta orang. Sungguh ukuran yang tidak bisa disebut kecil. Sulit pula disebut tidak menggiurkan bagi negara-negara maupun korporasi di dunia. Terlalu sederhana bila TPP disimpulkan akan memberikan manfaat hanya dengan pertimbangan ukuran ekonomi yang menggiurkan.
Angka-angka itu tidak serta-merta menjanjikan keuntungan bagi setiap negara yang bergabung di dalamnya.
Justru muncul kekhawatiran akan semakin kuatnya cengkeram AS beserta perusahaan multinasional mereka. Bukan menjadi rahasia lagi kalau AS berniat meneguhkan aturan perlindungan hak kekayaan intelektual atas produk produk industri kreatif dan farmasi.
Muncul kekhawatiran bahwa TPP ini bila diimplementasikan akan menjadi rezim perdagangan yang sangat rigid, menguntungkan AS namun merugikan negara lain. Misalnya pengaturan tentang hak kekayaan intelektual yang mengharuskan negara anggota mengadopsi atau mengubah hukum perlindungan kekayaan intelektual mereka mengikuti keinginan dan agenda AS.
Posisi Indonesia
Keputusan (sementara) Indonesia untuk tidak bergabung dalam skema ini harus diapresiasi. Paling tidak hingga saat ini Indonesia masih menolak bergabung dalam skema TPP.
Keputusan Indonesia tersebut dapat dilihat dari dua hal. Pertama, Indonesia tidak mau terjerumus pada lubang yang sama bila berkaca pada kasus ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA).
Pada kasus yang disebut terakhir ini jelas bahwa Indonesia lebih banyak mengalami kerugian dari sisiekonomi. Tak ayal lagi faktor ketidaksiapan domestiklah yang jadi masalah utama. Dalam kerangka TPP ini jelas sekali bahwa Indonesia tidak siap berkomitmen membuka pasar domestiknya dan khususnya dalam hal per-lindungan hak kekayaan intelektual. Contoh sederhana saja adalah maraknya pembajakan film-film Hollywood, peranti lunak komputer, buku-buku dan karya industri kreatif lainnya.
Sulit dibayangkan akan terjadi razia di lapak-lapak penjual CD, VCD, DVD dan buku-buku di berbagai tempat mulai di mal-mal hingga pasar tiban di perkampungan.
Walaupun menegakkan yang benar, namun karena ketidak-tegasan pemerintah dari awal, razia terhadap produk-produk tersebut akan menyebabkan ongkos sosial yang sangat besar. Kedua, Indonesia tidak yakin orkestrasi yang sedang dimainkan AS di tengah berbagai macam pengaturan kerja sama ekonomi di kawasan Asia Pasifik ini akan berjalan efektif.
Hal ini bisa dilihat dengan munculnya fenomena spaghetti bowl yang menunjukkan betapa rumitnya regionalisme ekonomi di dunia ini.
Persoalan dunia saat ini semakin kompleks dan membutuhkan koordinasi transnasional di antara negara-negara secara lebih terbuka dan adil, tata kelola yang transparan dan melibatkan lebih banyak aktor yang terlibat.
Tanpa itu semua,solusi substansial dan jangka panjang persoalan dunia yang makin menua ini tak dapat terpecahkan.
●TIRTA N MURSITAMA, PHD Head, Centre for Business and Diplomatic Studies, Bina Nusantara University. Pembicara dalam The 1st US Indonesia Think Tank Conference, 15-17 Juli 2012