Selamat siang agan-aganwati kaskuser,
ini thread pertama ane gan, biasanya ane cuma jadi silent reader aja ni , jadi harap maklum ya kalo thread ane ini masih berantakan banget. ane masih nubie pake banget dan semoga ga repost ya
Thread ini ane buat karena gw secara pribadi turut prihatin dengan pemberitaan akhir2 ini mengenai penarikan Majalah Lentera Merah buatan mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Komunikasi Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga, yg notabene dulu kampus tercinta ane gan
Kalo yang belum tau dimana UKSW itu, bakal ane jelasin dikit gan. Kampus UKSW terletak di kota kecil nan sejuk dibawah kaki Gunung Merbabu gan tepatnya di Provinsi Jawa Tengah, di tengah-tengah antara kota Solo dan Semarang gan.
Kampus UKSW ni gan
Langsung aja ya gan,
beberapa hari ini, fecebook gw sedikit rame dengan pemberitaan mengenai penarikan Majalah Lentera merah yang KATANYA ditarik oleh pihak kepolisian kota Salatiga. FYI, Majalah Lentera Merah ini garapan salah satu KBM atau lebih seperti kegiatan ekstrakurikuler kayak jaman-jaman masih sekolah. Dari beberapa artikel yang gw baca, majalah ini ditarik karena berisikan sejarah PKI. Dalam beberapa artikel menyebutkan bahwa majalah ini ditarik karena Cover majalah yang terdapat gambar Palu Arit dan dengan Judul Salatiga Merah . Bagi gw pribadi yang udah baca majalah ini, ga ada yang perlu ditakutkan kok dari isinya apalagi sampai harus ditarik,secara garis besar isi majalah ini hanya menceritakan sejarah PKI dikota salatiga dan sekitarnya. Isinya cukup menarik buat gw karena gw bisa nambah informasi sejarah, yg mungkin belum gw tau. Ini gw kasih beberapa artikel mengenai penarikan Majalah Lentera merah tersebut:
Spoiler for "Penarikan Majalah Cederai Demokrasi":
SALATIGA – Langkah polisi memanggil awak redaksi Kelompok Bakat Minat (KBM) Lentera UKSW Salatiga dan meminta penarikan majalah Lenteraedisi 3/2015 yang memuat tentang G30S/PKI di Kota Salatiga mendapat kecaman dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI).
Tindakan tersebut dinilai bisa mencederai demokrasi di Indonesia. Menurut Ketua AJI Semarang Rofiudin dalam rilisnya kemarin, polisi tidak boleh menggunakan kewenangannya secara serampangan. Sebagai lembaga penegak hukum, polisi semestinya mengerti kebebasan berekspresi mahasiswa. Sebab kebebasan berekspresi telah dijamin dalam Undangundang Dasar 1945.
“Langkah Polres Salatiga yang memeriksa LPM tanpa surat resmi pemanggilan dan meminta Lentera ditarik bisa menjadi insiden memalukan,” ucapnya. Karena itu, AJI Semarang meminta Kapolda Jawa Tengah dan Kapolri menegur Polres Salatiga yang telah sewenang- wenang memanggil mahasiswa anggota KBM Lentera. Untuk diketahui, majalah Lentera berjudul “Salatiga Kota Merah” yang beredar di luar kampus sejak sepekan kemarin memicu reaksi dari berbagai pihak.
Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkompinda) Salatiga mengundang rektorat Universitas Kristern Satya Wacana (UKSW) Salatiga guna dimintai penjelasan terkait peredaran majalah tersebut. Bahkan, Minggu (18/10), polisi memeriksa sejumlah awak redaksi Lentera, dari mulai Pemimpin Redaksi, pelindung, dan sejumlah reporter, dengan alasan artikel yang diterbitkan meresahkan masyarakat.
Mendapatkan reaksi negatif dari sejumlah pihak, Fakultas Ilmu Sosial dan Komunikasi (Fiskom) UKSW Salatiga kemarin akhirnya menarik majalah Lentera edisi 3/2015 dari pasaran. Dekan Fiskom UKSW Salatiga Daru Purnomo mengakui telah menarik peredaran majalah yang memuat artikel G30S/PKI di Salatiga tersebut.
“Majalah edisi nomor 3/- 2015 kami tarik dari peredaran untuk diamankan. Atas nama fakultas kami menyampaikan permohonan maaf atas beredarnya majalah tersebut di luar kampus,” katanya saat konferensi pers di ruang rapat Fiskom, UKSW Salatiga, kemarin.
Terkait kabar intimidasi oleh pihak kepolisian dan militer, Daru membantahnya. Kehadiran kepolisian hanya sebatas memediasi untuk meredam dampak negatif dari pemberitaan majalah Lentera nomor 3/2015. “Majalah ini kami tarik karena menyalahi aturan. Dan saya tegaskan tidak ada intimidasi dari pihak manapun,” katanya.
Sementara itu terkait isi majalah, Pimpinan Redaksi Majalah Lentera Bima Satria mengaku pihaknya telah melakukan investigasi terkait tulisantulisan dalam majalah tersebut. Sejumlah reporter Lentera melakukan penelitian dan wawancara terhadap sejumlah korban tragedi 65 yang berdomisili di wilayah Salatiga dan sekitarnya.
“Terkait isi, memang hal tersebut sudah dilakukan sesuai prosedur jurnalistik. Namun demikian, kami mengakui bahwa dengan adanya peredaran majalah tersebut sempat membuat keresahan di masyarakat,” ucapnya.
Terpisah, Kapolres Salatiga AKBP Yudho Hermanto menyatakan, pihaknya meminta UKSW Salatiga untuk bisa menjaga komitmen bersama, yakni menjaga kerukunan di Salatiga yang telah terjaga baik.“UKSW adalah ikon Salatiga. Karena itu, UKSW harus bisa menjaga komitmen yang tekah disepakati bersama, yakni menjaga kerukunan dan kondusivitas Kota Salatiga,” ucapnya.
TEMPO.CO, Semarang - Polisi berdalih penarikan Lentera setelah menerima protes dari sejumlah organisasi masyarakat yang mempersoalkan sampul depan majalah tersebut.
"Cover yang dipersoalkan adalah adanya gambar bendera-bendera palu arit," kata Kepala Kepolisian Resor Salatiga AKB Polisi Yudho Hermanto kepada Tempo, Senin, 19 Oktober 2015. Selain itu, judulnya “Salatiga Kota Merah”. Masyarakat Salatiga, klaim Yudho, tidak mau ada judul seperti itu.
Sedangkan soal isi majalah, ucap Yudho, tidak dipersoalkan. “Isinya soal lingkungan kampus terserah. Tidak ambil pusing selama tidak ada pelanggaran,” ujarnya. Yudho enggan menyebut ormas mana yang melayangkan protes ke polisi.
Lentera diterbitkan mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Komunikasi Universitas Kristen Satya Wacana. Pada Minggu, 18 Oktober 2015, polisi memeriksa tiga pengelola Lembaga Pers Mahasiswa Lentera.
Polisi meminta majalah yang sudah beredar dengan sampul gambar palu arit ditarik kemudian diserahkan ke Polres. Namun penarikan majalah ini dinilai sebagai bentuk pemberangusan kebebasan pers mahasiswa.
Sekretaris Jenderal Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Abdul Somad menjelaskan, tindakan polisi tersebut merupakan pengekangan terhadap kebebasan pers. "Ini jelas menunjukkan demokrasi di Indonesia belum berjalan sehat," ucapnya.
Pada Jumat malam, 16 Oktober 2015, menurut Yudho, forum Musyawarah Pimpinan Daerah Kota Salatiga bersama pengelola UKSW secara khusus berkumpul untuk membahas masalah tersebut.
Mereka yang hadir dalam pertemuan adalah Wali Kota Salatiga, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Salatiga, perwakilan Kodim 0714 Salatiga, dan Rektor UKSW Jhon Titaley yang didampingi para pembantu rektor.
Saat itu, tutur Yudho, ada kesepakatan menarik Lentera. “Bahkan yang meminta menarik adalah Pak Jhon (rektor) sendiri,” kata Yudho.
Polres Salatiga membantah disebut melakukan pemberedelan dan akan membakar majalah tersebut. Menurut Yudho, tindakan penarikan itu sesuai dengan kesepakatan Muspida untuk mencegah terjadinya hal yang tidak diinginkan.
Polres Salatiga kemudian menindaklanjuti kesepakatan itu. Polres pun meminta keterangan kepada pengelola LPM Lentera. Yudho menyatakan pemanggilan itu hanya untuk mengorek informasi.
Selain itu, Polres dengan menggunakan jajaran intel mengaku hanya ingin mengklarifikasi. Tujuannya, ujar Yudho, jika ada yang mempermasalahkan, masalah itu sudah diklarifikasi. “Jika saya melakukan tindakan hukum, saya tidak pakai intel, tapi reserse,” ucap Yudho.
Spoiler for "Berdiri Untuk Lentera":
Sampul muka di sebelah ini adalah majalah edisi ketiga dari Lentera, pers mahasiswa dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Komunikasi (Fiskom) UKSW. Dari sampulnya sudah jelas kalau yang diulas perihal PKI dan tragedi kemanusiaan pada 1965. Secara geografis, majalah ini fokus di seputaran Salatiga dan Sekitarnya. Setelah terbit, ternyata dipermasalahkan.
Malam 16 Oktober 2015, sekitaran pukul 20.00, Lentera ditelpon Flavianus Der Melsasail, Koorbidkem Fiskom, agar datang ke Gedung Administrasi Pusat. Tidak ada pemberitahuan yang begitu jelas mengenai pertemuan tersebut.
Empat orang Lentera datang ke GAP. Menghadap Daru Purnomo, Dekan Fiskom dan John Titaley, Rektor UKSW.
“Waktu itu, Pak rektor ngomong kalau majalah kami dipermasalahkan oleh beberapa pihak,” tukas Arista Ayu Nanda, Pemimpin Umum Lentera.
Malam itu rektor meminta seluruh majalah yang dijual di luar kampus, alias yang ada di agen-agen, untuk ditarik seluruhnya. Menurut Arista, rektor mewanti-wanti bahwa penarikan majalah tersebut didasari pada pencegahan adanya ormas yang akan mempermasalahkan “Salatiga Kota Merah”. Memang, pada poster-poster promosi majalah yang tersebar, Lentera membuka dua tempat penjualan di luar kampus. Yang pertama di Ababil Agency dan di Kafe Godhong Pring. Namun belakangan SA baru mendapat informasi langsung dari Bima Satria Putra, Pemimpin Redaksi Lentera, bahwa Ababil Agency menolak menjualkan “Salatiga Kota Merah” karena takut dikira menyebarkan ajaran komunisme.
Menurut data himpunan SA, distribusi majalah Lentera dibagikan dalam dua lingkup. Dalam kampus dan luar kampus. Khusus di luar kampus, Lentera telah mengirim majalahnya ke Humas Wali Kota, Persipda, Kampoeng Percik, Godhong Pring dan penjual buku online Salatiga.
Setelah pertemuan dengan orang nomor satu di UKSW itu, Lentera langsung menghubungi Godhong Pring agar menyimpankan majalahnya, untuk diambil esoknya.
17 Oktober 2015 pagi, Daru meminta Lentera agar datang ke kampus membawa sisa majalah yang ada di Godhong Pring. Lentera mengiyakan. Tapi ternyata majalah yang sedianya ada di Godhong Pring, sudah berpindah tangan. “Ternyata sudah diambil oleh Polres Salatiga,” ujar Arista yang mengenakan parka hijau gelap khas angkatan darat.
Mengetahui tumpukan majalah Lentera di Godhong Pring sudah ‘lenyap’, Daru lantas membuat pertemuan pukul 15.00 dengan anggota Lentera. Dengan satu catatan: seluruh sisa majalah harus dikumpulkan. Pada pertemuan tatap muka antara Daru dengan Lentera, yang mana mestinya sudah ada pengumpulan seluruh sisa majalah, ternyata Lentera mengumpulkan 20 dari 500 eksemplar majalah.
Lebih lanjut, Arista menceritakan bahwa pada malamnya, Lentera kembali dihubungi fakultas. Pesannya jelas: besok 18 Oktober 2015, diminta perwakilan Lentera datang ke Kantor Polres Salatiga pukul 08.00.
18 Oktober 2015, Arista, Bima dan Septi, Bendahara Lentera, hadir di Kantor Polres Salatiga untuk memberi keterangan pada aparat. Di lokasi juga ada Daru, Teguh Wahyono PR II, Arief Sadjiarto PR III, dan Neil Rupidara PR V yang mendampingi proses hingga berakhir siang tadi.
Pertemuan di Kantor Polres Salatiga itu membuahkan kesepakatan agar distribusi majalah Lentera dihentikan dan seluruh sisa majalah segera ditarik, karena rencananya akan segera dibakar. Teguran lisan juga disampaikan kepada UKSW.
Ketika SA menyinggung soal penarikan dan penghangusan majalah, mimik Arista menyeringai lebih lebar. “Di satu sisi kami tetap mau mempertahankan majalah yang ada di tangan kami, ya karena itu hak kami,” aku Arista.
Majalah Tidak akan Dibakar
Malam pukul 18.00, SA menghubungi Daru Purnomo. “Nomor yang anda tuju sedang sibuk,” terdengar lirih dari pengeras suara ponsel selular.
Setelah mengulanginya dua kali, tepat pukul 18.27 baru ada nada tunggu. Diangkat. Samar-samar terdengar suara agak berat.
Dalam percakapan telepon tersebut, Dekan Fiskom ini mengiyakan bahwa pertemuan hari ini bertujuan mencari penyelesaian terbaik, terkait dengan usaha kepolisian dalam mencegah reaksi ormas pada pemberitaan “Salatiga Kota Merah”. Maka dari itu diminta penarikan majalah dan pemberhentian distribusi.
“Penarikan dan pemberhentian distribusi itu adalah kesepakatan bersama,” tukas Daru. Lebih lanjut, Daru menegaskan bahwa kesepakatan tersebut termaktub secara tertulis antara UKSW dengan Polres Salatiga.
Mengacu pada pernyataan dari Lentera bahwa majalah yang nantinya dikumpulkan akan dihanguskan, Daru menepisnya. “Hanya ditarik dan dikumpulkan di fakultas. Tidak akan dibakar,” ujar Daru. Kali ini suaranya putus-putus gegara sinyal lemah, keluhnya.
Di sela-sela percakapan soal pengumpulan majalah, Daru menegaskan dirinya akan berdiri buat Lentera. “Karena Lentera ada di bawah UKSW, maka kami pimpinan fakultas dan universitas juga turut mendampingi proses pemanggilan ini,” tegas Daru.
Selain dukungan dari fakultas, menilik dari Tempo.co pada rubrik Nasional, kasus penarikan majalah ini mengundang sorotan media dan beragam lembaga eksternal UKSW. Pada berita “Beritakan Kasus 1965, Majalah Lentera Ditarik kemudian Dibakar” oleh Abdul Azis, tertulis bahwa Lentera mendapat tawaran advokasi dari Lembaga Bantuan Hukum Pers di Jakarta, Aliansi Jurnalis Independen (AJI), dan Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Nasional. (Baca juga: Beritakan Kasus 1965, Majalah Lentera Ditarik lalu Dibakar)
Arya Adikristya Nonoputra, mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Komunikasi, angkatan 2013. Pemimpin Umum Scientiarum.
Penyunting: Evan Adiananta Nonoputra
Sekian thread dari ane gan, semoga apa yg gw tuliskan disini bisa nambah informasi buat kita semua. Masalah Pro dan Kontra akan selalu ada dalam pemberitaan. Tapi sekali lagi gw salut sama KBM Majalah Lentera yang udah berani menuliskan sejarah ini ..
kalo ada salah-salah kata ane minta maaf ya agan-aganwati kaskuser..