- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Di era Jokowi KPK dimatikan dan pengemplang pajak diampuni


TS
fr91
Di era Jokowi KPK dimatikan dan pengemplang pajak diampuni
Quote:
Merdeka.com - Revisi UU KPK hingga kini terus menuai pro dan kontra. Dalam draf revisi tersebut, umur KPK dibatasi maksimal hanya 12 tahun setelah UU itu disahkan. Tidak hanya itu, KPK juga bakal diamputasi karena berbagai kewenangannya bakal dipreteli.
Yang lebih lucu, draf tersebut ternyata datangnya dari pemerintah bukan dari DPR. Hal ini disampaikan anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR Muslim Ayub. Pemerintah Jokowi tidak berterus terang soal revisi undang-undang KPK. Hal ini lantaran Dia mempertanyakan draf revisi yang beredar memakai logo presiden yang seakan membuktikan draf tersebut berasal dari pemerintah.
"Pemerintah enggak berterus terang, buktinya dalam logo drafnya ada lambang presidennya. Kita (DPR) hanya sebagai pengusul saja. Kalau soal dari mananya, ya dari pemerintah,"kata Muslim di Komplek Senayan, Jakarta, Rabu (7/10) kemarin.
Muslim menilai sikap pemerintah Jokowi seperti menutupi keberadaan revisi UU KPK dengan membalik badan. Menurutnya, Presiden Jokowi terkesan begitu takut apabila menerima protes dari masyarakat dan lembaga pemerintah lain mengenai revisi UU tersebut.
"Presiden sikapnya jadi balik badan begitu, presiden memang begitu, kalau ada protes dari empat sampai lima lembaga membuat takut presiden untuk bicara. Mengingat sebelumnya bahasan tentang RUU KPK mendapat protes dari masyarakat, maka DPR langsung berinisiatif saja untuk mengusulkan," katanya kepada awak media.
Politikus Partai Amanat Nasional (PAN) ini mengaku mendapatkan draf tersebut pada Selasa (6/10) di ruang Baleg DPR. Sehingga, draf yang diterima anggota dewan kemarin adalah draf milik pemerintah.
"Belum, belum ada draf dari DPR, kita sebagai pengusul saja. Yang pasti semua fraksi mendapatkan draf pemerintah yang sempat gagal diajukan itu," pungkasnya.
Wakil Ketua DPR RI, Fadli Zon juga menyebut bila draf revisi UU KPK adalah usulan pemerintah dan DPR. "Itu dari pemerintah, lalu sudah setujui di paripurna dan menjadi usulan bersama pemerintah dan DPR," katanya saat ditemui merdeka.com dalam Global Conference of Parliamentarians Against Corruption ke 6 di Hotel Royal Ambarukmo, Yogyakarta, kemarin.
Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani mendukung revisi UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK. Puan sepakat dengan usulan fraksi-fraksi yang ada di DPR untuk merevisi UU KPK.
a kalau memang sudah sangat urgent dan memang diperlukan penguatan dan kemudian direvisinya UU, ya saya ikut apa yang menjadi hal yang diinginkan DPR, fraksi-fraksi yang ada di DPR," kata Puan di Istana, Jakarta, Rabu (7/10).
Bukan tanpa sebab Puan mendukung revisi UU KPK. Dia menilai revisi UU KPK yang bakal dilakukan DPR adalah untuk menguatkan keberadaan KPK itu sendiri.
"Jadi kalau ada fraksi yang mengusulkan pasti bukan karena ingin melemahkan tapi penguatan fungsi dari KPK itu ke depannya bisa menjadi salah satu pilar untuk menjaga negara ini sebagai negara anti korupsi," jelasnya.
Tak hanya KPK yang bakal dikebiri dan dimatikan setelah 12 tahun, di era pemerintahan Jokowi, para pengemplang pajak dan koruptor juga bakal mendapat pengampunan. Hal ini setelah fraksi memotori untuk mengusulkan RUU Pengampunan Nasional dalam Prolegnas tahun ini.
Dalam draf yang diterima merdeka.com, Rabu (7/10), pengampunan ini disamakan dengan pemberian amnesti. Amnesti sendiri merupakan salah satu hak presiden di bidang yudikatif. Hal itu tertuang dalam penjelasan draf RUU Pengampunan Nasional.
"Pengampunan Nasional sejalan dengan kewenangan Pemerintah dalam pemberian pengampunan dalam bentuk amnesti. Pasal 14 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 mengatur bahwa Presiden memberi amnesti dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat".
Dalam penjelasan umum draf RUU tersebut juga dijelaskan, bahwa dalam Pasal 23A UUD NRI Tahun 1945 mengatur Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang, sehingga telah tepat apabila pengaturan tarif uang tebusan yang akan menjadi penerimaan negara termasuk subjek dan objek pengampunan diatur dalam undang-undang ini.
"Dalam sejarah perpajakan Indonesia, Pemerintah pernah memberikan fasilitas Pengampunan Pajak yang telah dilaksanakan pada tahun 1964 dengan pertimbangan bahwa ketentuan fiskal tidak membeda-bedakan apakah tambahan harta itu disebabkan oleh usaha-usaha halal atau diperoleh dengan tindak pidana umpama korupsi."
Nantinya setiap orang pribadi atau badan usaha yang mengajukan permohonan pengampunan akan dikenakan biaya tebusan. Biaya tebusan itu besaran antara 3, 5, dan 8 persen dari harta pemohon.
"Penerimaan Negara dari Uang Tebusan yang dibayarkan oleh Orang Pribadi atau Badan, dibagi dengan imbangan 90 persen untuk Penerimaan Pajak dan 10 persen untuk Penerimaan Negara Bukan Pajak," bunyi pasal 19 dalam draf tersebut.
Sumber
Yang lebih lucu, draf tersebut ternyata datangnya dari pemerintah bukan dari DPR. Hal ini disampaikan anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR Muslim Ayub. Pemerintah Jokowi tidak berterus terang soal revisi undang-undang KPK. Hal ini lantaran Dia mempertanyakan draf revisi yang beredar memakai logo presiden yang seakan membuktikan draf tersebut berasal dari pemerintah.
"Pemerintah enggak berterus terang, buktinya dalam logo drafnya ada lambang presidennya. Kita (DPR) hanya sebagai pengusul saja. Kalau soal dari mananya, ya dari pemerintah,"kata Muslim di Komplek Senayan, Jakarta, Rabu (7/10) kemarin.
Muslim menilai sikap pemerintah Jokowi seperti menutupi keberadaan revisi UU KPK dengan membalik badan. Menurutnya, Presiden Jokowi terkesan begitu takut apabila menerima protes dari masyarakat dan lembaga pemerintah lain mengenai revisi UU tersebut.
"Presiden sikapnya jadi balik badan begitu, presiden memang begitu, kalau ada protes dari empat sampai lima lembaga membuat takut presiden untuk bicara. Mengingat sebelumnya bahasan tentang RUU KPK mendapat protes dari masyarakat, maka DPR langsung berinisiatif saja untuk mengusulkan," katanya kepada awak media.
Politikus Partai Amanat Nasional (PAN) ini mengaku mendapatkan draf tersebut pada Selasa (6/10) di ruang Baleg DPR. Sehingga, draf yang diterima anggota dewan kemarin adalah draf milik pemerintah.
"Belum, belum ada draf dari DPR, kita sebagai pengusul saja. Yang pasti semua fraksi mendapatkan draf pemerintah yang sempat gagal diajukan itu," pungkasnya.
Wakil Ketua DPR RI, Fadli Zon juga menyebut bila draf revisi UU KPK adalah usulan pemerintah dan DPR. "Itu dari pemerintah, lalu sudah setujui di paripurna dan menjadi usulan bersama pemerintah dan DPR," katanya saat ditemui merdeka.com dalam Global Conference of Parliamentarians Against Corruption ke 6 di Hotel Royal Ambarukmo, Yogyakarta, kemarin.
Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani mendukung revisi UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK. Puan sepakat dengan usulan fraksi-fraksi yang ada di DPR untuk merevisi UU KPK.
a kalau memang sudah sangat urgent dan memang diperlukan penguatan dan kemudian direvisinya UU, ya saya ikut apa yang menjadi hal yang diinginkan DPR, fraksi-fraksi yang ada di DPR," kata Puan di Istana, Jakarta, Rabu (7/10).
Bukan tanpa sebab Puan mendukung revisi UU KPK. Dia menilai revisi UU KPK yang bakal dilakukan DPR adalah untuk menguatkan keberadaan KPK itu sendiri.
"Jadi kalau ada fraksi yang mengusulkan pasti bukan karena ingin melemahkan tapi penguatan fungsi dari KPK itu ke depannya bisa menjadi salah satu pilar untuk menjaga negara ini sebagai negara anti korupsi," jelasnya.
Tak hanya KPK yang bakal dikebiri dan dimatikan setelah 12 tahun, di era pemerintahan Jokowi, para pengemplang pajak dan koruptor juga bakal mendapat pengampunan. Hal ini setelah fraksi memotori untuk mengusulkan RUU Pengampunan Nasional dalam Prolegnas tahun ini.
Dalam draf yang diterima merdeka.com, Rabu (7/10), pengampunan ini disamakan dengan pemberian amnesti. Amnesti sendiri merupakan salah satu hak presiden di bidang yudikatif. Hal itu tertuang dalam penjelasan draf RUU Pengampunan Nasional.
"Pengampunan Nasional sejalan dengan kewenangan Pemerintah dalam pemberian pengampunan dalam bentuk amnesti. Pasal 14 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 mengatur bahwa Presiden memberi amnesti dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat".
Dalam penjelasan umum draf RUU tersebut juga dijelaskan, bahwa dalam Pasal 23A UUD NRI Tahun 1945 mengatur Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang, sehingga telah tepat apabila pengaturan tarif uang tebusan yang akan menjadi penerimaan negara termasuk subjek dan objek pengampunan diatur dalam undang-undang ini.
"Dalam sejarah perpajakan Indonesia, Pemerintah pernah memberikan fasilitas Pengampunan Pajak yang telah dilaksanakan pada tahun 1964 dengan pertimbangan bahwa ketentuan fiskal tidak membeda-bedakan apakah tambahan harta itu disebabkan oleh usaha-usaha halal atau diperoleh dengan tindak pidana umpama korupsi."
Nantinya setiap orang pribadi atau badan usaha yang mengajukan permohonan pengampunan akan dikenakan biaya tebusan. Biaya tebusan itu besaran antara 3, 5, dan 8 persen dari harta pemohon.
"Penerimaan Negara dari Uang Tebusan yang dibayarkan oleh Orang Pribadi atau Badan, dibagi dengan imbangan 90 persen untuk Penerimaan Pajak dan 10 persen untuk Penerimaan Negara Bukan Pajak," bunyi pasal 19 dalam draf tersebut.
Sumber
Nungguin pembelaan dari Nastak aja

0
5.7K
Kutip
89
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan