Kaskus

News

zhouxianAvatar border
TS
zhouxian
Dr. Liauw Yan Siang: Tak Ada Penyiksaan Terhadap 6 Jenderal
SEJAK peristiwa G30S diajarkan di sekolah, saya terusik dengan latar belakang kejadian tersebut. Salah satu faktor yang membuat saya ingin tahu lebih banyak adalah komentar orang tua saya sendiri. Ketika mereka membantu saya belajar untuk ulangan sejarah, mereka selalu tak sengaja menggunakan istilah Gestok. Kemudian salah satu guru di sekolah menggunakan istilah Gestapu. Mengapa satu hal penting yang telah mengubah sejarah Indonesia secara sangat drastis bisa dikenal dan memiliki tiga istilah? Hal itu membuat saya semakin tergelitik.

Setelah pergi ke Amerika untuk melanjutkan pendidikan, saya mendapat kesempatan pergi ke Cornell University untuk melakukan penelitian pribadi. Di sana saya berkenalan dengan para rekan peneliti, pelajar, dan terutama Indonesianis Professor Ben Anderson (akrab disapa Oom Ben). Salah satu topik pembicaraan saya dengan Oom Ben menyentuh tulisan beliau tentang laporan otopsi para jenderal.[1] Dari beliau saya kemudian mendapat kopian asli laporan otopsi[2] tersebut.

Suatu hari, ketika sedang makan siang dengan rekan-rekan di rumah Oom Ben, dia meminta saya untuk melacak di mana saja para dokter yang melakukan otopsi tersebut. Lewat rekan Stanley Adi Prasetyo di Jakarta, saya diberitahu kalau salah satu tokoh yang terlibat, Dr. Lim Joe Thay (Arief Budianto), pernah diwawancara majalah D&R[3]. Dus seperti terbuka pintu bahwa kemungkinan besar beliau tidak khawatir untuk membicarakan soal ini. Berkat bantuan rekan saya [yang tak bersedia disebut namanya] di Universitas Indonesia (UI), saya mendapatkan alamat dan nomor telepon Dr. Lim.

Satu malam saat kami berbincang, beliau memberitahukan bahwa dari semua pelaku otopsi tersebut, tiga orang[4] sudah tidak ada. Ketika ditanya tentang pelaku selanjutnya, yaitu Dr. Liauw Yan Siang, Oom Joe Thay [demikian beliau minta dipanggil] berkomentar bahwa beliau ada di Amerika dan harusnya baik-baik saja keadaanya. Saya segera minta beliau sudi kiranya memberikan informasi Dr. Liauw. Oom Joe Thay menukas bahwa dia hanya tahu Dr. Liauw pindah ke Amerika namun entah di mana sekarang. Rasa kecewa muncul seketika.

Beberapa hari kemudian, saya mulai memikirkan hal itu kembali. Tak mungkin rasanya seorang dokter tak berupaya untuk praktek kembali setelah pindah ke negeri baru. Tergelitik, saya ambil keputusan menghubungi American Medical Association (AMA) dan meminta mereka mencari nama Liauw Yan Siang di database mereka. Hasilnya nihil dus membuat saya kembali kecewa. Saya kemudian minta mereka mencari lagi, namun dari sisi spesialisasi forensik patologi dan hanya dengan menggunakan nama keluarga Liauw saja. Kali ini ternyata sukses! Ada seorang dokter bernama keluarga Liauw yang tinggal di negara bagian Ohio, namun namanya terdaftar sebagai Ferry Liauw.

Pihak AMA lalu menyatakan bahwa beliau sudah pensiun dan bukan anggota aktif AMA lagi; dus mereka tidak yakin data yang ada di mereka masih akurat. Mereka lalu memberikan nomor telepon asosiasi forensik patologi di negara bagian Ohio dan menyarankan agar saya menghubungi mereka untuk mendapatkan informasi lebih lanjut. Sesuai dugaan pihak AMA, dari mereka akhirnya saya berhasil mendapatkan nomor telepon dan alamat Dr. Liauw.

Selanjutnya bisa Anda duga: saya segera menghubungi beliau. Seorang perempuan mengangkat telepon dan memberikan konfirmasi bahwa benar itulah kediaman Dr. Liauw yang aslinya dari Indonesia. Ternyata beliau adalah istrinya dan orang Indonesia juga. Kami mulai berbincang dalam bahasa Indonesia. Tak lama kemudian Dr. Liauw tiba di rumah dan telepon diberikan kepadanya. Perbincangan berlanjut dengan beliau memberikan konfirmasi identitas beliau dan memang betul dia yang melakukan otopsi tersebut di tahun 1965. Dia agak kaget dan kemudian bertanya bagaimana saya bisa menemukan beliau? Saya berikan garis besarnya seperti yang sudah saya terakan di atas. Dia tertawa sambil berkata, “Are you a detective?”

Bincang-bincang berlanjut beberapa kali lewat telepon selang beberapa minggu dan akhirnya saya minta ijin agar boleh datang mengunjungi Oom Yan Siang [beliau minta dipanggil demikian]. Pada tanggal 11 November, 2000 saya tiba di rumahnya. Yang pertama saya lihat ketika sedang parkir mobil adalah seseorang yang sedang membersihkan atap rumah tersebut. Ternyata itu Oom Yan Siang. Saat itu usianya sudah 72 tahun namun masih nampak sangat gesit dan gagah. Aura ramah namun berwibawa dan terpelajar segera saya tangkap dari beliau. Tak lama kemudian saya mulai berbincang lebih mendalam dengan Oom Yan Siang dengan ditemani sang istri. Pada kesempatan itu pula saya tunjukkan kopian laporan otopsi yang saya dapatkan dari Oom Ben. Berangkat dari laporan tersebut dan ingatan beliau, kami berusaha menelusuri kembali jalannya kejadian tersebut.

Setelah seharian di sana saya pamit karena perlu menyetir cukup jauh untuk pulang. Kami tetap berhubungan lewat telepon. Selain membahas kehidupan sehari-hari, kami juga melakukan berbagai follow up tentang bincang-bincang kami di rumahnya mengenai otopsi tersebut. Ketika saya menghubungi beliau pertengahan Januari 2001 untuk mengucapkan selamat tahun baru dan juga selamat ulang tahun, beliau terkesan merasa terganggu dan minta saya telepon lagi di lain waktu. Beberapa minggu kemudian saya telepon kembali dan saya terkejut mendengar pesan otomatis dari perusahaan telepon bahwa nomor tersebut sudah diputus.

Saya segera menghubungi anak Oom Yan Siang. Dari dia saya menerima kabar bahwa beliau ternyata sudah meninggal dunia pada tanggal 27 Januari. Setelah mulai lepas dari rasa terkejut, saya bertanya lebih lanjut latar belakang kejadian tersebut. Beliau ternyata menerima diagnosis kanker hati beberapa minggu sebelumnya dan sejak itu kondisinya menurun sangat drastis. Semua terkejut, betapa cepatnya beliau meninggal. Sang anak merasa ayahnya patah arang sehingga mempercepat kepergiannya. Dia lanjut menukas bahwa secara timing saya sangat beruntung berhasil menghubungi ayahnya dan membahas peristiwa otopsi tersebut. Menurutnya, saya orang Indonesia pertama dan terakhir yang dapat kesempatan membahas hal tersebut dengan beliau. Dia kemudian mengucapkan good luck dan mempersilahkan menggunakan hasil bincang-bincang itu sesuai keinginan dan keperluan saya.

Mungkin karena agak terpukul, saya secara tak sadar menyisihkan hasil bincang-bincang ini dari perhatian saya. Kebetulan juga saya kena kesibukan proyek lain sehingga tanpa sadar hal ini semakin luput dari pikiran saya. Setelah hampir 14 tahun lewat, beberapa kawan peneliti mulai bertanya status dan hasil dari bincang-bincang saya dengan Oom Yan Siang. Ketika saya menerima undangan dan menonton film The Act of Killing karya Joshua Oppenheimer, saya tergugah dan mulai berpikir mengapa tidak saya terbitkan saja. Toh ini sebuah cara untuk mengenang jasa Oom Yan Siang. Bertepatan dengan menyambut 50 tahun terjadinya peristiwa G30S ini, saya rasa sudah waktunya Anda sekalian dapat menyimak hasil perbincangan kami. Berikut petikannya:



http://indoprogress.com/2015/09/dr-l...eral-bagian-1/

bacaan sejarah gan

bersambung ke bawah
0
10.4K
96
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan