- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Negara-Negara Kiblat Sains Dunia


TS
aribandimantra
Negara-Negara Kiblat Sains Dunia
Perkembangan dunia kita saat ini yang begitu cepat, didorong oleh berbagai faktor. Sains salah satunya. Sains atau ilmu pengetahuan yang tumbuh pesat dari dunia akademik yang lalu diadopsi ke dunia praktis, bisa dikatakan sebagai lokomotif yang menarik berbagai elemen pendukung masuk ke pusaran perubahan. Bisnis berbasis sains, muncul dengan berbagai model inovasi yang sangat dinamis. Seperti ruang eksperimentasi yang tak betepi, berbagai varian produk industri muncul.
Tuntutan persaingan yang ketat, melumat demarkasi waktu di dunia bisnis. Termasuk juga dalam hal perkembangan riset yang tentu saja didasarkan pada ilmu pengetahuan. Maka tak heran, di perusahaan-perusahaan besar dan terlibat persaingan sengit dengan kompetitornya, divisi riset memegang peranan vital.
Divisi riset, menjadi semacam dapur untuk meramu berbagai racikan inovasi yang selalu ditunggu-tunggu oleh konsumen. Ketatnya persaingan yang berbasis sains ini, menyebabkan ukuran sukses sebuah perusahaan perlahan mengalami pergeseran. Bukan lagi besarnya angka penjualan yang menjadi parameter, bukan pula harga melangit yang menandakan gengsi yang ditawarkan.
Kini, perusahaan yang disegani adalah mereka yang paling inovatif dan mampu melahirkan produk-produk bercitarasa teknologi tinggi sehingga memiliki perbedaan (diferensiasi) otentik dibandingkan dengan kompetitornya. Sebuah perusahaan, bisa saja sukses dalam angka penjualan. Namun jika ia miskin inovasi, tak mampu melahirkan produk dengan sentuhan teknologi, maka lambat laun akan tertelan oleh pesaing. Mekskipun menawarkan produk dengan harga yang lebih murah.
Sebaliknya, konsumen akan dengan suka rela membayar lebih tinggi untuk memiliki sebuah produk yang sarat teknologi. Konsumen yang kian terdidik, tentu lebih memilih manfaat ketimbang harga. Jika dua buah produk yang sejenis ditawarkan. Produk A memiliki teknologi di atas rata-rata tapi denga harga Rp 10.000.000, sementara produk B ditawarkan dengan harga standar, namun harga murah tersebut ditebus oleh pemasangan teknologi yang juga ala kadarnya yang sudah hampir bisa dipastikan berkonsekuensi pada kenyamanan pengguna. Bagi konsumen yang memperhatikan utilitas, harga mahal produk A, namun nyaman dipakai tentu saja menjadi pilihan.
Dengan kerangka berpikir seperti ini, maka dapat dipahami jika sebuah perusahaan membutuhkan dukungan riset untuk melakukan inovasi dan membenamkan teknologi tinggi dalam produk-produk mereka.
Inilah jawaban atas pertanyaan mengapa hanya negara-negara yang maju di bidang sains saja yang mampu melahirkan produk-produk berbasis teknologi tinggi. Bahwa ternyata perkembangan sains, tak bisa dipisahkan dari inovasi. Sains adalah adalah mata air yang tak pernah kering mengalirkan ide-ide inovatif. Makin maju sains di satu negara, maka makin besar peluang negara tersebut menjadi negara maju. Singkatnya, negara-negara maju mampu mengawinkan sains dengan industri melalui medium inovasi.

Merujuk dari data Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), tiga besar negara dengan tingkat sains paling maju di dunia datang dari tiga benua berbeda. Yakni ada Amerika Serikat dari benua Amerika yang menduduki peringkat pertama. Lalu China di peringkat kedua dunia, sekaligus merupakan negara pusat sains di Asia. Jerman, menduduki peringkat ketiga di dunia dan peringkat pertama di Eropa.
Yang agak membingungkan dari rilis OECD ini, mengapa China berada di posisi kedua. Sementara jika diukur dari produk-produk yang dihasilkan, China belum bisa disejajarkan dengan Amerika Serikat, Jepang, Korea dan negara-negara Eropa seperti Jerman maupun Inggris. Kita belum pernah mendengar, ada terobosan berbasis sains yang dihasilkan oleh China sebagaimana misalnya Jerman punya merek sekelas BMW, Siemens, Bosch maupun Bayer. Ternyata, keunggulan Negeri Tirai Bambu tersebut karena jumlah doktor di bidang sains yang melimpah di banding dengan negara-negara lain. Hal ini tentu satu yang wajar, mengingat jumlah populasi China lebih dari 1,3 miliar jiwa.
AS yang duduk di peringkat pertama, tentu tak diragukan lagi. AS punya banyak merek yang berbasis pada inovasi tinggi seperti Boeing dibidang dirgantara, Apple di bidang teknologi informasi dan Levi’s di bidang teknologi fashion. Adapaun Indonesia, dalam daftar bertajuk The World's Best Countries in Science tersebut, tidak nampak kelihatan. Di Asia Tenggara, hanya Singapura satu-satunya negara yang masuk dalam daftar jajaran 40 Negara Terbaik di Bidang Sains.
Dengan jumlah penduduk yang besar, Indonesia punya kans menjadi kiblat sains dunia. Itu bis dimulai dari memperbanyak institusi pendidikan berbasis sains, memperbesar alokasi beasiswa untuk pendidikan di bidang sains bagi pelajar yang akan kuliah di luar negeri khususnya di tiga negara terbaik di bidang sains, dan yang paling penting bagaimana menghargai anak bangsa yang memiliki talenta untuk mengembangkan sains di Indonesia. Baik pengembangan di sektor pendidikan, terlebih lagi di sektor industri. Kita tidak ingin lagi, ada anak bangsa yang cemerlang dicomot oleh negara lain, karena karya mereka tak dihargai di Indonesia.
Tuntutan persaingan yang ketat, melumat demarkasi waktu di dunia bisnis. Termasuk juga dalam hal perkembangan riset yang tentu saja didasarkan pada ilmu pengetahuan. Maka tak heran, di perusahaan-perusahaan besar dan terlibat persaingan sengit dengan kompetitornya, divisi riset memegang peranan vital.
Divisi riset, menjadi semacam dapur untuk meramu berbagai racikan inovasi yang selalu ditunggu-tunggu oleh konsumen. Ketatnya persaingan yang berbasis sains ini, menyebabkan ukuran sukses sebuah perusahaan perlahan mengalami pergeseran. Bukan lagi besarnya angka penjualan yang menjadi parameter, bukan pula harga melangit yang menandakan gengsi yang ditawarkan.
Kini, perusahaan yang disegani adalah mereka yang paling inovatif dan mampu melahirkan produk-produk bercitarasa teknologi tinggi sehingga memiliki perbedaan (diferensiasi) otentik dibandingkan dengan kompetitornya. Sebuah perusahaan, bisa saja sukses dalam angka penjualan. Namun jika ia miskin inovasi, tak mampu melahirkan produk dengan sentuhan teknologi, maka lambat laun akan tertelan oleh pesaing. Mekskipun menawarkan produk dengan harga yang lebih murah.
Sebaliknya, konsumen akan dengan suka rela membayar lebih tinggi untuk memiliki sebuah produk yang sarat teknologi. Konsumen yang kian terdidik, tentu lebih memilih manfaat ketimbang harga. Jika dua buah produk yang sejenis ditawarkan. Produk A memiliki teknologi di atas rata-rata tapi denga harga Rp 10.000.000, sementara produk B ditawarkan dengan harga standar, namun harga murah tersebut ditebus oleh pemasangan teknologi yang juga ala kadarnya yang sudah hampir bisa dipastikan berkonsekuensi pada kenyamanan pengguna. Bagi konsumen yang memperhatikan utilitas, harga mahal produk A, namun nyaman dipakai tentu saja menjadi pilihan.
Dengan kerangka berpikir seperti ini, maka dapat dipahami jika sebuah perusahaan membutuhkan dukungan riset untuk melakukan inovasi dan membenamkan teknologi tinggi dalam produk-produk mereka.
Inilah jawaban atas pertanyaan mengapa hanya negara-negara yang maju di bidang sains saja yang mampu melahirkan produk-produk berbasis teknologi tinggi. Bahwa ternyata perkembangan sains, tak bisa dipisahkan dari inovasi. Sains adalah adalah mata air yang tak pernah kering mengalirkan ide-ide inovatif. Makin maju sains di satu negara, maka makin besar peluang negara tersebut menjadi negara maju. Singkatnya, negara-negara maju mampu mengawinkan sains dengan industri melalui medium inovasi.

Merujuk dari data Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), tiga besar negara dengan tingkat sains paling maju di dunia datang dari tiga benua berbeda. Yakni ada Amerika Serikat dari benua Amerika yang menduduki peringkat pertama. Lalu China di peringkat kedua dunia, sekaligus merupakan negara pusat sains di Asia. Jerman, menduduki peringkat ketiga di dunia dan peringkat pertama di Eropa.
Yang agak membingungkan dari rilis OECD ini, mengapa China berada di posisi kedua. Sementara jika diukur dari produk-produk yang dihasilkan, China belum bisa disejajarkan dengan Amerika Serikat, Jepang, Korea dan negara-negara Eropa seperti Jerman maupun Inggris. Kita belum pernah mendengar, ada terobosan berbasis sains yang dihasilkan oleh China sebagaimana misalnya Jerman punya merek sekelas BMW, Siemens, Bosch maupun Bayer. Ternyata, keunggulan Negeri Tirai Bambu tersebut karena jumlah doktor di bidang sains yang melimpah di banding dengan negara-negara lain. Hal ini tentu satu yang wajar, mengingat jumlah populasi China lebih dari 1,3 miliar jiwa.
AS yang duduk di peringkat pertama, tentu tak diragukan lagi. AS punya banyak merek yang berbasis pada inovasi tinggi seperti Boeing dibidang dirgantara, Apple di bidang teknologi informasi dan Levi’s di bidang teknologi fashion. Adapaun Indonesia, dalam daftar bertajuk The World's Best Countries in Science tersebut, tidak nampak kelihatan. Di Asia Tenggara, hanya Singapura satu-satunya negara yang masuk dalam daftar jajaran 40 Negara Terbaik di Bidang Sains.
Dengan jumlah penduduk yang besar, Indonesia punya kans menjadi kiblat sains dunia. Itu bis dimulai dari memperbanyak institusi pendidikan berbasis sains, memperbesar alokasi beasiswa untuk pendidikan di bidang sains bagi pelajar yang akan kuliah di luar negeri khususnya di tiga negara terbaik di bidang sains, dan yang paling penting bagaimana menghargai anak bangsa yang memiliki talenta untuk mengembangkan sains di Indonesia. Baik pengembangan di sektor pendidikan, terlebih lagi di sektor industri. Kita tidak ingin lagi, ada anak bangsa yang cemerlang dicomot oleh negara lain, karena karya mereka tak dihargai di Indonesia.
0
5.5K
39


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan