Kaskus

News

hhpurnomoAvatar border
TS
hhpurnomo
Generasi Muda Tak Usah Khawatir Bayar Utang Indonesia
Generasi Muda Tak Usah Khawatir Bayar Utang Indonesia

Kamis, 17 September 2015 15:33

Generasi Muda Tak Usah Khawatir Bayar Utang Indonesia
Sosialisasi Strategi Pengelolaan Utang Negara di Ruang Pertemuan Rektorat Kampus Terpadu UBB, Balunijuk, Merawang, Kamis (17/09/2015) pagi

BANGKAPOS.COM, BANGKA -- Generasi mendatang Indonesia tidak perlu khawatir dibebankan membayar utang negara Indonesia. Selain utang negara relatif kecil dibandingkan kemampuan Indonesia membayarnya, utang itu dikelola secara efisien untuk kesejahteraan masyarakat.

“Kemampuan kita membayar utang sangat besar, karenanya utang itu tidak akan menjadi beban generasi ke depan,” tegas Wahyu Utomo, Kepala Bidang Belanja Pusat dan Pembiayaan Kementerian Keuangan RI pada Sosialisasi Strategi Pengelolaan Utang Negara di Ruang Pertemuan Rektorat Kampus Terpadu UBB, Balunijuk, Merawang, Kamis (17/09/2015) pagi.

Selain Wahyu, dalam sosialisasi yang dihadiri mahasiswa dan dosen Fakultas Ekonomi (FE) UBB ini tampil sebagai narasumber Erwin Ginting (Perwakilan Direktorat Strategi dan Portofolio Pembiayaan Kemenkeu) dan Reniati (Dekan FE UBB). Acara ini dipandu Abu Nizarudin (Ketua Program Studi Akuntansi).

Erwin mengakui utang Indonesia selalu meningkat, seiring dengan peningkatan defisit APBN. Namun menurut dia, dilihat dari sisi rasio utang terhadap PDB (Product Domestic Bruto), utang Indonesia relatif stabil pada kisaran 23 hingga 25 persen.

Ia memaparkan saldo utang pemerintah di akhir tahun 2014 sebesar Rp 2.605 triliun, kemudian di akhir 2015 diproyeksikan menjadi Rp 2.884 triliun. Sementara PDB tahun 2014 sebesar Rp 10.543 triliun, dan proyeksi PDB akhir 2015 sebesar Rp 11.701 triliun.

Menurut Wahyu, sesuai ketentuan Undang-undang Keuangan Negara (UU KN), disebutkan pengadaan utang baru tak boleh lebih besar dari tiga persen PDB, dan ratio utang harus di bawah 60 persen PDB.

“Kenyataannya, utang Indonesia masih selalu di bawah ketentuan tersebut. Ini berarti kemampuan kita untuk membayar ansuran dan bunganya masih sangat tinggi,” ujar Wahyu.


Menurut Erwin, pemerintah menggunakan utang untuk membiayai defisit APBN. Bahwa terjadi defisit, ini disebabkan besarnya belanja pemerintah untuk mendukung pertumbuhan ekonomi melalui anggaran pendidikan, infrastruktur, kesehatan dan dana desa.

Tahun 2015 contohnya, pemerintah memiliki target penerimaan APBN sebesar Rp 1.761 triliun, dan belanja negara sebesar Rp 1.984 triliun. Ini berarti defisit pada APBN sebesar Rp 222 triliun, yang sebagian besar dibiayai melalui pengadaan utang oleh pemerintah.

Pembiayaan utang itu, lanjut Erwin, berasal dari pinjaman dalam negeri, penarikan pinjaman luar negeri dan penerbitan SBN (surat berharga negara). Pinjaman dalam negeri sebesar Rp 1,6 triliun, SBN Rp 297 triliun, sementara pinjaman luar negeri minus Rp 20 triliun.

“Mengapa minus, karena kita lebih banyak melunasi pinjaman luar negeri, ketimbang penarikan pinjaman luar negeri,” kata Erwin.

Dikemukakan, ratio utang Indonesia terhadap PDB lebih rendah di banding Thailand, Filipina dan Malaysia. Beberapa negara, seperti Jepang, Amerika Serikat dan Inggris, bahkan utang pemerintah mereka cenderung meningkat dalam sepuluh tahun terakhir.

Pemerintah dalam melakukan kebijakan utang juga mengacu pada stabilitas risiko utang, di mana pemerintah mengutamakan utang dalam bentuk rupiah dalam negeri (dalam bentuk penerbitan obligasi, SBN) dibandingkan utang luar negeri (dalam bentuk valuta asing).

Selain itu pemerintah juga mengutamakan pengadaan utang dalam bunga tetap dibandingkan bunga mengambang. Ini semua untuk mengendalikan risiko tingkat bunga. (eddy jajang j atmaja)
sumur


Kapasitas Utang RI Masih Aman?

By Agustina Melani
on 25 Sep 2015 at 17:57 WIB


Generasi Muda Tak Usah Khawatir Bayar Utang Indonesia
Dari hasil riset HSBC menyebutkan, Singapura menjadi negara dengan tingkat utang tertinggi, yaitu mencapai 450 persen terhadap PDB.

Liputan6.com, Jakarta - Kemampuan Indonesia untuk menarik pinjaman masih cukup besar ketimbang negara berkembang lainnya. Hal itu mengingat total utang Indonesia dilihat dari sektor rumah tangga, perusahaan non keuangan, dan pemerintah masih sekitar 88 persen dari total produk domestik bruto (PDB) Indonesia.

Data itu berdasarkan laporan McKinsey Global Institute berjudul: "Debt and (not much) develeraging" research paper pada Februari 2015. Dari laporan McKinsey tersebut menunjukkan kalau Indonesia memiliki utang rendah terhadap PDB di antara negara berkembang lainnya.

Mengutip data Mickinsey, dari 16 negara berkembang, Indonesia mencatatkan posisi nomor tiga terendah yang memiliki utang di atas Mexico dan Rusia. Total utang Indonesia tersebut antara lain utang rumah tangga sekitar 20 persen dari PDB, utang perusahaan non keuangan sekitar 46 persen dari PDB, dan utang pemerintah sekitar 22 persen dari PDB. Indonesia mencatatkan PDB sekitar Rp 10.542,7 triliun pada 2014.

Negara berkembang mencatatkan utang tertinggi antara lain Hungaria tercatat memiliki utang 226 persen dari PDB, disusul Malaysia sekitar 222 persen dari PBD, dan China sekitar 218 persen dari PDB. Laporan McKinsey menunjukkan kalau China mencatatkan pertumbuhan utang signifikan dalam tujuh tahun terakhir.

Generasi Muda Tak Usah Khawatir Bayar Utang Indonesia
McKinsey Global Insitute: Debt and Not Much Develeraging

Ekonom BCA, David Sumual mengatakan Indonesia memang masih memiliki kapasitas utang cukup besar. Utang pemerintah saja masih di bawah 25 persen dari PDB.

"Kalau melihat dari kapasitas ekonomi memang masih cukup besar. Rasio utang untuk membayar juga masih cukup bagus," ujar David saat dihubungi Liputan6.com, Jumat (25/9/2015).

David menuturkan, pemerintah Indonesia memang cenderung hati-hati sejak 1998. Sehingga kapasitas masih cukup aman dan besar. Meski demikian, nilai tukar rupiah cenderung melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) juga perlu jadi perhatian terutama dampaknya terhadap total utang luar negeri swasta.

"Utang luar negeri perusahaan harus dicermati. Apalagi kalau utang dalam mata uang asing tetapi pendapatannya rupiah itu berbahaya," ujar David.

David mengatakan, utang luar negeri swasta tersebut yang perlu diwaspadai. Berdasarkan data Bank Indonesia (BI) utang luar negeri Indonesia melambat pada Juli 2015 dengan pertumbuhan 3,7 persen ketimbang Juni 2015 sebesar 6,3 persen.

Dengan pertumbuhan itu, posisi utang luar negeri Indonesia tercatat sebesar US$ 303,7 miliar pada akhir Juli 2015.Utang itu terdiri utang luar negeri sektor publik sebesar US$ 134,5 miliar atau 44,3 persen dari total utang luar negeri. Kemudian utang luar negeri swasta sebesar US$ 169,2 miliar atau 55,7 persen dari total utang luar negeri.

David menuturkan, pemerintah Indonesia dapat kembali menarik pinjaman, misalkan dari China. Penarikan pinjaman itu dapat dilakukan asal digunakan sektor produktif. Dengan menarik pinjaman untuk sektor produktif seperti infrastruktur dapat mendorong pembangunan infrastruktur. Hal ini dampaknya terasa bagi masyarakat sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi.

"Pinjaman itu jangan digunakan untuk konsumtif misalkan subsidi BBM. Kapasitas ekonominya tak bertambah. Kalau sifatnya produktif seperti meningkatkan kapasitas sumber daya manusia dan infrastruktur dapat menggenjot ekonomi," ujar David.

China Catatkan Pertumbuhan Utang Cukup Besar

Kalau melihat data dari McKinsey, China menjadi salah satu negara mencatatkan utang cukup besar dari PDBnya. Tingkat utang negara tersebut meningkat dengan kecepatan lebih cepat. Pinjaman untuk perusahaan dan rumah tangga sebesar 207 persen dari PBD pada akhir Juni, naik 125 persen pada 2008.

Stimulus China termasuk langkah yang dilakukan seperti memangkas suku bunga dan rasio cadangan bank untuk menopang pertumbuhan telah mengancam untuk menunda upaya negara tersebut mengurangi utang. Hal itu berpotensi risiko terhadap stabilitas keuangan ekonomi terbesar kedua di dunia tersebut. Bahkan kredit bermasalah sudah naik mencapai US$ 23 miliar atau sekitar 140 miliar Yuan pada kuartal I.

"Ini masalah yang mengkhawatirkan. Pemerintah berusaha sangat keras untuk memperlambat utang tetapi mereka tak melakukannya. Utang terhadap rasio PDB akan terus naik," ujar Bo Zhuang Ekonom Trusted Sources.

Sementara itu, Forbes melaporkan kalau beban utang China dimulai dari gelembung kredit yang digalakkan pada 2009. Saat itu, China berusaha menyumbat lubang yang ditinggalkan oleh krisis keuangan Amerika Serikat dan Eropa.

Akan tetapi, China tergantung ekspor. Ketika AS dan Eropa melambat karena kreditnya, China melakukan apa semua negara lakukan dengan meransang, menstimulasi dan meransang lagi.

McKinsey mengatakan utang domestik China merupakan masalah terbesar. Utang pemerintah pusat masih rendah, sekitar 64 persen dari PBD. Ini memberikan ruang bagi pemerintah untuk merangsang lagi. Utang bank China masih dalam kondisi baik tetapi kredit macet cenderung naik. Selain itu, utang rumah tangga di China masih sangat rendah. Seperti kebanyakan masyarakat Asia, masyarakat China menyukai menabung dan investasi. (Ahm/Igw)
ember


Seputar Utang Konsumtif dan Utang Produktif
January 24, 2015 · by Yosephine P. Tyas · in Mengelola Utang

Seputar Utang Konsumtif - Produktif - Bicara Utang

Apa yang dimaksud dengan utang konsumtif dan utang produktif? Apa saja jenis-jenisnya?

Utang terbagi dua, utang konsumtif dan utang produktif.

Utang konsumtif itu jika kita berutang untuk membeli barang-barang atau untuk membayar sesuatu yang nilainya turun atau tidak memberikan dampak terhadap penghasilan/produktifitas, biasanya bunganya tinggi, contoh: kartu kredit, KTA, rentenir.

Sedangkan utang produktif sebaliknya, digunakan untuk membeli barang atau aset yang nilainya naik atau memberikan penghasilan dan berdampak pada produktifitas, biasanya bunganya tidak terlalu tinggi atau bunganya lebih kecil dari kenaikan harga aset yang dibeli atau income/return yang dihasilkan, contoh: Kredit pemilikan rumah, kredit pemilikan apartment, kredit usaha.


Utang Konsumtif - Produktif - Bicara UtangNah, setelah paham mengenai perbedaan utang konsumtif dan utang produktif, pertanyaan selanjutnya adalah Apakah barang utang konsumtif bisa kita ubah menjadi produktif? Bagaimana contohnya?

Sering sekali orang bertanya bagaiman jika cicilannya 0% untuk membeli barang yang sifatnya konsumtif, contoh: gadget, laptop, tv.

Jika kita sudah punya alokasinya dari penghasilan untuk membayar, tidak masalah. Namun sebenarnya selanjutnya perlu dicek apakah yang kita beli itu sebenarnya memiliki dampak untuk meningkatkan produktifitas, contoh jika kita tidak memiliki gadget yang bisa digunakan untuk tetap bisa berkomunikasi, menerima dan mengirim email yang dibutuhkan untuk menunjang pekerjaan mungkin kita akan mengalami kesulitan sehingga kita perlu membeli gadget tersebut, tapi jika setiap ada keluaran gadget terbaru kita membeli, perlu dipertanyakan apakah ini kebutuhan atau keinginan.
mbleber


HAKUNA MATATA.. emoticon-Angkat Beer
Diubah oleh hhpurnomo 25-09-2015 22:24
0
7.8K
100
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan