- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Mengenal Sosok Legendaris Toni Pogacnik, Pelatih Tim Nasional Sepakbola Indonesia


TS
freaxmailz
Mengenal Sosok Legendaris Toni Pogacnik, Pelatih Tim Nasional Sepakbola Indonesia
***WELCOME TO MY THREAD***
Quote:
Sosok Toni Pogacnik mungkin masih asing bagi sebagian pecinta Sepakbola Indonesia. Siapakah sebenernya Toni Pogacnik?
Quote:
Spoiler for Toni Pogacnik:

Spoiler for Toni Pogacnik:

Awal Mula Karir Toni Pogacnik sebagai Pelatih Indonesia
Quote:
Antun 'Toni' Pogacknik, salah satu pelatih legendaris timnas Indonesia yang didatangkan dari Yugoslavia di era kepemimpinan Maladisebagai Ketua Umum PSSI.
Berbeda dengan pelatih timnas pada umumnya yang hanya mengurusi kalah-menang tim, pelatih yang akrab dipanggil Tony ini memang sering terlibat langsung dalam memberikan dasar-dasar teknik sepak bola pada pemain muda. Dia bukan tipikal pelatih yang sudah puas dengan sekadar memberi instruksi.
Karena itu, tak heran setahun setelah lututnya cedera pada 1953, Toni lebih memilih untuk pensiun sebagai pelatih atau trainer. Tak mungkin lagi baginya untuk berada di tengah-tengah lapangan untuk memberi contoh secara langsung cara menendang, menyetop, atau menggiring bola.
Namun, dalam masa singkatnya sebagai pelatih timnas Indonesia, Toni berhasil membawa timnas meraih berbagai kemajuan: meraih tiket semifinal pada Asian Games 1954 di Manila, menahan imbang Uni Soviet 0-0 di Olimpiade Melbourne 1956, dan merebut medali perunggu pada Asian Games 1958 di Tokyo.
Adalah Maladiyang jadi aktor utama di balik kedatangan Toni ke Indonesia. Kala itu Maladi yang melihat langsung Olimpiade Helsinki 1952 terpincut dengan gaya permainan tim Eropa timur yang dilatih Toni tersebut. Menurut Maladi, gaya yang dikembangkan Toni akan pas jika dimainkan oleh para pesepakbola Indonesia].
Maladi kemudian secara terang-terangan meminang Toni untuk melatih timnas Indonesia. Namun, tentu saja permintaan ini ditampik oleh Toni karena ia membutuhkan izin dari pemerintah Yugoslavia. Apalagi kala itu Indonesia sendiri belum memiliki hubungan diplomatik dengan negara yang kini telah terpecah jadi Serbia, Kroasia, dan Montonegro tersebut.
Oleh pimpinan organisasi sepakbola Yugoslavia, Maladi lalu disarankan untuk mengundang timnas Yugoslavia terlebih dahulu dan membuka hubungan persahabatan antara pemerintah Indonesia dan Yugoslavia. Maladi pun kemudian mengatur agar tim Yugoslavia-B datang ke Indonesia dan melakukan 5 kali pertandingan persahabatan, di antaranya melawan Persib, PSSI Jateng, Persebaya, Persija, dan timnas Indonesia.
Boleh dikatakan jika Toni datang ke Indonesia di saat PSSI sedang getol-getolnya mengadakan pertandingan internasional sebagai cara untuk membangun kekuatan timnas. Bahkan, dalam periode 1951 hingga 1962 (dua belas tahun), terhitung 180 kali timnas Indonesia melakukan pertandingan persahabatan internasional.
Presiden Soekarno pun lalu memberikan restunya atas rencana Maladi. Bahkan, Soekarno memperbolehkan adanya prosesi menaikkan bendera nasional Yugoslavia serta diperdengarkannya lagu kebangsaan sebelum pertandingan. Di masa-masa ini Soekarno sendiri memang sedang membangun hubungan dengan berbagai negara baik di Eropa Timur, Afrika, maupun Asia. Tak heran keputusan ini dengan mudah diambil oleh Soekarno.
Kunjungan Yugoslavia ini --timnas dari Eropa pertama yang bertanding dengan Indonesia-- menjadikan peluang Maladi untuk mendatangkan Toni semakin besar. Setelah melalui surat permohonan resmi, Presiden Broz Tito pun mengizinkan pelatih timnasnya untuk hijrah ke Indonesia dengan ikatan kontrak selama lima tahun.
Kiblat sepakbola Indonesia pun mengarah ke Eropa Timur --hampir sama dengan haluan politik Indonesia saat itu yang dikomandoi oleh Soekarno.
Pada 17 Februari 1954, untuk kedua kalinya Toni Pogacknik kembali menjejakkan kakinya di Indonesia. Kali ini bukan untuk memimpin Yugoslavia, tapi sebagai pelatih/trainer Indonesia dengan tugas untuk meletakkan dasar-dasar sepakbola modern untuk para pemain muda.
Dia datang bersama istrinya di Bandara Kemayoran dengan pesawat maskapai KLM. Kedatangannya disambut Wakil Ketua PSSI R. Kosasih Poerwanegara dan perwakilan KOI [Komite Olimpiade Indonesia] Mohammad Arifin.
"Kewajiban saya yang pertama ialah mempersiapkan kesebelasan Indonesia ke Manila. Setelah Asian Games di Manila itu nanti maka dapat dibuat rencana latihan untuk seluruh Indonesia, disamping mendidik pembantu-pembantu pelatih,"ujar Toni pada Majalah IPHOSS mengenai tanggung jawabnya di Indonesia.
Toni sendiri tahu bagaimana beratnya tugas yang akan ia emban tersebut. Menurutnya, dalam wawancaranya dengan Majalah Star Weekly tahun 1956, masyarakat Indonesia sangat "football-minded". Toni menuturkan bagaimana dalam perjalanannya dari Jawa Timur ke Jakarta (saat pertama kali berkunjung) ia melihat hampir semua lahan kosong akan dipasang oleh tiang gawang. Dari desa hingga ke kota.
Tapi dia sadar bahwa kegemaran rakyat Indonesia terhadap sepakbola itu masih belum menghasilkan pemain sepakbola yang memenuhi standar yang cukup bagus, setidaknya standar bagi ukurannya sendiri.
Dalam survey secukupnya yang dia lakukan terhadap kualitas pemain-pemain Indonesia, Toni menemukan beberapa hal utama. Pertama, dia melihat kelemahan taktik pemain Indonesia sangat mencolok. Dia bilang bahwa banyak pemain Indonesia yang punya skill "spektakuler", tapi sangat jauh dari efektif.
Kedua, dia langsung menyadari bahwa umumnya para pemain Indonesia kemampuan fisiknya tidak cukup kokoh dan rata-rata posturnya pun pendek. Dari situlah dia sering sekali menekankan pentingnya kecepatan dan ketepatan dalam bereaksi. Postur pendek itu coba dia maksimalkan dengan menggenjot kemampuan reaksi-reaksi cepat, seperti misalnya sprint-sprint kejut atau jarak pendek.
Walau berada di negara dengan gairah yang tinggi akan sepak bola, sesampainya Toni di Indonesia ia langsung menyadari bahwa kemauan keras pemain tanah air belum diimbangi dengan kemampuan teknis dan kecerdasan bermain. Dalam hal teknis, Toni berpendapat bahwa kemahiran menembak dan heading-lah yang jadi kelemahan utama pemain-pemain Indonesia.
Namun, "cacat"paling besar dalam permainan, menurut Toni dalam wawancara dengan Majalah Star Weekly Maret 1954, adalah tidak adanya kemampuan untuk secara sadar menciptakan kesempatan sebaik-baiknya.
"Artinya bukan mencari sendiri posisi yang baik untuk melepas tembakan, tapi juga mencari jalan supaya kesempatan mencetak gol terbuka bagi salah seorang atau lebih dari pemain-pemain kawan," ujar pelatih yang menganut formasi W-M ini.
Toni kemudian mencontohkannya dalam permainan sayap, salah satu kelemahan terbesar gaya bermain di Indonesia. Ia berpendapat bahwa seorang pemain sayap yang hanya berlari menyusuri garis tepi lapangan saja, seberapapun bagusnya umpan silang yang bisa ia berikan, akan mudah bagi pemain belakang untuk menghalau umpan tersebut.
Tapi seorang winger yang bergerak ke dalam akan dapat memancing tiga pemain belakang untuk lari menghampirinya. "Secara begitu ia akan membuka kesempatan bagi centre-forward di pihaknya untuk melepas tembakan," tutur Pogacnik.
Dalam wawancaranya dengan majalah Tempo pada 1971, Toni pun kembali menegaskan pentingnya membuka kesempatan untuk rekan setim dalam bermain. Ia menganalogikannya dengan timnas terbaik di dunia saat itu, Brasil.
Kalau Didi (pemain Brasil), menurut Toni, merupakan pemain terbesar di jamannya, karena ia merupakan tipe pemain yang dapat mengatur penyerangan. Akan tetapi Pele lebih berhasil sebagai pemain individual dan berfungsi sebagai pemain yang menarik perhatian lawan untuk membebaskan kawan-kawannya dari lawan. Terhadap pemain jenis Pele inilah Toni berkomentar: "Pele merupakan pekerjaan suatu bangsa."
"Pemain-pemain kita dalam permainan individuil sulit, tapi kalau bermain bersama lebih gampang," tambahnya lagi. Oleh karena itu saat menyinggung pola permainan yang cocok bagi pemain-pemain Indonesia, Toni berkesimpulan: "Bagaimana keadaan orangnya, begitu pula sepakbolanya."
Berbeda dengan pelatih timnas pada umumnya yang hanya mengurusi kalah-menang tim, pelatih yang akrab dipanggil Tony ini memang sering terlibat langsung dalam memberikan dasar-dasar teknik sepak bola pada pemain muda. Dia bukan tipikal pelatih yang sudah puas dengan sekadar memberi instruksi.
Karena itu, tak heran setahun setelah lututnya cedera pada 1953, Toni lebih memilih untuk pensiun sebagai pelatih atau trainer. Tak mungkin lagi baginya untuk berada di tengah-tengah lapangan untuk memberi contoh secara langsung cara menendang, menyetop, atau menggiring bola.
Namun, dalam masa singkatnya sebagai pelatih timnas Indonesia, Toni berhasil membawa timnas meraih berbagai kemajuan: meraih tiket semifinal pada Asian Games 1954 di Manila, menahan imbang Uni Soviet 0-0 di Olimpiade Melbourne 1956, dan merebut medali perunggu pada Asian Games 1958 di Tokyo.
Disetujui Soekarno dan Tito
Adalah Maladiyang jadi aktor utama di balik kedatangan Toni ke Indonesia. Kala itu Maladi yang melihat langsung Olimpiade Helsinki 1952 terpincut dengan gaya permainan tim Eropa timur yang dilatih Toni tersebut. Menurut Maladi, gaya yang dikembangkan Toni akan pas jika dimainkan oleh para pesepakbola Indonesia].
Maladi kemudian secara terang-terangan meminang Toni untuk melatih timnas Indonesia. Namun, tentu saja permintaan ini ditampik oleh Toni karena ia membutuhkan izin dari pemerintah Yugoslavia. Apalagi kala itu Indonesia sendiri belum memiliki hubungan diplomatik dengan negara yang kini telah terpecah jadi Serbia, Kroasia, dan Montonegro tersebut.
Oleh pimpinan organisasi sepakbola Yugoslavia, Maladi lalu disarankan untuk mengundang timnas Yugoslavia terlebih dahulu dan membuka hubungan persahabatan antara pemerintah Indonesia dan Yugoslavia. Maladi pun kemudian mengatur agar tim Yugoslavia-B datang ke Indonesia dan melakukan 5 kali pertandingan persahabatan, di antaranya melawan Persib, PSSI Jateng, Persebaya, Persija, dan timnas Indonesia.
Boleh dikatakan jika Toni datang ke Indonesia di saat PSSI sedang getol-getolnya mengadakan pertandingan internasional sebagai cara untuk membangun kekuatan timnas. Bahkan, dalam periode 1951 hingga 1962 (dua belas tahun), terhitung 180 kali timnas Indonesia melakukan pertandingan persahabatan internasional.
Presiden Soekarno pun lalu memberikan restunya atas rencana Maladi. Bahkan, Soekarno memperbolehkan adanya prosesi menaikkan bendera nasional Yugoslavia serta diperdengarkannya lagu kebangsaan sebelum pertandingan. Di masa-masa ini Soekarno sendiri memang sedang membangun hubungan dengan berbagai negara baik di Eropa Timur, Afrika, maupun Asia. Tak heran keputusan ini dengan mudah diambil oleh Soekarno.
Kunjungan Yugoslavia ini --timnas dari Eropa pertama yang bertanding dengan Indonesia-- menjadikan peluang Maladi untuk mendatangkan Toni semakin besar. Setelah melalui surat permohonan resmi, Presiden Broz Tito pun mengizinkan pelatih timnasnya untuk hijrah ke Indonesia dengan ikatan kontrak selama lima tahun.
Kiblat sepakbola Indonesia pun mengarah ke Eropa Timur --hampir sama dengan haluan politik Indonesia saat itu yang dikomandoi oleh Soekarno.
Mulai Melatih di Indonesia
Pada 17 Februari 1954, untuk kedua kalinya Toni Pogacknik kembali menjejakkan kakinya di Indonesia. Kali ini bukan untuk memimpin Yugoslavia, tapi sebagai pelatih/trainer Indonesia dengan tugas untuk meletakkan dasar-dasar sepakbola modern untuk para pemain muda.
Dia datang bersama istrinya di Bandara Kemayoran dengan pesawat maskapai KLM. Kedatangannya disambut Wakil Ketua PSSI R. Kosasih Poerwanegara dan perwakilan KOI [Komite Olimpiade Indonesia] Mohammad Arifin.
"Kewajiban saya yang pertama ialah mempersiapkan kesebelasan Indonesia ke Manila. Setelah Asian Games di Manila itu nanti maka dapat dibuat rencana latihan untuk seluruh Indonesia, disamping mendidik pembantu-pembantu pelatih,"ujar Toni pada Majalah IPHOSS mengenai tanggung jawabnya di Indonesia.
Toni sendiri tahu bagaimana beratnya tugas yang akan ia emban tersebut. Menurutnya, dalam wawancaranya dengan Majalah Star Weekly tahun 1956, masyarakat Indonesia sangat "football-minded". Toni menuturkan bagaimana dalam perjalanannya dari Jawa Timur ke Jakarta (saat pertama kali berkunjung) ia melihat hampir semua lahan kosong akan dipasang oleh tiang gawang. Dari desa hingga ke kota.
Tapi dia sadar bahwa kegemaran rakyat Indonesia terhadap sepakbola itu masih belum menghasilkan pemain sepakbola yang memenuhi standar yang cukup bagus, setidaknya standar bagi ukurannya sendiri.
Dalam survey secukupnya yang dia lakukan terhadap kualitas pemain-pemain Indonesia, Toni menemukan beberapa hal utama. Pertama, dia melihat kelemahan taktik pemain Indonesia sangat mencolok. Dia bilang bahwa banyak pemain Indonesia yang punya skill "spektakuler", tapi sangat jauh dari efektif.
Kedua, dia langsung menyadari bahwa umumnya para pemain Indonesia kemampuan fisiknya tidak cukup kokoh dan rata-rata posturnya pun pendek. Dari situlah dia sering sekali menekankan pentingnya kecepatan dan ketepatan dalam bereaksi. Postur pendek itu coba dia maksimalkan dengan menggenjot kemampuan reaksi-reaksi cepat, seperti misalnya sprint-sprint kejut atau jarak pendek.
“Pekerjaan Suatu Bangsa”
Walau berada di negara dengan gairah yang tinggi akan sepak bola, sesampainya Toni di Indonesia ia langsung menyadari bahwa kemauan keras pemain tanah air belum diimbangi dengan kemampuan teknis dan kecerdasan bermain. Dalam hal teknis, Toni berpendapat bahwa kemahiran menembak dan heading-lah yang jadi kelemahan utama pemain-pemain Indonesia.
Namun, "cacat"paling besar dalam permainan, menurut Toni dalam wawancara dengan Majalah Star Weekly Maret 1954, adalah tidak adanya kemampuan untuk secara sadar menciptakan kesempatan sebaik-baiknya.
"Artinya bukan mencari sendiri posisi yang baik untuk melepas tembakan, tapi juga mencari jalan supaya kesempatan mencetak gol terbuka bagi salah seorang atau lebih dari pemain-pemain kawan," ujar pelatih yang menganut formasi W-M ini.
Toni kemudian mencontohkannya dalam permainan sayap, salah satu kelemahan terbesar gaya bermain di Indonesia. Ia berpendapat bahwa seorang pemain sayap yang hanya berlari menyusuri garis tepi lapangan saja, seberapapun bagusnya umpan silang yang bisa ia berikan, akan mudah bagi pemain belakang untuk menghalau umpan tersebut.
Tapi seorang winger yang bergerak ke dalam akan dapat memancing tiga pemain belakang untuk lari menghampirinya. "Secara begitu ia akan membuka kesempatan bagi centre-forward di pihaknya untuk melepas tembakan," tutur Pogacnik.
Dalam wawancaranya dengan majalah Tempo pada 1971, Toni pun kembali menegaskan pentingnya membuka kesempatan untuk rekan setim dalam bermain. Ia menganalogikannya dengan timnas terbaik di dunia saat itu, Brasil.
Kalau Didi (pemain Brasil), menurut Toni, merupakan pemain terbesar di jamannya, karena ia merupakan tipe pemain yang dapat mengatur penyerangan. Akan tetapi Pele lebih berhasil sebagai pemain individual dan berfungsi sebagai pemain yang menarik perhatian lawan untuk membebaskan kawan-kawannya dari lawan. Terhadap pemain jenis Pele inilah Toni berkomentar: "Pele merupakan pekerjaan suatu bangsa."
"Pemain-pemain kita dalam permainan individuil sulit, tapi kalau bermain bersama lebih gampang," tambahnya lagi. Oleh karena itu saat menyinggung pola permainan yang cocok bagi pemain-pemain Indonesia, Toni berkesimpulan: "Bagaimana keadaan orangnya, begitu pula sepakbolanya."
PERUNGGU ASIAN GAMES 1958 DAN FOLKLORE 0-0 DI MELBOURNE
Quote:
Selama menukangi timnas Indonesia, Toni Pogacnik berhasil membawa Indonesia dua kali lolos ke semifinal Asian Games (AG). Pada AG 1954 Indonesia harus puas menempati posisi empat, pada AG 1958 Indonesia malah berhasil menggondol medali perunggu. Plus prestasi "legendaris" yang terus menerus direproduksi serupa folklore:menahan seri Uni Soviet di Olimpiade Melbourne 1956.
AG 1954 memang jadi tugas berat pertama Toni. Ketika menginjakkan kaki di Indonesia, saat itu timnas Indonesia sedang melakukan seleksi tahap II. Seleksi tahap I di Solo (4-6 Desember 1953), sedangkan seleksi tahap II berlangsung selama tiga hari, dari 5 sampai 7 Maret 1954, di Lapangan Ikada (yang saat ini merupakan bagian dari kawasan Monumen Nasional).
Begitu Toni mendapatkan ke-20 pemain , bukan taktik atau skema permainan yang langsung ditanamkan, melainkan empat hal dasar yaitu pentingnya bermain dengan jujur, jangan bermain curang, sifat ksatria, dan memegang teguh disiplin. Karena, meski tim memiliki teknik permainan tinggi, tanpa empat hal dasar tersebut tidak akan berguna.

Ciri lain adalah kepercayaan Toni pada para pemain muda. Kelak, tulang punggung timnas akan bertahan sampai di masa akhir kepemimpinan Toni hampir 10 tahun kemudian. Itu terjadi karena sejak awal Toni percaya pemain muda.
Toni juga pelatih pertama yang sejak awal selalu tidak lupa menekankan pentingnya ide, wawasan bermain, dan intelejensia. Itu kenapa dia tak mengeluh soal postur pemain dan malah mengatakan tubuh pemain sudah cukup baik. Hanya saja, kata Toni kepada majalah IPPHOS, "Yang penting ialah belajar bagaimana bermain. Bermain sepakbola itu sebenarnya tidak sukar. Tetapi di samping mempergunakan kaki, perlu juga dipakai pikiran."
Menariknya, untuk mencapai itu semua, Toni tidak saklek dengan keharusan profesionalisme. Dia bahkan seorang pembela "amateurisme" --keamatiran.
"Kesebelasan Indonesia tetap sebagaimana sekarang ini, yaitu berdasarkan amateurisme. Tidak perlu meniru keadaan sepakbola di Eropa, di mana hampir setiap hari pemain-pemain itu berlatih sehingga tidak ada jalan lain selain menjadi pemain professional. Lagipula pemain-pemain amateur dapat bermain lebih gembira, ada enthousiasme (antusiasme), dapat bermain dengan hati dan tidak semata-mata tergantung pada uang."
Pada Asian Games 1954 Indonesia berada di Grup C, bersama India dan Jepang. Indonesia berhasil menjadi juara Grup C tanpa kekalahan.Melawan Jepang (5-3) dan India (4-0). Sayang, langkah Indonesia kandas saat berhadapan dengan Taiwan di babak semifinal. Gawang Indonesia dibrondong empat gol (2-4). Harapan untuk mendapat perunggu pun digagalkan Burma, Indonesia menyerah 5-4.
Di Asian Games berikutnya di Tokyo, Indonesia bergabung di grup B bersama India dan Burma. Kali ini Indonesia menyapu bersih semua laga, termasuk membalas kekalahan menyakitkan dari Burma di perebutan tempat ketiga di AG sebelumnya. Kali ini, giliran Burma yang dibantai 4-2.
Di babak perempatfinal, Indonesia mengalahkan Filipina dengan skor 5-2 dan melaju ke semifinal AG untuk kedua kalinya. Sayang sekali, Indonesia gagal melaju ke final karena dikandaskan Taiwan dengan skor tipis 0-1. Indonesia mengobati kekecewaan itu dengan bermain sangat baik di perebutan medali perunggu melawan India dengan unggul telak 4-1.
Itulah prestasi terbaik Indonesia di ajang AG. Dan itu semua dipersembahkan oleh Toni Pogacnik. Sejak itu, tidak pernah lagi kita berhasil meraih medali perunggu sepakbola di AG. Pernah kita kembali lolos ke semifinal AG 1986 di bawah kepelatihan Bertje Matulapelwa, tapi kalah telak dari Kuwait di perebutan medali perunggu. Belakangan Indonesia malah selalu absen dari cabang olahraga AG.
Di antara AG 1954 dan 1958, anak asuhan Tony ini harus mengikuti Olimpiade Melbourne 1956. Dalam persiapan menghadapi olimpiade Melbourne 1956, Toni Pogacnik melangsungkan pertandingan-pertandingan ujicoba, dari menghadapi timnas senior Yugoslavia, melawan Stade de Reims yang baru saja lolos ke final Piala Champions Eropa.
Menarik juga untuk melihat bagaimana Toni membangun dan mempersiapkan tim untuk menghadapi Olimpiade Melbourne. Toni saat itu rajin mengunjungi beberapa daerah untuk menyelenggarakan latihan. Indonesia dibagi menjadi tiga zona, yaitu Sumatera, Jawa, dan Indonesia Timur. Sumatera dibagi menjadi tiga rayon, yaitu Sumatra utara, tengah dan selatan. Jawa menjadi tiga rayon, yaitu Jawa barat, Jawa tengah, dan Jawa timur. Indonesia timur menjadi 3 rayon, yaitu Kalimantan, Nusa Tenggara, dan Sulawesi. Tiap-tiap rayon dibagi menjadi distrik. Misal Jawa Timur dibagi menjadi distrik Malang, Jember, dan Surabaya.
Latihan dilakukan di tiap-tiap distrik. Di distrik Malang dilatih 35 pemain berasal dari Madiun, Kediri, Tulungangung, Blitar, Bangil, dan Malang. Distrik Jember 35 pemain berasal dari Probolinggo, Lumajang, Bondowoso, Situbondo, Banyuwangi, dan Jember. Distrik Surabaya 35 pemain berasal dari Sumenep, Pamekasan, Lamongan, Tuban, Bojonegoro, dan Surabaya.
Setiap distrik dibentuk satu kesebelasan, dan diadu dengan distrik lain. Dari ketiga kesebelasan distrik, dibentuk kesebelasan rayon. Ketiga kesebelasan rayon diadu untuk membentuk satu kesebelasan zona. Dari tiga kesebelasan zona terbentuklah PSSI-1, PSSI-2, dan PSSI-3. Secara khusus anggota dari kesebelasan PSSI-3, usia pemain tidak boleh lebih dari 20 tahun.
Ketiga kesebelasan PSSI (1, 2, 3) akan diadu dengan tim dari luar negeri, selain itu PSSI telah juga membentuk PSSI-4 yang berisi pemain-pemain PSSI lama. Dari keempat kesebelasan PSSI tersebut, dipilih 25 nama pemain yang segera masuk pemusatan latihan dan dikirim ke Olimpiade Melbourne.
Mencari 25 pemain terbaik tidaklah mudah, Toni dikirim ke daerah-daerah untuk memberikan pelatihan pendahuluan, seperti latihan teknik dan praktek. Pelatihan ini selama 7 hari, dan sekembalinya ke tempat asal para pemain berlatih dengan tuntunan dari apa yang diajarkan.
4-5 bulan berikutnya Toni datang untuk memberikan latihan lanjutan. Latihan lanjutan meliputi teknik, sistem, dan lain-lain yang diperlukan. Sebelum pemain-pemain mendapatkan pelatihan lanjutan, diadakan semacam ujian ball technic. Pemain-pemain yang tidak lulus, tidak diperbolehkan mengikuti latihan lanjutan.
Dari hasil seleksi 25 pemain, hanya 20 pemain yang bisa berangkat membela timnas. Di antaranya : Maulwi Saelan (PSM Makassar), Paidjo (Persema), Chairuddin Siregar (Persija]), Mohamed Rashjid (PSMS Medan]), M. Sidhi (Persebaya), Ramlan Yatim (PSMS), Kwee Kiat Sek (Persija), Tan Liong Houw (Persija), Rukma Sudjana (Persib), Kasmoeri, Thio Him Tjiang (Persija), Rusli Ramang (PSM), Ramli Yatim (PSMS), Mohammad Djamiaat Dhalhar (Persija), Ashari Danu (PSIS), Ade Dana (Persiob), Aang Witarsa (Persib) dan kapten tim, Achmad Arifin (PSP Padang), Phwa Sian Liong (Persebaya), dan Jasrin Jusron (PSIS).
Indonesia lolos dari kualifikasi setelah Taiwan yang seharusnya bertemu pada bulan Juni 1956, membatalkan keikutsertaan. Taiwan saat itu dilatih oleh Lee Wai Tong yang di masa bermain dijuluki sebagai 'Raja Sepakbola'.
Saat olimpiade Melbourne berlangsung, Indonesia satu grup bersama Uni Soviet dan Vietnam. Pertandingan pertama, seharusnya Indonesia menghadapi Vietnam. Namun, dikarenakan Vietnam membatalkan keikutsertaannya. Indonesia baru melakukan pertandingan melawan Uni Soviet pada 29 November 1956 dan berakhir dengan skor yang kelak menjadi salah satu folklore sepakbola Indonesia: 0-0.
Toni sendiri yang menulis catatan evaluasi atas pertandingan tersebut. Berikut kira-kira evaluasi Toni:
"Pemain-pemain kita yang mengetahui bahwa lawan yang dihadapinya bukan regu 'kampungan' berhasil muncul di lapangan dengan spirit yang baik. Mereka tidak dikederkan oleh kekuatan lawannya. Zelf-vetrouwen (self confidence) di atas memberikan pengaruh besar sekali. Dalam pada itu, kesebelasan Indonesia yang telah menyaksikan cara Uni Soviet bertanding melawan Jerman beberapa hari sebelumnya lalu memusatkan pertahanannya dalam 2 lapisan. Mereka mempergunakan sistem grendel. Sian Liong dan Him Tjiang ditarik ke depan, sebagai pemain-pemain dalam. Tetapi tugas kedua pemain tidaklah lain ialah untuk membantu pertahanan di lapis yang pertama, yakni di gelandang."
"Dengan demikian, maka ada 4 orang yan bertahan di tengah-tengah, yakni Liong Houw – Him Tjiang – Sian Liong – Ramlan. Sedangkan poros Kiat Sek ditarik ke belakang sebagai back ketiga di samping Chaerudin dan Rasjid. Pertahanan ini kian kokoh, melihat permainan Saelan sebagai penjaga gawang yang luar biasa safe-nya. Formasi di atas sebenarnya tak memberikan arti apa-apa bagi pemain-pemain luar kita. Pemain muka Indonesia yang praktis tinggal 3 orang, masing-masing kiri luar Ramang, senterpor [penyerang tengah] Danu dan kanan luar Witarsa Cuma beberapa kali saja berhasil mendekati benteng lawannya."
Sayang dalam pertandingan ulangan pada 1 Desember 1956 Indonesia sudah habis secara fisik. Toni lagi-lagi memberikan penjelasan: "Kita di Indonesia, memang seharusnya pula mementingkan juga hal kondisi badan ini. cobalah lihat orang-orang Rusia itu. Meskipun mereka itu kesakitan bagaimana saja, tidak lama lagi sudah bisa bermain seperti semula lagi, segar dan lincah lagi. Entah bagaiamana caranya mereka itu berlatih, sehingga badannya itu tetap tahan dalam menghadapi segala macam blussure, dll."
Indonesia kalah 0-4 di laga ulangan, menggagalkan catatan gemilang menahan 0-0 di laga pertama. Tidak ada prestasi, tidak ada medali. Yang tersisa adalah legenda, folklore dan mitologi kehebatan yang terus-menerus direproduksi.
AG 1954 memang jadi tugas berat pertama Toni. Ketika menginjakkan kaki di Indonesia, saat itu timnas Indonesia sedang melakukan seleksi tahap II. Seleksi tahap I di Solo (4-6 Desember 1953), sedangkan seleksi tahap II berlangsung selama tiga hari, dari 5 sampai 7 Maret 1954, di Lapangan Ikada (yang saat ini merupakan bagian dari kawasan Monumen Nasional).
Begitu Toni mendapatkan ke-20 pemain , bukan taktik atau skema permainan yang langsung ditanamkan, melainkan empat hal dasar yaitu pentingnya bermain dengan jujur, jangan bermain curang, sifat ksatria, dan memegang teguh disiplin. Karena, meski tim memiliki teknik permainan tinggi, tanpa empat hal dasar tersebut tidak akan berguna.
Spoiler for Gaya Melatih Toni:

Ciri lain adalah kepercayaan Toni pada para pemain muda. Kelak, tulang punggung timnas akan bertahan sampai di masa akhir kepemimpinan Toni hampir 10 tahun kemudian. Itu terjadi karena sejak awal Toni percaya pemain muda.
Toni juga pelatih pertama yang sejak awal selalu tidak lupa menekankan pentingnya ide, wawasan bermain, dan intelejensia. Itu kenapa dia tak mengeluh soal postur pemain dan malah mengatakan tubuh pemain sudah cukup baik. Hanya saja, kata Toni kepada majalah IPPHOS, "Yang penting ialah belajar bagaimana bermain. Bermain sepakbola itu sebenarnya tidak sukar. Tetapi di samping mempergunakan kaki, perlu juga dipakai pikiran."
Menariknya, untuk mencapai itu semua, Toni tidak saklek dengan keharusan profesionalisme. Dia bahkan seorang pembela "amateurisme" --keamatiran.
"Kesebelasan Indonesia tetap sebagaimana sekarang ini, yaitu berdasarkan amateurisme. Tidak perlu meniru keadaan sepakbola di Eropa, di mana hampir setiap hari pemain-pemain itu berlatih sehingga tidak ada jalan lain selain menjadi pemain professional. Lagipula pemain-pemain amateur dapat bermain lebih gembira, ada enthousiasme (antusiasme), dapat bermain dengan hati dan tidak semata-mata tergantung pada uang."
Olimpiade Melbourne 1956
Pada Asian Games 1954 Indonesia berada di Grup C, bersama India dan Jepang. Indonesia berhasil menjadi juara Grup C tanpa kekalahan.Melawan Jepang (5-3) dan India (4-0). Sayang, langkah Indonesia kandas saat berhadapan dengan Taiwan di babak semifinal. Gawang Indonesia dibrondong empat gol (2-4). Harapan untuk mendapat perunggu pun digagalkan Burma, Indonesia menyerah 5-4.
Di Asian Games berikutnya di Tokyo, Indonesia bergabung di grup B bersama India dan Burma. Kali ini Indonesia menyapu bersih semua laga, termasuk membalas kekalahan menyakitkan dari Burma di perebutan tempat ketiga di AG sebelumnya. Kali ini, giliran Burma yang dibantai 4-2.
Di babak perempatfinal, Indonesia mengalahkan Filipina dengan skor 5-2 dan melaju ke semifinal AG untuk kedua kalinya. Sayang sekali, Indonesia gagal melaju ke final karena dikandaskan Taiwan dengan skor tipis 0-1. Indonesia mengobati kekecewaan itu dengan bermain sangat baik di perebutan medali perunggu melawan India dengan unggul telak 4-1.
Itulah prestasi terbaik Indonesia di ajang AG. Dan itu semua dipersembahkan oleh Toni Pogacnik. Sejak itu, tidak pernah lagi kita berhasil meraih medali perunggu sepakbola di AG. Pernah kita kembali lolos ke semifinal AG 1986 di bawah kepelatihan Bertje Matulapelwa, tapi kalah telak dari Kuwait di perebutan medali perunggu. Belakangan Indonesia malah selalu absen dari cabang olahraga AG.
Di antara AG 1954 dan 1958, anak asuhan Tony ini harus mengikuti Olimpiade Melbourne 1956. Dalam persiapan menghadapi olimpiade Melbourne 1956, Toni Pogacnik melangsungkan pertandingan-pertandingan ujicoba, dari menghadapi timnas senior Yugoslavia, melawan Stade de Reims yang baru saja lolos ke final Piala Champions Eropa.
Menarik juga untuk melihat bagaimana Toni membangun dan mempersiapkan tim untuk menghadapi Olimpiade Melbourne. Toni saat itu rajin mengunjungi beberapa daerah untuk menyelenggarakan latihan. Indonesia dibagi menjadi tiga zona, yaitu Sumatera, Jawa, dan Indonesia Timur. Sumatera dibagi menjadi tiga rayon, yaitu Sumatra utara, tengah dan selatan. Jawa menjadi tiga rayon, yaitu Jawa barat, Jawa tengah, dan Jawa timur. Indonesia timur menjadi 3 rayon, yaitu Kalimantan, Nusa Tenggara, dan Sulawesi. Tiap-tiap rayon dibagi menjadi distrik. Misal Jawa Timur dibagi menjadi distrik Malang, Jember, dan Surabaya.
Latihan dilakukan di tiap-tiap distrik. Di distrik Malang dilatih 35 pemain berasal dari Madiun, Kediri, Tulungangung, Blitar, Bangil, dan Malang. Distrik Jember 35 pemain berasal dari Probolinggo, Lumajang, Bondowoso, Situbondo, Banyuwangi, dan Jember. Distrik Surabaya 35 pemain berasal dari Sumenep, Pamekasan, Lamongan, Tuban, Bojonegoro, dan Surabaya.
Setiap distrik dibentuk satu kesebelasan, dan diadu dengan distrik lain. Dari ketiga kesebelasan distrik, dibentuk kesebelasan rayon. Ketiga kesebelasan rayon diadu untuk membentuk satu kesebelasan zona. Dari tiga kesebelasan zona terbentuklah PSSI-1, PSSI-2, dan PSSI-3. Secara khusus anggota dari kesebelasan PSSI-3, usia pemain tidak boleh lebih dari 20 tahun.
Ketiga kesebelasan PSSI (1, 2, 3) akan diadu dengan tim dari luar negeri, selain itu PSSI telah juga membentuk PSSI-4 yang berisi pemain-pemain PSSI lama. Dari keempat kesebelasan PSSI tersebut, dipilih 25 nama pemain yang segera masuk pemusatan latihan dan dikirim ke Olimpiade Melbourne.
Mencari 25 pemain terbaik tidaklah mudah, Toni dikirim ke daerah-daerah untuk memberikan pelatihan pendahuluan, seperti latihan teknik dan praktek. Pelatihan ini selama 7 hari, dan sekembalinya ke tempat asal para pemain berlatih dengan tuntunan dari apa yang diajarkan.
4-5 bulan berikutnya Toni datang untuk memberikan latihan lanjutan. Latihan lanjutan meliputi teknik, sistem, dan lain-lain yang diperlukan. Sebelum pemain-pemain mendapatkan pelatihan lanjutan, diadakan semacam ujian ball technic. Pemain-pemain yang tidak lulus, tidak diperbolehkan mengikuti latihan lanjutan.
Dari hasil seleksi 25 pemain, hanya 20 pemain yang bisa berangkat membela timnas. Di antaranya : Maulwi Saelan (PSM Makassar), Paidjo (Persema), Chairuddin Siregar (Persija]), Mohamed Rashjid (PSMS Medan]), M. Sidhi (Persebaya), Ramlan Yatim (PSMS), Kwee Kiat Sek (Persija), Tan Liong Houw (Persija), Rukma Sudjana (Persib), Kasmoeri, Thio Him Tjiang (Persija), Rusli Ramang (PSM), Ramli Yatim (PSMS), Mohammad Djamiaat Dhalhar (Persija), Ashari Danu (PSIS), Ade Dana (Persiob), Aang Witarsa (Persib) dan kapten tim, Achmad Arifin (PSP Padang), Phwa Sian Liong (Persebaya), dan Jasrin Jusron (PSIS).
Indonesia lolos dari kualifikasi setelah Taiwan yang seharusnya bertemu pada bulan Juni 1956, membatalkan keikutsertaan. Taiwan saat itu dilatih oleh Lee Wai Tong yang di masa bermain dijuluki sebagai 'Raja Sepakbola'.
Saat olimpiade Melbourne berlangsung, Indonesia satu grup bersama Uni Soviet dan Vietnam. Pertandingan pertama, seharusnya Indonesia menghadapi Vietnam. Namun, dikarenakan Vietnam membatalkan keikutsertaannya. Indonesia baru melakukan pertandingan melawan Uni Soviet pada 29 November 1956 dan berakhir dengan skor yang kelak menjadi salah satu folklore sepakbola Indonesia: 0-0.
Toni sendiri yang menulis catatan evaluasi atas pertandingan tersebut. Berikut kira-kira evaluasi Toni:
"Pemain-pemain kita yang mengetahui bahwa lawan yang dihadapinya bukan regu 'kampungan' berhasil muncul di lapangan dengan spirit yang baik. Mereka tidak dikederkan oleh kekuatan lawannya. Zelf-vetrouwen (self confidence) di atas memberikan pengaruh besar sekali. Dalam pada itu, kesebelasan Indonesia yang telah menyaksikan cara Uni Soviet bertanding melawan Jerman beberapa hari sebelumnya lalu memusatkan pertahanannya dalam 2 lapisan. Mereka mempergunakan sistem grendel. Sian Liong dan Him Tjiang ditarik ke depan, sebagai pemain-pemain dalam. Tetapi tugas kedua pemain tidaklah lain ialah untuk membantu pertahanan di lapis yang pertama, yakni di gelandang."
"Dengan demikian, maka ada 4 orang yan bertahan di tengah-tengah, yakni Liong Houw – Him Tjiang – Sian Liong – Ramlan. Sedangkan poros Kiat Sek ditarik ke belakang sebagai back ketiga di samping Chaerudin dan Rasjid. Pertahanan ini kian kokoh, melihat permainan Saelan sebagai penjaga gawang yang luar biasa safe-nya. Formasi di atas sebenarnya tak memberikan arti apa-apa bagi pemain-pemain luar kita. Pemain muka Indonesia yang praktis tinggal 3 orang, masing-masing kiri luar Ramang, senterpor [penyerang tengah] Danu dan kanan luar Witarsa Cuma beberapa kali saja berhasil mendekati benteng lawannya."
Sayang dalam pertandingan ulangan pada 1 Desember 1956 Indonesia sudah habis secara fisik. Toni lagi-lagi memberikan penjelasan: "Kita di Indonesia, memang seharusnya pula mementingkan juga hal kondisi badan ini. cobalah lihat orang-orang Rusia itu. Meskipun mereka itu kesakitan bagaimana saja, tidak lama lagi sudah bisa bermain seperti semula lagi, segar dan lincah lagi. Entah bagaiamana caranya mereka itu berlatih, sehingga badannya itu tetap tahan dalam menghadapi segala macam blussure, dll."
Indonesia kalah 0-4 di laga ulangan, menggagalkan catatan gemilang menahan 0-0 di laga pertama. Tidak ada prestasi, tidak ada medali. Yang tersisa adalah legenda, folklore dan mitologi kehebatan yang terus-menerus direproduksi.
Quote:
Toni adalah konduktor yang memungkinkan sepakbola Indonesia mempunyai folklore, legenda dan mitologi.
0
20.4K
Kutip
166
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan