- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- Lounge Pictures
PERJUANGAN MENUJU SEKOLAH PEDALAMAN CIANJUR SELATAN (1000 GURU)


TS
rifqisadewa
PERJUANGAN MENUJU SEKOLAH PEDALAMAN CIANJUR SELATAN (1000 GURU)
Cerita Asa Dari Desa Cikadu
Gelak tawa dan riuh gaduh terdengat dari dalam kelas. Ada yang mengerutkan kening mencoba belajar lebih serius tapi ada pula yang lebih memilih asyik bercanda. Mungkin ini sudah menjadi pemandangan yang tidak asing saat kita saat berada di lingkungan sekolah. Namun persamaan hangatnya suasana belajar ini bertolak belakang dengan keadaan di Sekolah Dasar Giri Asih yang jauh dari peradaban kota. Sebuah sekolah yang lokasinya berada di lereng Gunung Sumbul, kawasan Cianjur Selatan – Jawa Barat, dengan akses jalan yang masih tanah dan berlumpur. Diperlukan waktu sekitar tujuh jam dari Cianjur atau enam jam dari Ciwidey Bandung untuk dapat menapakkan kaki di lokasi tersebut.
Keterbatasan akses bukan menjadi kendala bagi anak-anak Cikadu untuk mendapatkan pendidikan. Bentuk fisik gedung SD Giri Asih juga memperhatinkan, sangat tidak layak untuk disebut sebuah sekolah. Bermodalkan hanya tiga ruangan kelas dengan masing-masing luas 4X5 meter persegi, berdinding kayu hutan tanpa pernis dan lantai beralaskan tanah, berisikan 109 pelajar dari berbagai jenjang kelas. Tapi semangat mereka tak pernah kunjung padam, datang jam 07:00 hingga pulang saat waktu belajar usai. Hal yang menarik adalah sekolah yang dibangun pada tahun 2012 ini berkat inisiatif dan hasil swadaya warga sekitar, dengan sebuah kesadaran bahwa mereka peduli akan pentingnya pendidikan bagi anak-anak mereka.
Lapar dan hausnya para anak didik akan ilmu pengetahuan didulang oleh empat pilar pengajar yang statusnya honorer. “Rata-rata para orang tua murid adalah petani. Biaya sekolah dapet dari boss, jadi sekolah gratis. Untuk gaji guru honorer 200 sampai 300 ribu”, ujar Haryati, kepala sekolah SD Giri Asih Cikadu. Semua tim pengajar mencurahkan tenaganya tanpa lelah dan pamrih hanya demi mendidik penerus bangsa di pedalaman Cianjur Selatan, walaupun dengan kondisi sekolah yang sangat ala kadarnya.
Pergi ke sekolah dengan seragam yang sudah usang sudah menjadi hal yang lumrah. Jangankan bicara tentang kelengkapan sepatu, banyak juga diantara mereka yang tidak mempunyai alat tulis yang lengkap. Kadang mereka harus membawa adik yang masih balita ke dalam kelas karena orang tua sedang bertani. Bahkan di antara mereka ada yang harus berjalan kaki selama satu jam untuk dapat hadir di sekolah. Keterbatasan, kekurangan dan masih banyak lagi rintangan-rintangan, bukanlah menjadi sebuah alasan untuk tidak dapat menimba ilmu. Semangat para pelajar dan masyarakat Cikadu dapat menjadi contoh dan teladan bagi kita semua.
Rifki M. Irsyad (Cianjur)
Gelak tawa dan riuh gaduh terdengat dari dalam kelas. Ada yang mengerutkan kening mencoba belajar lebih serius tapi ada pula yang lebih memilih asyik bercanda. Mungkin ini sudah menjadi pemandangan yang tidak asing saat kita saat berada di lingkungan sekolah. Namun persamaan hangatnya suasana belajar ini bertolak belakang dengan keadaan di Sekolah Dasar Giri Asih yang jauh dari peradaban kota. Sebuah sekolah yang lokasinya berada di lereng Gunung Sumbul, kawasan Cianjur Selatan – Jawa Barat, dengan akses jalan yang masih tanah dan berlumpur. Diperlukan waktu sekitar tujuh jam dari Cianjur atau enam jam dari Ciwidey Bandung untuk dapat menapakkan kaki di lokasi tersebut.
Keterbatasan akses bukan menjadi kendala bagi anak-anak Cikadu untuk mendapatkan pendidikan. Bentuk fisik gedung SD Giri Asih juga memperhatinkan, sangat tidak layak untuk disebut sebuah sekolah. Bermodalkan hanya tiga ruangan kelas dengan masing-masing luas 4X5 meter persegi, berdinding kayu hutan tanpa pernis dan lantai beralaskan tanah, berisikan 109 pelajar dari berbagai jenjang kelas. Tapi semangat mereka tak pernah kunjung padam, datang jam 07:00 hingga pulang saat waktu belajar usai. Hal yang menarik adalah sekolah yang dibangun pada tahun 2012 ini berkat inisiatif dan hasil swadaya warga sekitar, dengan sebuah kesadaran bahwa mereka peduli akan pentingnya pendidikan bagi anak-anak mereka.
Lapar dan hausnya para anak didik akan ilmu pengetahuan didulang oleh empat pilar pengajar yang statusnya honorer. “Rata-rata para orang tua murid adalah petani. Biaya sekolah dapet dari boss, jadi sekolah gratis. Untuk gaji guru honorer 200 sampai 300 ribu”, ujar Haryati, kepala sekolah SD Giri Asih Cikadu. Semua tim pengajar mencurahkan tenaganya tanpa lelah dan pamrih hanya demi mendidik penerus bangsa di pedalaman Cianjur Selatan, walaupun dengan kondisi sekolah yang sangat ala kadarnya.
Pergi ke sekolah dengan seragam yang sudah usang sudah menjadi hal yang lumrah. Jangankan bicara tentang kelengkapan sepatu, banyak juga diantara mereka yang tidak mempunyai alat tulis yang lengkap. Kadang mereka harus membawa adik yang masih balita ke dalam kelas karena orang tua sedang bertani. Bahkan di antara mereka ada yang harus berjalan kaki selama satu jam untuk dapat hadir di sekolah. Keterbatasan, kekurangan dan masih banyak lagi rintangan-rintangan, bukanlah menjadi sebuah alasan untuk tidak dapat menimba ilmu. Semangat para pelajar dan masyarakat Cikadu dapat menjadi contoh dan teladan bagi kita semua.
Rifki M. Irsyad (Cianjur)
Spoiler for PERJALANAN SAMPAI TUJUAN:




tien212700 dan 4iinch memberi reputasi
2
4.2K
6


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan