- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
[REPOST] Penggila Cerita Bersambung Masuk Yuk.....
![ANEISO](https://s.kaskus.id/user/avatar/2010/11/16/avatar2273675_6.gif)
![Avatar border](https://s.kaskus.id/images/avatarborder/1.gif)
TS
ANEISO
[REPOST] Penggila Cerita Bersambung Masuk Yuk.....
Gan, Gue baru kelar nulis cerpen nih. Mohon Kritik dan Saran nya yah
Spoiler for Pagi, Senja:
Cerpen Gue: Pagi, Senja
Pagi yang sama, dan mungkin akan selalu sama. Langit yang perlahan mulai membiru, Matahari yang seakan masih malu, dan Hembusan angin yang selalu berderu. Ya, Pagi memang ciptaan Tuhan yang paling indah. Lalu mengapa harus ada siang, jika pagi mampu untuk terang? Entahlah, mungkin hal itu hanya sebagian kecil dari Rahasia Dunia.
Aku selalu bersandar di Pohon ini, pohon mangga tua yang berdiri kokoh di pojok sekolah. Entah apa yang aku kerjakan, apa yang aku fikirkan, dan apa yang aku permasalahkan? Hanya pohon ini lah yang tau.
Bukan, bukan hanya pohon ini. Tapi….
“Oliver Sudarmadito, Mau sampai kapan?” seru pemuda yang suara nya sudah tidak asing di telingaku.
Dia Ramon, sahabatku. Atau mungkin cuma dia manusia yang dekat dengan ku disekolah ini.
“Sampai kapan apanya sih mon?”
“Ya begini, kayak Alien lo. Ayolah coba kenal sama dunia luar, jangan cuma baca buku-buku lawas itu aja.”
“Mungkin memang gini cara gue ngabisin masa masa SMA, mau gimana lagi?”
“Ayolah, 4 bulan lagi kita mau angkat kaki dari sekolah ini, dan lo masih gini gini aja? Udah 3 tahun pek, 3 tahun.”
Ramon selalu seperti ini. Dia selalu meyakinkan ku, bahwa masih ada hal yeng lebih indah dari rangkaian kata yang berirama. Setidaknya, kata-kata itulah yang selalu dia lontarkan.
“Semua orang punya cara nya masing-masing untuk bahagia mon, dan hal yang dilakukan juga beda-beda. Lo mungkin ngerasa enjoy kalo lagi party sama temen-temen lo yang lain, nah gue ngerasa nyaman kalo lagi baca dan nulis puisi.”
“Lo yakin bisa bahagia kalo cuma gini-gini doang? Terus perasaan lo sama dia?” ucap Ramon sambil memalingkan wajahku kearah seorang gadis.
Gadis dengan rambut panjang yang di ikat sambil menenteng map ditangan kanan nya. Namanya Milinka Dania, Matahari di tengah gelapnya sekolah ini. Gadis yang selalu sampai disekolah 15 menit sebelum bel masuk. Banyak hal yang aku ketahui dari nya, dan dari pohon ini juga lah aku mulai mengamatinya.
“Lo suka sama dia udah hampir 3 tahun, dan lo bahkan belom pernah ngajak dia kenalan?”
“Ya mau gimana lagi mon? Lo bisa liat kan siapa aja yang deket sama dia? Pras, cowo tertajir di sekolah. Tomo, ketua osis dan murid paling pinter. Nah gue? Cuma pelajar kelas akhir yang doyan nulis puisi dan baca buku lawas.” Tegasku sambil membetulkan posisi dudukku.
“Bukan, bukan itu masalah nya. Mereka bisa deket sama Milinka bukan karna mereka kaya, atau pinter. Tapi karna mereka berani. Nah elo? Lo udah pernah sekelas sama dia pas kelas 2, tapi? Bahkan buat Say Hai aja lo gak berani.”
Berani? Apa mungkin itu? Tapi apa pantas? Kalimat demi kalimat yang diucapkan Ramon, mulai berteriak dikepalaku.
“Pokoknya sebelum lulus, lo harus kejar dia. Masalah hasil urusan belakangan pek, yang penting usahanya.” Seru Ramon sambil bergegas meninggalkan ku.
Minggu, 14 Maret 2006
Sudah hampir tiga bulan dari perbincangan serius Aku dan Ramon saat itu. Tapi kenyataannya? Aku memang sudah terlalu nyaman mengamati Milinka dari jauh. Karna begitu nyaman, aku sampai tak berani mendekat. Namun tak bisa di pungkiri kalo apa yang dikatakan Ramon memang benar. Sama seperti kutipan buku yang pernah kubaca, Jangan Pernah Membenarkan Yang Biasa, Tapi Cobalah Membiasakan Yang Benar. Haruskah ku mulai? Akankah aku bisa mendekat? Mudah mudahan.
“Verrrr……” seru Bunda dari lantai bawah.
“Iya bun, kenapa?”
“Temenin Bunda kerumah Tante Jenny yuk, Suami nya Tante Jenny baru operasi dari Penang.”
“Iya bun.”
Tante Jenny adalah teman SMA Bunda. Bisa dibilang, Tante Jenny itu sahabat Bunda. Tapi ini Pertama kalinya aku kerumah nya. Bunda memang sering cerita tentang Tante Jenny, tapi semenjak Ayah meninggal 3 Tahun yang lalu, bunda jadi sibuk dengan pekerjaannya dan jarang berkumpul dengan teman lamanya.
“Iya, rumahnya yang cat biru ver.” Tunjuk bunda mengarahkanku.
“Terus mobilnya parkir dimana bun?”
“Disini aja deh, kita gak lama kok.”
Tante Jenny langsung menyambut kami. Selama Bunda berbincang-bincang dengan Tante Jenny dan Suami nya, aku hanya duduk di teras belakang rumah Tante Jenny sambil menggenggam gelas. Aku hanya melamun membayangkan satu hal. Mungkin aneh, mengapa aku harus takut? Padahal aku hanya harus menghampirinya, dan berjabat tangan dengannya. Tapi itu lah hati. Terkadang untuk hal yang orang lain anggap biasa, akan istimewa bagi kita.
“Anaknya Tante Marissa yah?” seru suara yang memecahkan lamunanku.
Aku menoleh dan melihat seorang gadis asing sedang berdiri dihadapanku. Gadis berambut sepunggung yang diikat menyamping ke kanan.
“Iya, aku Oliver” jawabku
“Oh iya, Mama juga sering cerita soal kamu. Kenalin, aku Verenda.” Serunya sambil mengulurkan tangan kearahku.
“Terus aku manggil kamu apa? Kan nama kita sama sama Ver. Apa aku panggil kamu Olive aja?” Lanjutnya
“Olive? Se Perawan itukah?” Tanyaku
“Hahaha, becanda kok, yaudah kamu panggil aku ver, aku panggil kamu ver. Gimana? Tanyanya.
“Iya, terserah.”
Kami berjabatan dan saling tersenyum. Ternyata dia seumuranku. Kami berbicara panjang lebar. Tertawa bersama dan membahas banyak hal. Aneh, kenapa aku begitu akrab dengannya? Aku bukanlah Tipe orang yang mudah bergaul, dan cenderung tertutup. Tapi dia adalah orang yang bisa membangun percakapan. Andaikan aku bisa seakrab ini dengan Milinka.
Sore sudah menunjukan warna Khas nya. Bunda yang tadi nya berjanji hanya sebentar, malah keasyikan. Kami pun memilih pulang agar sampai dirumah tidak terlalu larut.
“Tante sama Om, Oliver pulang dulu yah.”
“Iya Ver, kamu hati-hati. Pelan pelan nyetirnya, biar Bunda nya gak takut.” Canda Tente Jenny disambut tawa.
“Iya Tan, pasti kok.” Jawabku sambil bergegas membuka pintu mobil.
Verenda masih tersenyum padaku. Senyum indah yang terpancar begitu tulus. Mungkin ungkapan puisi ku tadi bisa menggambarkan senyumnya.
“Bun, kok bunda gak pernah cerita soal anaknya Tante Jenny sih?”
“Ohh, Verenda? Dia itu baru pulang dari Perth, Dia itu sekolah disana. Dia ke Jakarta karna Om Jonathan baru selesai operasi. Paling lama sebulan dia udah balik lagi ke Australia ver.”
“Ternyata Pelajar Internasional yah bun?”
“Bisa dibilang begitu ver. Kamu naksir yah sama dia? Bunda bisa kenalin kamu sama dia kok.” Canda Bunda sambil mencubit lengan kiri ku.
“Untuk naksir sih kayaknya enggak bun. Cuma ada satu perempuan yang aku suka, setidaknya untuk sementara ini.” Jawabku
Tak bisa di pungkiri, memang Verenda adalah gadis yang manis. Tapi Milinka masih jadi misteri dalam hidupku. Kenapa hanya menegurnya saja aku malu? Bahkan kami pernah sedekat bintang di langit malam ini. Hanya dekat, namun tak pernah bisa saling menyapa.
“Oh yaudah deh kalo gitu. Eh di kantor Bunda ada beasiswa kuliah ke Luar Negri tuh, kamu mau ikut gak? Kalo mau, biar Bunda daftarin.”seru Bunda
“Kalo aku kuliah di luar, terus Bunda sama siapa?”
“Kamu kira Bunda wanita lemah? Bunda bisa sendiri kok, yang penting kamu fokus aja. Gimana?”
“Aku fikir fikir dulu deh Bun.”
“Yasudah.”
Kring…Kring…
Dulu sebelum Ayah meninggal, Dia sempat membacakan salah satu puisi. Entah karangan siapa dan berjudul apa, aku masih belum bisa menemukannya. Dalam puisi tersebut, ada beberapa bait yang selalu bersembunyi di dinding kepala ku.
Se Merdu Lagu, Namun Tak Di Nyanyikan
Se Indah Puisi, Namun Tak Di Bacakan
Lantas Bagaimana Caramu Mendapatkan Sorakan?
Sejujurnya, Orang Yang Menyembunyikan Hati Nya Adalah si Pengecut
Menjaga Hatinya, Namun Tak Berjuang Untuk Hati Orang Lain.
Ya, sebuah puisi yang menurutku sangat menyindir. Entah siapapun Penulisnya, Aku yakin dia adalah salah satu dari si Pengecut itu.
“Pek, bangun pek.” Seru Ramon sambil membangunkanku.
“Gila, lo ngapain aja semalem? Ini udah bel, lo malah tidur di pohon mangga lagi, gak punya rumah apa lo?”
Ramon memang tipe orang seperti itu. Menyerbu seseorang dengan pertanyaan yang sebenarnya bisa dia tanyakan dengan perlahan. Namun itulah dia, Ramon Darius. Sahabatku.
“Kemaren gue balik malem banget mon, kena macet.”
“Balik malem? Tumben. Kemana lo? Clubbing? Pijat plus plus? Jawab dong!” Sahut nya sambil menarik lengan bajuku.
“Ngaco, gue nemenin Bunda kerumah temennya. Balik nya sih sore, tapi macet”
“Yah, gue kira lo Clubbing. Terus lo nginep di Hotel sama 3 Stripper sekaligus.”
“Nih kepala lo bawa ke Mangga Dua, terus lo install ulang. Bentar lagi UN, lo malah ngaco. Udah ayo naik.” Jawabku sambil menoyor kepalanya.
“Eh entar dulu pek, ada Milinka tuh.” Seru Ramon sambil menunjuk kearah Ruang Radio Pelajar.
“Iya, Terus?”
“Ya samperin lah lemot, pake nanya lagi.”
“Ah enggak! Udah bel, pelajaran nya Maam Nur nih.”
“Oh iya yah, yaudah deh ayo. Sini buku kolot lo gue yang bawa.”
Tumben si Keras Kepala ini tidak memberontak. Kami pun berjalan naik ke Laboratorium Bahasa. Saat berpapasan dengan Milinka, Ramon pun mulai berulah. Dia melempar buku ku tepat di hadapan Milinka. Sontak Milinka menghentikan langkah nya.
“Ah lo ngaco ya mon, gak lucu.” Seru ku sambil berbalik mengambil buku.
Buku itu terbit tahun 1988, dan kondisi nya jauh dari kata layak. Panik karna takut buku itu rusak, aku tak memperdulikan Milinka yang berdiri tepat di depanku saat ini.
“British West Indian Slavery, bacaan nya berkelas.” Cakap seorang gadis dengan suara lirih nya.
“Eh, iya hehe.”
“Kamu Oliver kan? Kalo gak salah kita pernah sekelas ya?”
“Iya, hehe.”
“Oh yaudah, aku duluan yah.”
“Iya.” Jawabku.
Untuk pertama kali nya Aku berbicara dengannya. Belum pernah aku sedekat ini dengannya. Senyumannya pun sungguh meneduhkan.
“Ah lemot lo pek.” Seru Ramon memecah lamunanku.
“Ha? Maksutnya?”
“Itu tadi lo udah ngobrol sama dia, elo nya malah cuma iya iya doang.”
“Hehe, yaudah lah. Ayo naik.”
Benar, mungkin matahari pun akan mengucapkan hal yang sama. Setidaknya sudah sedekat itu, aku merasa puas.
Sejak hari itu, Milinka jadi sering menghampiriku ke pohon mangga. Bisa dibilang hampir setiap jam istirahat pertama dia selalu datang dengan membawa 2 cup lemon tea. Semakin hari keberanianku semakin meningkat. Semakin hari kami pun semakin akrab. Berbicara sambil menghabiskan lemon tea sekarang sudah menjadi hal yang biasa kulakukan dengannya. Aku membahas tentang buku-buku yang pernah kubaca, sedangkan Milinka bercerita tentang kehidupan nya. Ayahnya adalah CEO Perusahaan Ternama dan Ibu nya juga salah satu orang penting di Instansi Perpajakan. Bisa dibilang kehidupan Milinka sempurna, menurutku.
“Ver, kamu selalu disini yah? Asik juga, tempat nya sejuk.” Seru Milinka
“Iya Mil, memang disini tempat paling sejuk disekolah.”
“Kalo misalnya aku bete, aku boleh kan ke pohon ini?”
“Yang nanem pohon ini tuh Pak Jarwo, ijin ke dia lah.”
“Oh, harus bilang sama Pak Jarwo dulu ya?”
“Haha, becanda Mil. Silahkan, pohon ini punya sekolah. Bebas kok.”
Melihat nya tertawa saat duduk bersama di dahan pohon ini adalah salah satu hal terindah yang pernah kulihat. Saat mata nya fokus menatapku jika aku menjelaskan sebuah buku, sungguh indah.
17 April 2006
“Selesai semua, kelaaaaar.” Teriak Ramon dengan lantang
“Iya mon, tapi jangan nyantai dulu. Tunggu hasilnya keluar. Kalo udah lulus lo mau ngapain emangnya mon?” Tanyaku.
“Gue sih pengennya buka usaha aja pek, kuliah nya belakangan aja deh.”
“Wih, usaha apaan? Bokap lo kan tajir, ngapain pake usaha usaha segala?”
“Gue mau buka Panti pek, Panti Pijet ++”Candanya.
“Yeh, ada ada aja lo.”
“Haha, becanda. Lo sendiri mau ngapain?”
“Gue sih mau langsung kuliah mon, ngambil Akuntansi.” Jawabku.
“Sadisss, dimana?”
“Di Jakarta aja deh kayaknya, kasihan Bunda gak ada temennya.”
“Iya juga sih. Eh pek, Milinka datang tuh. Gue ke kantin yak, entar kalo udah kelar lo samper gue aja.”
“Eh udah sini aja sih mon. Woy mon..”
Tanpa memperdulikanku, Ramon langsung pergi ke kantin. Meski sudah sering berbicara dengan Milinka, tapi aku masih sering canggung. Aku bukan orang yang pandai memulai percakapan, jadi jelas aku sangat bingung jika ingin berbicara dengannya.
“Hai Ver, gimana? Lancar kan?” Tanya nya
“Lancar kok Mil, Kamu gimana?”
“Lancar kok. Oh iya, kalo udah lulus kamu mau nerusin kuliah apa off dulu?”
“Langsung kayaknya Mil, aku mau ngambil Akuntansi. Kamu?”
“Wih hebat, kalo aku paling mau ngambil Managemen. Sebenarnya sih disuruh Papah hehe.”
“Wah oke juga tuh. Semoga sukses deh.”
“Iya, kamu juga.”
Entah mengapa, angin siang itu bertiup sejuk sekali. Dahan-dahan pohon saling bergandengan menutupi kami dari panas matahari. Kami masih mematung di tempat kami berdiri. Terlintas di otak ku, apakah harus ku nyatakan? Akankah sekarang? Semakin berfikir, semakin semua hal itu mendesak keluar. Haruskah?
“Mil..”
“Iya Ver?” sahut nya
“Mmmm, gini Mil.”
“Haha, ada apa sih?”
“Kamu mau ga….”
Dering ponsel Milinka memecah suasana yang mungkin sudah matang.
“Halo?”
Entah siapa yang menelfon Milinka dan apa yang Ia bicarakan. Wajah Milinka memerah dan tak lama kemudian dia langsung menangis. Melihat Milinka menangis, aku langsung memeluknya. Bukan dalam suasana romantis, namun pelukan itu tetap hangat. Aku tak mampu untuk menanyakan mengapa ia menangis.
*Buzzz* (Getar Telfon Genggam)
Ver, Bunda naro kunci di atas pintu. Bunda lagi di Airport
Nemenin Verenda buat Take Off ke Perth lagi.
Verenda. Tak terasa sudah sebulan aku tak bertemu dengannya lagi. Terlintas di kepala ku bagaimana pertama kali dia menyapa ku. Huhft, tanpa ada kalimat perpisahan yah? Yasudah lah.
Malam Kelulusan
Malam ini aku siap untuk mendengarkan hasil kelulusanku. Aku memakai Jas peninggalan Ayah. Dan aku dengan bangga membawa Bunda untuk mendengarkan hasil kelulusanku. Tak terelakkan, Aku juga membayangkan bagaimana cantiknya Milinka dengan gaun nya nanti. Aku berniat untuk mengungkapkan perasaanku kepada Milinka malam ini. Semoga saja aku bisa.
“Eh ver, waktu itu Bunda udah cerita soal beasiswa dari kantor Bunda kan?”
“Oh beasiswa ke luar negri itu Bun? Iya, kenapa Bun?”
“Bunda kan udah daftarin kamu, dan udah di setujuin sama kantor kemaren Ver.”
“Loh kok Bunda gak Tanya ke aku dulu sih? Memang Bunda Daftarin aku kemana?”
“Ke Australia Ver. Gimana? Kamu suka kan?”
“Terus Bunda nanti gimana?”
“Kan Bunda udah bilang, kamu gak usah khawatir sama Bunda.”
“Ya kalo aku sih asalkan Bunda seneng, aku ikut seneng Bun.”
Melanjutkan Studi ku di Negri orang memang sudah jadi dambaanku sejak dulu. Dan Australia juga Negara yang bagus. Tapi meninggalkan Bunda sendiri di Jakarta adalah hal yang paling berat. Dan juga…..Milinka.
“Wih selamat yah pek, lo peringkat 2 se angkatan.”
“Thanks mon, lo juga selamat yah.”
“Eh kok gue gak liat Milinka ya?” Seru Ramon.
“Sama mon, gue juga.” Jawabku.
“Semenjak gue tinggalin lo berdua di taman waktu itu, gue udah gak pernah liat Milinka lagi pek. Ada apaan?”
“Gue juga gak tau mon.”
Tangisan itu? Sebenarnya ada apa dengan Milinka. Betul yang dikatakan Ramon. Semenjak Milinka menangis di taman, Aku memang tak pernah melihatnya lagi. Bahkan waktu itu dia langsung pergi meninggalkan ku.
*Buzzz* (Getar Telfon Genggam)
Hai Oliver, ini aku Milinka. Selamat yah atas Kelulusan
dan nilai nya. Aku gak dateng malam ini, Aku lagi ada urusan.
Dan mungkin kita gak akan ketemu lagi. Aku gak bisa jelasin,
yang jelas aku seneng bisa deket sama kamu. Aku seneng bisa
belajar banyak hal soal buku dan puisi dari kamu. Aku pergi bukan
karna kamu ada salah kok, memang ada hal yang nggak bisa aku
ceritain aja. Sekali lagi, sukses yah.
“Siapa pek?” Tanya Ramon.
“Oh enggak mon, Operator Telkomsel nih.” Jawabku.
Udara seolah berhenti bertiup. Alunan musik yang keras tak lagi terdengar di telingaku. Sedih, ya memang sedih. Bahkan aku tak bisa membagi kesedihanku dengan sahabatku sendiri. Bukan salahku? Alasan yang kurang memuaskan. Saat hati sudah merasa menemukan jawaban, Dia pergi bagai kuda tak ber tuan. Malam ini tak begitu berarti. Menghabiskan malam seolah sendiri. Ingin kupecahkan gelas seperti puisi Rangga untuk Cinta, namun aku masih realistis.
“Apapun alasanmu, itu tidak menjawab. Selamat Malam Milinka!” Ucap ku sambil mengarahkan gelas ke langit.
Soekarno Hatta, 31 April 2006
Troli troli pengangkut barang berlarian mencari penunggangnya. Suara peringatan peringatan dari pertugas bandara pun terngiang dimana mana. Membawa persediaan yang lebih dari cukup, aku akan terbang ke Negri Orang. Negri asing yang mungkin bisa mengajariku lebih tentang hidup.
“Kamu hati-hati yah ver. Jaga diri kamu baik baik.” Seru Bunda sambil memelukku erat.
“Iya Bun, Bunda juga baik-baik yah disini.”
“Iya ver.”
“Goodluck pek. Jadi Akuntan Sukses ye, jangan bergaul sama orang bule pek. Mereka jahat semua haha.” Seru Ramon yang langsung memelukku juga.
“Tenang mon, lo tau gue kan? Haha. Titip Bunda yah mon, tolong jagain.”
“Pasti pek.”
“Yaudah aku masuk ya Bun, bye. Mon, gue cabut dulu ya.” Seru ku sambil mendorong troli ku.
Lambaian tangan ku menjadi ungkapan terakhir untuk mereka. Semakin melangkah, mereka terlihat semakin samar. 5 tahun menuntut ilmu di Australia akan menjadi hal yang menantang. Berjalan menyusuri lorong bandara membuatku kembali mengingat Milinka. Perpisahan yang begitu instan. Perpisahan? Dapatkah aku menyebut itu perpisahan? Entahlah.
“Selamat Tinggal Mil, Aku pergi.”
Pagi yang sama, dan mungkin akan selalu sama. Langit yang perlahan mulai membiru, Matahari yang seakan masih malu, dan Hembusan angin yang selalu berderu. Ya, Pagi memang ciptaan Tuhan yang paling indah. Lalu mengapa harus ada siang, jika pagi mampu untuk terang? Entahlah, mungkin hal itu hanya sebagian kecil dari Rahasia Dunia.
Aku selalu bersandar di Pohon ini, pohon mangga tua yang berdiri kokoh di pojok sekolah. Entah apa yang aku kerjakan, apa yang aku fikirkan, dan apa yang aku permasalahkan? Hanya pohon ini lah yang tau.
Bukan, bukan hanya pohon ini. Tapi….
“Oliver Sudarmadito, Mau sampai kapan?” seru pemuda yang suara nya sudah tidak asing di telingaku.
Dia Ramon, sahabatku. Atau mungkin cuma dia manusia yang dekat dengan ku disekolah ini.
“Sampai kapan apanya sih mon?”
“Ya begini, kayak Alien lo. Ayolah coba kenal sama dunia luar, jangan cuma baca buku-buku lawas itu aja.”
“Mungkin memang gini cara gue ngabisin masa masa SMA, mau gimana lagi?”
“Ayolah, 4 bulan lagi kita mau angkat kaki dari sekolah ini, dan lo masih gini gini aja? Udah 3 tahun pek, 3 tahun.”
Ramon selalu seperti ini. Dia selalu meyakinkan ku, bahwa masih ada hal yeng lebih indah dari rangkaian kata yang berirama. Setidaknya, kata-kata itulah yang selalu dia lontarkan.
“Semua orang punya cara nya masing-masing untuk bahagia mon, dan hal yang dilakukan juga beda-beda. Lo mungkin ngerasa enjoy kalo lagi party sama temen-temen lo yang lain, nah gue ngerasa nyaman kalo lagi baca dan nulis puisi.”
“Lo yakin bisa bahagia kalo cuma gini-gini doang? Terus perasaan lo sama dia?” ucap Ramon sambil memalingkan wajahku kearah seorang gadis.
Gadis dengan rambut panjang yang di ikat sambil menenteng map ditangan kanan nya. Namanya Milinka Dania, Matahari di tengah gelapnya sekolah ini. Gadis yang selalu sampai disekolah 15 menit sebelum bel masuk. Banyak hal yang aku ketahui dari nya, dan dari pohon ini juga lah aku mulai mengamatinya.
“Lo suka sama dia udah hampir 3 tahun, dan lo bahkan belom pernah ngajak dia kenalan?”
“Ya mau gimana lagi mon? Lo bisa liat kan siapa aja yang deket sama dia? Pras, cowo tertajir di sekolah. Tomo, ketua osis dan murid paling pinter. Nah gue? Cuma pelajar kelas akhir yang doyan nulis puisi dan baca buku lawas.” Tegasku sambil membetulkan posisi dudukku.
“Bukan, bukan itu masalah nya. Mereka bisa deket sama Milinka bukan karna mereka kaya, atau pinter. Tapi karna mereka berani. Nah elo? Lo udah pernah sekelas sama dia pas kelas 2, tapi? Bahkan buat Say Hai aja lo gak berani.”
Berani? Apa mungkin itu? Tapi apa pantas? Kalimat demi kalimat yang diucapkan Ramon, mulai berteriak dikepalaku.
“Pokoknya sebelum lulus, lo harus kejar dia. Masalah hasil urusan belakangan pek, yang penting usahanya.” Seru Ramon sambil bergegas meninggalkan ku.
Minggu, 14 Maret 2006
Sudah hampir tiga bulan dari perbincangan serius Aku dan Ramon saat itu. Tapi kenyataannya? Aku memang sudah terlalu nyaman mengamati Milinka dari jauh. Karna begitu nyaman, aku sampai tak berani mendekat. Namun tak bisa di pungkiri kalo apa yang dikatakan Ramon memang benar. Sama seperti kutipan buku yang pernah kubaca, Jangan Pernah Membenarkan Yang Biasa, Tapi Cobalah Membiasakan Yang Benar. Haruskah ku mulai? Akankah aku bisa mendekat? Mudah mudahan.
“Verrrr……” seru Bunda dari lantai bawah.
“Iya bun, kenapa?”
“Temenin Bunda kerumah Tante Jenny yuk, Suami nya Tante Jenny baru operasi dari Penang.”
“Iya bun.”
Tante Jenny adalah teman SMA Bunda. Bisa dibilang, Tante Jenny itu sahabat Bunda. Tapi ini Pertama kalinya aku kerumah nya. Bunda memang sering cerita tentang Tante Jenny, tapi semenjak Ayah meninggal 3 Tahun yang lalu, bunda jadi sibuk dengan pekerjaannya dan jarang berkumpul dengan teman lamanya.
“Iya, rumahnya yang cat biru ver.” Tunjuk bunda mengarahkanku.
“Terus mobilnya parkir dimana bun?”
“Disini aja deh, kita gak lama kok.”
Tante Jenny langsung menyambut kami. Selama Bunda berbincang-bincang dengan Tante Jenny dan Suami nya, aku hanya duduk di teras belakang rumah Tante Jenny sambil menggenggam gelas. Aku hanya melamun membayangkan satu hal. Mungkin aneh, mengapa aku harus takut? Padahal aku hanya harus menghampirinya, dan berjabat tangan dengannya. Tapi itu lah hati. Terkadang untuk hal yang orang lain anggap biasa, akan istimewa bagi kita.
“Anaknya Tante Marissa yah?” seru suara yang memecahkan lamunanku.
Aku menoleh dan melihat seorang gadis asing sedang berdiri dihadapanku. Gadis berambut sepunggung yang diikat menyamping ke kanan.
“Iya, aku Oliver” jawabku
“Oh iya, Mama juga sering cerita soal kamu. Kenalin, aku Verenda.” Serunya sambil mengulurkan tangan kearahku.
“Terus aku manggil kamu apa? Kan nama kita sama sama Ver. Apa aku panggil kamu Olive aja?” Lanjutnya
“Olive? Se Perawan itukah?” Tanyaku
“Hahaha, becanda kok, yaudah kamu panggil aku ver, aku panggil kamu ver. Gimana? Tanyanya.
“Iya, terserah.”
Kami berjabatan dan saling tersenyum. Ternyata dia seumuranku. Kami berbicara panjang lebar. Tertawa bersama dan membahas banyak hal. Aneh, kenapa aku begitu akrab dengannya? Aku bukanlah Tipe orang yang mudah bergaul, dan cenderung tertutup. Tapi dia adalah orang yang bisa membangun percakapan. Andaikan aku bisa seakrab ini dengan Milinka.
Sore sudah menunjukan warna Khas nya. Bunda yang tadi nya berjanji hanya sebentar, malah keasyikan. Kami pun memilih pulang agar sampai dirumah tidak terlalu larut.
“Tante sama Om, Oliver pulang dulu yah.”
“Iya Ver, kamu hati-hati. Pelan pelan nyetirnya, biar Bunda nya gak takut.” Canda Tente Jenny disambut tawa.
“Iya Tan, pasti kok.” Jawabku sambil bergegas membuka pintu mobil.
Verenda masih tersenyum padaku. Senyum indah yang terpancar begitu tulus. Mungkin ungkapan puisi ku tadi bisa menggambarkan senyumnya.
“Bun, kok bunda gak pernah cerita soal anaknya Tante Jenny sih?”
“Ohh, Verenda? Dia itu baru pulang dari Perth, Dia itu sekolah disana. Dia ke Jakarta karna Om Jonathan baru selesai operasi. Paling lama sebulan dia udah balik lagi ke Australia ver.”
“Ternyata Pelajar Internasional yah bun?”
“Bisa dibilang begitu ver. Kamu naksir yah sama dia? Bunda bisa kenalin kamu sama dia kok.” Canda Bunda sambil mencubit lengan kiri ku.
“Untuk naksir sih kayaknya enggak bun. Cuma ada satu perempuan yang aku suka, setidaknya untuk sementara ini.” Jawabku
Tak bisa di pungkiri, memang Verenda adalah gadis yang manis. Tapi Milinka masih jadi misteri dalam hidupku. Kenapa hanya menegurnya saja aku malu? Bahkan kami pernah sedekat bintang di langit malam ini. Hanya dekat, namun tak pernah bisa saling menyapa.
“Oh yaudah deh kalo gitu. Eh di kantor Bunda ada beasiswa kuliah ke Luar Negri tuh, kamu mau ikut gak? Kalo mau, biar Bunda daftarin.”seru Bunda
“Kalo aku kuliah di luar, terus Bunda sama siapa?”
“Kamu kira Bunda wanita lemah? Bunda bisa sendiri kok, yang penting kamu fokus aja. Gimana?”
“Aku fikir fikir dulu deh Bun.”
“Yasudah.”
Kring…Kring…
Dulu sebelum Ayah meninggal, Dia sempat membacakan salah satu puisi. Entah karangan siapa dan berjudul apa, aku masih belum bisa menemukannya. Dalam puisi tersebut, ada beberapa bait yang selalu bersembunyi di dinding kepala ku.
Se Merdu Lagu, Namun Tak Di Nyanyikan
Se Indah Puisi, Namun Tak Di Bacakan
Lantas Bagaimana Caramu Mendapatkan Sorakan?
Sejujurnya, Orang Yang Menyembunyikan Hati Nya Adalah si Pengecut
Menjaga Hatinya, Namun Tak Berjuang Untuk Hati Orang Lain.
Ya, sebuah puisi yang menurutku sangat menyindir. Entah siapapun Penulisnya, Aku yakin dia adalah salah satu dari si Pengecut itu.
“Pek, bangun pek.” Seru Ramon sambil membangunkanku.
“Gila, lo ngapain aja semalem? Ini udah bel, lo malah tidur di pohon mangga lagi, gak punya rumah apa lo?”
Ramon memang tipe orang seperti itu. Menyerbu seseorang dengan pertanyaan yang sebenarnya bisa dia tanyakan dengan perlahan. Namun itulah dia, Ramon Darius. Sahabatku.
“Kemaren gue balik malem banget mon, kena macet.”
“Balik malem? Tumben. Kemana lo? Clubbing? Pijat plus plus? Jawab dong!” Sahut nya sambil menarik lengan bajuku.
“Ngaco, gue nemenin Bunda kerumah temennya. Balik nya sih sore, tapi macet”
“Yah, gue kira lo Clubbing. Terus lo nginep di Hotel sama 3 Stripper sekaligus.”
“Nih kepala lo bawa ke Mangga Dua, terus lo install ulang. Bentar lagi UN, lo malah ngaco. Udah ayo naik.” Jawabku sambil menoyor kepalanya.
“Eh entar dulu pek, ada Milinka tuh.” Seru Ramon sambil menunjuk kearah Ruang Radio Pelajar.
“Iya, Terus?”
“Ya samperin lah lemot, pake nanya lagi.”
“Ah enggak! Udah bel, pelajaran nya Maam Nur nih.”
“Oh iya yah, yaudah deh ayo. Sini buku kolot lo gue yang bawa.”
Tumben si Keras Kepala ini tidak memberontak. Kami pun berjalan naik ke Laboratorium Bahasa. Saat berpapasan dengan Milinka, Ramon pun mulai berulah. Dia melempar buku ku tepat di hadapan Milinka. Sontak Milinka menghentikan langkah nya.
“Ah lo ngaco ya mon, gak lucu.” Seru ku sambil berbalik mengambil buku.
Buku itu terbit tahun 1988, dan kondisi nya jauh dari kata layak. Panik karna takut buku itu rusak, aku tak memperdulikan Milinka yang berdiri tepat di depanku saat ini.
“British West Indian Slavery, bacaan nya berkelas.” Cakap seorang gadis dengan suara lirih nya.
“Eh, iya hehe.”
“Kamu Oliver kan? Kalo gak salah kita pernah sekelas ya?”
“Iya, hehe.”
“Oh yaudah, aku duluan yah.”
“Iya.” Jawabku.
Untuk pertama kali nya Aku berbicara dengannya. Belum pernah aku sedekat ini dengannya. Senyumannya pun sungguh meneduhkan.
“Ah lemot lo pek.” Seru Ramon memecah lamunanku.
“Ha? Maksutnya?”
“Itu tadi lo udah ngobrol sama dia, elo nya malah cuma iya iya doang.”
“Hehe, yaudah lah. Ayo naik.”
Benar, mungkin matahari pun akan mengucapkan hal yang sama. Setidaknya sudah sedekat itu, aku merasa puas.
Sejak hari itu, Milinka jadi sering menghampiriku ke pohon mangga. Bisa dibilang hampir setiap jam istirahat pertama dia selalu datang dengan membawa 2 cup lemon tea. Semakin hari keberanianku semakin meningkat. Semakin hari kami pun semakin akrab. Berbicara sambil menghabiskan lemon tea sekarang sudah menjadi hal yang biasa kulakukan dengannya. Aku membahas tentang buku-buku yang pernah kubaca, sedangkan Milinka bercerita tentang kehidupan nya. Ayahnya adalah CEO Perusahaan Ternama dan Ibu nya juga salah satu orang penting di Instansi Perpajakan. Bisa dibilang kehidupan Milinka sempurna, menurutku.
“Ver, kamu selalu disini yah? Asik juga, tempat nya sejuk.” Seru Milinka
“Iya Mil, memang disini tempat paling sejuk disekolah.”
“Kalo misalnya aku bete, aku boleh kan ke pohon ini?”
“Yang nanem pohon ini tuh Pak Jarwo, ijin ke dia lah.”
“Oh, harus bilang sama Pak Jarwo dulu ya?”
“Haha, becanda Mil. Silahkan, pohon ini punya sekolah. Bebas kok.”
Melihat nya tertawa saat duduk bersama di dahan pohon ini adalah salah satu hal terindah yang pernah kulihat. Saat mata nya fokus menatapku jika aku menjelaskan sebuah buku, sungguh indah.
17 April 2006
“Selesai semua, kelaaaaar.” Teriak Ramon dengan lantang
“Iya mon, tapi jangan nyantai dulu. Tunggu hasilnya keluar. Kalo udah lulus lo mau ngapain emangnya mon?” Tanyaku.
“Gue sih pengennya buka usaha aja pek, kuliah nya belakangan aja deh.”
“Wih, usaha apaan? Bokap lo kan tajir, ngapain pake usaha usaha segala?”
“Gue mau buka Panti pek, Panti Pijet ++”Candanya.
“Yeh, ada ada aja lo.”
“Haha, becanda. Lo sendiri mau ngapain?”
“Gue sih mau langsung kuliah mon, ngambil Akuntansi.” Jawabku.
“Sadisss, dimana?”
“Di Jakarta aja deh kayaknya, kasihan Bunda gak ada temennya.”
“Iya juga sih. Eh pek, Milinka datang tuh. Gue ke kantin yak, entar kalo udah kelar lo samper gue aja.”
“Eh udah sini aja sih mon. Woy mon..”
Tanpa memperdulikanku, Ramon langsung pergi ke kantin. Meski sudah sering berbicara dengan Milinka, tapi aku masih sering canggung. Aku bukan orang yang pandai memulai percakapan, jadi jelas aku sangat bingung jika ingin berbicara dengannya.
“Hai Ver, gimana? Lancar kan?” Tanya nya
“Lancar kok Mil, Kamu gimana?”
“Lancar kok. Oh iya, kalo udah lulus kamu mau nerusin kuliah apa off dulu?”
“Langsung kayaknya Mil, aku mau ngambil Akuntansi. Kamu?”
“Wih hebat, kalo aku paling mau ngambil Managemen. Sebenarnya sih disuruh Papah hehe.”
“Wah oke juga tuh. Semoga sukses deh.”
“Iya, kamu juga.”
Entah mengapa, angin siang itu bertiup sejuk sekali. Dahan-dahan pohon saling bergandengan menutupi kami dari panas matahari. Kami masih mematung di tempat kami berdiri. Terlintas di otak ku, apakah harus ku nyatakan? Akankah sekarang? Semakin berfikir, semakin semua hal itu mendesak keluar. Haruskah?
“Mil..”
“Iya Ver?” sahut nya
“Mmmm, gini Mil.”
“Haha, ada apa sih?”
“Kamu mau ga….”
Dering ponsel Milinka memecah suasana yang mungkin sudah matang.
“Halo?”
Entah siapa yang menelfon Milinka dan apa yang Ia bicarakan. Wajah Milinka memerah dan tak lama kemudian dia langsung menangis. Melihat Milinka menangis, aku langsung memeluknya. Bukan dalam suasana romantis, namun pelukan itu tetap hangat. Aku tak mampu untuk menanyakan mengapa ia menangis.
*Buzzz* (Getar Telfon Genggam)
Ver, Bunda naro kunci di atas pintu. Bunda lagi di Airport
Nemenin Verenda buat Take Off ke Perth lagi.
Verenda. Tak terasa sudah sebulan aku tak bertemu dengannya lagi. Terlintas di kepala ku bagaimana pertama kali dia menyapa ku. Huhft, tanpa ada kalimat perpisahan yah? Yasudah lah.
Malam Kelulusan
Malam ini aku siap untuk mendengarkan hasil kelulusanku. Aku memakai Jas peninggalan Ayah. Dan aku dengan bangga membawa Bunda untuk mendengarkan hasil kelulusanku. Tak terelakkan, Aku juga membayangkan bagaimana cantiknya Milinka dengan gaun nya nanti. Aku berniat untuk mengungkapkan perasaanku kepada Milinka malam ini. Semoga saja aku bisa.
“Eh ver, waktu itu Bunda udah cerita soal beasiswa dari kantor Bunda kan?”
“Oh beasiswa ke luar negri itu Bun? Iya, kenapa Bun?”
“Bunda kan udah daftarin kamu, dan udah di setujuin sama kantor kemaren Ver.”
“Loh kok Bunda gak Tanya ke aku dulu sih? Memang Bunda Daftarin aku kemana?”
“Ke Australia Ver. Gimana? Kamu suka kan?”
“Terus Bunda nanti gimana?”
“Kan Bunda udah bilang, kamu gak usah khawatir sama Bunda.”
“Ya kalo aku sih asalkan Bunda seneng, aku ikut seneng Bun.”
Melanjutkan Studi ku di Negri orang memang sudah jadi dambaanku sejak dulu. Dan Australia juga Negara yang bagus. Tapi meninggalkan Bunda sendiri di Jakarta adalah hal yang paling berat. Dan juga…..Milinka.
“Wih selamat yah pek, lo peringkat 2 se angkatan.”
“Thanks mon, lo juga selamat yah.”
“Eh kok gue gak liat Milinka ya?” Seru Ramon.
“Sama mon, gue juga.” Jawabku.
“Semenjak gue tinggalin lo berdua di taman waktu itu, gue udah gak pernah liat Milinka lagi pek. Ada apaan?”
“Gue juga gak tau mon.”
Tangisan itu? Sebenarnya ada apa dengan Milinka. Betul yang dikatakan Ramon. Semenjak Milinka menangis di taman, Aku memang tak pernah melihatnya lagi. Bahkan waktu itu dia langsung pergi meninggalkan ku.
*Buzzz* (Getar Telfon Genggam)
Hai Oliver, ini aku Milinka. Selamat yah atas Kelulusan
dan nilai nya. Aku gak dateng malam ini, Aku lagi ada urusan.
Dan mungkin kita gak akan ketemu lagi. Aku gak bisa jelasin,
yang jelas aku seneng bisa deket sama kamu. Aku seneng bisa
belajar banyak hal soal buku dan puisi dari kamu. Aku pergi bukan
karna kamu ada salah kok, memang ada hal yang nggak bisa aku
ceritain aja. Sekali lagi, sukses yah.
“Siapa pek?” Tanya Ramon.
“Oh enggak mon, Operator Telkomsel nih.” Jawabku.
Udara seolah berhenti bertiup. Alunan musik yang keras tak lagi terdengar di telingaku. Sedih, ya memang sedih. Bahkan aku tak bisa membagi kesedihanku dengan sahabatku sendiri. Bukan salahku? Alasan yang kurang memuaskan. Saat hati sudah merasa menemukan jawaban, Dia pergi bagai kuda tak ber tuan. Malam ini tak begitu berarti. Menghabiskan malam seolah sendiri. Ingin kupecahkan gelas seperti puisi Rangga untuk Cinta, namun aku masih realistis.
“Apapun alasanmu, itu tidak menjawab. Selamat Malam Milinka!” Ucap ku sambil mengarahkan gelas ke langit.
Soekarno Hatta, 31 April 2006
Troli troli pengangkut barang berlarian mencari penunggangnya. Suara peringatan peringatan dari pertugas bandara pun terngiang dimana mana. Membawa persediaan yang lebih dari cukup, aku akan terbang ke Negri Orang. Negri asing yang mungkin bisa mengajariku lebih tentang hidup.
“Kamu hati-hati yah ver. Jaga diri kamu baik baik.” Seru Bunda sambil memelukku erat.
“Iya Bun, Bunda juga baik-baik yah disini.”
“Iya ver.”
“Goodluck pek. Jadi Akuntan Sukses ye, jangan bergaul sama orang bule pek. Mereka jahat semua haha.” Seru Ramon yang langsung memelukku juga.
“Tenang mon, lo tau gue kan? Haha. Titip Bunda yah mon, tolong jagain.”
“Pasti pek.”
“Yaudah aku masuk ya Bun, bye. Mon, gue cabut dulu ya.” Seru ku sambil mendorong troli ku.
Lambaian tangan ku menjadi ungkapan terakhir untuk mereka. Semakin melangkah, mereka terlihat semakin samar. 5 tahun menuntut ilmu di Australia akan menjadi hal yang menantang. Berjalan menyusuri lorong bandara membuatku kembali mengingat Milinka. Perpisahan yang begitu instan. Perpisahan? Dapatkah aku menyebut itu perpisahan? Entahlah.
“Selamat Tinggal Mil, Aku pergi.”
Enjoy Gan
![Malu (S) emoticon-Malu (S)](https://s.kaskus.id/images/smilies/malus.gif)
0
2K
Kutip
2
Balasan
![Guest](https://s.kaskus.id/user/avatar/default.png)
![Avatar border](https://s.kaskus.id/images/avatarborder/1.gif)
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
![Guest](https://s.kaskus.id/user/avatar/default.png)
![Avatar border](https://s.kaskus.id/images/avatarborder/1.gif)
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan