- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita Luar Negeri
Pengungsi Suriah ke Eropa bertaruh nyawa, kenapa tak ke Saudi saja?


TS
kuping.najwa
Pengungsi Suriah ke Eropa bertaruh nyawa, kenapa tak ke Saudi saja?
Quote:
Pengungsi Suriah ke Eropa bertaruh nyawa, kenapa tak ke Saudi saja?
Reporter : Ardyan Mohamad | Jumat, 4 September 2015 07:28

Polisi Turki menggendong mayat bocah pengungsi Suriah yang tenggelam saat menyebrang ke Eropa. ©Reuters/Nilufer Demir
Merdeka.com - Sebulan terakhir, media Barat ramai membicarakan arus ribuan imigran dari wilayah konflik Timur Tengah yang membanjiri negara-negara Uni Eropa. Tujuan utama para pengungsi itu adalah Jerman dan Prancis. Jerman menyatakan bersedia menampung 800 ribu pengungsi dari wilayah yang diduduki militan Negara Islam Irak dan Syam (ISIS).
Mata dunia baru tertuju sepenuhnya pada isu imigran ini, setelah tragedi terungkap di Turki dua hari lalu. Polisi Air berpatroli di Semenanjung Bodrum menemukan jasad bocah berpakaian lengkap terapung di pasir pantai. Kondisi mayat sangat menyedihkan. Foto-foto bocah nahas yang tak lagi bernyawa itu tersebar di dunia maya, mengundang keprihatinan netizen sejagat, seperti dilaporkan the Guardian.

Tim SAR belakangan menyebut identitas salah satu bocah itu yang fotonya paling banyak disebar. Namanya Aylan Kurdi, bocah tiga tahun yang diajak ibunya kabur dari Kota Kobane, Suriah, menuju ke Eropa melewati Selat Mediterania di selatan Yunani. Tujuan akhir rombongan keluarga Aylan adalah Kanada, agak berbeda dari imigran lainnya.
Aylan bersama ibunya Rehan dan kakaknya Galib yang lebih tua dua tahun, tewas. Mereka nekat menaiki kapal kecil yang seharusnya maksimal ditumpangi tujuh orang. Pada saat insiden nahas itu terjadi pada Rabu (2/9) dini hari, dilaporkan ada 15 orang berdesakan di kapal.

Gambar Aylan jadi topik terpopuler di seluruh dunia 48 jam terakhir. Pengguna Twitter ramai-ramai mengecam negara maju yang menghambat arus imigran. Di Eropa, yang paling banyak dicaci kini adalah Inggris karena menerapkan pembatasan imigran di perbatasan selat dengan Prancis.
Jengah disudutkan, politikus maupun warga Inggris yang mendukung pembatasan balik menyerang. Mereka mempertanyakan alasan para pengungsi itu tak lari ke Negara Teluk saja, misalnya Arab Saudi, Uni Emirat Arab, atau Qatar. Padahal mayoritas warga negara-negara kaya minyak itu juga beragama Islam, sehingga proses adaptasi para pengungsi seharusnya lebih cepat.
BBC dalam laporannya Kamis (3/9) berusaha menjawab pertanyaan itu. Didapatkan kesimpulan bahwa mayoritas para pengungsi memilih ke Eropa, karena proses mengurus visa di Negara-Negara Teluk justru sangat rumit. Warga Suriah atau Irak sebetulnya mudah masuk ke Saudi atau Qatar menggunakan visa turis. Tapi jangan berandai-andai bisa memperoleh izin kerja atauhingga mukim permanen, tanpa punya sanak famili di negara-negara Arab.
Sama-sama habis uang banyak, akhirnya pengungsi asal Suriah atau Irak condong berjudi menyeberang ke Eropa. Belum lagi banyak selentingan menyebut khusus warga Suriah sulit mendapat visa dari Saudi atau Uni Emirat Arab.'

Warga Eropa juga mulai mempertanyakan tak adanya itikad baik negara Arab, yang seharusnya lebih bersimpati mengingat kesamaan agama dengan pengungsi Suriah dan Irak. "Bagaimana bisa negara Eropa yang kafir punya tanggung jawab lebih besar merawat pengungsi dibanding negara mayoritas muslim?" tulis akun Facebook Komunitas Imigran Suriah di Denmark pekan lalu.
Para pejuang dari Tentara Pembebasan Suriah (FSA) yang beraliran Sunni sampai ikut jengkel pada negara-negara Teluk yang sering mendonasikan dana buat perjuangan mereka mendongkel Presiden Basyar al-Assad. Salah satu komandan FSA, Riyad al-Assad, berharap negara Arab bisa melonggarkan aturan khusus untuk warga sipil Suriah.
"Demi Allah, mereka adalah orang tak berdosa yang lebih membutuhkan miliaran bantuan dibanding kami," tulisnya lewat Twitter.
Saudi, Kuwait, atau UEA diprediksi BBC tidak akan mengubah sikapnya terhadap pengungsi Suriah yang merana. Apalagi beberapa negara Teluk punya rencana mengurangi jumlah imigran. Contohnya Kuwait, yang pada 2020 menargetkan angka imigran bisa berkurang 1 juta jiwa.

Badan Pengungsi PBB (UNHCR) mengatakan para pengungsi itu sebetulnya tidak pilih-pilih negara. Mereka yang penting ingin segera enyah dari wilayah konflik di Suriah atau Irak.
Selama tidak ada upaya nyata menampung mereka dari negara Teluk, maka kematian Aylan-Aylan yang lain akan terus terjadi. UNHCR melaporkan lebih dari 2.500 pengungsi tewas karena nekat menyeberangi Selat Mediterania tanpa transportasi memadai.
Reporter : Ardyan Mohamad | Jumat, 4 September 2015 07:28

Polisi Turki menggendong mayat bocah pengungsi Suriah yang tenggelam saat menyebrang ke Eropa. ©Reuters/Nilufer Demir
Merdeka.com - Sebulan terakhir, media Barat ramai membicarakan arus ribuan imigran dari wilayah konflik Timur Tengah yang membanjiri negara-negara Uni Eropa. Tujuan utama para pengungsi itu adalah Jerman dan Prancis. Jerman menyatakan bersedia menampung 800 ribu pengungsi dari wilayah yang diduduki militan Negara Islam Irak dan Syam (ISIS).
Mata dunia baru tertuju sepenuhnya pada isu imigran ini, setelah tragedi terungkap di Turki dua hari lalu. Polisi Air berpatroli di Semenanjung Bodrum menemukan jasad bocah berpakaian lengkap terapung di pasir pantai. Kondisi mayat sangat menyedihkan. Foto-foto bocah nahas yang tak lagi bernyawa itu tersebar di dunia maya, mengundang keprihatinan netizen sejagat, seperti dilaporkan the Guardian.

Tim SAR belakangan menyebut identitas salah satu bocah itu yang fotonya paling banyak disebar. Namanya Aylan Kurdi, bocah tiga tahun yang diajak ibunya kabur dari Kota Kobane, Suriah, menuju ke Eropa melewati Selat Mediterania di selatan Yunani. Tujuan akhir rombongan keluarga Aylan adalah Kanada, agak berbeda dari imigran lainnya.
Aylan bersama ibunya Rehan dan kakaknya Galib yang lebih tua dua tahun, tewas. Mereka nekat menaiki kapal kecil yang seharusnya maksimal ditumpangi tujuh orang. Pada saat insiden nahas itu terjadi pada Rabu (2/9) dini hari, dilaporkan ada 15 orang berdesakan di kapal.

Gambar Aylan jadi topik terpopuler di seluruh dunia 48 jam terakhir. Pengguna Twitter ramai-ramai mengecam negara maju yang menghambat arus imigran. Di Eropa, yang paling banyak dicaci kini adalah Inggris karena menerapkan pembatasan imigran di perbatasan selat dengan Prancis.
Jengah disudutkan, politikus maupun warga Inggris yang mendukung pembatasan balik menyerang. Mereka mempertanyakan alasan para pengungsi itu tak lari ke Negara Teluk saja, misalnya Arab Saudi, Uni Emirat Arab, atau Qatar. Padahal mayoritas warga negara-negara kaya minyak itu juga beragama Islam, sehingga proses adaptasi para pengungsi seharusnya lebih cepat.
BBC dalam laporannya Kamis (3/9) berusaha menjawab pertanyaan itu. Didapatkan kesimpulan bahwa mayoritas para pengungsi memilih ke Eropa, karena proses mengurus visa di Negara-Negara Teluk justru sangat rumit. Warga Suriah atau Irak sebetulnya mudah masuk ke Saudi atau Qatar menggunakan visa turis. Tapi jangan berandai-andai bisa memperoleh izin kerja atauhingga mukim permanen, tanpa punya sanak famili di negara-negara Arab.
Sama-sama habis uang banyak, akhirnya pengungsi asal Suriah atau Irak condong berjudi menyeberang ke Eropa. Belum lagi banyak selentingan menyebut khusus warga Suriah sulit mendapat visa dari Saudi atau Uni Emirat Arab.'

Warga Eropa juga mulai mempertanyakan tak adanya itikad baik negara Arab, yang seharusnya lebih bersimpati mengingat kesamaan agama dengan pengungsi Suriah dan Irak. "Bagaimana bisa negara Eropa yang kafir punya tanggung jawab lebih besar merawat pengungsi dibanding negara mayoritas muslim?" tulis akun Facebook Komunitas Imigran Suriah di Denmark pekan lalu.
Para pejuang dari Tentara Pembebasan Suriah (FSA) yang beraliran Sunni sampai ikut jengkel pada negara-negara Teluk yang sering mendonasikan dana buat perjuangan mereka mendongkel Presiden Basyar al-Assad. Salah satu komandan FSA, Riyad al-Assad, berharap negara Arab bisa melonggarkan aturan khusus untuk warga sipil Suriah.
"Demi Allah, mereka adalah orang tak berdosa yang lebih membutuhkan miliaran bantuan dibanding kami," tulisnya lewat Twitter.
Saudi, Kuwait, atau UEA diprediksi BBC tidak akan mengubah sikapnya terhadap pengungsi Suriah yang merana. Apalagi beberapa negara Teluk punya rencana mengurangi jumlah imigran. Contohnya Kuwait, yang pada 2020 menargetkan angka imigran bisa berkurang 1 juta jiwa.

Badan Pengungsi PBB (UNHCR) mengatakan para pengungsi itu sebetulnya tidak pilih-pilih negara. Mereka yang penting ingin segera enyah dari wilayah konflik di Suriah atau Irak.
Selama tidak ada upaya nyata menampung mereka dari negara Teluk, maka kematian Aylan-Aylan yang lain akan terus terjadi. UNHCR melaporkan lebih dari 2.500 pengungsi tewas karena nekat menyeberangi Selat Mediterania tanpa transportasi memadai.
http://www.merdeka.com/dunia/pengung...audi-saja.html
mungkin untuk klaim sebagai agama yang paling berkembang pesat di eropa...................

0
21.2K
Kutip
179
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan