- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Pesawat tempur Singapura kerap langgar wilayah RI untuk latihan


TS
dehadaw
Pesawat tempur Singapura kerap langgar wilayah RI untuk latihan
Pesawat Tempur Singapura Kerap
Latihan di Ruang Udara RI
Elza Astari Retaduari - detikNews
Ilustrasi, Foto: Hasan Alhabshy
Jakarta - Wilayah udara Indonesia ternyata
sering dijadikan daerah latihan oleh pesawat
tempur Singapura. Itu terjadi di utara Pulau
Bintan, Kepulauan Riau.
Bukan hanya dengan Malaysia saja Indonesia
harus bermasalah terkait pelanggaran batas
wilayah. Diketahui, Singapura sering
melakukan latihan pesawat tempurnya di
ruang udara yang berada di Kepulauan Riau.
"Ya betul, itu terjadi di utara Pulau Bintan,"
ujar Komandan Lanud Tanjungpinang Letkol
Pnb I Ketut Wahyu Wijaya saat dikonfirmasi,
Sabtu (5/9/2015).
Sebenarnya ini berkaitan dengan perjanjian
antara Indonesia dan Singapura tentang
Military Training Areas (MTA). MTA
merupakan wilayah udara Indonesia yang
diperkenankan untuk latihan udara Singapura
karena mereka tidak memiliki wilayah udara
untuk latihan.
Menurut Ketut, perjanjian tersebut diatur
dalam agreement between the goverment of
the Republic of Indonesia and the
Government of the Republic of Singapore on
Military Training in Areas 1 and 2. Perjanjian
tersebut ditandatangani oleh Jenderal TNI
(Purn) Edi Sudrajat yang kala itu menjabat
sebagai Menhankam dan Menhan Singapura
saat itu Tony Tan. Kemudian perjanjian
tersebut disahkan melalui Keppres
No.8/1996.
"Itu mengatur soal MTA 1 yang ada di atas
Sumatera dan MTA 2 di utara Pulau Bintan.
Tapi perjanjian itu sudah habis pada 2001
karena waktunya hanya 5 tahun. Mereka
nggak punya ruang udara untuk latihan
akhirnya sign perjanjian itu," kata Ketut.
Selama bertahun-tahun, Singapura Airforce
mengadakan latihan tempur pesawat
udaranya di wilayah Indonesia dan bahkan
hingga perjanjian habis, Singapura masih
tetap melakukannya. Wilayah MTA 1 ini
dipatok dari sebelah barat daya Singapura
hingga Tanjung Pinang, Kepri, termasuk di
utara Pulau Bintan.
Sementara MTA 2 yang berada di sebelah
barat, membentang dari sisi timur Singapura
hingga Kepulauan Natuna. Untuk wilayah
yang berada dalam yuridiksi kepemimpinan
Ketut adalah di MTA 1. Dari perjanjian
sebenarnya Singapura juga memberikan
timbal balik untuk Indonesia.
"Tapi dalam 5 tahun (perjanjian) berjalan
lebih banyak merugikan Indonesia. Sehingga
tahun 2001 tidak diperpanjang. Setelahnya
Singapura terus berusaha untuk
memperpanjang perjanjian," jelas Ketut.
"Mereka beralasan 'MTA itu danger area jadi
harus dioperasikan oleh saya, Singapura
Airforce'. Makanya setiap hari mereka
latihan di sana sampai hari ini,"
sambungnya.
Dengan kondisi seperti itu, pesawat-pesawat
tidak ada yang boleh melintas di MTA.
Termasuk pesawat tempur milik TNI AU.
Singapura terus mengejar sehingga
perjanjian lanjutan sempat digagas sehingga
pada sekitar 2007 muncul draft mengenai
perpanjangan perjanjian yang dikenal dengan
Defence Cooperation Agreement (DCA).
Dalam DCA selain mengatur MTA, ada
perjanjian yang memberikan hak bagi
Indonesia untuk melakukan ekstradisi. Ini
terkait dengan pemulangan penjahat seperti
koruptor Indonesia yang lari ke Singapura
termasuk pengembalian aset. Namun karena
diyakini Singapura tak akan pernah
mengekstradisi koruptor dan dana yang
dilarikan ke Singapura, perjanjian itu tidak
pernah terwujud.
"Draft perjanjian itu lebih banyak
menguntungkan mereka dan itu tidak berlaku
karena tidak jadi. Tapi mereka masih tetap
saja latihan di wilayah udara kita," tutur
Ketut.
Singapura yang berlatih dengan pesawat
tempur F-5 dan F-16 di wilayah Indonesia
disebut Ketut akan lari saat melihat ada
kekuatan militer Indonesia. Untuk itu
kekuatan pertahanan udara di wilayah
Tanjungpinang dirasa perlu untuk membuat
takut Singapura.
"Kebetulan di Pulau Kepri tidak ada kekuatan
udara, adanya di Pekanbaru dan Pontianak.
Jaraknya ke Bintan jauh sekali. Makanya
setiap hari latihan di sana. Begitu ada
kekuatan kita hadir mereka tidak kembali.
Makanya harus ada kekuatan di Kepri, harus
ada minimal 4 pesawat tempur," ucapnya.
Untuk penempatan pesawat tempur sendiri
juga masih terkendala dengan Lanud di
wilayah tersebut yaitu di Tanjungpinang dan
Natuna yang masih memiliki banyak
keterbatasan. Padahal ini berkaitan dengan
wilayah perbatasan dan menyangkut
kedaulatan RI. Tipe Lanud kelas C di Kepri
selayaknya ditingkatkan menjadi kelas B.
"Landasan hanya pendek, apron kecil, itu
untuk 1 heli SAR, 1 hercules untuk angkutan
dan 1 Boeing pengintai aja sudah penuh.
Belum lagi ada airlines juga, jadi penuh.
Makanya di Tanjungpinang sering terjadi
delay," ujar Ketut.
Terlepas dari MTA, masalah ruang udara
Indonesia di Kepri juga masih dikuasai oleh
Singapura. Ini terkait Flight Information
Region (FIR) yang sejak tahun 1946
diserahkan kepada Singapura sesuai mandat
ICAO. Ini terkait izin penerbangan pesawat
berjadwal. Airlines yang melintas di seluas
100 nautical mile atau 200 km di wilayah
udara Kepri harus melalui izin ATC
Singapura, termasuk pesawat Indonesia.
"Indonesia punya 2 FIR yang di Jakarta sama
Ujungpandang. Di Kepri dan Natuna, itu FIR
Singapura. FIR Indonesia sebenarnya ada
mengatur wilayah Timorleste dan Pulau
Christmas tapi di sana lalu lintasnya sepi,"
terang Ketut.
Sementara itu FIR Singapura merupakan lalu
lintas penerbangan padat di mana dalam
semenit, untuk satu jalur saja ada puluhan
pesawat airlines yang melintas, termasuk
penerbangan luar negeri. Mereka harus
membayar fee kepada Singapura dan
Indonesia hanya mendapat kompensasi kecil.
"FIR Singapura adalah jalur gemuk. Soal FIR,
ada yang bilang SDM kita belum siap karena
di sana (ruang udara Kepri) crowded kan,
infrastukur mereka lebih canggih. Tapi dulu
tahun 1945 Belanda balik ke Indonesia
karena warga Indonesia belum bisa berdikari,
nggak bisa berdiri di kaki sendiri. Nyatanya
bisa kan. Kalau mikirnya kayak gitu artinya
seperti mental penjajah," tukas Ketut.
Ketut berharap agar Indonesia bisa berjuang
untuk merebut FIR yang dikuasai Singapura.
Pasalnya keuntungan akan lebih banyak
didapat pemerintah jika FIR dioperasikan
sendiri dibanding didelegasikan kepada
negara tetangga.
"Saya dikasih tahu ATC Indonesia, tiap
pesawat airlines yg melintas di wilayah FIR
itu bayar 6 dolar AS, padahal setiap menit
untuk satu jalur aja ada puluhan pesawat
yang lewat. Kalau 24 jam berapa.
Kompensasi ke Indonesia, hanya 50 sen.
Bayangkan berapa yang akan didapat
Indonesia kalau FIR bisa kita pegang
sendiri," Ketut menjelaskan.
Namun bagi Ketut sebagai pihak penjaga
kedaulatan tanah air, perilaku Singapura
yang seenaknya berlatih militer di wilayah
Indonesia lebih penting. Jika kekuatan udara
di Kepri ditingkatkan, ia yakin Singapura
akan pikir-pikir lagi untuk berulah.
"Otomatis kehadiran (gelar kekuatan) TNI AU
di sini akan buat mereka nggak bisa ke
daerah sana (MTA). Terus nantinya juga FIR
bisa diambil alih," tutup Ketut.
(ear/Hbb)
http://m.detik.com/news/berita/3011079/pesawat-tempur-singapura-kerap-latihan-di-ruang-udara-ri
Latihan di Ruang Udara RI
Elza Astari Retaduari - detikNews
Ilustrasi, Foto: Hasan Alhabshy
Jakarta - Wilayah udara Indonesia ternyata
sering dijadikan daerah latihan oleh pesawat
tempur Singapura. Itu terjadi di utara Pulau
Bintan, Kepulauan Riau.
Bukan hanya dengan Malaysia saja Indonesia
harus bermasalah terkait pelanggaran batas
wilayah. Diketahui, Singapura sering
melakukan latihan pesawat tempurnya di
ruang udara yang berada di Kepulauan Riau.
"Ya betul, itu terjadi di utara Pulau Bintan,"
ujar Komandan Lanud Tanjungpinang Letkol
Pnb I Ketut Wahyu Wijaya saat dikonfirmasi,
Sabtu (5/9/2015).
Sebenarnya ini berkaitan dengan perjanjian
antara Indonesia dan Singapura tentang
Military Training Areas (MTA). MTA
merupakan wilayah udara Indonesia yang
diperkenankan untuk latihan udara Singapura
karena mereka tidak memiliki wilayah udara
untuk latihan.
Menurut Ketut, perjanjian tersebut diatur
dalam agreement between the goverment of
the Republic of Indonesia and the
Government of the Republic of Singapore on
Military Training in Areas 1 and 2. Perjanjian
tersebut ditandatangani oleh Jenderal TNI
(Purn) Edi Sudrajat yang kala itu menjabat
sebagai Menhankam dan Menhan Singapura
saat itu Tony Tan. Kemudian perjanjian
tersebut disahkan melalui Keppres
No.8/1996.
"Itu mengatur soal MTA 1 yang ada di atas
Sumatera dan MTA 2 di utara Pulau Bintan.
Tapi perjanjian itu sudah habis pada 2001
karena waktunya hanya 5 tahun. Mereka
nggak punya ruang udara untuk latihan
akhirnya sign perjanjian itu," kata Ketut.
Selama bertahun-tahun, Singapura Airforce
mengadakan latihan tempur pesawat
udaranya di wilayah Indonesia dan bahkan
hingga perjanjian habis, Singapura masih
tetap melakukannya. Wilayah MTA 1 ini
dipatok dari sebelah barat daya Singapura
hingga Tanjung Pinang, Kepri, termasuk di
utara Pulau Bintan.
Sementara MTA 2 yang berada di sebelah
barat, membentang dari sisi timur Singapura
hingga Kepulauan Natuna. Untuk wilayah
yang berada dalam yuridiksi kepemimpinan
Ketut adalah di MTA 1. Dari perjanjian
sebenarnya Singapura juga memberikan
timbal balik untuk Indonesia.
"Tapi dalam 5 tahun (perjanjian) berjalan
lebih banyak merugikan Indonesia. Sehingga
tahun 2001 tidak diperpanjang. Setelahnya
Singapura terus berusaha untuk
memperpanjang perjanjian," jelas Ketut.
"Mereka beralasan 'MTA itu danger area jadi
harus dioperasikan oleh saya, Singapura
Airforce'. Makanya setiap hari mereka
latihan di sana sampai hari ini,"
sambungnya.
Dengan kondisi seperti itu, pesawat-pesawat
tidak ada yang boleh melintas di MTA.
Termasuk pesawat tempur milik TNI AU.
Singapura terus mengejar sehingga
perjanjian lanjutan sempat digagas sehingga
pada sekitar 2007 muncul draft mengenai
perpanjangan perjanjian yang dikenal dengan
Defence Cooperation Agreement (DCA).
Dalam DCA selain mengatur MTA, ada
perjanjian yang memberikan hak bagi
Indonesia untuk melakukan ekstradisi. Ini
terkait dengan pemulangan penjahat seperti
koruptor Indonesia yang lari ke Singapura
termasuk pengembalian aset. Namun karena
diyakini Singapura tak akan pernah
mengekstradisi koruptor dan dana yang
dilarikan ke Singapura, perjanjian itu tidak
pernah terwujud.
"Draft perjanjian itu lebih banyak
menguntungkan mereka dan itu tidak berlaku
karena tidak jadi. Tapi mereka masih tetap
saja latihan di wilayah udara kita," tutur
Ketut.
Singapura yang berlatih dengan pesawat
tempur F-5 dan F-16 di wilayah Indonesia
disebut Ketut akan lari saat melihat ada
kekuatan militer Indonesia. Untuk itu
kekuatan pertahanan udara di wilayah
Tanjungpinang dirasa perlu untuk membuat
takut Singapura.
"Kebetulan di Pulau Kepri tidak ada kekuatan
udara, adanya di Pekanbaru dan Pontianak.
Jaraknya ke Bintan jauh sekali. Makanya
setiap hari latihan di sana. Begitu ada
kekuatan kita hadir mereka tidak kembali.
Makanya harus ada kekuatan di Kepri, harus
ada minimal 4 pesawat tempur," ucapnya.
Untuk penempatan pesawat tempur sendiri
juga masih terkendala dengan Lanud di
wilayah tersebut yaitu di Tanjungpinang dan
Natuna yang masih memiliki banyak
keterbatasan. Padahal ini berkaitan dengan
wilayah perbatasan dan menyangkut
kedaulatan RI. Tipe Lanud kelas C di Kepri
selayaknya ditingkatkan menjadi kelas B.
"Landasan hanya pendek, apron kecil, itu
untuk 1 heli SAR, 1 hercules untuk angkutan
dan 1 Boeing pengintai aja sudah penuh.
Belum lagi ada airlines juga, jadi penuh.
Makanya di Tanjungpinang sering terjadi
delay," ujar Ketut.
Terlepas dari MTA, masalah ruang udara
Indonesia di Kepri juga masih dikuasai oleh
Singapura. Ini terkait Flight Information
Region (FIR) yang sejak tahun 1946
diserahkan kepada Singapura sesuai mandat
ICAO. Ini terkait izin penerbangan pesawat
berjadwal. Airlines yang melintas di seluas
100 nautical mile atau 200 km di wilayah
udara Kepri harus melalui izin ATC
Singapura, termasuk pesawat Indonesia.
"Indonesia punya 2 FIR yang di Jakarta sama
Ujungpandang. Di Kepri dan Natuna, itu FIR
Singapura. FIR Indonesia sebenarnya ada
mengatur wilayah Timorleste dan Pulau
Christmas tapi di sana lalu lintasnya sepi,"
terang Ketut.
Sementara itu FIR Singapura merupakan lalu
lintas penerbangan padat di mana dalam
semenit, untuk satu jalur saja ada puluhan
pesawat airlines yang melintas, termasuk
penerbangan luar negeri. Mereka harus
membayar fee kepada Singapura dan
Indonesia hanya mendapat kompensasi kecil.
"FIR Singapura adalah jalur gemuk. Soal FIR,
ada yang bilang SDM kita belum siap karena
di sana (ruang udara Kepri) crowded kan,
infrastukur mereka lebih canggih. Tapi dulu
tahun 1945 Belanda balik ke Indonesia
karena warga Indonesia belum bisa berdikari,
nggak bisa berdiri di kaki sendiri. Nyatanya
bisa kan. Kalau mikirnya kayak gitu artinya
seperti mental penjajah," tukas Ketut.
Ketut berharap agar Indonesia bisa berjuang
untuk merebut FIR yang dikuasai Singapura.
Pasalnya keuntungan akan lebih banyak
didapat pemerintah jika FIR dioperasikan
sendiri dibanding didelegasikan kepada
negara tetangga.
"Saya dikasih tahu ATC Indonesia, tiap
pesawat airlines yg melintas di wilayah FIR
itu bayar 6 dolar AS, padahal setiap menit
untuk satu jalur aja ada puluhan pesawat
yang lewat. Kalau 24 jam berapa.
Kompensasi ke Indonesia, hanya 50 sen.
Bayangkan berapa yang akan didapat
Indonesia kalau FIR bisa kita pegang
sendiri," Ketut menjelaskan.
Namun bagi Ketut sebagai pihak penjaga
kedaulatan tanah air, perilaku Singapura
yang seenaknya berlatih militer di wilayah
Indonesia lebih penting. Jika kekuatan udara
di Kepri ditingkatkan, ia yakin Singapura
akan pikir-pikir lagi untuk berulah.
"Otomatis kehadiran (gelar kekuatan) TNI AU
di sini akan buat mereka nggak bisa ke
daerah sana (MTA). Terus nantinya juga FIR
bisa diambil alih," tutup Ketut.
(ear/Hbb)
http://m.detik.com/news/berita/3011079/pesawat-tempur-singapura-kerap-latihan-di-ruang-udara-ri
Diubah oleh dehadaw 05-09-2015 15:56
0
1.8K
16


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan